Share

Duri dalam Daging

Penulis: Dwrite
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-30 20:29:40

"Kak ...."

"Kak Raga."

"Bangun, Kak! Udah subuh."

Melody mengguncang tubuh Raga yang masih terbaring lelap di ranjang, masih dengan mukena yang melekat di tubuh mungilnya.

Alis tebal Raga bertaut, perlahan dia membuka mata mencoba menyesuaikan cahaya yang ada, kemudian mengucek mata dan berdecak menatap istrinya.

"Iya, iya!" Dengan enggan Raga beranjak dari ranjang nyamannya.

"Ambil wudu, terus sholat dulu!" ingat Melody saat melihat suaminya berlalu begitu aja menuju kamar mandi.

"Udah mau siang ini, mana sempet?" dalih Raga masih dengan tubuh sempoyongan, karena nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya.

"Lebih baik telat daripada nggak sama sekali. Makin banyak yang ibadah di rumah ini, makin setan takut buat mampir. Lagian ini baru jam lima lebih sepuluh menit. Buruan, Kak! Mandinya habis sholat aja, lagian semalem kita nggak ngapa-ngapain," desak Melody.

"Iya, iya, bawel!" Raga mendengkus, lalu berjalan menuju keran yang ada di samping bilik mandi.

Beberapa saat kemudian, dia kembali dan mendapati sang istri masih berada di sana. Duduk bersila di tepi ranjang, dengan mukena yang sudah ditanggalkan.

"Ngapain masih di sini?" tanya Raga langsung ke inti.

"Mau mastiin kalau Kakak beneran sholat, bukannya tidur lagi. Nih, sarung sama sajadahnya udah aku siapin!" Perempuan itu tersenyum lebar yang menampilkan dua lesung kecil di kanan dan kiri garis bibirnya.

"Oke." Raga mengambil alih sajadah dan sarung yang istrinya sodorkan.

"Pake sarungnya bisa?" Pertanyaan konyol itu membuat tajam Raga menatapnya.

"Kamu pikir aku anak baru gede?"

"Ya, siapa tahu Kakak lupa."

"Udah, ya. Tutup aja mulut kamu atau balik ke kamar sana!"

"Iya, aku balik setelah Kakak kelar."

Tak ingin berdebat lagi, akhirnya Raga memilih menyudahi dan mulai menunaikan sholat subuh yang entah kapan dia kerjakan terakhir kali.

Kurang dari delapan menit, sholat subuh selesai Raga tunaikan. Di tempat yang sama, dia masih melihat Melody terjaga, dan senyum-senyum sendiri menatapnya.

"Belum balik juga?"

Dengan polosnya Melody menggeleng pelan.

"Tahu nggak, Kak? Cowok sarungan itu gantengnya nambah, walaupun dia belum mandi."

Raga hanya menatap datar menanggapi. "Terus, aku peduli?"

"Emang Kakak nggak mau keliatan lebih ganteng gitu?"

"Nggak!"

Melody mengerucutkan bibirnya. "Ya udah." Perempuan itu pun beranjak bangkit dan bersiap pergi. Namun, kembali lagi setelah mengingat sesuatu. "Oh, iya, Kak!"

Raga yang baru saja melipat sajadah, menoleh sedikit. Dia tatap Melody dari ekor mata. "Apa?"

"Reyhan itu siapa, Kak?"

Deg!

Raga terdiam lama. Seperti ada sesuatu yang baru saja menghantam dada kala mendengar Melody menyebut nama yang ingin sekali dia lupa.

"Dari mana kamu tahu?" Suara Raga merendah. Penuh intimidasi.

"Kakak ngigau semalem. Panggil-panggil namanya," tutur Melody apa adanya.

Tatapan Raga meredup, sorot mata dingin itu perlahan menajam.

"Bukan urusan kamu. Udah sana! Aku mau lanjut tidur, mumpung masih weekend."

"Ck, iya, iya!"

