"Masalah cewek nih pasti?!"Nada mengejek terdengar menyebalkan—setidaknya bagi telinga merah Sandi Arsena. Sang barista yang juga merangkap sebagai pemilik kedai itu melepaskan apron miliknya lalu melipatnya asal sebelum akhirnya duduk dihadapan Sandi yang sudah berada disini selama tiga puluh menit lebih. "Gue gak kesini buat dengerin ledekan lo, Yan!" Sandi meletakkan puntung rokok yang mulai pendek ke dalam cekungan asbak.Sandi masih mengenakan kemeja hitam dan celana jeans kesayangan yang biasa ia gunakan ke kampus. Selepas mengurus beberapa surat keperluan wisuda, ia melipir masuk kedalam Kelana Cafe. Tempat ngopi hits yang terletak tak jauh dari kampus yang juga milik Adrian, salah satu sobat karibnya. Tak heran kalau ia menemukan banyak manusia yang dikenal disini. "Kalo masih sibuk, handle aja dulu, Yan! Gue cuma butuh tempat tenang buat nyebat!" Ujar Sandi. Sedikit tak enak sebenarnya karena melihat pengunjung masih lumayan ramai tapi si owner sudah melipat apron lebih
"Lo gak bisa ngatur siapa aja yang boleh deketin Dinara. Daripada fokus sama hal- hal yang gak ada ujungnya, mending realistis aja! Fokus bikin Dinara percaya dan nyaman sama lo. Sebagai tetangga, lo udah punya privilege lebih. Setidaknya lo menang jarak dan waktu yang memungkinkan buat ketemu Dinara lebih sering. Masa begitu aja mesti gue ajarin sih, San?"Kali ini Sandi merasa habis mengantongi ilmu dari barat. Hasil godok pikiran dengan Adrian mungkin terdengar receh, padahal setelah ia timang lagi isinya daging semua. Adrian benar. Mengapa Sandi harus risau memikirkan laki-laki lain yang masih berjuang masuk kedalam hidup Dinara? Itu sama saja seperti merendahkan dirinya sendiri."Masa iya, Sandi Arsena yang konon katanya mantu idaman para mertua justru merasa insecure sama cowok lain? Chin up, dude! Lo udah selangkah lebih maju daripada mereka!"Poin dari Adrian seakan kembali mencerahkan kegelapan di otak Sandi Bukan hanya selangkah, Sandi bahkan percaya diri bahwa dia sudah ja
"Kalian mau ini, gak? Kak Sandi yang bawain, nih!" Dinara mengangkat tinggi bungkusan plastik yang di tangannya. Mengajak dua bocah sekolah menengah beda tingkat yang masih sibuk belajar di ruang keluarga kediaman Dinara. Dikta yang duduk di depan meja lipat serta Sean yang mengerjakan tugas sambil rebahan diatas karpet wol. Sean menoleh lebih dulu. Raut antusiasnya memudar saat menyadari apa yang dipegang Dinara. "Sean nggak suka itu, kak!" balasnya. Dahi Dinara setengah berkerut. Bisa- bisanya ada yang tidak suka wedang ronde, minuman legendaris yang jadi favoritnya Dinara sejak dulu."Kenapa gak suka?" Tanya Dinara lembut. Sean mengendikkan bahunya, "pedas kak, gak suka yang banyak jahe gitu," balasnya. Sesuatu yang harus Dinara maklumi karena tidak mungkin memaksakan anak orang untuk makan sesuatu yang tidak disukai. Maka setelah mendapat penolakan dari Sean, Dinara sekali lagi beralih pada adiknya yang masih fokus berkutat pada kertas folio di meja. "Buat kakak aja biar gak
Tiba-tiba saja hujan beriak jatuh dari langit. Benar- benar deras sampai terdengar cukup berisik saat bergesekan dengan kanopi di depan rumah. Pun beberapa kali kilat menciptakan efek kejut yang cukup nyata. Mungkinkah hebohnya hujan malam ini adalah bentuk balas dendam langit terhadap manusia bumi yang mengeluh panas gerah siang tadi?Masih terjebak di rumah Dinara Jeandra saat hujan deras disertai angin kencang itu melanda. Sebenarnya Sandi bisa saja berlari ke rumahnya yang hanya berjarak kurang dari sepuluh langkah itu. Atau mungkin meminjam payung dari Dinara agar setidaknya tidak terlalu basah kuyup. Namun suara hatinya mungkin terdengar lebih keras daripada gemuruh malam ini—sebentar saja, bolehkah ini jadi alasan untuk setidaknya memandang Dinara setelah tiga hari tak bersua?Sandi tak tahu sejak kapan ia berubah jadi setengah memalukan begini. Rasanya baru kali ini ia mengejar seorang gadis bahkan sampai tumbuh rasa ketakutan sendiri. Dia belum memiliki, namun sudah merasa
