Share

Tuan George

Ester menutup hidungnya saat kepulan asap keluar dari mulut Rayhan dengan sangat tebal. Dia duduk risi, mendengar pembicaraan yang terlalu menjijikkan untuk didengar seorang perempuan sepertinya. 

Ia sedang berada di kantin belakang luar sekolah, dan jujur saja setiap kali Rayhan membawanya ke sana, ia selalu merasa takut. Takut guru akan memergoki mereka. Berulangkali ia terbatuk, mencoba menarik perhatian Rayhan yang malah memberikannya air tanpa menoleh ke arahnya. 

"HELEN!"

Tubuhnya menegang mendengar suara itu, matanya menangkap sosok yang memanggilnya dengan wajah marah. 

"Abas," lirihnya menelan ludah. 

Kayvi tanpa ragu mendekat dan menarik tangan Ester. 

"Woy!" Rayhan dengan marah menarik Ester lagi, matanya berubah tajam dengan rahang yang mengeras. 

"Lepasin pacar gue!" 

"Pacar lo?" Rayhan maju, mencengkram baju Kayvi dengan kuat. "Ulangi apa yang lo bilang tadi?"

"Lepasin pacar gue!"

Bugh!

"Abas!" teriak Ester ingin menghampiri, tetapi ditahan.

Kayvi terhuyung ke belakang akibat pukulan itu. Kerahnya kembali ditarik membuat tangannya terkepal kuat. Jika bukan karena Ester yang menggeleng padanya, ia pasti akan membalas. 

"Ulangi apa yang lo bilang tadi?"

"LEPASIN PACAR GUE!" teriak Kayvi marah. 

Bugh!

Kayvi langsung terbatuk mendapat pukulan kedua, kerahnya kembali tertarik. Namun, dengan cepat ia menghempaskan tangan itu dan melayangkan tendangan. 

Beberapa orang langsung mengelilingi Kayvi dengan alat masing-masing dan menatapnya. Kayvi berdecih melihat seorang berperawakan tinggi dan berotot, balas menatap tak kalah tajam. 

"Abas, pergi!" teriak Ester lagi.

Kayvi tak mendengarkannya, sementara Ester sudah sangat marah dan takut sendiri. Terus berteriak menyuruh Kayvi pergi, tetapi usahanya gagal. 

"DIAM!" 

Ester tersentak, dia langsung diam— meringis merasakan tangannya dicengkram kuat.  

"Kasih tahu dia siapa pacar lo!" desak Rayhan semakin marah.

"Ray, sakit!" ringis Ester. 

"Jangan bentak—"

"Oy, oy, oy, jangan berteriak di depan gue!" 

Kayvi mengepalkan tangannya, napasnya memburu menahan emosinya melihat Rayhan yang memaksa Ester. 

Ester semakin meringis dan berusaha melepaskan diri. Tidak mendapat respon, Rayhan tersenyum miring, menganggukkan kepalanya dengan mata yang menatap Ester dengan tajam. 

Bugh!

"Abasta!" 

Kayvi terdorong menabrak sebuah pohon besar, tangannya di tahan di belakang dan mendapat pukulan lagi. 

"Ray, kamu keterlaluan!" 

"Keterlaluan? Gue keterlaluan?" Rayhan menatap Ester dengan penuh amarah. 

"Ya! Biarkan dia pergi," mohon Ester.

"Tidak, sebelum lo kasih tahu siapa pacar lo!"

"Kamu! Kamu pacar aku, sekarang lepaskan Kayvi, dia kesakitan." 

Rayhan tersenyum miring, menganggukkan kepala, lalu melepaskan cengkramannya. Kayvi langsung menarik tangannya—menatap Rayhan dengan tajam. 

"Pengecut lo!" 

Rayhan tertawa. 

"Kalau lo berani lawan gue langsung, jangan paksa Helen ngaku kalau lo pacar dia!" 

Kerah Kayvi kembali dicengkeram. 

"Bang!" tegur Rayhan dengan suara dingin, penuh kegeraman. 

Kayvi menghempaskan tangan itu dan menghampiri Rayhan. "Cowok pengecut kayak lo nggak pantas buat Helen."

Rayhan menarik kerah Kayvi, berdecih di depan wajah itu. "Nggak usah ikut campur sama hubungan gue!"

"Jelas gue ikut campur, lo nyakitin Ester, pengecut!"

"Abas, pergi sekarang!" mohon Ester lagi dengan sangat.

