Hans dan Thania sudah tiba di rumah sakit Bandung yang tak jauh dari kediaman Thania. Hans sengaja membawanya ke sana agar ayah dan ibunya bisa melihat kondisi anak sulungnya itu."Diminum dulu obatnya," ucap Hans sembari duduk di samping Thania dan memegang piring kecil berisi tiga butir obat yang harus diminum oleh Thania."Terima kasih, Hans," ucapnya kemudian mengambil obat itu dan meminumnya."Aku udah hubungi Ayah. Katanya sebentar lagi dia sampai ke sini," ucap Hans memberi tahu."Oh, ya? Kamu nggak bilang apa-apa lagi selain aku ada di sini, kan?"Hans menggeleng pelan. "Nggak kok. Biar kamu saja yang memberi tahu semuanya ke mereka. Aku nggak punya hak untuk itu."Thania kemudian mengulas senyumnya. "Iya, Hans. Bagaimana dengan kerjaan kamu di Jakarta? Kamu pulang aja, Hans. Besok juga sembuh.""Aku mau menemani kamu sampai kamu benar-benar sembuh. Soal kerjaan, udah ada Cyntia yang handle. Dia itu pengen jadi sekretaris aku karena nggak mau megang saham."Makanya dia ikut ak
Satu minggu kemudian, Thania sudah kembali ke Jakarta bersama Hans dan tentunya perempuan itu akan tinggal di apartemen Hans."Sudah sampai, Nak?" tanya Ima menghubungi sang anak."Sudah, Bu. Baru saja sampai. Ibu dan Ayah baik-baik di sana, yaa.""Pasti, Nak. Kamu juga baik-baik di sana, yaa. Istirahat yang cukup dan jangan lupa minum obatnya. Jangan lupa juga kalau udah mau lahiran, kabari Ibu dan Ayah ya, Nak.""Iya, Bu. Aku pasti akan kabari Ibu. Ya udah ya, Bu. Aku mau lanjut buka packing baju-baju aku dulu."Thania kemudian menutup panggilan tersebut dan menghampiri Hans yang tengah merapikan baju-bajunya ke dalam lemari."Hans. Terima kasih, udah mau tampung aku di sini. Padahal, tinggal di rumah Ibu juga masih bisa sih."Hans menggeleng dengan pelan. "Nggak, Sayang. Aku nggak mau jauh dari kamu. Aku udah milih kerja di sini, kamu pun harus tinggal di sini. Pokoknya kamu nggak boleh jauh dari aku."Thania terkekeh pelan. "Iya, iyaa. Sensitif banget."Hans mengusapi sisian wajah
Dua hari setelah kembali ke Jakarta, Hans menemani Thania bertemu dengan kuasa hukumnya untuk membantu proses perceraian Thania dengan William."Sebenarnya bisa saja, jika memang mau bercerai. Karena kebetulan hamilnya juga masih belum kelihatan jelas, baru berusia empat bulan, betul?" tanya Salim, pria yang akan menjadi kuasa hukum Thania.Perempuan itu mengangguk. "Betul, Pak. Usia kandungan saya baru menginjak empat bulan.""Baik. Kalau memang memutuskan untuk berpisah karena memang beliau sudah salah. Suami Anda telah melakukan hubungan badan dengan wanita lain sementara Anda masih berstatus sebagai istrinya. Saya akan bantu proses perceraian ini."Thania menerbitkan senyumnya kemudian menghela napas lega. "Terima kasih, Pak. Saya harap prosesnya bisa cepat. Karena sebenarnya suami saya sudah tidak mengharapan saya lagi. Dia sudah nyaman dengan wanita itu.""Anda jangan khawatir. Saya akan menyelesaikan ini seceoatnya. Dua sampai tiga minggu, Anda akan mendapatkan akta cerainya."