***

Di dalam kamar bernuansa cokelat lembut itu, terlihat bola-bola kertas yang bertebaran di mana-mana. Duduk berkutat di depan meja, Raga melihat istrinya terjaga berjam-jam lamanya mengerjakan satu sketsa desain yang belum juga selesai dia rampungkan.

"Belum kelar juga?" tanyanya sembari mendaratkan bokong di sofa.

"Belum, Kak. Akhir-akhir ini susah fokus aku." Melody menggaruk rambutnya yang tak gatal.

"Ya iyalah. Gimana mau fokus, kalau ruangannya kamu bikin seterang ini!" Raga memerhatikan sekeliling ruang, bagaimana kamar Melody yang sudah diterangi lampu utama ditambah dengan lampu duduk, belum lagi penerangan dari luar, mengingat hari yang sudah merangkak siang.

"Nggak. Justru dengan semua penerangan ini aku bisa kerja dengan tenang. Soalnya kalau gelap sedikit, berasa ada merhatiin di sudut-sudut ruang."

Raga menghela napas panjang. Sejenak dia tatap perempuan dalam balutan dress sifon tanpa lengan.

"Ngerjain apa?" Setelah cukup puas mengamati sang istri, Raga kembali menanyakan.

"Gaun wedding," jawabnya masih dengan pandangan yang belum lepas dari buku sketsa desain pakaian miliknya.

"Konsepnya?" tanya Raga kemudian.

"Ball gown. Pengen seksi, tapi juga elegan buat acara pemberkatan."

Raga manggut-manggut. Sejenak dia terdiam.

"Mau dibantu?" Setelah lama menimbang-nimbang, lelaki itu pun menawarkan.

"Emang Kakak ada waktu?"

Raga mendengkus keras.

"Kalau ada yang nawarin sesuatu itu cukup jawab, ya atau tidak, berikut alasannya. Bukan malah balik tanya."

"Ya, siapa tahu Kakak sebenarnya lagi sibuk, terus cuma kasian liat aku yang diem seharian di kamar saat akhir pekan."

"Kalau aku menawarkan, ya berarti emang lagi nggak ada kesibukan. Seharusnya kamu seneng aku sengaja meluangkan waktu, padahal bisa aja pergi ke luar."

"Kalau Kakak mau pergi, ya pergi aja. Nggak apa-apa, kok!" tukas Melody yang justru malah semakin memancing emosi Raga.

"Mel ...."

"Ya ...."

Raga mengacak rambutnya, lalu menarik satu kursi di depan meja rias Melody. Dia mengempaskan tubuh tepat di samping perempuan yang masih duduk kebingungan itu.

"Udah, ya! Sekarang langsung gambar aja saran desain yang kubilang, sebelum aku pergi dan berubah pikiran!"

Melody mengejapkan mata sejenak, lalu mengangguk antusias. "O-oke." Dia robek lagi sketsa yang masih berantakan, lalu mulai dengan yang baru berdasarkan saran Raga.

"Seksi tapi elegan, kan?" Raga memastikan.

Melody mengangguk mantap.

"Pertama-tama kamu gambar aja model ball gown kayak biasa. Fit di setengah badan sampai pinggang, tambah kemben di dalam biar bisa narik area bust line agar keliatan lebih penuh dan berisi, kasih potongan V line juga untuk area belakang agar memberi kesan lebih ramping dengan menampilkan setengah punggung. Untuk bagian ball-nya terserah mau dibuat kayak giman. Karena menurutku dari pundak ke pinggang udah cukup mengeksplor bagian-bagian tertentu. Di sentuhan akhir, untuk menambah kesan sopan dan elegan, kamu bisa tambahin aja luaran sedada dari bahan tyle transparan yang tetep bisa menonjolkan keseksian."

Melody menanggapi semua penjelasan Raga hanya dengan kerjapan mata dan anggukan pelan. Binar di matanya tak mampu menyembunyikan kekaguman pada lelaki yang sudah belasan tahun membersamai.

"Bukan ngangguk-ngangguk aja. Buruan gambar!" titah Raga sembari menyodorkan pensil ke hadapan Melody.

