Hamil di Malam Pertama
Bab 2 : Talak
“Vaulin, hamil sama siapa kamu?!” Suara Papa terdengar menggelegar. “Sungguh memalukan tingkahmu ini!”
Aku segera bangkit dan mendekat ke arahnya juga Mas Yuta yang kini menatapku dengan kecewa. Mama menggandeng tanganku, lalu mengajak duduk di sofa ruang tengah, di mana Papa dan suamiku berdiri saat ini.
“Ma, Pa, Mas Yuta, percayalah ... aku tak tahu sama sekali masalah kehamilan ini sebab aku memang belum pernah berhubungan dengan siapa pun. Kuharap kalian percaya!” Aku mengedarkan pandangan kepada dua orang di hadapanku, juga Mama yang kini menggenggam erat tangan ini.
“Bagaimana mungkin kamu tak tahu siapa yang menghamilimu, Vaulin, bikin malu saja!” teriak Papa lantang berserta tamparan keras yang mendarat di wajah ini.
“Papa!” jerit Mama dan Kak Zaki bersamaan, mereka kaget melihat Papa memukulku, sedangkan Mas Yuta, dia tak berekasi sama sekali.
“Saya pamit, selesaikanlah masalah ini dengan kepala yang dingin! Vaulina sudah saya talak, besok langsung saya urus perceraian kami. Sebaiknya nikahkan kembali dia dengan ayah janinnya itu setelah masa iddahnya habis nanti,” ujar Mas Yuta sambil bangkit dari sofa.
Mama dan Papa hanya diam, mereka tak mau menghentikan Mas Yuta yang kini sudah melangkah cepat menuju pintu.
“Mas Yuta, kumohon jangan pergi! Jangan ceraikan aku!” Aku mengejarnya ke depan pintu dan menarik tangannya.
“Maafkan aku, Vaulin!” Dia berusaha melepaskan tangannya dari genggamanku.
“Mas, kumohon! Tak ada pria lain di kehidupanku, cuma kamu saja walau kita LDR berbulan-bulan. Aku korban, Mas, aku pasti diperkosa saat tidur.” Aku berusaha mengiba kepadanya sebab semua yang kukatakan memang nyata adanya.
“Aku tak bisa percaya kepadamu, maaf .... “ Mas Yuta menarik tangannya dengan kasar sehingga membuat tubuhku jatuh ke lantai.
Hidupku hancur sudah, kebahagiaan pernikahan yang kuimpikan pupus sudah.
“Vaulin, kamu nggak apa-apa ‘kan, Dek?” Kak Zaki memapahku untuk bangun.
“Kak, Mas Yuta udah pergi, Kak ... Dia udah menceraikan aku pada malam pertama kami .... “ Kutumpahkan air mata di bahunya.
Kak Zaki mengusap bahuku lalu berbisik, “Kamu harus tenang, masalah ini akan kita selesaikan bersama.”
Mama menghampiri kami dan menggandengku untuk ke hadapan Papa yang saat ini masih terlihat berang sebab Mas Yuta itu putra dari sahabatnya dan mereka sudah menjodohkan kami sejak kecil katanya, walau baru setahun ini dikenalkan sebab Mas Yuta baru saja menyelesaikan studynya sebagai Dokter di luar negeri.
“Duduk kamu, Vaulin! Katakan yang sebenarnya!” hardiknya garang dengan mata yang masih memerah.
“Sungguh, Pa, aku nggak tahu sama sekali akan kehamilan ini. Percayalah kepadaku!” jawabku sambil menangis, hatiku hancur tak bersisa malam ini.
Aku masih berusaha menyakin pria berambut tipis yang sama terpukulnya denganku. Kuharap dia percaya dengan pengakuan ini, dan tak terus mempertanyakan hal yang tak pernah kulakukan dengan siapa pun.
“Pa, sudahlah, jangan marah-marah lagi! Nanti sakit darah tinggi Papa kumat lagi!” Mama berpindah duduk ke samping Papa dengan sambil mengusap pundaknya.
“Aku tak habis pikir dengan anakmu itu, Ma, bagaimana mungkin dia bisa hamil tapi mengaku tak pernah berhubungan dengan pria mana pun?” Papa mengusap dadanya.
“Besok kita pastikan ke dokter kandungan lagi keadaan Vaulin yang sebenarnya, bisa saja Dokter Mayang salah diagnosa,” ujar Mama yang membuatku sedikit lega.
“Sudah dua dokter yang mengatakan Vaulin hamil, Ma, Dokter Yuta dan Dokter Mayang. Apa kamu lupa kalau suami putri kita adalah seorang dokter kandungan? Sangat mudah baginya melihat tanda-tanda kehamilan juga tanda ketakperawanan," ujar papa dengan nada yang masih meninggi.
"Sudah, Pa, kita pending dulu masalah ini!" ujar Ibu lagi.
