"Sejauh ini gimana pernikahan kalian?" Pertanyaan Hendrix Alejandro, Ayah Melody membuka percakapan kelima orang yang berkumpul di ruang tamu.
Pertemuan tak terencana antara dia serta anak dan menantunya, membuat Raga sempat kesal karena seharusnya saat ini dia tak beranjak dari ranjang dengan Melody dalam rengkuhan."Baik, Yah. Seperti pengantin baru kebanyakan, masih hangat-hangatnya." Raga mengatakannya sembari melirik Melody yang berada tepat di sebelahnya."Kayaknya pertanyaan itu lebih tepat diajukan setelah satu-dua bulan atau bahkan setahun pernikahan," sahut Melody. "Nggak usah basa-basi, kalau nggak ada hal yang penting nggak mungkin Ayah yang super sibuk nyempetin dateng ke sini!""Mel ...." Raga mengingatkan, dia remas jemari istrinya yang terkepal di atas paha."Nggak apa-apa, Ga." Pria paruh baya berdarah Meksiko itu tersenyum. "Bisa tolong tinggalkan kami berdua?" pintanya kemudian.Raga mengangguk, dia bangkit lebih dulu diikuti ibu dan kakak tiri Melody."Ayah tahu pernikahan ini adalah satu-satunya cara agar kamu bisa lepas dari belenggu ayah. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu, semua yang ayah lakukan semata-mata hanya demi kebaikanmu!" Pak Hendrix memulai percakapan sepeninggal istri, anak serta menantunya.Melody tersenyum sinis mencibirnya. "Kebaikan apanya? Mana ada demi kebaikan tapi mengekang kebebasan? Aku bukan anak kecil yang harus Ayah pantau 24 jam! Aku perempuan dewasa berusia 25 tahun! Aku juga mau menikmati dunia, aku juga mau bahagia!"Pria gagah dalam balutan kemeja dan celana bahan itu memejamkan mata. "Dunia nggak seperti yang kamu kira, Nak. Tempat ini menyeramkan untuk 'orang-orang sepertimu'. Semua akan terasa berbeda kalau kamu udah pulih sepenuhnya. Cuma karena Raga selalu ada di sampingmu, bukan berarti dia bisa bantu." Lembut dan perlahan, Pak Hendrix berusaha meyakinkan putrinya."Tapi aku udah nggak pernah mimpi itu lagi, Yah. Aku udah nggak pernah ketemu 'dia' lagi. Aku udah sembuh!" sentak Melody menggebu-gebu."Kalau kamu yakin udah pulih sepenuhnya, kenapa ada yang laporan ke ayah kalau kamu jerit-jerit di kamar tengah hari bolong?"Melody mengempaskan punggungnya ke sandaran sofa. Sudah dia duga, tak mungkin ayahnya datang tiba-tiba bila tak ada maksud yang mendasarinya."Mel, sayang ...." Melody memalingkan muka saat Pak Hendrix berusaha meraih jemarinya. "Banyak hal yang udah ayah pertaruhkan sampe sekarang. Kamu adalah satu-satunya harapan keluarga, tapi kami nggak bisa menampik kalau kamu juga satu-satunya orang yang menjadi penghalang."Kuliah bisnismu berhenti di tengah jalan, sementara kuliah desain harus dibantu suntikan dana agar kamu bisa lulus dan dapat ijazah. Sampai butikmu kini berdiri semua ada andil ayah di dalamnya. Bila, pekerjaan yang menjadi satu-satunya keahlianmu saja penuh hambatan, bagaimana ayah bisa percaya kalau kamu nggak akan gagal, bahkan dalam pernikahan?!"Melody menengadahkan wajahnya, mati-matian dia tahan cairan hangat yang sudah menganak sungai di pelupuk matanya."Belum terlambat buat memulai. Ikut ayah, ya! 