"Eh, iya." Buru-buru Melody menuruti semua perkataan Raga yang langsung dia tuangkan dalam sketsa.

Sebagai pemimpin di perusahaan yang bergerak di bidang EO dan WO, tentu bukan hal yang asing bagi Raga untuk mengamati berbagai jenis manusia dan fashion yang menyertainya.

Tumbuh menjadi satu-satunya harapan orang tua, membuat lelaki itu dituntut untuk bisa melakukan segalanya. Termasuk menjalankan bisnis keluarga setelah sang ayah tiada, padahal hal itu sama sekali bukan passion-nya.

Hampir setiap harinya, Raga yang pada dasarnya introvert, terpaksa harus dihadapkan dengan berbagai jenis manusia yang cukup menguras bukan hanya tenaga tapi juga mentalnya.

"Kalau emang susah fokus, kenapa nggak coba menggeluti kesibukan lain? Pada dasarnya manusia bisa melakukan banyak hal, asal ada kemauan." Raga membuka percakapan setelah sekian lama keheningan menyelimuti mereka. Dia amati Melody yang masih sibuk berkutat dengan sketsa berdasarkan arahannya.

"Kita sama-sama bukan cuma satu dua hari aja, loh, Kak. Tapi, udah belasan tahun. Kenapa Kakak masih tanya tentang sesuatu yang udah pasti jawabannya?!"

Raga tertegun menatap Melody yang menghentikan kegiatannya. Dia cengkeraman pensil digenggaman hingga menyebabkan tekanan yang ditimbulkan mematahkan ujungnya.

"Kita sama-sama satu-satunya harapan orang tua. Tapi, aku nggak akan pernah bisa kayak Kakak yang mampu melakukan semuanya. Keterbatasan membuatku nggak berguna sebagai generasi penerus keluarga. Cuma ini satu-satunya keahlian di tengah keterbatasan yang coba kupertahankan biar bisa bikin Ayah bangga!"

Rahang Raga mengatup rapat, kedua tangannya terkepal erat. Satu hal yang membuat Raga tak berdaya dalam belenggu Melody adalah cara perempuan itu menghadapi kenyataan dengan sudut pandang yang berbeda.

Raga selalu suka bagaimana cara Melody tertawa, dia juga suka keceriaan yang selalu istrinya bawa di tengah berbagai tekanan yang ada. Entah perasaan macam apa yang sebenarnya dia rasakan.

Di samping semua itu, ikatan keluarga mereka yang sudah berlangsung lama membuat Raga tak bisa berhenti memandang Melody sebagai beban yang menyulitkannya, sebagai duri dalam daging yang meski dibiarkan atau dilepaskan akan tetap sama menyakitkan.

"Maaf ...." Kalimat itu tiba-tiba terlontar, Raga menarik pinggang ramping Melody dan meletakkan tubuh mungil itu tepat di pangkuannya.

"Buat apa?" lirih Melody bertanya.

"Semuanya." Raga mulai membenamkan wajah di ceruk leher istrinya. Tangan besar itu mulai menjelajahi tubuh indah dalam rengkuhannya. Di tengah berbagai tanya dan kecamuk perasaan yang ada. Melody tiba-tiba menghentikan semuanya, sebelum sempat Raga bertindak lebih.

"Kerjaanku masih belum kelar, Kak!" Parau, suara yang terlontar seolah berbanding terbalik dengan respons tubuhnya.

"Sebentar aja, Mel! Kamu bisa lanjut habis ini." Tangan Raga mulai menelusup ke dalam kaus yang dikenakan istrinya.

"Kak!"

"Pak, Non! Ada tamu di depan!"

"Shit!" Raga mengumpat keras, lalu menurunkan Melody dari pangkuannya. "Siapa?" sentak lelaki itu kemudian.

"Ayah, ibu, dan saudara Non Melody!"

Deg!

Raga menoleh pada istrinya.

"Ngapain kamu ngundang ayah kamu sampe bawa rombongan ke sini?"

Melody menggeleng pelan, kemudian mengedikkan bahunya.

