Share

Duri dalam Daging

"Kak ...."

"Kak Raga."

"Bangun, Kak! Udah subuh."

Melody mengguncang tubuh Raga yang masih terbaring lelap di ranjang, masih dengan mukena yang melekat di tubuh mungilnya.

Alis tebal Raga bertaut, perlahan dia membuka mata mencoba menyesuaikan cahaya yang ada, kemudian mengucek mata dan berdecak menatap istrinya.

"Iya, iya!" Dengan enggan Raga beranjak dari ranjang nyamannya.

"Ambil wudu, terus sholat dulu!" ingat Melody saat melihat suaminya berlalu begitu aja menuju kamar mandi.

"Udah mau siang ini, mana sempet?" dalih Raga masih dengan tubuh sempoyongan, karena nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya.

"Lebih baik telat daripada nggak sama sekali. Makin banyak yang ibadah di rumah ini, makin setan takut buat mampir. Lagian ini baru jam lima lebih sepuluh menit. Buruan, Kak! Mandinya habis sholat aja, lagian semalem kita nggak ngapa-ngapain," desak Melody.

"Iya, iya, bawel!" Raga mendengkus, lalu berjalan menuju keran yang ada di samping bilik mandi.

Beberapa saat kemudian, dia kembali dan mendapati sang istri masih berada di sana. Duduk bersila di tepi ranjang, dengan mukena yang sudah ditanggalkan.

"Ngapain masih di sini?" tanya Raga langsung ke inti.

"Mau mastiin kalau Kakak beneran sholat, bukannya tidur lagi. Nih, sarung sama sajadahnya udah aku siapin!" Perempuan itu tersenyum lebar yang menampilkan dua lesung kecil di kanan dan kiri garis bibirnya.

"Oke." Raga mengambil alih sajadah dan sarung yang istrinya sodorkan.

"Pake sarungnya bisa?" Pertanyaan konyol itu membuat tajam Raga menatapnya.

"Kamu pikir aku anak baru gede?"

"Ya, siapa tahu Kakak lupa."

"Udah, ya. Tutup aja mulut kamu atau balik ke kamar sana!"

"Iya, aku balik setelah Kakak kelar."

Tak ingin berdebat lagi, akhirnya Raga memilih menyudahi dan mulai menunaikan sholat subuh yang entah kapan dia kerjakan terakhir kali.

Kurang dari delapan menit, sholat subuh selesai Raga tunaikan. Di tempat yang sama, dia masih melihat Melody terjaga, dan senyum-senyum sendiri menatapnya.

"Belum balik juga?"

Dengan polosnya Melody menggeleng pelan.

"Tahu nggak, Kak? Cowok sarungan itu gantengnya nambah, walaupun dia belum mandi."

Raga hanya menatap datar menanggapi. "Terus, aku peduli?"

"Emang Kakak nggak mau keliatan lebih ganteng gitu?"

"Nggak!"

Melody mengerucutkan bibirnya. "Ya udah." Perempuan itu pun beranjak bangkit dan bersiap pergi. Namun, kembali lagi setelah mengingat sesuatu. "Oh, iya, Kak!"

Raga yang baru saja melipat sajadah, menoleh sedikit. Dia tatap Melody dari ekor mata. "Apa?"

"Reyhan itu siapa, Kak?"

Deg!

Raga terdiam lama. Seperti ada sesuatu yang baru saja menghantam dada kala mendengar Melody menyebut nama yang ingin sekali dia lupa.

"Dari mana kamu tahu?" Suara Raga merendah. Penuh intimidasi.

"Kakak ngigau semalem. Panggil-panggil namanya," tutur Melody apa adanya.

Tatapan Raga meredup, sorot mata dingin itu perlahan menajam.

"Bukan urusan kamu. Udah sana! Aku mau lanjut tidur, mumpung masih weekend."

"Ck, iya, iya!"

***

Di dalam kamar bernuansa cokelat lembut itu, terlihat bola-bola kertas yang bertebaran di mana-mana. Duduk berkutat di depan meja, Raga melihat istrinya terjaga berjam-jam lamanya mengerjakan satu sketsa desain yang belum juga selesai dia rampungkan.

