"Mama?!" Kedua mata Velicia terbelalak melihat ibu mertuanya yang sedang berdiri di depan pintu rumahnya.
Wanita paruh baya itu melihat penampilan menantunya dari atas hingga bawah. Berantakan! Nilai yang diberikan sang mertua padanya. "Minggir!" ujarnya sembari menyingkirkan sang menantu dari hadapannya. Dia berjalan masuk tanpa dipersilahkan oleh si pemilik rumah. Anna Hayden, istri dari Alexander Davis merupakan seorang ibu rumah tangga tanpa karir yang mempunyai mimpi besar untuk keluarganya. Ambisinya untuk menjadi salah satu wanita kelas atas yang dihormati di kota tersebut membuatnya menghalalkan berbagai macam cara. Seperti saat ini, dia ingin menikahkan Raymond yang sudah beristrikan Velicia dengan putri dari salah satu pejabat tinggi di kota tersebut. Wanita berambut hitam sebahu itu menelisik tiap ruangan. Tidak ada pujian yang keluar dari bibirnya, melainkan celaan yang ditujukan pada sang menantu. "Tidak kusangka Raymond telah menikahi wanita pemalas sepertimu," tuturnya dengan ketus. Velicia mencengkeram handuk yang melilit tubuhnya. Harinya terasa buruk sebelum menjalani aktifitasnya. "Lihatlah dirimu!" ujarnya sambil menggerakkan dagunya ke arah sang menantu. Dia menatap tajam pada menantunya yang masih memakai handuk untuk menutupi tubuh polosnya, dan menggelengkan kepalanya melihat rambut menantunya yang terlihat basah serta acak-acakan. "Berantakan!" sambungnya sembari tersenyum miring. "Tidak heran jika rumah ini sangat berantakan," imbuhnya seolah mengatakan kebenciannya pada sang menantu. Sabar. Hanya itu yang bisa dilakukan Velicia selama ini ketika menghadapi ibu mertuanya, tanpa mau melawannya. Bagi Velicia, ibu mertuanya merupakan sebuah tantangan yang harus ditaklukkan. Itu dulu, dan sekarang dia tidak akan berusaha sekeras itu lagi. Semua karena luka yang ditorehkan oleh suaminya, putra dari wanita paruh baya tersebut. "Maaf, Ma. Saya permisi dulu untuk berganti pakaian," ucapnya dengan sopan. Sebuah cara yang tepat untuk membebaskan pendengarannya dari ocehan sang mertua. "Lihatlah! Kurang ajar sekali dia!" omel wanita paruh baya itu dengan meninggikan suaranya, menyertai langkah kaki sang menantu menuju kamarnya. Di dalam kamar Velicia bernafas lega. Untuk sementara dia bisa menghindar dari ibu mertuanya, tapi bagaimana untuk selanjutnya? Tiba-tiba dia kembali teringat akan suaminya yang belum juga pulang ke rumah. Seketika pandangan matanya mengarah pada jam yang tergantung di dinding kamar tersebut. Dia tersenyum miring melihat waktu yang kemungkinan besar telah dihabiskan sang suami dengan wanita selingkuhannya, hingga saat ini belum juga pulang ke rumah untuk menemuinya. "Ternyata aku sama sekali tidak ada dalam pikiranmu, Ray," gumamnya sembari tersenyum menertawakan kemalangan dirinya. "Lama sekali! Apa kamu sedang menyetrika pakaianmu, Ve?!" teriak sang ibu mertua dari luar kamarnya. Sontak saja bulu kuduknya berdiri mendengar suara teriakan sang ibu mertua. Bahkan tubuhnya bergerak dengan sendirinya ke arah lemari untuk mengambil pakaian, dan memakainya. Begitu besar ketakutannya pada sosok ibu mertua yang selalu mencari kesalahan pada dirinya. Hanya beberapa saat saja dia keluar dari kamarnya, tanpa memoles wajahnya ataupun menyisir rambutnya. Dia bergegas menghampiri sang ibu mertua agar tidak lagi mengomel padanya. Tiba-tiba telinganya mendengar sesuatu, sehingga kakinya pun berhenti melangkah. Dari balik tembok ruangan tersebut