'Mereka' bisa bantu kamu buat sembuh. Setelah pulih sepenuhnya ayah yakin semua akan berjalan semestinya.""Kasih aku waktu, Yah! Ini bahkan baru sepuluh hari. Aku yakin Kak Raga bisa bantu aku pulih sepenuhnya. Aku nggak mau ke tempat itu lagi. Asal Ayah tahu, di sana lebih banyak setannya!"Pak Hendrix menghela napas panjang melihat bagaimana putrinya mengiba akan hidup yang tak pernah diinginkannya."Oke. Ayah kasih kamu waktu tiga bulan. Kalau sampai seratus hari belum ada perubahan, dan kondisimu semakin tak terkendalikan. Ayah nggak ada pilihan selain jemput kamu secara paksa, dan jadiin Jazz sebagai penggantimu."Jazz, walaupun bukan anak kandung Ayah, tapi dia sangat bisa diandalkan. Hampir semua pekerjaan ayah dia yang handle. Kalau terus begini, Ayah nggak punya pilihan selain mewarisi semua aset ayah sama Jazz, daripada bisnis keluarga kita hancur di tangan kamu!"Melody hanya bisa pasrah, mendengar penuturan sang ayah tentang nasib hidupnya. Sebagai satu-satunya anak yang diharapkan dia justru hanya bisa menyusahkan dibanding kakak tirinya yang baru-baru ini datang.Tanpa mereka sadari, di balik dinding penyekat ruang tamu dan ruang keluarga, ada sepasang telinga yang mendengarkan. Wanita paruh baya berambut merah panjang itu tersenyum penuh kemenangan menatap putranya yang seolah tak peduli hanya duduk bersandar di kursi.***"Ayah permisi dulu, ya, Ga. Entah berapa kali ayah harus bilang maaf dan terima kasih karena kamu udah bisa nerima Melody apa adanya. Lain kali kalau ada apa-apa lagi, jangan sungkan buat langsung mengabari!"Raga hanya bisa tersenyum kikuk sembari mengangguk pelan."I-iya, Yah.""Kontak ustad yang kemarin masih Tante simpen, kalau tiba-tiba si Mel ngereog lagi, kamu langsung hubungin aja, ya, Ga!" Clara, ibu tiri Melody itu bergumam saat melintas di hadapan Raga. Lelaki itu hanya bisa meringis menanggapinya.Sementara ayah tiri dan ibunya sudah pamit pergi, Jazz justru menghampiri Melody yang masih terjaga setelah percakapan dengan ayahnya tadi."Kamu dikasih makan, kan, Mel?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar setelah sekian lama.Melody mengangkat kepala, lalu memaksa sebuah senyum terbit di bibir tipisnya. "Apaan, sih pertanyaannya Bang Jazz? Ya, dikasihlah.""Soalnya kamu keliatan lebih kurus dari terakhir kita ketemu." Ada sorot hangat di balik tatapan datarnya."Ah, mungkin cuma perasaan Bang Jazz aja." Melody terkekeh sembari memukul pelan lengan kakak tirinya.Jazz tertegun menatap perempuan yang selama tujuh tahun seatap dengannya. Lekat lelaki yang mengecat rambutnya menjadi cokelat gelap itu menatap wajah cantik Melody yang menyisakan sedikit air mata di pipinya yang tirus dan mulus.Pandangannya tiba-tiba turun ke lengan kecil itu, tepat pada pergelangan tangan Melody yang kebetulan tersingkap."Ini, bukan gambar baru, kan?" Jazz menarik tangan Melody saat dia rasa motif garis-garis bekas sayatan di pergelangannya bertambah.Melody menggeleng pelan."Nggak, kok. Aku itung masih ada empat." Perempuan itu nyengir, lalu menarik lengan cardigannya untuk menutup pergelangan sampai setengah punggung tangan."Kenapa emang?" Raga yang sejak tadi memerhatikan tiba-tiba menghampiri dan menepis tangan Jazz yang masih menggenggam erat jemari istrinya. "Nggak usah khawatir, Melody udah di tempat yang lebih aman, daripada dia berada sebelumnya.""Oh." Jazz hanya menanggapi datar. Dia acak rambut Melody sebelum pamit pergi. "Pulang dulu, ya. Jaga diri kamu