Hancur Karena Notifikasi M-banking
Part 6(Pov Bayu)
***
Kulirik saldo terakhir yang tertera di layar mesin ATM, Rp. 78.000.000,00. Ah ... Tabunganku makin hari kian menipis. Apalagi semenjak Linda sering minta transferan padaku. Aku selalu tak tega jika ia meminta tolong padaku masalah uang untuk Rio.
Sungguh, bayi mungil itu membuatku candu hingga berapapun yang Linda minta pasti aku turuti. Tentunya tanpa sepengetahuan Nurma, istriku. Hanya saja seminggu yang lalu salah satu bukti transferanku Nurma melihatnya, dan itu menjadi awal dari semua perselisihan di dalam rumah tanggaku.
Aku melangkah keluar swalayan Indom*rt gontai, kebetulan di sini ada mesin ATM jadi aku sekalian mampir beli minuman dingin sebelum masuk ke apotek untuk membelikan obat pereda nyeri untuk Nurma. Kasihan dia, setiap bulan harus menahan sakit tiap kali tamunya datang.
"Mbak, beli obat pereda nyeri ha*d, ya," ucapku pada pelayan apotek.
Ia pun mengangguk dan melangkah mengambilkan pesananku. Sedang aku berdiri di depan apotek menunggu pesanan yang akan meredakan nyeri istriku.
Ah, lebih baik aku mengabari Linda kalau uangnya sudah kutransfer. Semoga saja ia bisa segera membelikan kebutuhan Rio. Kasihan dia, gaji Arfan besar tapi kata Linda ia hanya dapat jatah kecil. Lebih baik besok-besok aku nasehatin Arfan supaya nggak pelit ke istrinya.
Kurogoh saku celana untuk mengambil benda pipih yang tadi kusimpan di saku bagian kanan. Tapi tak kutemukan keberadaan benda tersebut, kucari di setiap saku pun tak kutemukan. Hingga akhirnya aku masuk ke dalam mobil dan memeriksa setiap sudutnya juga tak kutemukan.
"Matilah aku, kalau sampai ponselku tertinggal dan dibuka oleh Nurma," gumamku sendiri sembari menginjak pedal gas kuat. Tak lupa bungkusan obat Nurma kuletakkan di kursi sampingku.
Degup jantungku tak beraturan, membayangkan reaksi Nurma kalau sampai ia melihat notifikasi di ponselku bahwa aku baru saja mengirimkan uang lagi untuk Linda. Bisa-bisa ia akan marah lagi. Sungguh, aku sudah lelah bertengkar terus dengannya.
"Dek ... Dek, kamu di mana?" teriakku lantang ketika sampai di dalam rumah.
Kubiarkan pintu gerbang terbuka dengan mobil yang belum terparkir dengan benar. Biarlah, nanti pasti akan dibereskan oleh Pak Abdul.
Beberapa kali teriakanku tak dijawab oleh Nurma, hingga saatnya aku masuk ke dalam kamar. Melihatnya tidur tengkurap dengan memegangi perutnya. Mungkin ia tak tahan dengan rasa sakitnya hingga ketiduran.
"Kasihan kamu, Dek. Lama nungguin aku beli obat sampai ketiduran," gumamku lirih dengan mengusap lembut rambutnya.
Dahiku mengernyit, pipinya basah seperti orang yang habis menangis. Mungkinkah ia sebegitu sakitnya hingga tak kuat dan akhirnya menangis? Ah, sungguh malang nasibmu, Sayang. Setiap bulan harus merasakan sakit itu.
Setelah kuselimuti tubuhnya, aku lantas bergegas mencari ponselku yang mungkin saja ketinggalan di rumah. Kucari di setiap sudut yang sekiranya sering kukunjungi.
"Itu dia ...." teriakku girang ketika melihat benda pipih canggihku tergeletak di atas sofa depan televisi.
Segera kuusap layarnya ke atas, lalu membuka aplikasi hijau dan beralih pada kontak beratas namakan Mamah Rio. Aku menghela nafas lega, tak ada tanda-tanda mencurigakan. Itu artinya Nurma tidak tahu perihal transferanku pada Linda.