Thania meringis pelan mendengar ucapan Hans tadi. "Sorry, Hans. Aku terlalu exited makanya sampai bilang begitu ke kamu."Hans mengulas senyumnya. "Nggak apa-apa. Aku paham kok. Kamu nggak perlu minta maaf. Kamu ingin segera pergi dari hidupnya William, ingin segera bebas dari lelaki itu. I know it."Thania kemudian memeluk Hans. Sandaran ternyaman yang ia miliki kini. Tak ada lagi selain dirinya."Terima kasih, Hans. Untuk semuamnya."Hans mencium kepala Thania dan mengusapi punggung perempuan itu dengan lembut. "Terima kasih juga, sudah mau menerima aku sebagai pengganti William."Thania mengadahkan kepalanya dan mengulas senyumnya. "Karena kamu jauh lebih sempurna dari dia. Kamu sangat baik, mana mungkin aku menyia-nyiakan perasaan kamu."Menerima aku dalam keadaan hamil seperti ini hanya kamu, Hans. Aku harap kebaikan kamu hanya tidak saat menginginkanku saja. Melainkan selamanya. Sampai kita menikah nanti."Hans mengangguk sembari mengusapi kening perempuan itu dengan lembut. "Iy
Satu minggu kemudian. Proses cerai Thania dan William sudah masuk ke meja pengadilan. Hanya tinggal menunggu panggilan sidang dan tentunya hanya akan dilakukan satu kali saja untuk mendapatkan akta cerai nanti."Jadi, Thania sudah lebih dulu mendaftarkan perceraian ini?" tanya William kepada Salim yang tengah memberikan surat cerai untuk William tandatangani."Benar, Pak William. Klien saya sudah mengajukan cerai ini satu minggu yang lalu. Silakan, untuk tanda tangan di bawah ini agar prosesnya cepat selesai. Bukankah Anda juga harus menikahi wanita yang Anda cintai?"William hanya diam. Ia pun menandatangani permohonan cerai itu, menyetujui semua yang sudah Thania ajukan di sana tanpa melihat alasan yang Thania buat di sana.William juga tak pernah bertanya, alasan apa yang Thania buat untuk mengajukan permohonan itu. Baginya, berpisah dengan Thania sudah sangat melegakan untuknya."Terima kasih, atas kerjasamanya, Pak William. Anda tidak perlu datang ke persidangan agar prosesnya ce
Cyntia menggelengkan kepalanya mendengar pertanyaan dari kakaknya itu. "Nggak. Pacaran gimana sih. Nanti aja, baru kenal doang juga. Langsung ditanya kayak gitu aja."Ia lalu mengerucutkan bibirnya sembari melirik ke arah Hans yang bisa-bisanya langsung bertanya mengenai dirinya dan hubungannya dengan Amar.Hans terkekeh pelan. "Kirain sudah resmi pacaran, ternyata belum. Nunggu apa lagi? Kalau sudah berani jalan, harusnya sih udah mau pacaran juga.""Nanti aja, Kak. Nunggu Kakak nikah dulu sama Kak Thania. Lagian dr. Amar juga kayaknya belum mau, sampai ke sana. Pasti dia juga belum bilang ke Kakak, kalau kita udah jalan.""Belum memang. Tapi, suatu saat nanti pasti akan memberi tahu. Kamu tidak perlu menungguku, Cyntia. Kalau takdir berkata lain, kalian duluan yang harus menikah, mana mungkin bisa dielakan."Cyntia menghela napas kasar. "Iya, iya. dr. Amar belum bilang apa pun ke aku, jadi nggak usah berpikiran jauh. Oke?! Aku mau lanjut kerja lagi. Semoga Kakak segera mendapatkan i
"Wait, wait! Bagaimana dengan uangmu yang sudah kusiapkan? Sebaiknya kamu ke sini dulu. Ada apa?"Hans ikut panik mendengar suara Mhika yang tergesa-gesa seolah tengah dikejar-kejar. Namun, yang sebenarnya terjadi ialah ia tengah menghindar dan kabur dari William."Aku kirim alamat apartemenku sekarang dan ambil cek yang sudah kusiapkan untukmu," ucap Hans sekali lagi."Ya udah. Tapi, aku nggak bisa lama-lama.""Oke!" Hans kemudian menutup panggilan tersebut. Tak lama setelahnya, ia pun mengirim alamat tempat tinggalnya di sebuah apartemen mewah di pusat kota Jakarta.Membutuhkan waktu setengah jam untuk Mhika sampai di apartemen tersebut. Ia pun masuk ke dalam usai dibukakan pintu oleh Hans."Ada apa, Mhika? Kenapa kamu terburu-buru seperti ini?" tanya Hans bingung."Minum dulu, Mhika." Thania memberikan satu gelas air putih kepada Mhika."Terima kasih," ucap Mhika lalu meneguk satu gelas penuh air itu.Thania yang melihatnya lantas menoleh kepada Hans dan menghela napasnya. "Ada apa
William tertawa campah mendengar ucapan papanya itu. "What? Kenapa harus bawa-bawa jabatan? Dan Papi memberikan jabatan ini ke Om Albert? Gila! Papi sudah gila.""Kamu, yang gila! Masih mau, mempertahankan wanita itu? Kamu tidak pernah mau mencari asal-usulnya, statusnya apa. Bahkan sampai saat ini pun kamu masih belum tahu kan, kalau dia sudah menikah?"James sudah tak tahan lagi. Ia akhirnya memberi tahu apa yang sebenarnya ia ketahui selama ini. Selama ini, kedua anaknya selalu mencari tahu siapa Mhika sebenarnya agar William tidak terjerumus semakin dalam lagi.William mengerutkan keningnya lalu menyunggingkan senyumnya. Menggelengkan kepalanya tak percaya dengan ucapan papinya tadi."Nggak! Nggak mungkin Mhika sudah menikah. Papi bohong, kan?" pekiknya kemudian."Untuk apa Papi bohong, William? Ini semua demi kebaikan kamu. Kami semua sayang pada kamu. Selama ini Papi selalu sabar dan menahan kedua kakakmu untuk jangan gegabah mengambil keputusan."Mendengar kamu menikah dengan T