"Good morning putri tidur!" Sapaan tak biasa dari sang ayah membuat Dinara yang baru turun dari kamarnya memanyunkan bibirnya. Gadis itu memang sedikit kelabakan tadi dan bahkan harus dibangunkan oleh sang mama. Tapi menurutnya masih tidak cukup untuk mengkategorikannya dalam golongan putri tidur. Masih menjinjing tas kulit berwarna coklat dan blazer nude di tangan kanannya, gadis itu kini ikut duduk disebelah ayahnya yang sesekali masih memandangnya jenaka. Rasanya ada sesuatu yang salah. Apalagi kini Dikta dan mamanya yang baru bergabung di meja makan ikut bertukar tatapan mencurigakan. "Sean mana?" tanya Dinara pada Dikta sembari meraih selembar roti tawar lalu mengolesi selai coklat diatasnya. Dinara ingat semalam bocah itu tidur di kamar Dikta. Usai meneguk susu, Dikta membalas dengan santai. "Dibawa pulang sama abangnya subuh tadi," ujarnya. Bibirnya membulat membentuk huruf o sembari mengangguk paham. Selanjutnya Dinara memilih untuk kembali diam dan fokus denga
"Arsena!"Keduanya kompak menoleh saat mendengar sapaan berat namun juga halus pria bertubuh tinggi yang nampak rapi nan klimis. Terdengar setengah asing namun Dinara yakin sempat mendengar ayah Sandi juga memanggil putranya begitu. "Ngapain disini?" Pria itu super tampan dan punya gurat wibawa di wajahnya. Dia kelihatan familiar namun Dinara lupa pernah melihatnya dimana. Sandi tersenyum sembari membalas pelukan hangat dari lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya itu. "Kebetulan lagi ketemu temen," ia melirik Dinara. "Nar, kenalin ini kakak sepupuku yang baru pulang dari London."Dinara menjabat tangan besar yang terulur dari pria tinggi itu. "Arka," ucapnya singkat saat memperkenalkan dirinya. Dinara tersenyum kikuk saat pria matang itu melirik kearahnya dan tersenyum kecil, bergantian melirik adik sepupunya yang nampak tak terganggu sama sekali. Dari setelan yang digunakan dan aroma parfum yang menyeruak, Dinara makin sadar bahwa kasta keluarga besar Sandi itu lumayan
Serba mendadak!Belum ada duduk lima belas menit, gadis dengan rambut lurus itu harus buru-buru merapikan dokumennya. Ada client yang minta reschedule jadwal temu sehingga janji yang awalnya dicanangkan saat makan siang harus dimajukan menjadi pukul sepuluh pagi. "Draftnya tidak ada yang tertinggal, kan?" tanya Bu Alana saat Dinara sudah menyusulnya masuk ke dalam mobil. Mereka berangkat bersama supir kantor yang memang biasa mengantar perjalanan bisnis. Dinara mengangguk pasti, "sudah saya cek semua, bu. Draft tulisan, layout, dan beberapa tawaran konsep baru yang sebelumnya kita bahas sudah ada dalam map," terang Dinara yakin. Alana mengangguk paham. Ia lalu mengintruksikan supir untuk mulai melajukan mobil menuju Hotel Royal di pusat kota karena pertemuannya akan dilangsungkan di resto disana. Client hari ini bisa dibilang merupakan salah satu VIP nya perusahaan mereka. Pasalnya, The Royal merupakan perusahaan raksasa yang sedang melejit dan sudah membawahi beberapa hotel dan r
Dinara menghempaskan tubuh super lelahnya diatas ranjang queen size miliknya. Masih berbalut kemeja putih dengan siku yang tergulung dan celana kain hitam yang melekat manis di kaki jenjangnya. Tidak ada niatan sama sekali baginya untuk masuk ke dalam kamar mandi—setidaknya dalam rentang satu jam kedepan ini. Ponselnya yang masih berada di nakas itu mendadak berdering. Niat awalnya sih ingin mengabaikan dering menyebalkan itu, namun dia takut kalau- kalau panggilan itu ternyata penting. Dengan setengah hati, Dinara meraih benda pipih itu dengan bantuan lengan panjangnya. "Gimana tadi tes nya, Din?" Dinara mengaktifkan fitur speaker dan menggeletakkan ponselnya tanpa niat. Tubuh tingginya masih rebahan menguasai kasur dan sudah dikuasai kemalasan sekarang ini. "Gue gak tau deh itu tadi bisa dibilang lancar atau enggak, kak," sahut Dinara tak bersemangat. Kepalanya masih berdenyut lumayan hebat setelah mendorong dirinya untuk berkonsentrasi penuh selama kurang lebih dua jam. Meskip