baik-baik!"Melody mengangguk pelan, kemudian melambaikan tangan."Siap, Bang."Sepeninggal mereka, hanya tinggal Melody dan Raga yang tersisa."Mel!" Raga memanggil istrinya yang sudah bersiap pergi.Melody menoleh. Dia mendongak menatap Raga yang menjulang dengan sorot mata yang sulit diartikan."Udah aku duga pasti Kakak yang bilang.""Maaf." Raga berusaha meraih tangan Melody, tapi langsung ditepisnya."Nggak apa-apa. Untuk sementara kasih aku waktu sendiri!" Melody pun berlalu meninggalkan Raga yang masih mematung di tempatnya....Bersambung.Pagi ini, Oktaf terlihat memarkirkan motornya di depan sebuah lapas tahanan perempuan untuk menemui seseorang. Sudah enam bulan sejak sidang pertama, baru hari ini lagi dia datang mengunjungi wanita yang seharusnya dia panggil 'Mama'Sidang putusan Harmoni yang didakwa dengan tiga tuduhan sekaligus, yaitu penculikan dan penggelapan dana, dan pembunuhan tak disengaja memang masih belum diputuskan. Pengadilan baru memberi keterangan bahwa wanita paruh baya itu mungkin terancam hukuman lima belas tahun penjara dengan semua kejahatan yang sudah dilakukannya. Sebagai seorang istri dan ibu dia memang merasa sudah gagal. Meski, begitu. Sebagai seorang wanita, dia tak merasa demikian, karena selama delapan belas tahun terakhir dia mampu mewujudkan beberapa keinginan dan terbebas dari hubungan toxic yang membuatnya dengan nekad menghilangkan nyawa Reffrain. Suaminya sendiri. "Gimana keadaan Raga sekarang?" Pertanyaan itu terlontar saat mulut Harmoni, saat melihat putra bungsunya duduk di rua
"Gue baru dapet kabar kalau dini hari tadi Ny. Luisa bawa Melody pergi ke luar negeri!" Jazz menghampiri Oktaf di rumah Raga."Jadi, hubungan mereka bener-bener nggak bisa diperbaiki?" tanya Harpa yang kebetulan sedang ada di tempat yang sama."Gue nggak tahu. Ini seminggu, kayaknya Raga juga masih terintimidasi dengan ancaman Ny. Luisa. Btw keadaan kakak lo gimana sekarang, Taf?"Oktaf menghela napas sebelum mengambil tempat di samping Jazz. "Udah 3 hari dia susah makan. Tiap tidur selalu ngigau nama Melody. Gue bingung harus bertindak gimana kalau dia udah kayak orang depresi."Duk! Duk! Duk!Suara kaki koper yang terantuk dengan tangga, sontak menginterupsi mereka. Oktaf, Jazz, dan Harpa langsung menoleh ke arah yang sama saat melihat Raga buru-buru menuruni tangga dengan penampilan rapi dan barang bawaannya."Loh, kok kalian belum siap-siap? Bukannya kita mau nyusulin Melody ke Meksiko?" Raga menatap bingung ketiganya.Sementara Oktaf, Jazz, dan Harpa hanya bisa saling menatap sat
Sepanjang perjalanan menuju kediaman keluarga Alejandro yang berada di kompleks perumahan elite pusat kota. Oktaf, Jazz, dan Harpa, yang kini seolah tak terpisahkan, sesekali memerhatikan Raga yang begitu antusias untuk pertemuannya bersama Melody. Dua pekan serasa dua tahun, jelas terlihat di matanya pancaran kerinduan pada sosok yang sebelumnya hanya dianggap sebagai pelampiasan. Perlahan Raga sadari, bahwa kehadiran Melody lebih dari berarti. Dan dia membutuhkan perempuan itu lebih dari siapa pun di dunia ini. "Taf!" Jazz tiba-tiba menepuk bahu Oktaf yang tengah menyetir, dari belakang. Wajah lelaki keturunan bule itu tampak memucat. "Ada apa, Bro?" "Kayaknya kita harus puter balik sekarang!"Kini, giliran alis Oktaf yang menyatu. Harpa pun Raga tak kalah kebingungan. "Kenapa? Rumahnya udah di depan!" "Gue nggak bisa jelasin sekarang, pokoknya puter balik dulu!""Iya, tapi apa alasannya? Setidaknya kita harus tahu sebelum memutuskan kembali pul--""Jalan aja terus, Kal! Apa p