"Aku sudah katakan Helen, aku tidak akan membiarkanmu di sini." Kayvi berbicara tegas, beradu tatap dengan Rayhan tak kalah tajam.

"Abas."

Rayhan tersenyum sinis menarik Ester dan mendorongnya pada Kayvi yang langsung menangkapnya. 

"Sialan lo—"

"Abas!" 

Kayvi mengepalkan tangannya, membawa Ester masuk lagi ke sekolah. Ester menahan langkahnya dan otomatis Kayvi juga berhenti.

"Kamu nggak perlu ikut campur urusan hubunganku dan Rayhan."

"Hubungan? Seperti ini kamu bilang hubungan? Cowok sialan itu bahkan tidak menghiraukanmu di sana."

"Kamu tidak tahu apa-apa!" geram Ester.

"Helen—"

"Dan hubungan kita sudah berakhir! Kamu bukan siapa-siapa lagi untukku dan begitu sebaliknya."

"Kita tidak pernah putus, Helen!"

"Sejak kamu pergi, hubungan kita sudah berakhir."

"Aku punya ala—"

"Alasan apa?" sergah Ester mengepalkan tangannya. 

"Mama sakit dan bapak tidak punya uang, aku harus pergi ke kota untuk mencari uang."

"Tanpa memberitahuku?"

"Helen, berikan aku kesempatan lagi," mohon Kayvi menarik tangan Ester yang langsung menepisnya. 

"Sekarang aku sudah mempunyai Rayhan."

"Aku tahu kamu melakukannya karena terpaksa, Helen."

"Tidak—"

"Apapun alasanmu aku akan mengerti. Tapi aku masih jadi pangeran berkuda, 'kan, dan kamu adalah putri, aku akan membawamu keluar dari hubungan ini, Helen." 

***

"Kayvi"

Kayvi berdehem, melirik Keysa yang duduk di dalam mobil. 

"Ester lama, ya." Keysa menggoyangkan kakinya, duduk dengan pintu mobil terbuka dan berulang kali menghela napas bosan. 

"Keysa, Kayvi, kita duluan!" 

Keysa balas melambai pada Albi dan jugan murid lain yang sudah melaju pergi, dia menghela napasnya dengan bibir yang tertekuk. 

"Kayvi susul Ester, gih!" 

"Sebentar lagi, Key, Ester pasti datang."

Keysa memanyunkan bibirnya, memaksakan senyum saat ada yang melambai. 

"Hari ini Keysa pemotretan sama mama, ya?"

Kayvi mengangguk. "Ester!" 

Keysa melirik Kayvi yang terlihat sangat bersemangat melambaikan tangannya. Ia berdecih, memalingkan wajah dan memasukkan kakinya. 

"Kayvi, Keysa harus pergi sekarang," ucapnya.

Kayvi mengangguk, membawa Ester masuk di jok belakang kemudi, menutup pintu Keysa dan segera berlari ke kemudi. Melirik kekasihnya dari spion menunjukkan seatbelt. 

Ester mengangguk dan segera memakai seatbelt. Matanya tak sengaja melirik Keysa yang menatapnya. "Hai ... Keysa." 

Keysa tersenyum, masih terus menatap Ester. "Hai, Ester, senang bertemu denganmu. Kamu pacarnya Kayvi?" 

Ester langsung membelalak melirik Kayvi yang malah tertawa membuatnya kesal, ia segera menggeleng. 

"Helen, kita nggak pernah putus."

Ester mendengus sedetik kemudian ia tersenyum pada Keysa. "Nggak usah dengerin Kayvi, Key. Gue sama dia cuma temen."

Kayvi mendelik. Keysa ber-oh-ria sedetik kemudian ia menatap Kayvi tajam.

"Kayvi ngaku-ngaku, ya? Lagian mana ada yang mau pacaran sama Kayvi, Kayvi jelek!" 

Kayvi langsung mengusapkan tangannya pada wajah Keysa. 

"Kayvi, ahh, tangan Kayvi kotor!" Keysa meraih air mineral dan membasuh tangannya, mengarahkan kaca untuk membersihkan wajah. 

"Hari ini Keysa pemotretan di kantor Ny. Mira. Mau—"

"Ke kantor papa sebentar."

"Ngapain?" tanya Kayvi langsung menatap Keysa dengan alis tertaut. 

"Tadi papa kirim pesan, ada yang mau diomongin."

"Nggak bisa diomongin di rumah aja emang?" 

Keysa mengedikkan bahunya.