"Bisa saja Dokter Mayang salah diagnosa, tapi Yuta takkan salah ... dia itu lulusan luar negeri dengan predikat coumlude. Dia mahasiswa terbaik, yang baru lulus saja sudah diangkat jadi Dokter SPOG di Rumah Sakit ternama di Kota ini.” Papa memijat pelipisnya.
“Besok pagi kita bahas lagi masalah ini. Zaki, antar Papamu ke kamar!” perintah Mama kepada Kak Zaki.
Setelah Kak Zaki menggandeng Papa menuju kamar, Mama menghampiriku lalu mengajakku ke lantai atas, di mana kamarku berada. Hanya kamarku saja yang berada di lantai atas, kamar kedua orangtuaku juga Kak Zaki berada di lantai bawah.
“Mama percaya ‘kan kepadaku? Aku nggak pernah berhubungan dengan pria mana pun, seperti tuduhan Mas Yuta juga Papa,” ujarku dengan sambil menyeka air mata yang seolah tak bisa berhenti untuk berjatuhan
“Iya, Mama percaya sama kamu, Sayang. Besok pagi kita akan ke dokter untuk memastikan semuanya. Sekarang kamu tidur, kunci pintunya!” ujar Mama saat kami sudah tiba di depan kamarku.
Aku mengangguk dan memeluk Mama, dia satu-satunya orang yang percaya denganku. Andai Mas Yuta sebijak Mama dan tak gegabah menceraikanku, pasti aku takkan sehancur ini.
“Mama turun dulu, jangan lupa kunci pintunya!” pesan Mama lagi dengan kalimat penuh penekanan.
Aku mengangguk dan langsung menutupi pintu lalu menguncinya. Dengan langkah lunglai, aku menuju tempat tidur, saksi bisu atas tuduhan Mas Yuta kepadaku. Kutatap seprei putih tanpa motif itu yang terlihat acak-acakan namun tak ada percikan darah perawan yang dipercayai sebagian orang sebagai tanda keperawanan seorang wanita. Memang benar jika Mas Yuta melihatnya dari situ, tapi organ bawahku masih terasa sakit hingga detik ini.
Bukankah keperawanan itu tak hanya bisa dilihat dari percikan darah di malam pengantin saja? Sebab aku pernah mendengar ada sebagian perawan yang tak berdarah saat berhubungan untuk pertama kalinya. Lalu bagaimana bisa Mas Yuta mendiagnosaku hamil tanpa melakukan pemeriksaan juga USG walau ia dokter kandungan sekalipun? Semua pertanyaan seakan berputar di kepala ini. Kutatap diri di depan cermin, melihat pantulan bentuk tubuhku yang memang mengalami perubahan berat badan beberapa bulan ini. Kebaya pengantinku saja sampai dibuat ulang karena tak muat, dan kukira semua itu karena aku bertambah gemuk saja.
Dari tanggal HPHT (Hari Pertama Haid Terakhir) yang kusebutkan dengan Dokter Mayang, aku memang sudah tiga bulan ini tak datang bulan. Ya tuhan, takdir hidup macam apa ini? Siapa yang sudah menghamiliku tanpa sepengetahuanku sendiri? Aku kembali luruh ke lantai dan menangis sejadi-jadinya.
Bersambung ....
Hamil di Malam PertamaExtra Part 5 (Kisah Caroline)Setelah berhasil membobol berangkas milik Erlin, Caroline segera memindahkan uang dan perhiasan itu ke dalam tasnya. Senyum mengembang sambil menatap suami dan madunya yang tertidur dengan pulas karena pengaruh obat tidur racikannya, mantan dokter ahli kandungan. Ia tak menyangka kalau madunya itu menyimpan uangnya di rumah dan kodenya berangkas itu tanggal lahir Rendy—suami mereka.Taklama kemudian, Caroline sudah berada di dalam mobil Erlin dan memacunya pelan untuk keluar dari perkarangan rumah bertingkat dua itu. Tak lupa ia tutup kembali pintu pagar, lalu mulai melajukan mobil hitam itu membelah jalanan. Hatinya begitu puas karena sudah berhasil merampok seluruh uang dan perhiasan milik Erlin, madunya yang tajir melintir namun pelit itu.“Selamat tinggal Erlin, Mas Rendy kuberikan kepadamu. Milikilah dia seutuhanya, sedangkan aku akan memiliki uang, perhiasan juga mobilmu,” lirih
Hamil di Malam PertamaExtra Part 4 (Kisah Caroline)Saat Rendy dan Caroline kembali ke meja mereka, ada seorang pria yang duduk di sana, bersama Erlin.“Nah ini dia Caroline, Mas Rohit. Gimana, dia cantik ‘kan? Cocok ‘kan dia kalau kerja sama Mas Rohit?” Erlin menyunggingkan senyum sambil menunjuk ke arah sang madu yang terlihat sedang kesal itu.“Hmm ... sangat cocok. Mana berkas yang saya suruh siapakan kemarin? Saya akan urus pasport juga kelengkapan lainya,” jawab Rohit, yang bekerja sebagai agen TKW untuk dikirim ke Hongkong. Tatapan matanya menatap Caroline dari atas hingga bawah, ia terpesona akan kecantikan wanita blasteran Jerman itu.“Kalian sedang membicarakan apa ini, Er? Siapa dia?” Rendy menatap sang istri dan pria di hadapannya.“Ini berkasnya sudah saya siapkan, Mas Rohit. Semoga prosesnya cepat.” Erlin segera menyerahkan berkas yang ia keluarkan dari dalam ta