"Mana aku tahu. Kalau pun ada hal yang memang seharusnya dihindari, itu Ayah orangnya!"

.

.

.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hanya Istri Pelampiasan   Melody dalam Raga

    Pagi ini, Oktaf terlihat memarkirkan motornya di depan sebuah lapas tahanan perempuan untuk menemui seseorang. Sudah enam bulan sejak sidang pertama, baru hari ini lagi dia datang mengunjungi wanita yang seharusnya dia panggil 'Mama'Sidang putusan Harmoni yang didakwa dengan tiga tuduhan sekaligus, yaitu penculikan dan penggelapan dana, dan pembunuhan tak disengaja memang masih belum diputuskan. Pengadilan baru memberi keterangan bahwa wanita paruh baya itu mungkin terancam hukuman lima belas tahun penjara dengan semua kejahatan yang sudah dilakukannya. Sebagai seorang istri dan ibu dia memang merasa sudah gagal. Meski, begitu. Sebagai seorang wanita, dia tak merasa demikian, karena selama delapan belas tahun terakhir dia mampu mewujudkan beberapa keinginan dan terbebas dari hubungan toxic yang membuatnya dengan nekad menghilangkan nyawa Reffrain. Suaminya sendiri. "Gimana keadaan Raga sekarang?" Pertanyaan itu terlontar saat mulut Harmoni, saat melihat putra bungsunya duduk di rua

  • Hanya Istri Pelampiasan   Kembali Bersama?

    "Gue baru dapet kabar kalau dini hari tadi Ny. Luisa bawa Melody pergi ke luar negeri!" Jazz menghampiri Oktaf di rumah Raga."Jadi, hubungan mereka bener-bener nggak bisa diperbaiki?" tanya Harpa yang kebetulan sedang ada di tempat yang sama."Gue nggak tahu. Ini seminggu, kayaknya Raga juga masih terintimidasi dengan ancaman Ny. Luisa. Btw keadaan kakak lo gimana sekarang, Taf?"Oktaf menghela napas sebelum mengambil tempat di samping Jazz. "Udah 3 hari dia susah makan. Tiap tidur selalu ngigau nama Melody. Gue bingung harus bertindak gimana kalau dia udah kayak orang depresi."Duk! Duk! Duk!Suara kaki koper yang terantuk dengan tangga, sontak menginterupsi mereka. Oktaf, Jazz, dan Harpa langsung menoleh ke arah yang sama saat melihat Raga buru-buru menuruni tangga dengan penampilan rapi dan barang bawaannya."Loh, kok kalian belum siap-siap? Bukannya kita mau nyusulin Melody ke Meksiko?" Raga menatap bingung ketiganya.Sementara Oktaf, Jazz, dan Harpa hanya bisa saling menatap sat

  • Hanya Istri Pelampiasan   Peringatan!

    Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Alejandro yang berada di kompleks perumahan elite pusat kota. Oktaf, Jazz, dan Harpa, yang kini seolah tak terpisahkan, sesekali memerhatikan Raga yang begitu antusias untuk pertemuannya bersama Melody. Dua pekan serasa dua tahun, jelas terlihat di matanya pancaran kerinduan pada sosok yang sebelumnya hanya dianggap sebagai pelampiasan. Perlahan Raga sadari, bahwa kehadiran Melody lebih dari berarti. Dan dia membutuhkan perempuan itu lebih dari siapa pun di dunia ini. "Taf!" Jazz tiba-tiba menepuk bahu Oktaf yang tengah menyetir, dari belakang. Wajah lelaki keturunan bule itu tampak memucat. "Ada apa, Bro?" "Kayaknya kita harus puter balik sekarang!"Kini, giliran alis Oktaf yang menyatu. Harpa pun Raga tak kalah kebingungan. "Kenapa? Rumahnya udah di depan!" "Gue nggak bisa jelasin sekarang, pokoknya puter balik dulu!""Iya, tapi apa alasannya? Setidaknya kita harus tahu sebelum memutuskan kembali pul--""Jalan aja terus, Kal! Apa p

