"Raka, bilang, maksudnya apa?" Risa bersedekap, ia tak mau Raka banyak basa basi. Wajah lelaki di hadapannya menunjukkan tatapan serius. "Deva bukan anak Arkana." Risa terkejut, kedua matanya membulat sempurna, ia tak percaya. Dengan cepat menggelengkan kepala. "Jangan bohong kamu!" ketusnya. Raka menarik napas panjang lalu menghembuskan perlahan. Tangan Raka meraih ponsel, lalu menunjukkan sesuatu di sana. "Ini Kakakku, Firman namanya, dan dia Ayah biologis Deva. Risa, lihat aku," pintanya. Risa mendongak, menatap Raka. "Arkana lihat kita dari jendela di lantai dua, aku minta kamu ikutin perintahku. Sebelum aku lanjut cerita." "Apa?" "Ini," ucap Raka sambil tangannya membelai lembut kepala ibu dari Nadia kemudian membawa ke dalam pelukannya. "Diam sebentar, aku tau Arkana pasti nggak karuan rasanya, dia mulai menginginkan kamu karena sudah menjaga dan melahirkan anak di dalam kandungan kamu. Ayo duduk di sana," ajak Raka ke kursi taman dengan posisi Risa memunggungi posisi Ar
Rumah mereka mendadak ramai dengan para keponakan Arkana, anak dari kakak-kakaknya. Sebagai bungsu, ia senang jika rumahnya ramai karena putrnya, Deva, bisa bermain. Hari sabtu itu dijadikan hari bebas makan dan bermain di sana. Devinta sudah meminta Bu Sumi dan Risa memasak makanan yang sesuai permintaan anak-anak. Hanya Deva yang tidak diperbolehkan makan sembarangan, ia tetap makan sesuai dengan anjuran dokter gizi. Seperti siang itu, saat semua sepupunya dengan Leon sebagai yang tertua menikmati lasagna bersama tiga sepupu lainnya, Deva hanya menatap iri sambil menikmati brokoli kukus yang diberikan Devinta juga puding almond. Arkana sedang main golf bersama ketiga saudara kandungnya, mereka memang selalu menjadwalkan bertemu walaupun sambil olahraga. Deva berjalan ke arah taman belakang, ia melihat Risa duduk bersama Nadia sambil menikmati kue bolu coklat yang Risa beli di toko kue dekat pasar. Perlahan, Deva meneguk air liurnya. Ia ingin menikmati kue itu, tapi hanya bisa m
"Maaf sayang, belum bisa, ya. Kita belajar sendiri aja, Bunda bisa ajarin kamu semuanya. Jangan nangis, peluk Bunda lagi," pinta Risa saat ia dan Nadia duduk di dekat kolam renang villa. Nadia masih sesenggukan, ia ingin bersekolah. Risa sendiri perasaannya remuk, ia tak bisa memberikan hak anaknya untuk pendidikan yang baik, sekuat tenaga ia pendam semua sendiri.Tahun ajaran baru dimulai, Deva sudah kelas satu SD dan sudah siap ke sekolah. Nadia sedang membantu Risa menyapu halaman, dedaunan kering banyak berguguran, seperti harapannya yang rontok untuk sekolah dan memiliki teman.Senyum Nadia perlahan mereka, walaupun sudut bibirnya bergetar pelan. Ia sedih."Nadia," suara Raka terdengar."Om Raka?"Raka mengangguk, ia berjongkok di depan Nadia dengan membawa tas sekolah gambar barbie juga sepatu sekolah. "Nadia bisa sekolah, Om yang temani, mau?""Mau! Mau, Om! Tapi di mana?" Nadia memeluk tas yang diberikan Raka."Di tempat teman Om, mulai besok, ya. Om bilang ke Bunda dulu. Ayo
Risa juga Nadia merasa gugup saat melangkah di sisi Ratu. Orang sekeliling menatap heran juga kaget dengan siapa yang ada di sebelah wanita karir cantik, sukses di pekerjaan juga rumah tangga. Siapa yang tidak tau Ratu. Mereka tiba di salon mal tersebut. Mal yang sukses dibangun Arkana sebagai pemimpin proyek, ia juga yang mendisain bangunan itu. "Bu Ratu, apa kab--" petugas salon merasa jijik melihat Risa juga Nadia. Namun, Ratu berbisik, mengucapkan kalimat yang membuat wanita tadi tersenyum lebar. "Baik, Bu. Silakan, ikut saya ke sebelah sini," ajaknya. Risa dan Nadia melangkah, kemudian tiba di ruang VIP yang hanya ada dua meja rias, dua ranjang untuk luluran, dua kursi dengan wastafel untuk bilas rambut, televisi layar datar menempel pada dinding, juga lemari berisi camilan. "Sa, saya keluar sebentar, ya." Ratu pamit, lalu Risa dan Nadia mulai mengikuti arahan petugas salon yang tak lama muncul tiga orang lainnya untuk membantu. Risa mulai sadar setelah ia dan Nadia selesai d
