Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Mazaya dan penolakan yang dilakukan oleh wanita itu, Daffa memilih untuk tidak membahas lagi mengenai pernikahan didepan si wanita. Namun, saat ini ia tengah dihadapkan dengan sang Ayah.
"Ayah kenalkan kamu dengan Giana namun ternyata kamu tidak sedikit pun meliriknya. Abi sudah tau dari Umi, Abi rasa memang Giana tidak masuk kriteria kami sebagai menantu idaman. Lebih tepatnya karena etikanya yang kurang baik." Daffa hanya mengangguk."Abi lihat - lihat sepertinya kamu terlibat sebuah hubungan dengan wanita. Benar begitu Daf?""Hmmm.. Masih pendekatan aja Abi.""Benar begitu?""Iya.""Kenapa kamu tidak menikahinya saja? Pendekatan bisa dilakukan saat sudah menikah.""Wanita itu belum siap dengan pernikahan.""Apa jangan - jangan itu wanita yang sama? Wanita yang dibicarakan oleh Umi kamu?" Daffa mengangguk, ia tidak mengatakan sepatah kata pun."Kenapa harusHidup tidak akan seru jika lurus - lurus saja tanpa adanya masalah.Kalau kata orang - orang sih seperti sayur tanpa garam, hambar.Mazaya melangkahkan kaki kedalam Loby Kantor setelah memarkirkan mobilnya. Beberapa orang menyapa, namun beberapa karyawan baru menatapnya sinis. Ia hanya cuek dan masuk kedalam elevator, ternyata didalam kotak besi itu terdapat beberapa orang pula yang menyorotnya dengan sorotan tidak bersahabat. Bahkan ada yang berbisik, kemudian Rinda muncul mendekatinya dan menarik Mazaya untuk tidak masuk kedalam Elevator tersebut."Ada apa Rinda?""Ibu gak liat emang orang - orang disana udah kayak mau mangsa ibu hidup - hidup?""Sudah biarin aja, saya cuek kok.""Duh, kayaknya Ibu belum tau berita ya?""Berita mengenai apa?""Ini Bu." Rinda memperlihatkan tampilan ponselnya, didalam layar benda pipih itu terdapat obrolan grup mengenai dirinya.Mazaya mengerutkan keningnya, ia membaca foto
Berita mengenai dirinya semakin ramai diperbincangkan, sudah tiga hari lamanya berita palsu mengenai dirinya bergentayangan di Perusahaan tersebut. Tatapan hingga perkataan yang tidak mengenakan kerap kali ia rasakan dan dengar dari Karyawan baru. Bahkan hingga saat ini Karyawan baru tidak ada yang tau posisinya di Perusahaan itu."Kami tidak ada yang percaya dengan berita itu, tapi kenapa kamu tidak mengatakan apapun kepada kami Mazaya?" Kata Giono - Direktur Pemasaran.Ya, saat ini ia tengah berada disebuah Ruangan dengan meja oval untuk bertemu para petinggi di Perusahaan tersebut. Termasuk Irawan tidak luput dari pertemuan itu."Karena tidak ada yang perlu saya jelaskan.""Kami tau Mazaya, tapi kalau kamu diam seperti ini bukan kah justru memperkeruh suasana? Apalagi saya dengar kamu sengaja tidak memberitahu posisi kamu disini sama Karyawan Baru. Apa itu bentuk penyamaran kamu?" Tutik - Direktur Keuangan ikut membuka suaranya."Saya
Setelah mendapat ultimatum dari sang Ayah, Daffa tampak memikirkan suatu hal. Ya apalagi kalau bukan mengenai Mazaya. Pasalnya pria itu belum mendapat kalrifikasi atau jawaban dari sang Wanita mengenai rumor yang dikatakan oleh Giana saat itu. Salah dia sendiri karena terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tidak ingin membahas hal itu saat berkomunikasi dengan Wanitanya. Saat ini ia tengah berada didalam Ruangan tempat ia bekerja di Rumah Sakit, pesan yang ia kirimkan untuk Mazaya belum juga mendapat balasan dari wanita itu. Bahkan panggilannya pun sempat dialihkan dan kemudian nomor ponsel wanita itu tidak aktif. Hingga akhirnya benda pipih diatas meja kerjanya bergetar dan menampilkan sebuah pesan teks. [Mazaya : Pulang kerja aja jemput aku, aku gak bawa mobil.] Lega rasanya membaca pesan itu, tidak bertemu saat jam istirahat tidak masalah. Yang penting hari ini ia bertemu dengan pujaan hati dan memperjelas rumor yang ia dengar tempo hari. **