Dua minggu sebelumnya, di Warmindo Oktaf. Raga dan Melody duduk bersisian, begitu Oktaf meninggalkan mereka. Sesekali pasangan suami-istri itu beradu pandang, lalu kembali saling menghindar. "Aku harap kalau sampai kita nggak ditakdirkan buat bersama. Kakak bisa dapet seseorang yang mengerti Kakak, yang bisa bikin Kakak bahagia. Tapi, jujur. Aku berharap orang itu bukan Mbak Fiona." Melody memilin jemarinya yang tertaut di atas paha. Kalimat itu keluar seiring dengan air mata yang lolos dari pelupuknya.Raga menghela napas panjang mendengarnya. Mata lelaki itu sesaat terpejam sebelum menimpali ucapan Melody yang sebenarnya tak ingin dia dengar sama sekali, apalagi hal itu menyangkut Fiona. "Aku dan Fiona terikat karena hutang nyawa, Mel. Karena Reyhan. Sampai detik ini nggak ada rasa lebih selain dari tanggung jawab dan prihatin melihat kondisinya. Kalau bisa meminta, aku cuma ingin mengulang waktu. Memperbaiki apa yang udah kumulai, agar hubungan kita bisa lebih baik dari sebelumn
"Bisa berhenti natap gue nggak? Gue nggak akan ke mana-mana!" protes Oktaf yang risi dengan tatapan Raga yang seolah mengulitinya."Gue cuma takut ini mimpi atau halusinasi. Beberapa waktu lalu gue bahkan ngerasa udah gila.""Bang ...." Tatapan Oktaf meredup, begitu mendengar pengakuan Raga. Dia menghela napas, lalu kembali merangkul bahu kakaknya. "Kok, bisa, ya kita tercipta dari dua manusia toksik?" Pandangan Raga tampak lurus ke depan saat mengatakannya. "Udahlah, Bang. Sekarang, kan ada gue. Kita cuma perlu saling menjaga. Berdua, selamanya.""Nggak." Raga menggeleng yang membuat Oktaf kebingungan melihatnya. "Masih ada Melody. Apa pun yang terjadi gue harus bawa dia pul--""NGGAK! LEPAS SIALAN! SAYA NGGAK MAU IKUT. RAGAAA!""LIAT AJA NANTI, REYHAN PASTI AKAN MENJEMPUTMU KE NERAKA! DASAR LELAKI NGGAK BERGUNA!!""KAMU BAHKAN NGGAK PEDULI SAMA RAKA. DIA ANAK KITA, RAGA! RAKA ANAK KITA!"Suara ribut-ribut dari bawah menginterupsi kakak-beradik yang masih melepas rindu setelah bela
Kasus penculikan Melody dan Lyric yang pernah menggemparkan tanah air, tujuh belas tahun lalu akhirnya menemukan titik terang berkat kesaksian Ny. Luisa dan Oktaf alias Kala. Semuanya diperkuat dengan tertangkapnya dua orang komplotan yang membantu Harmoni untuk melancarkan aksinya. Beritanya tersebar nyaris di seluruh media dalam dan luar negeri. Kasus yang dulu sempat menggantung dan tak terpecahkan itu, belakangan ini menjadi buah bibir di mana-mana. Tak terasa sudah dua hari sejak penangkapan Harmoni di kediamannya. Oktaf yang masih terpukul dan mencoba menerima kenyataan yang ada, perlahan mulai bangkit. Dikumpulkanya serpihan harapan yang hancur di tangan ibu kandungnya sendiri. Sesak bercampur nyeri itu ia rasakan, saat potongan-potongan puzzle yang selama ini berserakan mulai tersusun kembali. Kilas balik kejadian masa kecilnya muncul perlahan, dimulai dengan pertengkarannya bersama Lyric, mendapatkan donor darah, sampai kejadian di gedung terbengkalai hingga divonis amnesi