dia menajamkan pendengarannya. "Kenapa Mama datang ke sini pagi-pagi sekali?" tanya Raymond sembari duduk di hadapan mamanya. "Kamu baru pulang atau baru saja berangkat, Ray?" tanya balik wanita paruh baya tersebut seolah sedang menyelidikinya. Raymond gugup. Dia terlihat salah tingkah dan mengalihkan pandangan matanya ke lain arah. "Biasanya Mama memberi kabar terlebih dahulu sebelum datang ke sini," ucapnya berusaha mengalihkan pertanyaan sang mama. Namun, wanita paruh baya tersebut dapat melihat dengan jelas kegugupan putranya. Dia tersenyum miring, dan menyimpulkan sesuatu. Raymond, putranya itu baru saja pulang ke rumah, dan menyembunyikan sesuatu. 'Sepertinya dia mempunyai mainan baru. Aku harus mempertegasnya, dan memberikan batasan padanya dalam bersenang-senang,' batinnya sembari menatap sang putra. "Mama sengaja ingin memberikan surprise padamu," ujar wanita berpenampilan layaknya wanita sosialita pada umumnya. Dahi Raymond mengernyit. Tatapan matanya seolah sedang bertanya pada wanita paruh baya itu. "Surprise?" tanyanya penasaran. Sang mama mengangguk dan tersenyum. Raymond tersenyum miring, seolah meremehkan surprise yang diberikan oleh mamanya. "Mama sudah sering datang ke rumah ini. Bahkan Mama sudah sering keluar masuk rumah ini seolah rumah Mama sendiri. Apa Mama mengira itu akan menjadi sebuah kejutan yang menyenangkan bagiku?" tuturnya tanpa beban. "Jadi, kamu tidak pernah senang ketika Mama datang ke sini?" tanya sang mama dengan ketus. Raymond terkekeh. Dia menatap wanita paruh baya itu tanpa merasa terintimidasi sedikit pun. "Bagaimana aku bisa senang jika setiap kali Mama datang ke rumah ini selalu saja ada yang dikeluhkan. Apa Mama pikir kami bisa memberikan Mama cucu ketika pikiran kami tidak tenang?" Wanita paruh baya itu merasa tersinggung. Dia berdiri dari duduknya, dan menatap tajam pada putranya. "Raymond hanya memberitahu saja, Ma. Jika Mama marah hanya karena--" Perkataan Raymond tidak dapat dilanjutkannya. Seketika dia lupa akan semua hal yang akan diucapkannya saat sang Mama membisikkan sesuatu padanya. Ekspresi wajahnya berubah menjadi tegang, dan tatapan matanya seolah tidak percaya pada sang mama. "Mama tahu semua tentang dirimu, Raymond. Jadi, jangan coba-coba untuk memprovokasi Mama untuk memberitahukan kebenaran ini pada semua orang, termasuk istrimu," tutur wanita paruh baya tersebut sambil tersenyum miring. Raymond terhenyak. Dia menatap tidak percaya padanya. Hanya saja bibirnya terkunci, tidak berani mempertanyakan pada mamanya. "Batasi bersenang-senang dengan mainanmu itu, karena Mama memberikan sesuatu yang lebih berarti untukmu," bisik sang Mama di telinga putranya. Mata Raymond terbelalak. Benar, wanita tersebut adalah pemilik seorang Raymond Davis. Tidak ada yang luput darinya, termasuk perselingkuhan sang putra saat ini. Sejenak Raymond lupa jika dirinya beserta kehidupannya adalah hasil karya dari mamanya yang sangat terobsesi akan kesempurnaan dan juga kemewahan. "Mama akan membawanya untuk datang menemui mu. Mama berani jamin kamu tidak akan menolaknya," sambungnya dengan penuh percaya diri. Dari balik tembok, Velicia mengetahui semuanya. Badannya terasa lemas. Tangannya mencengkeram ujung tembok, berpegangan erat agar badannya tidak luruh ke lantai. 