"Belum kelar juga?" tanyanya sembari mendaratkan bokong di sofa.

"Belum, Kak. Akhir-akhir ini susah fokus aku." Melody menggaruk rambutnya yang tak gatal.

"Ya iyalah. Gimana mau fokus, kalau ruangannya kamu bikin seterang ini!" Raga memerhatikan sekeliling ruang, bagaimana kamar Melody yang sudah diterangi lampu utama ditambah dengan lampu duduk, belum lagi penerangan dari luar, mengingat hari yang sudah merangkak siang.

"Nggak. Justru dengan semua penerangan ini aku bisa kerja dengan tenang. Soalnya kalau gelap sedikit, berasa ada merhatiin di sudut-sudut ruang."

Raga menghela napas panjang. Sejenak dia tatap perempuan dalam balutan dress sifon tanpa lengan.

"Ngerjain apa?" Setelah cukup puas mengamati sang istri, Raga kembali menanyakan.

"Gaun wedding," jawabnya masih dengan pandangan yang belum lepas dari buku sketsa desain pakaian miliknya.

"Konsepnya?" tanya Raga kemudian.

"Ball gown. Pengen seksi, tapi juga elegan buat acara pemberkatan."

Raga manggut-manggut. Sejenak dia terdiam.

"Mau dibantu?" Setelah lama menimbang-nimbang, lelaki itu pun menawarkan.

"Emang Kakak ada waktu?"

Raga mendengkus keras.

"Kalau ada yang nawarin sesuatu itu cukup jawab, ya atau tidak, berikut alasannya. Bukan malah balik tanya."

"Ya, siapa tahu Kakak sebenarnya lagi sibuk, terus cuma kasian liat aku yang diem seharian di kamar saat akhir pekan."

"Kalau aku menawarkan, ya berarti emang lagi nggak ada kesibukan. Seharusnya kamu seneng aku sengaja meluangkan waktu, padahal bisa aja pergi ke luar."

"Kalau Kakak mau pergi, ya pergi aja. Nggak apa-apa, kok!" tukas Melody yang justru malah semakin memancing emosi Raga.

"Mel ...."

"Ya ...."

Raga mengacak rambutnya, lalu menarik satu kursi di depan meja rias Melody. Dia mengempaskan tubuh tepat di samping perempuan yang masih duduk kebingungan itu.

"Udah, ya! Sekarang langsung gambar aja saran desain yang kubilang, sebelum aku pergi dan berubah pikiran!"

Melody mengejapkan mata sejenak, lalu mengangguk antusias. "O-oke." Dia robek lagi sketsa yang masih berantakan, lalu mulai dengan yang baru berdasarkan saran Raga.

"Seksi tapi elegan, kan?" Raga memastikan.

Melody mengangguk mantap.

"Pertama-tama kamu gambar aja model ball gown kayak biasa. Fit di setengah badan sampai pinggang, tambah kemben di dalam biar bisa narik area bust line agar keliatan lebih penuh dan berisi, kasih potongan V line juga untuk area belakang agar memberi kesan lebih ramping dengan menampilkan setengah punggung. Untuk bagian ball-nya terserah mau dibuat kayak giman. Karena menurutku dari pundak ke pinggang udah cukup mengeksplor bagian-bagian tertentu. Di sentuhan akhir, untuk menambah kesan sopan dan elegan, kamu bisa tambahin aja luaran sedada dari bahan tyle transparan yang tetep bisa menonjolkan keseksian."

Melody menanggapi semua penjelasan Raga hanya dengan kerjapan mata dan anggukan pelan. Binar di matanya tak mampu menyembunyikan kekaguman pada lelaki yang sudah belasan tahun membersamai.

"Bukan ngangguk-ngangguk aja. Buruan gambar!" titah Raga sembari menyodorkan pensil ke hadapan Melody.

"Eh, iya." Buru-buru Melody menuruti semua perkataan Raga yang langsung dia tuangkan dalam sketsa.