Hamil di Malam PertamaExtra Part 3 (Kisah Caroline)Pukul 13.00, Rendy berserta dua istrinya juga anak kembarnya sudah berangkat menuju restoran. Ternyata Erlin mau merayakan ulang tahun pernikahan mereka sekalian bertemu agency yang menangani tentang TKW yang akan dikirim ke Hongkong dan Rendy tak mengetahui tentang hal itu, dia tahunya mereka akan makan siang bersama hanya untuk merayakan anniversary mereka saja.“Mbak Car, tolongin antar Mona dan Moni ke toilet dong!” perintah Erlin kepada Caroline yang saat itu baru saja hendak menikmati makanan di hadapannya.Caroline meletakkan kembali sendok makanannya lalu menuruti perintah madunya itu, digandengnya dua anak kembar Erlin dan suaminya yang kini berusia 4 tahun itu. Ia menyayangi Mona dan Moni walau membenci mamanya, sebab ia ikut andil dalam merawatnya sejak baru dilahirkan.Taklama kemudian, Caroline sudah menggandeng kedua anak kembar suaminya itu keluar dari toilet. Ia lantas
Hamil di Malam PertamaExtra Part 2 (Kisah Caroline)“Mas, aku nggak minta kamu kerja, aku cuma mau kamu menceraikan Caroline!” pekik Erlin kesal.“Aku tak mau menceraikan siapa pun, aku takkan mau melakukan hal yang dibenci Allah itu. Maafkan aku, Er .... “ Rendy pura-pura sedih sambil duduk di pinggir tempat tidur.“Mas, aku nggak sanggup lagi ... kalau harus terus begini, aku nggak sanggup harus berbagi suami begini. Hatiku sakit, Mas.” Erlin tak dapat lagi menahan tangisnya.Rendy mendekati istri keduanya itu, yang wajahnya tak secantik Caroline. Erlin hanya memiliki tinggi 150 cm saja, sedangkan Caroline 168 cm. Warna kulit keduanya pun jauh berbeda, Caroline berkulit putih, sedangkan Erlin sawo matang. Itu juga alasan Rendy tetap mempertahankan Caroline, ia menikahi Erlin si janda kaya raya itu hanya demi kesejahteraan hidupnya karena Erlin mempuny
Hamil di Malam PertamaExtra Part 1 (Kisah Caroline)Caroline menyeka keringat di dahinya setelah selesai membersikan rumah yang akan mereka kontrakan, yang letaknya berada tepat di sebelah rumah madunya yang kini juga menjadi tempat tinggalnya. Ia tak punya pilihan lain, selain harus menuruti keinginan suaminya yang ingin berpoligami agar mereka bisa tetap hidup. Semua ia lakukan karena rasa cinta yang teramat sangat, yang membuatnya rela diperlakukan seperti pembantu sejak beberapa tahun terakhir ini.“Car, aku lapar.” Pria pengangguran tapi memiliki dua istri itu menghampiri Caroline lalu duduk di depan meja makan.“Hmm ... Mas ... maaf ... aku belum sempat masak,” jawab Caroline.“Ah ... kamu ini, kok belum masak sih?” Rendy—sang suami terlihat berang karena sudah menjadi kebiasaannya setelah bangun tidur, makanan harus sudah terhidang di atas meja.“Aku baru selesai bersihin rumah sebelah,
Hamil di Malam PertamaBab 84 (Tamat)Dengan percaya diri, Willy langsung membeli sebuah cincin dan buket bunga untuk ia berikan kepada Margareta, Mama dari Cris, anak laki-laki yang ia sayangi itu dan ingin menjadi sosok ayah yang baik untuknya. Ia tak peduli akan umur mereka yang terpaut hampir sepuluh tahun itu, yang ia inginkan hanya menyempurnakan agamanya. Ia berharap ridho dan keberkahan dari Yang Maha Kuasa, ia ingin menjadi pelindung untuk keduanya apalagi Cris pernah berkata kepadanya, kalau ia ingin punya ayah meski mamanya sudah baik, namun tetap saja ia menginginkan keluarga yang lengkap.“Mar, maaf ... jika saya lancang tapi ... saya tetap harus mengatakan semua ini, agar kamu tahu kesungguhan ini. Saya ... ingin melamarmu jadi istri, saya ingin menjadi ayah untuk Cris, putramu. Saya ... ingin ... kita bisa