Hamil di Malam Pertama
Part 3 : Hasil USG
Percuma memejamkan mata dengan kondisi kalut begini, sedetik pun aku tak bisa terlelap. Setelah letih menangis, netra ini malah tak luput dari jam di dinding, tak sabar menanti datangnya pagi untuk membuktikan tuduhan hamil dari dua dokter itu.
Ketika jarum jam sudah mengarah ke angka 06.00, aku bergegas bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Saat aku buang air kecil, organ pembuangan terasa sangat nyeri. Apakah ini bukan tanda keperawanan? Aku kembali teringat akan tuduhan Mas Yuta, tega sekali dia mencampakkan aku seperti ini, air mata langsung terjun dengan bebasnya.Kupejamkan mata ini saat berendam di bak mandi, berusaha menghangatkan tubuh yang semalaman membeku dan bermandikan air mata. Kisah ini terlalu pilu untuk kulewati, andai aku memang benaran sedang hamil. Agghh ... aku tak ingin membayangkan kejadia terburuk itu.
***
“Zaki, apa yang kamu lakukan terhadap Vaulin? Aku curiga semua ini ulahmu!”
“Maksud Mama apa?”
"Jangan pura-pura bego kamu?"
"Aku sama sekali tak mengerti maksud Mama."
Saat aku hendak melangkah menuju dapur, terdengar percakapan antara Mama dan Kak Zaki. Apa yang sedang mereka bicarakan? Mama tak menuduh Kak Zaki yang menghamiliku 'kan? Itu tak mungkin.
Kak Zaki adalah pahlawanku, seorang Kakak yang selalu bisa diandalkan. Saat itu umurku enam tahun ketika Papa pulang dengan membawa Kak Zaki, kata Papa Kak Zaki itu anak temannya yang ditinggal kedua orangtuanya meninggal karena kecelakaan dan tak mempunyai sanak family. Mama memang tak pernah menyukai Kak Zaki sejak dulu, entah apa permasalahannya.
“Ma!” sapaku pada wanita berkaca mata dengan potongan rambut bob itu.
“Hay, Sayang, ayo sarapan dulu! Setelah itu baru kita ke rumah sakit,” sambut Mama.
Aku langsung duduk di samping Mama, sedangkan Kak Zaki langsung beranjak dari kursinya dengan wajah yang muram. Ia berpapasan dengan Papa yang baru tiba di ruang makan lalu bergabung dengan kami.
Pagi ini, kami sarapan dengan suasana yang hening. Tak ada celoteh riangku lagi, bercandaan Papa juga omelan Mama. Masalah yang Sedang kami hadapi ini sungguh berat, walau tetap aku yang paling akan menderita. Aku hanya memakan sepotong roti tanpa selai sebab selera makanku benar-benar tak ada sekali.
Beberapa saat kemudian.
“Ayo, kita langsung berangkat sekarang, Vau!” Mama menggandengku masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil pun suasana tetap hening, walau kami berangkat berempat. Kak Zaki yang mengemudi, sedangkan Papa duduk di sebelahnya.
Tiga puluh menit kemudian, kami sudah tiba di sebuah rumah sakit bersalin. Jantungku mulai berdebar tak karuan, jemari tangan ini pun mendadak menjadi dingin.
“Ibu Vaulina, silakan masuk!” Seorang perawat memanggil namaku untuk masuk ke dalam ruangan Dokter.
Mama beranjak dari duduknya lalu menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam. Papa pun mengekor di belakang kami, kukira dia takkan ikutan masuk.
Karena tadi bidan jaga sudah mencatat permasalahan yang sedang kuhadapi, maka Dokter langsung mengarahkanku untuk berbaring di tempat tidur periksa guna melakukan pemeriksaan dengan USG.Sang perawat mulai mengoleskan gel ke perutku, Sang Dokter dengan masker yang menutupi wajahnya itu bersiap menekankan alat transduser kehamilan di perutku. Kulihat Mama dan Papa sudah tak sabar dengan mempelototi layar monitor di sampingku.
“Bagaimana, Dokter? Apa putri saya benaran hamil?” tanya Papa dengan nada tak sabar.
“Hmm ... iya, Putri Bapak memang sedang mengandung. Janinnya berusia 12 minggu, janin sehat,“ jelas Sang Dokter yang membuat tangisku kembali pecah.
“Ini tidak mungkin!!!” jeritku histeris dengan menepis tangan sang dokter dari perutku lalu membenarkan pakaianku yang terbuka dan ditutupi selimut.
“Vaulin, jangan begini!” Mama berusaha menenangkanku. “Ini di rumah sakit, jangan membuat kegaduhan di sini!” sambungnya dengan wajah merah padam, menahan malu karena amukanku.
Papa langsung keluar dari ruangan dokter dan meninggalkan kami.
“Mohon maaf, Dokter, atas kelakuan putri saya. Terima kasih, kami pamit.” Mama tersenyum tak nyaman lalu menarik tanganku keluar dari ruangan Dokter.