  • Hanya Istri Pelampiasan   Batasan

    Dua minggu sebelumnya, di Warmindo Oktaf. Raga dan Melody duduk bersisian, begitu Oktaf meninggalkan mereka. Sesekali pasangan suami-istri itu beradu pandang, lalu kembali saling menghindar. "Aku harap kalau sampai kita nggak ditakdirkan buat bersama. Kakak bisa dapet seseorang yang mengerti Kakak, yang bisa bikin Kakak bahagia. Tapi, jujur. Aku berharap orang itu bukan Mbak Fiona." Melody memilin jemarinya yang tertaut di atas paha. Kalimat itu keluar seiring dengan air mata yang lolos dari pelupuknya.Raga menghela napas panjang mendengarnya. Mata lelaki itu sesaat terpejam sebelum menimpali ucapan Melody yang sebenarnya tak ingin dia dengar sama sekali, apalagi hal itu menyangkut Fiona. "Aku dan Fiona terikat karena hutang nyawa, Mel. Karena Reyhan. Sampai detik ini nggak ada rasa lebih selain dari tanggung jawab dan prihatin melihat kondisinya. Kalau bisa meminta, aku cuma ingin mengulang waktu. Memperbaiki apa yang udah kumulai, agar hubungan kita bisa lebih baik dari sebelumn

  • Hanya Istri Pelampiasan   Orang Gila Sebenarnya

    "Bisa berhenti natap gue nggak? Gue nggak akan ke mana-mana!" protes Oktaf yang risi dengan tatapan Raga yang seolah mengulitinya."Gue cuma takut ini mimpi atau halusinasi. Beberapa waktu lalu gue bahkan ngerasa udah gila.""Bang ...." Tatapan Oktaf meredup, begitu mendengar pengakuan Raga. Dia menghela napas, lalu kembali merangkul bahu kakaknya. "Kok, bisa, ya kita tercipta dari dua manusia toksik?" Pandangan Raga tampak lurus ke depan saat mengatakannya. "Udahlah, Bang. Sekarang, kan ada gue. Kita cuma perlu saling menjaga. Berdua, selamanya.""Nggak." Raga menggeleng yang membuat Oktaf kebingungan melihatnya. "Masih ada Melody. Apa pun yang terjadi gue harus bawa dia pul--""NGGAK! LEPAS SIALAN! SAYA NGGAK MAU IKUT. RAGAAA!""LIAT AJA NANTI, REYHAN PASTI AKAN MENJEMPUTMU KE NERAKA! DASAR LELAKI NGGAK BERGUNA!!""KAMU BAHKAN NGGAK PEDULI SAMA RAKA. DIA ANAK KITA, RAGA! RAKA ANAK KITA!"Suara ribut-ribut dari bawah menginterupsi kakak-beradik yang masih melepas rindu setelah bela

  • Hanya Istri Pelampiasan   Terulang Lagi?

    Kasus penculikan Melody dan Lyric yang pernah menggemparkan tanah air, tujuh belas tahun lalu akhirnya menemukan titik terang berkat kesaksian Ny. Luisa dan Oktaf alias Kala. Semuanya diperkuat dengan tertangkapnya dua orang komplotan yang membantu Harmoni untuk melancarkan aksinya. Beritanya tersebar nyaris di seluruh media dalam dan luar negeri. Kasus yang dulu sempat menggantung dan tak terpecahkan itu, belakangan ini menjadi buah bibir di mana-mana. Tak terasa sudah dua hari sejak penangkapan Harmoni di kediamannya. Oktaf yang masih terpukul dan mencoba menerima kenyataan yang ada, perlahan mulai bangkit. Dikumpulkanya serpihan harapan yang hancur di tangan ibu kandungnya sendiri. Sesak bercampur nyeri itu ia rasakan, saat potongan-potongan puzzle yang selama ini berserakan mulai tersusun kembali. Kilas balik kejadian masa kecilnya muncul perlahan, dimulai dengan pertengkarannya bersama Lyric, mendapatkan donor darah, sampai kejadian di gedung terbengkalai hingga divonis amnesi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status