Kuketik pesan singkat pada Linda, bahwa uang yang ia minta sudah kutransfer. Tak lupa aku menitipkan salam untuk Rio kesayanganku.
***
"Bagaimana, Dek. Sudah baikan?" tanyaku ketika Nurma bangun tidur.
Aku yang masih rebahan di sampingnya melihat gurat kesedihan dalam wajahnya. Ia juga terlihat tak seceria biasanya. Mungkin efek hormon yang sedang tak baik, biasanya wanita yang sedang kedatangan tamu memang suasana hatinya sering berubah-ubah.
"Kok nggak jawab, sih." Aku menarik tangannya ketika hendak bangun meninggalkanku yang masiu ada di atas ranjang.
"Apa? Mau apa lagi?"
Degh.
Ketus sekali. Nurma kenapa? Bukannya seminggu ini sikapnya sudah baik kepadaku? Kenapa sekarang berubah lagi?
"Sakitnya sudah mendingan?" tanyaku lagi dengan lembut.
"Menurutmu?" jawabnya ketus, membuatku semakin bingung dengan sikapnya yang bisa berubah sewaktu-waktu.
Aku pun lantas bersiap-siap hendak berangkat bekerja, begitu juga dengan Nurma. Sepagian ini kami sama sekali tak bertegur sapa. Bahkan ia memilih naik taksi online daripada berangkat bareng denganku.
Seharian ini pikiranku tak menentu, memikirkan diamnya Nurma pagi tadi. Ternyata, didiamkan oleh istri itu rasanya sungguh tak enak. Tapi aku bingung, sebenarnya aku salah apa? Sampai Nurma mendiamkanku seperti ini.
"Hallo, Mas. Kamu lagi di mana?" tanya Linda lewat panggilan telepon ketika aku baru saja selesai rapat sore ini.
"Masih di restoran, kenapa?"
"Rio demam, antar aku ke klinik, ya,"
"Memangnya Arfan kemana?"
"Mas Arfan pergi, Mas. Ada rapat sampai nanti malem. Katanya ada hal penting menyangkut perusahaannya," ucap Linda panik.
Kudengar samar tangisan nyaring Rio diseberang sana membuat hatiku miris. Kasihan sekali bayi itu kalau sampai tidak cepat dibawa ke rumah sakit.
"Yaudah kamu siap-siap, aku ke sana sekarang," kataku lalu mematikan sambungan teleponku.
Selang setengah jam aku telah sampai di rumah Linda. Kulihat suasananya masih sepi, berarti benar kalau Arfan belum pulang.
Memang kuakui, aku begitu perhatian dengan Linda, apalagi sejak Rio lahir. Ia membuatku begitu candu. Tawa Rio, tangisan Rio, semuanya membuatku candu dan ingin memberikan yang terbaik untuknya. Apalagi ia adalah cucu pertama di keluarga Pradipta. Membuatku ingin selalu memberikan yang terbaik untuk Rio.
Jujur, hatiku sedikit sakit ketika harus berkejaran agar Nurma tak tahu setiap kali aku memberikan sejumlah uang untuk Linda. Itu semua kulakukan tak lain karena aku dan Linda sebenarnya .... Ah, tidak perlu aku jelaskan. Aku tak ingin membuka luka lama ini. Dia adalah salah satu orang yang bisa membuat hidupku lebih berwarna semenjak kehadiran Rio di dunia ini, juga sebuah rasa bersalahku padanya atas kejadian yang pernah aku lakukan di hidupnya. Aku bukan orang baik, tapi aku sedang berusaha menebus kesalahan yang sudah kubuat dulu.
"Assalamualaikum, Linda," ucapku ketika sampai di depan pintu rumahnya.
Sampai salamku yang ketiga tak ada jawaban darinya, hingga akhirnya Linda membuka pintu tepat saat aku hendak mengucapkan salam yang keempat kalinya.
Linda membuka pintu dengan baju yang sangat terbuka, kaos oblong dengan belahan dada rendah juga celana leging ketat melekat di tubuhnya. Ia terlihat panik dengan menggendong Rio.
"Mas, cepet. Ayo kita ke klinik," cecarnya tak sabaran.