Aku berusaha melepaskan cengkraman tangan Mama di pergelangan tangan ini, tapi tak bisa, tenaga Mama lebih kuat dariku. Aku ingin lari dan menjatuhkan diri ini ke jurang saja, biar aku tak lagi merasakan kenyataan yang teramat pahit ini.
“Lepasin, Vaulin, Ma!” Aku masih berusaha melepaskan tangan Mama dari pergelanganku.
“Kamu tak boleh ke mana-mana, masalah ini akan kita selesaikan di rumah sebab Mama tahu duduk permasalahan dan cara penyelesaiannya,” bisik Mama.
Mama mendorongku masuk ke dalam mobil, di mana Papa dan Kak Zaki berada. Saudara angkatku itu mulai memacu mobil menuju arah pulang.
“Aku tak mau hamil!!!” teriakku dengan sambil memukuli perut, dengan sambil menangis.
“Coba ingat-ingat lagi, barangkali kamu pernah melakukan hal ini tak sengaja, Vaulin!” ujar Mama dengan sambil memegangi kepalanya, ia tak setenang tadi malam lagi.
Papa tak berkomentar sekarang, ia hanya menatap tajam ke arahku dengan kedua tangan ia lipat di dada. Sedang Kak Zaki, ia terlihat sedih juga atas musibah yang telah menimpaku. Matanya sesekali mengarah ke kaca spion dan menatapku pilu.
“Nggak ada, Ma, aku tak pernah berzinah dengan siapa pun!!” pekikku lagi, dikira hanya mereka yang terpukul, aku lebih lagi.
Mama tak berbicara lagi, hanya isak tangisku saja yang terdengar di mobil ini.
***
Kami sudah tiba di rumah dan langsung duduk di ruang tengah. Papa dan Mama pastinya akan kembali mengintrogasi hal yang tak pernah kulakukan ini.
“Aku tak pernah melakukan hubungan badan dengan siapa pun secara sadar, bisa jadi ada yang melakukannya saat aku sedang tak sadar ... kalian pikir hanya kalian yang terpukul, aku lebih lagi!!!” Aku berdiri di hadapan Mama dan Papa dengan sambil wajah yang tak kuketahui rupanya, yang pastinya banjir air mata.
“Nikahkah anak angkatmu itu dengan Vaulin, Pa, sebab aku sangat yakin kalau kehamilan putri kita adalah ulah anak tah tahu diri ini!” Mama menunjuk Kak Zaki yang kini terlihat begitu terkejut atas tuduhan yang aku pun takkan percaya.
“Jangan ngelantur kamu, Ma, tak mungkin Zaki melakukan itu kepada Vaulin!” Papa bangkit dari kursi dan menatap berang Mama.
“Kenapa kamu tak berani menikahkan Zaki dan Vaulin, Pa? Mereka hanya saudara angkat dan tak sedarah!” Mama menatap Papa, sedangkan aku serasa membeku atas situasi ini.
Papa terlihat mengepalkan tangan dengan wajah yang merah padam, ia sangat marah saat ini atas perkataan Mama.
“Apa benar dugaanku ... kalau Zaki itu anak hasil selingkuhmu yang kamu bawa pulang ke rumah dengan berdalih anak sahabatmu yang kedua orangtuanya telah meninggal saat kecelakaan. Jujur saja, Malik! Makanya kamu tak berani menikahkan Vaulin dan Zaki, walau kehamilan putri kita memang perbuatan Zaki!” Mama menatap Papa dengan berapi-api, ia juga sudah menyebut nama asli papa.
Aku memegangi kepala, masalah ini semakin merembet saja, bukannya menemui penyelesaian tapi masalah lain malah berdatangan.
Bersambung .....
Hamil di Malam PertamaExtra Part 5 (Kisah Caroline)Setelah berhasil membobol berangkas milik Erlin, Caroline segera memindahkan uang dan perhiasan itu ke dalam tasnya. Senyum mengembang sambil menatap suami dan madunya yang tertidur dengan pulas karena pengaruh obat tidur racikannya, mantan dokter ahli kandungan. Ia tak menyangka kalau madunya itu menyimpan uangnya di rumah dan kodenya berangkas itu tanggal lahir Rendy—suami mereka.Taklama kemudian, Caroline sudah berada di dalam mobil Erlin dan memacunya pelan untuk keluar dari perkarangan rumah bertingkat dua itu. Tak lupa ia tutup kembali pintu pagar, lalu mulai melajukan mobil hitam itu membelah jalanan. Hatinya begitu puas karena sudah berhasil merampok seluruh uang dan perhiasan milik Erlin, madunya yang tajir melintir namun pelit itu.“Selamat tinggal Erlin, Mas Rendy kuberikan kepadamu. Milikilah dia seutuhanya, sedangkan aku akan memiliki uang, perhiasan juga mobilmu,” lirih