Flashback.. “Kamu gak berat apa bawa – bawa raket begitu?” “Enggak, kan Zaya langsung naik ojol dari sini. Jadi gak perlu ikut Bunda ke Parkiran dulu, gak apa – apa kan? Efisien waktu Bunda.” Katanya sembari memilih wortel manis untuk persediaan di Rumah. “Yasudah iya, apa sih yang enggak buat si bungsu.” Disaat Farida dan Mbok Darmi tengah memilih sayur, ada kegaduhan didekat mereka. Sontak membuat Farida memutar tubuhnya untuk melihat apa yang terjadi, ia menatap seorang pria tengah berlari sembari membawa dompet wanita. Sontak membuatnya mengayunkan kaki kanan dan terjegal lah pria itu. Sedangkan Mazaya sendiri merasakan ada yang tidak beres dengan tindakan sang Ibu, ia ayunkan raket tenis yang sedari tadi ia gendong dipunggungnya kearah pria itu. Karena melihat aksi heroik Ibu dan Anak tersebut, para pedagang pria segera mengamankan pria yang diduga copet hingga petugas keamanan datang. “Nama saya Yunita Mahardika, saya pemilik
“Jadi Giana cari masalah sama Manajer Personalia di Kantor itu?” Kata Maryam saat sang Putra sulung menceritakan semuanya kepada kedua Orang tuanya. “Iya Umi.” “Tapi kenapa Giana sampai segitunya sama Mazaya Daf?” “Entah Bi, Mazaya tidak menceritakan masalah itu sama Daffa. Tapi dia Cuma bilang ada wanita yang dari awal bertemu tatapannya tidak bersahabat, sempat mengatakan bahwa Mazaya cacat. Dan wanita itu Giana, wanita yang pernah Abi kenalkan sama Daffa.” “Iya maafkan Abi, Abi sudah memperkenalkan wanita yang Abi sendiri tidak mengenalnya. Tapi apa benar Mazaya cacat?” “Enggak Bi! Mazaya wanita shaleha, Cantik, Sehat wal'afiat “ Kata Maryam membanggakan. “Tapi kata Giana, wanita itu cacat, maksudnya gimana?” “Mazaya sempat kesleo saat main tenis sama Daffa, ia diharuskan mengenakan alat bantu untuk jalan.” “Kamu main tenis sama dia?” “Hmm.. Itu awal perkenalan kami. Disana ada Ayah
Siang berganti malam, hiruk pikuk Ibu Kota tak kunjung surut oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Seorang pria menatap dinding kaca berpemandangan gemerlap lampu Kota. Secangkir coklat hangat ia nikmati sembari sesekali melirik ponsel diatas meja.Tangan besar menjulur dan mendarat tepat diatas lengan kirinya, ia tersentak dan tersadar dari lamunannya."Astaghfirullah..""Kaget? Sorry.""Assalamu'alaikum Bang Daf." Seorang wanita cantik mengembangkan senyum manisnya."Wa'alaikum salam Aziza." Daffa membalas salam dari wanita yang masih berdiri didekatnya."Kalian berdua ngedate?" Kemudian pria itu mengalihkan pandangan kepada pria disebelah Aziza."Maunya gitu, tapi gak sengaja liat ada cowok galau." Aziza hanya tersenyum sembari bergeleng melihat interaksi suami dan sahabatnya."Duduk sini. Coklat panasnya enak, makanya gue kesini.""Elo disini cuma mau minum coklat panas doang?" Zafir menarik du
Didalam kediaman milik Keluarga Burhan, Mazaya tengah bersiap untuk Tenis di lapangan komplek bersama Zafir. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi, belum siang untuk melakukan kegiatan tersebut."Zay, gak mau dijemput sama Zafir aja?""Naik motor aja kenapa sih Bun? Orang cuma di Lapangan komplek doang.""Iya tapi gak tau kenapa perasaan Bunda gak enak begini ya? Apa kamu gak usah Tenis aja?""Emang anak Bunda cuma Zaya doang? Coba tuh hubungi anak laki - laki kesayangan Bunda, atau Mafaza tuh.""Apa lo nyebut nama gue?""Nyokap lo perasaannya gak enak katanya, gue suruh hubungi Mas Eran sama elo.""Yailah, tinggal ketok pintu doang ngapa sih? Kayak gue jauh aja dihubungi.""Siapa tau aja Bunda mager buat ketok pintu.""Udah - udah, kenapa kalian ribut pagi - pagi.""Zaya pergi dulu ya Bun, Assalamu'alaikum." Mazaya memeluk serta mencium kedua pipi sang Ibu, tak lupa mencium tangannya.
"Aw...." Tiba - tiba saja Mafaza mengaduh saat berjalan ke Ruang tengah menghampiri kedua orang tua, Kakak serta Kakak iparnya."Ada apa Za?" Tanya Burhan."Gak tau nih Yah, kepala Faza tiba - tiba sakit. Kayak dijedotin gitu, jantung juga deg - deg an gitu.""Kenapa Sayang?" Liam yang saat itu hendak menyusul ke Ruang Keluarga justru dikejutkan dengan adanya keluhan sang istri."Gak tau nih tiba - tiba aja kayak orang abis maraton gini jantung aku.""Ke Rumah Sakit aja Za, Liam buruan siapin mobil kita bawa Faza ke Rumah Sakit.""Enggak - enggak, Faza gak penyakitan. Asli ini beda Bun, perasaan Faza gak enak banget. Tiba - tiba aja kepikiran Zaya.""Iya ya, udah jam segini kok Zaya belum pulang juga." Kata Liam.Eran mencoba menghubungi adik bungsunya, namun tidak ada jawaban dari si pemilik ponsel. Rasa khawatir mencuat di Keluarga Burhan, pria paruh baya yang terbiasa dengan pembawaan tenang seperti air namun