"Tadi Mbak Mira ke sini," lanjutnya ketika kami hendak melangkah.
Tubuhku membeku, Mira? Dia sudah sembuh? Bukankah setahuku dia ada di Rumah Sakit Jiwa?
"Ah, sudahlah. Tidak perlu dibahas dulu. Ayo kita berangkat," kata Linda kemudian memecahkan konsentrasiku.
Sebenarnya aku ragu, benarkah ia akan pergi keluar rumah dengan pakaian seperti ini? Tapi tak ada pilihan lain, Rio lebih penting dari apapun.
Kubuka pintu mobil agar ia dan Rio bisa masuk terlebih dahulu, tapi sebuah teriakan membuat langkahku terhenti begitu saja.
"Linda!"
Kami serentak menoleh ke arah sumber suara dan membuatku terpaku. Arfan datang, dengan muka merah. Kedua tangannya pun juga mengepal kuat.
"Mau kemana kamu?"
"Rio demam. Kata Linda kamu sedang rapat, jadi nggak bisa antar dia. Tadi dia telepon aku, minta diantarkan ke rumah sakit," ucapku memberi penjelasan, aku tak ingin adikku ini salah faham denganku.
"Kamu bohong? Siapa yang rapat? Bahkan aku sama sekali tak tahu kalau Rio sakit. Keluar, masuk ke dalam mobilku."
Aku tertegun dengan reaksi Arfan, kenapa dia bisa semarah itu? Padahal apa yang aku lakukan juga demi anaknya. Apalagi saat ia menarik Linda keluar dari mobilku, hatiku sedikit tak terima melihat Arfan memperlakukan istrinya seperti itu.
Janda Terhormat (39)Extra Part.."Pakeettt ...."Kutajamkan indera pendengaranku. Sepertinya ada seorang kurir yang mengantarkan paket di depan sana.Aku lantas berdiri dan membukakan pintu depan. Rupanya Pak Amin, satpam di rumahku hendak membawakan paket itu ke dalam rumah."Maaf, Bu. Ada paket," katanya.Aku tersenyum, lalu mengambil bungkusan itu dari tangannya. "Terimakasih, Pak," kataku lalu kembali masuk ke dalam rumah dan hendak membuka paket itu.Aku sedikit heran, karena setahuku aku sama sekali tidak mempunyai paket atau barang yang kubeli melalui online. Shima masih sekolah hari ini, jadi aku hanya di rumah sendirian.Kubuka perlahan paket yang tak kutahu dari siapa itu. Ukurannya besar, tapi tak terlalu berat. Sebetulnya aku sedikit khawatir, takut jika ternyata ini adalah sesuatu yang membahayakanku ataupun keluargaku karena memang paket ini ditujukan untukku, tertera nama dan nomor ponselku. Besar kemungkinan, orang yang mengirimkan paket ini adalah orang yang tela
Janda Terhormat (38).."Kenalkan, ini Adis, calon istriku," ucap Deva membuatku dan Adit terkejut.Secepat itu dia mendapatkan calon istri?Wanita itu mengulurkan tangannya padaku, lalu kusambut dengan senyuman lebar. Tak masalah bagiku Deva telah mendapatkan penggantiku, toh memang ini yang aku inginkan."Nurma ...." Dia tersenyum, manis sekali."Dia anak dari guru ngajiku, ayahnya memintaku untuk menikahinya. Jadi kuputuskan untuk menikah dua minggu lagi. Dan aku harap, kalian jadi anggota yang turut serta mengurus semua acaraku nanti, ya," tutur Deva menerangkan, bahwa ternyata wanita itu adalah anak dari seorang guru tempatnya belajar soal agama. Mungkin bisa jadi dia dan Adis bertaaruf, itulah sebabnya mereka langsung akan menikah."Tentu, kami akan menjadi orang pertama yang akan mengurus acara pernikahan kalian. Tenanf saja," terang Adit dengan gembira.Aku lantas menganggukkan kepala, setuju dengan kata-kata Adit bahwa kami akan membantu semua acara pernikahannya. Aku senang,