'Ternyata Mama mengetahui semuanya, dan dia hanya membiarkannya saja tanpa menghentikan putranya,' batinnya kesal. "Ma, apa harus Mama melakukan ini?" tanya Raymond serius. "Apa kamu tidak menginginkan keturunan? Jujur saja Ray, Mama dan Papa sangat menginginkan keturunan darimu yang nantinya akan menjadi penerus keluarga Davis. Terlebih lagi jika anak yang mengalir darahmu lahir dari wanita bangsawan atau dari kalangan atas, bukan dari keluarga rendahan yang mencemari status sosial kita," tutur sang mama dengan suara lantang, dan melihat ke arah pintu ruangan yang tanpa penutup tersebut. "Pelankan suara Mama," ujar Raymond dengan tegas. Wanita paruh baya itu tersenyum miring. Dia melipat kedua tangannya di depan dada, dan mendongakkan dagunya dengan sangat percaya diri. "Faktanya istrimu tidak bisa memberikan keturunan. Jadi, tidak ada salahnya jika kamu menikah lagi dengan wanita lain yang lebih cantik, lebih berpendidikan dan juga berasal dari keluarga terpandang tentunya." "A-apa? Menikah?" celetuk Velicia tanpa sadar.Sandra membisu. Ternyata restu dari keluarganya tidak semudah yang dibayangkan olehnya. Rasa kesalnya semakin bertambah."Kenapa tidak ada yang bisa memahami ku?!" ujarnya dengan meninggikan suaranya di hadapan papanya."Jaga ucapanmu, Sandra!"Tiba-tiba terdengar suara seorang pria dari arah pintu, sehingga membuat si pemilik ruangan dan juga putrinya yang sedang memberontak mengalihkan pandangannya ke arah tersebut.Sandra membuang mukanya setelah melihat sosok pria yang menegurnya di hadapan orang tua laki-lakinya. Arion--kakak laki-laki yang menolak permintaannya, kini sedang berjalan dari arah pintu menghampiri mereka."Jangan mengganggu Papa dengan permintaan konyol mu itu, Sandra!" tegur Arion dengan tegas. Ketegasannya diwarisi dari sang ayah yang kini duduk di sampingnya.Sandra menatap dua pria yang duduk bersebelahan itu dengan tatapan kesal. Hatinya berteriak ingin meminta keadilan yang tidak pernah didapatkannya. Tidak ada kasih sayang utuh dari kedua orang tuanya dan jug
Raymond tidak bisa mengelak dari hukuman keterlambatannya. Akhir-akhir ini dia sering mendadak ijin dan terlambat datang ke kantor dengan alasan yang beragam. Semua itu dikarenakan kesibukannya dengan wanita-wanitanya.Sepanjang hari mood Raymond menjadi buruk sejak mendapat teguran langsung dari atasannya. Bahkan pesan dari sandra diabaikannya. Beberapa telpon yang masuk dari wanita selingkuhannya itu pun tidak dijawabnya.Mood baik yang didapatkan dari bayi dalam kandungan Velicia, musnah begitu saja dengan terancamnya promosi jabatan yang nantinya akan didapatkannya. Baru saja dia kehilangan promosi jabatan yang telah dijanjikan oleh atasannya, apa untuk berikutnya dia harus kehilangan kesempatan itu juga?Brak!"Raymond!"Seketika si pemilik nama terhenyak mendengar suara pintu yang ditutup keras oleh seseorang yang memanggil namanya. Matanya terbelalak melihat wanita yang sedang berjalan menghampirinya dengan memasang wajah marah."Sandra?! Kenapa kamu bisa berada di sini?" tanya
Sandra melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah kakaknya. Dia tidak bisa menahan amarahnya lagi. Pasalnya, dia berpikir bahwa yang menghambat kesenangannya malam ini adalah Arion--kakaknya yang tiba-tiba peduli padanya."Cepat buka pagarnya!" serunya setelah membunyikan klakson mobil sebanyak tiga kali.Ketidaksabaran Sandra membuat seorang petugas keamanan yang berjaga di rumah Arion berlari dari dalam pos jaganya. Dengan terburu-buru pria berseragam keamanan itu menghampirinya."Maaf, Nona Sandra. Tolong jangan membuat keributan di sini, mengingat ini sudah larut malam," tuturnya dengan sopan."Terserah saya! Cepat buka pagarnya! Jangan sampai saya membuat keributan yang lebih heboh lagi!" ancam Sandra dengan meninggikan suaranya."Tuan Arion tidak ada di rumah. Jadi, kami tidak bisa membiarkan siapa pun masuk, tanpa terkecuali," ujar pria berbadan tegap itu dengan sopan.Sandra meradang. Kekesalannya pada pria tersebut semakin memicu kemarahannya. "Brengsek! Kamu ti