"Keysa yakin mau ke kantor Tuan Jennifer?" tanya Kayvi menatap Keysa lekat. 

Keysa mengangguk. 

"Key, nanti Ny. Mira mar—"

"Lebih baik mama yang marah daripada papa, Kay." 

Kayvi menghela napasnya, berhenti di depan gedung bertuliskan JnKCoor. 

"Kayvi antar Ester aja," ucap Keysa turun dari mobil. 

"Tapi Key—"

"Papa cuma mau ngomong aja, nanti Keysa telepon kalau sudah selesai. Bye, Ester!" 

Ester melambai kecil melihat Keysa yang masuk, lalu menghilang dari pandangannya. Mobil yang ia tumpangi melaju meninggalkan perusahaan itu. 

"Helen, kamu mau duduk di depan aja?" 

Ester menggeleng, tetapi Kayvi terus menatapnya. Tidak ada pilihan lain, akhirnya ia pindah. Kayvi melajukan mobilnya lagi, senyumnya begitu lebar, dia sesekali melirik Ester yang tiba-tiba diam. 

"Kenapa?"

Ester menggeleng. 

"Helen, kamu bisa cerita apa aja sama aku."

"Kamu deket banget kayaknya sama Keysa."

Kayvi mengulum senyumnya. "Kamu cemburu, ya?"

"Ah, huh, Cemburu? Nggaklah!"

"Aku tahu semua ekspresi kamu, Helen, kalau kamu nyolot gini kamu pasti marah atau cemburu." 

Ester mendengus. 

"Kita masih pacaran, 'kan?" 

Suasana seketika canggung. 

"Helen." 

"Kenapa kamu pergi?" tanya Ester menatap lurus. 

"Aku udah kasih tahu, 'kan? Mama sakit dan bapak nggak punya uang."

"Kamu pergi tanpa memberitahuku, Abas! Garis bawahi, tanpa memberitahuku," geram Ester menatap Kayvi.  

Kayvi langsung mengambil pulpen yang ada di dashboard. "Mana yang perlu digaris bawahi?" 

Ester semakin menggeram kesal melihat Kayvi yang lama tertawa. "Nggak ada yang lucu, Bas!" 

Kayvi tersenyum kecil. "Aku nggak kasih tahu kamu karena aku nggak bisa pergi kalau aku kasih tahu kamu."

"Apa susahnya memberita—"

"Susahnya bukan memberitahu, tapi meninggalkanmu."

"Setidaknya aku akan tahu kamu pergi dan tidak perlu mencarimu! Stavy dan Stava bahkan tidak bisa berhenti menangis karena kehilangan papa mereka." 

"Papa?" ulang Kayvi menatap Ester dengan senyum yang tertahan. 

Ester mengatupkan mulutnya, sadar dengan apa yang ia katakan membuatnya ingin menghilang sekarang. "Ya, kamu meracuni otak mereka dengan mengatakan kita adalah orang tua mereka." 

Kayvi tertawa, teringat pada masa lalu.

"Mereka tinggal denganmu, 'kan? Aku ingin bertemu dengan mereka, Helen!"

"Tidak." 

Kayvi langsung memasang wajah protesnya. 

"Stavy dan Stava tinggal di panti sosial."

Kayvi mengerutkan keningnya, memelankan laju mobil masih menatap Ester yang terlihat menarik napas panjang. 

"Petugas sosial membawa mereka karena mereka pikir papa tidak sanggup mencari nafkah, papa sakit dan aku tidak mempunyai pekerjaan."

Kayvi menarik tangan Ester untuk ia genggam, memberikan usapan lembut dan tersenyum kecil melihat gadis itu hampir menangis. 

"Mama meninggal ...." 

Kayvi menghentikan mobilnya, terdiam mendengar pernyataan itu. 

"Stavy dan Stava pergi, papa sakit, aku tidak punya pekerjaan, itu sebabnya aku menerima Rayhan sebagai kekasihku," lirih Ester terisak.  

Tangis itu pecah, terdengar sangat menyedihkan sampai tangan Kayvi terasa sakit karena gigitan Ester.

"Helen, jangan nangis, please ...." 

Kayvi hampir ikut menangis, mengusap bahu Ester yang berusaha untuk tenang. Menangkup wajah hingga gadis itu menatapnya, berusaha tersenyum melihat mata itu sangat tulus menatapnya. 

"Aku berperan sebagai pangeran, dan kamu adalah putri," ucap Kayvi dengan senyum. 

"...."

"Pangeran akan menyelamatkan Putri dari monster jahat."