Janda Terhormat (37)...Hari ini kami bertiga berencana pergi ke kebun binatang. Tak lain, itu semua untuk menyenangkan hati anak perempuan kami, Shima. Sedari pagi dia sudah sangat antusias dengan liburan kami kali ini.Sudah seminggu ini aku resmi tinggal di rumah Adit, menemani tumbuh kembang Shima sembari belajar menjadi istri yang baik dari sebelumnya. Jika kemarin aku gagal dalam pernikahan, tapi kali ini aku tidak boleh gagal lagi. Sebisa mungkin pernikahan ini harus menjadi yang terakhir di hidupku."Bundaaa ... Ayo berangkat," teriak Shima dari ruang tamu ketika aku tengah menyiapkan bekal.Ya, sejak aku resmi menjadi ibunya dia memanggilku dengan sebutan bunda. Bukan aku yang meminta, melainkan dia sendiri yang memanggilku seperti itu.Tak masalah, toh semua panggilan itu tetap bagus, terlebih jika ditujukan kepada orang tersayang. Adit pun juga setuju ketika Shima ingin memanggilku dengan sebutan bunda."Iya, sebentar, Sayang. Panggil papamu, sudah siap belum," jawabku dar
Janda Terhormat (36)..Tiga bulan kemudian ...."Bagaimana para saksi? Sah?" ucap penghulu menggema di ruangan yang telah di dekor dengan nuansa warna pastel ini.Dadaku bergemuruh, ketika kutunggu jawaban dari para saksi yang duduk di samping penghulu. Kulihat butiran bening sebesar jagung juga memenuhi dahi Adit yang tengah duduk di sampingku dengan berjabat tangan dengan penghulu.Ya, hari ini adalah hari pernikahanku dan ayah mewakilkan kepada penghulu karena tak kuasa menikahkanku sendiri. Seketika tubuhku terasa ringan ketika para saksi mengatakan kata 'SAH' secara serempak. Adit mengulurkan tangannya, lalu kusambut dengan menciumnya penuh takzim. Hatiku sejuk, ketika bibirku menyentuh punggung tangan Adit yang kini telah menjadi suamiku.Akhirnya, kesendirianku selama ini terbayar sudah dengan acara hari ini. Kekosongan dalam hatiku beberapa tahun ini telah terisi dengan hadirnya sosok Adit di sampingku saat ini.Adit lantas mengambil kotak cincin, lalu memasangkannya di jari
Janda Terhormat (35).."Hallo, Tante ...." sapa Shima begitu sampai di rumahku.Aku sengaja menunggunya di teras, selain tak ada pekerjaan juga karena memang aku sangat senang begitu Shima akan kemari. Meskipun dia tidak ada ikatan darah denganku, tapi rasa sayangku melebihi apapun padanya. Mungkin jika aku memiliki seorang anak, rasaku akan seperti ini juga."Hallo, Sayang," sapaku dengan mencium pipinya singkat.Adit berdiri di belakang Shima, lalu mengelus singkat puncak kepala anaknya itu. Tak kusangka, sebentar lagi Shima akan menjadi anakku. Semoga saja aku bisa menjadi seorang ibu yang baik untuknya."Kamu nggak sibuk, Nur?" tanya Adit begitu Shima telah melepaskan pelukannya dari tubuhku.Aku menggeleng singkat lalu menatapnya, "enggak, emangnya kenapa?""Kalau kamu sibuk, Shima nggak aku tinggalin."Mendengar penuturannya aku lantas mencebik. "Enggak lah. Kalau aku sibuk mana mungkin sekarang santai-santai di sini," jawabku dengan sedikit cemberut."Ya siapa tahu kamu sedang