Pandangan Raymond tidak lepas dari istrinya. Sejak Velicia menolak sentuhannya dan melarangnya untuk mendekat, Raymond memperhatikannya untuk mencari tahu penyebabnya.'Apa yang sebenarnya terjadi dengannya?' tanyanya dalam hati. Sejak tadi Velicia merasa seperti sedang diawasi. Semakin lama dia merasa semakin tidak nyaman. Dia pun melirik menggunakan ekor matanya. 'Kenapa dia menatapku seperti itu? Apa dari tadi dia memperhatikanku? Apa yang sedang dipikirkannya?' batinnya sembari meneguk susu berwarna putih yang dikhususkan untuk ibu hamil.Mereka berdua sedang menyaksikan tayangan televisi di ruang tengah. Velicia duduk di sofa paling ujung, sedangkan Raymond dilarang mendekatinya. Mereka sama-sama duduk di ujung sofa yang berlawanan.Merasa tidak nyaman dengan situasinya saat ini, Velicia pun berdiri dari duduknya, berniat untuk kembali ke kamarmya."Mau ke mana?" tanya Raymond menghentikan istrinya.Velicia berhenti. "Aku lelah. Aku mau ke kamar," jawabnya tanpa menoleh ke arah
Anna tidak bisa menerima kenyataan bahwa calon menantu idamannya menolak untuk memiliki keturunan. Jika bisa memilih, wanita paruh baya itu lebih menginginkan cucu yang lahir dari rahim Sandra. Dengan latar belakang keluarga Sandra yang merupakan keluarga ternama di bidang bisnis, tentu saja membuat keluarga Davis lebih memilih keluarga Brooks untuk jadi besannya dibandingkan keluarga Montana. Namun, Raymond membawa kabar yang bertolak belakang dengan keinginan kedua orang tuanya. Velicia yang merupakan menantu resmi mereka telah dipastikan sedang hamil saat ini oleh dokter, sehingga mereka harus menerima kenyataan jika cucunya lahir dari rahim orang kelas rendahan. "Bukankah ini lebih baik daripada aku harus mencari bayi yang bisa kita adopsi, Ma?" tanya Raymond dengan sedikit kesal. Bagaimana dia tidak kesal, jika sang ibu menyalahkannya atas sikap Sandra yang tidak mau mempunyai keturunan. Bahkan Raymond sudah berusaha dengan keras membujuk dan juga meluluhkan hati dari putri
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Velicia ragu-ragu.Arion tersenyum. Pandangan matanya tidak lepas pada sosok wanita yang ada di hadapannya."Apa rencanamu selanjutnya, Ve?" tanyanya serius.Velicia menatap Arion sembari memaksakan senyumnya. Matanya yang berkaca-kaca itu memperlihatkan kekecewaan dan kesedihan yang mendalam."Aku akan mempertahankan bayi ini," jawabnya dengan penuh keyakinan.Arion dapat melihat kesungguhan hatinya. Tanpa disadari oleh Velicia, pria di depannya itu merasa sangat bersyukur mendengar jawaban tersebut darinya."Terima kasih, Ve. Aku akan membantu untuk mempercepat perceraian mu. Dengan begitu kita bisa--""Apa maksudmu?" sahut Velicia sembari mengerutkan keningnya."Tolong jaga baik-baik bayi kita. Jangan ragu untuk meminta apa pun dariku. Aku sungguh sangat bersyukur dan sangat berbahagia karena Tuhan telah mengabulkan doaku selama ini," tutur Arion dengan binar kebahagiaan yang terlihat dari kedua matanya."A-apa maksudnya?" tanya Velicia kembali dengan r