***

"Keysa, silakan duduk." 

Keysa membungkuk sopan, lalu duduk di sofa, jantungnya memburu melihat seorang pria tua yang tersenyum padanya. Ia sudah bisa menebak arah pembicaraan mereka. Melihat Tuan Jennifer menatapnya tajam, ia berpindah mengambil duduk dengan jarak yang sedikit jauh dari pria tua itu, mengambil bantalan sofa untuk menutupi pahanya. Jantungnya semakin berdetak cepat dan ia semakin gugup. 

"Perkenalkan, ini Tuan George." 

Keysa tersenyum kecil, berusaha untuk tetap tenang melihat mata pria tua itu menggelap melihatnya dari atas sampai ke bawah. 

"Se-senang bertemu de-dengan anda, Tuan Geor-ge." 

Tuan George mengulurkan tangannya, dengan ragu Keysa membalas uluran tangan itu, sekuat tenaga untuk menarik tangannya dan segera menjauh lagi. Merinding melirik Tuan George mencium tangannya sendiri dengan wajah gila. 

"Saya baru saja tanda tangan kontrak dengan Tuan George." Tuan Jennifer berbicara, menatap Keysa lekat. "Tuan George adalah pengusaha hebat dan kaya. Papa butuh uang sebagai dana perusahaan papa." 

"Key-Keysa mengerti." 

Tuan Jennifer mengangguk, memberikan sebuah kartu pada Keysa yang langsung menelan ludah, mengambil kartu itu, lalu mengangguk. 

"Keysa," panggil Tuan George. 

"I-iya, Tuan?" 

"Saya akan menjemputmu." 

Keysa mengangguk kecil. Melihat tangan yang bergerak mendekatinya, ia langsung berdiri. 

"Papa, Keysa ada pemotretan di kantor mama. Keysa pergi dulu, permisi," pamit Keysa berdiri dan melangkah pergi. 

"Saya belum menyuruhmu pergi!" 

Keysa tersentak dan langsung berhenti. 

"Tuan George, anda boleh keluar sekarang!" ucap Tuan Jennifer.  

Kedua pria itu berdiri bersamaan dan saling berjabat tangan. 

"Akan saya pastikan, putri kesayangan saya memberikan pelayanan dan kepuasan terbaik untuk anda, Tuan George."

"Saya akan berikan dana yang banyak jika putri kesayangan anda melakukan yang terbaik, Tuan Jennifer."

"Tentu saja, anda tidak perlu khawatir Tuan George, saya akan pastikan itu." 

Tuan George mengangguk, melirik Keysa yang langsung memalingkan wajahnya lalu pergi. 

Plak!

Keysa terdiam, membeku di tempatnya dengan mata yang memanas. 

"Berdiri tegak!" 

Mengangkat kepalanya menahan sakit pada pipinya. 

"Kamu tidak punya sopan santun?" teriak Tuan Jennifer. 

Keysa menelan ludahnya melihat Tuan Jennifer mengambil cambuk. 

"Jawab!" 

"Ma-maaf, Keysa salah."

"Tunjukkan rasa hormatmu." 

Keysa bersimpu menundukkan kepalanya. "Saya minta maaf karena kesalahan saya, Tuan Jennifer" 

"Jika kamu bersikap seperti itu lagi, saya tidak akan segan-segan menghukum kamu!" 

Keysa mengangguk. 

"Masuk ke ruang pemotretan."

"Tapi pa—"

"Masuk ke ruang pemotretan!" 

Keysa mengangguk, dia langsung pergi. Berhenti mencengkram besi pembatas dengan mata yang terpejam.

"Nona Keysa."

Keysa langsung mengusap matanya dengan kasar, mengangguk pada wanita yang memanggilnya. Ia menarik napas begitu dalam. 

"Tenangkan dirimu, Keysa, sadar!" Ia mencengkram pembatas itu lagi, berulang kali menarik napas dan menghembuskannya perlahan. 

"Kamu masih di sana?" 

Keysa mendongak dan langsung membungkuk melihat Tuan Jennifer. 

"Saya akan segera ke ruang pemotretan, permisi."

"Tunggu sebentar!" 

Keysa berhenti lagi, mencengkram tali tasnya untuk menghilangkan gugup. Dengan ragu ia mengambil obat yang diberikan Tuan Jennifer. 

"Minum sebelum bertemu dengan Tuan George. Kamu boleh pergi." 

Keysa mengangguk dan segera masuk ke dalam lift. "George, sialan!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status