Janda Terhormat (34).."Bagas gimana, Nur?" tanya Adit ketika aku telah berada di dalam mobilnya.Aku yang semula masih melamun lantas menoleh kearahnya. "Em ... Dia udah mendingan. Semoga saja dalam waktu dekat ini kondisinya semakin membaik."Kuhela nafas panjang, "sedih rasanya melihat ada orang yang sampai sedepresi itu hanya karena kegagalan cinta."Adit justru terkekeh, "untung aja kamu dulu enggak, ya?""Maksud kamu?""Ya, untung aja kamu nggak depresi setelah kegagalam cintamu yang berkali-kali itu. Kamu kan bucin parah sama suamimu dulu," ucapnya meledek.Aku hanya mencebik, lalu mengalihkan pandangan ke luar jendela lagi. Memang benar kata Adit, dulu aku terlalu cinta dengan mantan suamiku. Hingga rasanya duniaku telah tertutup dengan semua sikap manisnya yang palsu.Tak hanya sekali, aku seakan terombang-ambing dalam dunia percintaan tak hanya sekali. Dengan Deva sekalipun. Saat itu hatiku sempat patah, rapuh dan seakan tak ingin membuka hati lagi sampai pada akhirnya soso
Janda Terhormat (33)..Aku masih berdiri dengan seluruh tubuhku bergetar. Ya, sejujurnya saja aku juga takut kalau Bagas beralih menyerangku. Hanya saja aku tak punya pilihan lain ketika Della pun sedang ada di posisi sulit.Kuhembuskan nafasku panjang, berusaha menenangkan diriku untuk berusaha mendekati Bagas. Sebenarnya dia tidak jahat, hanya saja saat ini pikirannya sedang terguncang. Jadi wajar jika dia bersikap demikian."Bagas, tolong lepaskan pecahan vas itu dari tanganmu," kataku lembut.Entah kenapa Bagas bisa kambuh seperti ini. Aku belum sempat mencari tahu penyebabnya, yang penting sekarang adalah aku menyelamatkan Della terlebih dahulu.Bagas masih terdiam, memandangku tanpa menurunkan vas bunga dari hadapan Della. Aku maju selangkah demi selangkah mendekatinya.Meskipun Della memberi isyarat agar aku tak mendekat, tapi rasa kemanusiaanku tetap berjalan di depan. Terlebih, aku tahu bahwa sebe
Janda Terhormat (32)..Hari ini mungkin bisa kukatakan adalah hari yang sangat bahagia untukku. Dimana hari ini, Adit menyatakan perasaannya langsung di depan kedua orang tuaku.Ya, setelah kemarin siang aku juga mengutarakan perasaanku bahwa aku pun juga memiliki rasa padanya. Malam ini dia datang dengan di temani Shima, anak perempuannya yang sebentar lagi akan menjadi anakku juga."Nak Adit. Terimakasih kamu sudah mau menerima kekurangan dan keburukan Nurma. Bapak dan Ibu tidak bisa berbuat banyak untuk kalian. Semua hal kami serahkan pada kalian," tutur ayahku menasehati.Aku dan Adit saling berpandangan, tapi kini aku sudah mulai membiasakan diri untuk tidak terlihat gugup di depannya. Padahal sebelum ini, aku sama sekali tidak canggung ataupun gugup jika sedang berada di dekatnya. Namun entah kenapa, sekarang justru seperti ini."Baik, Pak. Terimakasih juga, Bapak dan Ibu mau menerima saya. Semoga kedepannya kita bisa menjadi keluarga
Janda Terhormat (31)..Dear Nurma ....Hai, semoga kamu selalu dalam keadaan baik-baik saja. Maaf jika aku terkesan seperti pecundang yang tak berani menghampirimu secara langsung, atau mengatakan hal ini secara langsung padamu.Nurma, maaf jika kehadiranku selama ini selalu mengganggu harimu, membuat hidupmu seakan penuh dengan tekanan. Kini aku sadar, bahwa aku tidak bisa memaksakan apa yang kuinginkan. Aku salah ... Dan sangat berdosa.Tidak sepantasnya, aku memaksa cintaku pada Adit. Atau menginginkan agar Adit kembali lagi padaku. Sejujurnya, aku melakukan semua itu semata-mata bukan karena aku terlalu tergila-gila atau terobsesi pada Adit, melainkan semua itu hanya kujadikan pelarian atas kisah cintaku dengan Bang Dewa.Sekarang kamu tahu, bagaimana rusaknya hidupku, kan? Mengenai skandalku dengan Bang Dewa hingga akhirnya aku keguguran. Rasanya hidupku sangat hina, ketika aku telah menyia-nyiakan pria sebaik Adit. Bahkan kini kamu pu