Hamil di Malam PertamaExtra Part 4 (Kisah Caroline)Saat Rendy dan Caroline kembali ke meja mereka, ada seorang pria yang duduk di sana, bersama Erlin.“Nah ini dia Caroline, Mas Rohit. Gimana, dia cantik ‘kan? Cocok ‘kan dia kalau kerja sama Mas Rohit?” Erlin menyunggingkan senyum sambil menunjuk ke arah sang madu yang terlihat sedang kesal itu.“Hmm ... sangat cocok. Mana berkas yang saya suruh siapakan kemarin? Saya akan urus pasport juga kelengkapan lainya,” jawab Rohit, yang bekerja sebagai agen TKW untuk dikirim ke Hongkong. Tatapan matanya menatap Caroline dari atas hingga bawah, ia terpesona akan kecantikan wanita blasteran Jerman itu.“Kalian sedang membicarakan apa ini, Er? Siapa dia?” Rendy menatap sang istri dan pria di hadapannya.“Ini berkasnya sudah saya siapkan, Mas Rohit. Semoga prosesnya cepat.” Erlin segera menyerahkan berkas yang ia keluarkan dari dalam ta
Hamil di Malam PertamaExtra Part 3 (Kisah Caroline)Pukul 13.00, Rendy berserta dua istrinya juga anak kembarnya sudah berangkat menuju restoran. Ternyata Erlin mau merayakan ulang tahun pernikahan mereka sekalian bertemu agency yang menangani tentang TKW yang akan dikirim ke Hongkong dan Rendy tak mengetahui tentang hal itu, dia tahunya mereka akan makan siang bersama hanya untuk merayakan anniversary mereka saja.“Mbak Car, tolongin antar Mona dan Moni ke toilet dong!” perintah Erlin kepada Caroline yang saat itu baru saja hendak menikmati makanan di hadapannya.Caroline meletakkan kembali sendok makanannya lalu menuruti perintah madunya itu, digandengnya dua anak kembar Erlin dan suaminya yang kini berusia 4 tahun itu. Ia menyayangi Mona dan Moni walau membenci mamanya, sebab ia ikut andil dalam merawatnya sejak baru dilahirkan.Taklama kemudian, Caroline sudah menggandeng kedua anak kembar suaminya itu keluar dari toilet. Ia lantas
Hamil di Malam PertamaExtra Part 2 (Kisah Caroline)“Mas, aku nggak minta kamu kerja, aku cuma mau kamu menceraikan Caroline!” pekik Erlin kesal.“Aku tak mau menceraikan siapa pun, aku takkan mau melakukan hal yang dibenci Allah itu. Maafkan aku, Er .... “ Rendy pura-pura sedih sambil duduk di pinggir tempat tidur.“Mas, aku nggak sanggup lagi ... kalau harus terus begini, aku nggak sanggup harus berbagi suami begini. Hatiku sakit, Mas.” Erlin tak dapat lagi menahan tangisnya.Rendy mendekati istri keduanya itu, yang wajahnya tak secantik Caroline. Erlin hanya memiliki tinggi 150 cm saja, sedangkan Caroline 168 cm. Warna kulit keduanya pun jauh berbeda, Caroline berkulit putih, sedangkan Erlin sawo matang. Itu juga alasan Rendy tetap mempertahankan Caroline, ia menikahi Erlin si janda kaya raya itu hanya demi kesejahteraan hidupnya karena Erlin mempuny
Hamil di Malam PertamaExtra Part 1 (Kisah Caroline)Caroline menyeka keringat di dahinya setelah selesai membersikan rumah yang akan mereka kontrakan, yang letaknya berada tepat di sebelah rumah madunya yang kini juga menjadi tempat tinggalnya. Ia tak punya pilihan lain, selain harus menuruti keinginan suaminya yang ingin berpoligami agar mereka bisa tetap hidup. Semua ia lakukan karena rasa cinta yang teramat sangat, yang membuatnya rela diperlakukan seperti pembantu sejak beberapa tahun terakhir ini.“Car, aku lapar.” Pria pengangguran tapi memiliki dua istri itu menghampiri Caroline lalu duduk di depan meja makan.“Hmm ... Mas ... maaf ... aku belum sempat masak,” jawab Caroline.“Ah ... kamu ini, kok belum masak sih?” Rendy—sang suami terlihat berang karena sudah menjadi kebiasaannya setelah bangun tidur, makanan harus sudah terhidang di atas meja.“Aku baru selesai bersihin rumah sebelah,
Hamil di Malam PertamaBab 84 (Tamat)Dengan percaya diri, Willy langsung membeli sebuah cincin dan buket bunga untuk ia berikan kepada Margareta, Mama dari Cris, anak laki-laki yang ia sayangi itu dan ingin menjadi sosok ayah yang baik untuknya. Ia tak peduli akan umur mereka yang terpaut hampir sepuluh tahun itu, yang ia inginkan hanya menyempurnakan agamanya. Ia berharap ridho dan keberkahan dari Yang Maha Kuasa, ia ingin menjadi pelindung untuk keduanya apalagi Cris pernah berkata kepadanya, kalau ia ingin punya ayah meski mamanya sudah baik, namun tetap saja ia menginginkan keluarga yang lengkap.“Mar, maaf ... jika saya lancang tapi ... saya tetap harus mengatakan semua ini, agar kamu tahu kesungguhan ini. Saya ... ingin melamarmu jadi istri, saya ingin menjadi ayah untuk Cris, putramu. Saya ... ingin ... kita bisa