Gila! Sungguh gila bagi Arkana, juga Devinta. Masing-masing dari mereka merasakan sengatan tak biasa. Rasa itu muncul, perlahan namun mampu membuat terus terpikir.Risa beranjak, pamit pulang bersama Raka dengan menggunakan taksi. Nadia menyalim kedua tangan tuan dan nyonya Bagas. Pun kepada Ratu juga suaminya. Dua kakak Arkana yang lain belum tau tentang status Nadia. Ratu masih ingin menutupi, ia belum menemukan jalan keluar yang tepat."Terima kasih untuk hari ini, Mbak Ratu," ucap Risa saat Ratu mengantar hingga keluar ruangan."Sama-sama, hubungi aku kalau butuh sesuatu, ya." Kemudian Ratu berbisik di telinga Risa. "Ada hadiah untuk kalian, sudah di rumah, aku mohon, gunakan dengan baik. Peluk untuk keponakanku ya, Risa, aku bahagia, walau Nadia tidak bisa ada bersama kami. Kamu tidak membunuhnya akibat kebejatan adikku." Ratu memundurkan wajah, tersenyum begitu tulus. Risa mengangguk, ia menggandeng tangan Nadia lalu Raka menunduk sopan untuk pamit kepada Ratu dan suaminya.Di d
Sesampainya di rumah, Raka tersenyum sinis menatap Risa yang baru tiba. Raka mengenakan kaos lengan buntung dengan celana pendek warna biru tua sepaha. Raka meminta Risa duduk. "Gimana?" tanyanya. "Ka, apa nggak keterlaluan. Kita jadi kayak merusak rumah tangga mereka?" Risa menatap takut. Raka tersenyum sambil mencubit gemas pipi Risa. "Jangan terlalu polos, Sa. Tanpa mereka sadari, sudah ada yang bermain api sejak lama. Hanya saja, pintar menutupi." Raka duduk menyilang kaki, Risa menghela napas panjang, duduk di sebelah Raka yang merangkul bahunya. "Kamu aku anggap seperti Kakakku, Risa, aku nggak akan jatuh cinta sama kamu, jadi ... kamu nggak perlu takut aku mendadak bersikap seolah aku cinta sama kamu. Ini bagian rencana." Risa menoleh cepat, menatap Raka. "Kamu ... suka sama Devinta?" "Nggak, ya ... nggak tau nantinya, tapi aku mau dia yang begitu. Aku hancurkan Devinta dengan cara yang nggak akan dia lupakan seumur hidup." Raka tersenyum sinis. Benar, di kamarnya, De
Arkana berjalan memasuki rumah sambil melepaskan dua kancing atas kemeja yang dikenakan, tatapannya memindah sekeliling, tak tampak orang-orang. Lalu langkahnya mengarah pada sumber suara yang sayup terdengar telinganya.Langkahnya terhenti saat ia melihat Deva tertawa riang bersama para pekerja di rumahnya, termasuk Risa yang sedang memeluk Deva erat, layaknya ibu mencintai anaknya dengan sepenuh hati, tanpa ada aturan ketat.Deva sendiri nyaman diperlakukan seperti itu, Nadia bahkan ikut memeluk Risa dari belakang, mencium pipi bundanya yang terpejam sambil tertawa. Di dalam dada Arkana ada gemuruh yang muncul, perasaan senang hingga membuat ulu hatinya terasa linu melihat hal itu.Kedua kakinya melangkah lebar, dengan kedua tangan ia masukan ke saku. CEO tampan, gagah, dengan bahu lebar, bibir merah karena bukan perokok, rambut hitam lebat ditambah bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahang, membuatnya begitu sempurna menjadi sasaran empuk para pemburu suami. Iya, Arkana masuk k
Mereka begitu lihai, melanjutkan permainan 'kotor' demi membalaskan dendamnya. Raka tiba di salah satu tempat yang dulu sering dikunjungi mendiang kakaknya bersama Devinta. Jelas, Raka pura-pura tidak tau jika dulu Devinta sering ke sana. Wajah Devinta seketika pias, sedikit terkejut berakhir sendu. Kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri, hawa dingin menusuk karena daerah itu berlokasi di komplek villa mewah tak jauh dari kota. "Kenapa kamu ajak aku ke sini?" Devinta menatap penuh curiga ke Raka yang baru saja menyandarkan tubuh di samping pintu mobil, menghadap ke pemandangan lampu-lampu pemukiman lain yang menerangi langit malam. "Mau ke sini aja, apa kamu nggak bosan, berada di kota?" jawabnya sambil melemparkan pandangan jauh ke depan. "Oh, maaf ... aku lupa panggil kamu dengan embel-embel Nyonya," lanjut Raka. Devinta memalingkan wajah, ia juga memindai sekeliling, hingga kedua matanya berhenti di satu bangunan villa yang dulu pernah dimiliki keluarganya, tapi kini sudah dij