Sebagai pemimpin di perusahaan yang bergerak di bidang EO dan WO, tentu bukan hal yang asing bagi Raga untuk mengamati berbagai jenis manusia dan fashion yang menyertainya.

Tumbuh menjadi satu-satunya harapan orang tua, membuat lelaki itu dituntut untuk bisa melakukan segalanya. Termasuk menjalankan bisnis keluarga setelah sang ayah tiada, padahal hal itu sama sekali bukan passion-nya.

Hampir setiap harinya, Raga yang pada dasarnya introvert, terpaksa harus dihadapkan dengan berbagai jenis manusia yang cukup menguras bukan hanya tenaga tapi juga mentalnya.

"Kalau emang susah fokus, kenapa nggak coba menggeluti kesibukan lain? Pada dasarnya manusia bisa melakukan banyak hal, asal ada kemauan." Raga membuka percakapan setelah sekian lama keheningan menyelimuti mereka. Dia amati Melody yang masih sibuk berkutat dengan sketsa berdasarkan arahannya.

"Kita sama-sama bukan cuma satu dua hari aja, loh, Kak. Tapi, udah belasan tahun. Kenapa Kakak masih tanya tentang sesuatu yang udah pasti jawabannya?!"

Raga tertegun menatap Melody yang menghentikan kegiatannya. Dia cengkeraman pensil digenggaman hingga menyebabkan tekanan yang ditimbulkan mematahkan ujungnya.

"Kita sama-sama satu-satunya harapan orang tua. Tapi, aku nggak akan pernah bisa kayak Kakak yang mampu melakukan semuanya. Keterbatasan membuatku nggak berguna sebagai generasi penerus keluarga. Cuma ini satu-satunya keahlian di tengah keterbatasan yang coba kupertahankan biar bisa bikin Ayah bangga!"

Rahang Raga mengatup rapat, kedua tangannya terkepal erat. Satu hal yang membuat Raga tak berdaya dalam belenggu Melody adalah cara perempuan itu menghadapi kenyataan dengan sudut pandang yang berbeda.

Raga selalu suka bagaimana cara Melody tertawa, dia juga suka keceriaan yang selalu istrinya bawa di tengah berbagai tekanan yang ada. Entah perasaan macam apa yang sebenarnya dia rasakan.

Di samping semua itu, ikatan keluarga mereka yang sudah berlangsung lama membuat Raga tak bisa berhenti memandang Melody sebagai beban yang menyulitkannya, sebagai duri dalam daging yang meski dibiarkan atau dilepaskan akan tetap sama menyakitkan.

"Maaf ...." Kalimat itu tiba-tiba terlontar, Raga menarik pinggang ramping Melody dan meletakkan tubuh mungil itu tepat di pangkuannya.

"Buat apa?" lirih Melody bertanya.

"Semuanya." Raga mulai membenamkan wajah di ceruk leher istrinya. Tangan besar itu mulai menjelajahi tubuh indah dalam rengkuhannya. Di tengah berbagai tanya dan kecamuk perasaan yang ada. Melody tiba-tiba menghentikan semuanya, sebelum sempat Raga bertindak lebih.

"Kerjaanku masih belum kelar, Kak!" Parau, suara yang terlontar seolah berbanding terbalik dengan respons tubuhnya.

"Sebentar aja, Mel! Kamu bisa lanjut habis ini." Tangan Raga mulai menelusup ke dalam kaus yang dikenakan istrinya.

"Kak!"

"Pak, Non! Ada tamu di depan!"

"Shit!" Raga mengumpat keras, lalu menurunkan Melody dari pangkuannya. "Siapa?" sentak lelaki itu kemudian.

"Ayah, ibu, dan saudara Non Melody!"

Deg!

Raga menoleh pada istrinya.

"Ngapain kamu ngundang ayah kamu sampe bawa rombongan ke sini?"

Melody menggeleng pelan, kemudian mengedikkan bahunya.

"Mana aku tahu. Kalau pun ada hal yang memang seharusnya dihindari, itu Ayah orangnya!"

.

.

.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status