Malam pengantin tak pernah seindah yang Melody bayangkan. Pengalaman pertama yang seharusnya berkesan justru terasa menyakitkan saat dia berakhir di atas pembaringan sebagai pelampiasan lelaki yang tadi siang bersanding dengannya di pelaminan.
Selimut yang hanya menutup sebagian tubuhnya dia tarik perlahan, saat punggung lebar itu meninggalkan ruang kamar, tanpa sepatah pun kata yang diucapkan."Kenapa?" Perempuan dua puluh lima tahun itu bertanya sebelum sampai suaminya berlalu di ambang pintu. "Kalau emang nggak ada rasa, kenapa masih harus melakukannya?"Lelaki bertubuh atletis itu berbalik dengan tatapan tajam yang sama. "Pria lebih banyak menggunakan logika dibanding hatinya. Cuma orang munafik yang menyinyiakan kesempatan, hanya karena alasan nggak cinta!"***Melody Nada Insani dinikahi Raga Purnama Danuarta karena desakan orang tua mereka. Sudah bukan rahasia umum ketika dua keluarga kaya menjalin kerjasama, hingga perjodohan tercipta sebagai perekat hubungan antar keduanya.Dibanding pihak keluarga Melody yang menyerahkan semua keputusan pada sang putri. Raga justru ditekan satu-satunya orang tua yang dia punya, yaitu ibunya. Dia dipaksa untuk menerima, daripada kehilangan segalanya. Segalanya di sini bukan hanya harta dan jabatan, tapi juga seseorang yang membuatnya bertahan melajang sampai kepala tiga.Pernikahan yang akhirnya disepakati bersama ternyata bukan hanya meyakiti salah satu pihak saja, tapi keduanya. Melody maupun Raga sama-sama punya alasan kenapa mereka mau menerima, hingga akhirnya bertahan dalam hubungan tanpa perasaan."Nggak makan dulu, Kak?" tanya Melody saat melihat suaminya berlalu begitu saja melewati meja makan luas dengan enam kursi mengelilingi, yang hanya ia sendiri duduki.Raga melirik, meski tak menoleh sepenuhnya."Nggak laper. Kamu makan aja sendiri!" jawabnya tak acuh."Dari tadi juga udah makan sendiri. Emang kakak liat ada orang selain aku di sini?"Raga menghentikan langkah yang sebelumnya terburu. Dia akhirnya menoleh sepenuhnya pada perempuan itu."Nggak." Raga masih terdiam di tempatnya memerhatikan sang istri."Ya udah. Bukannya lagi buru-buru, ngapain masih di sini?" cibir Melody sembari menyuap nasi goreng terakhir di piringnya.Rahang lelaki bermata pekat itu mengetat, dia menatap perempuan bergaun putih yang masih duduk tenang di meja makan."Kamu masih bisa sesantai itu setelah semua yang terjadi?" Suara Raga semakin dalam menandakan emosi yang tengah dia pendam.Melody menghela napas panjang, lalu mengempaskan sendok dan garpu di atas piring hingga meninggalkan bunyi berdenting."Ya, terus aku harus gimana? Bukannya kita udah sama-sama sepakat untuk menjalani hidup masing-masing apa pun yang terjadi? Tibang makan santai aja dipermasalahin. Emangnya jadi istri pelampiasan aja nggak cape? Aku juga butuh tenaga siapa tahu nanti malam Kakak minta tiga ronde!"Raga memejamkan mata dengan kedua tangan yang terkepal di sisi tubuhnya."Mel--" Giginya sudah gemelatuk menahan geram, sebelum sebuah panggilan terdengar menginterupsi mereka."Maaf, Pak. Meetingnya setengah jam lagi!" Suara Asisten sekaligus sopir pribadinya terdengar. Raga mengusap wajah kasar kala teringat alasannya kesiangan adalah perempuan yang tengah mendebatnya saat ini. Padahal semalam, setelah menuntaskan dahaganya sebagai seorang lelaki mereka tidur di kamar yang terpisah."Kita bicarakan lagi setelah aku pulang nanti," tukas Raga sebelum berlalu pergi."Ya, itupun kalau kamu inget pulang ke sini," batin Melody.***Siangnya, Melody sudah pergi untuk memenuhi janji temu pada seseorang di tempat yang biasa dia kunjungi untuk melepas penat atau membunuh waktu, kala pekerjaannya sebagai Desainer di butik milik sendiri, mulai tak terkendali.Sebuah Warmindo yang sudah dilengkapi dengan perpustakaan mini menjadi pelariannya sejak tiga tahun lalu. Tempat yang terletak di pinggiran ibukota dalam gang padat penduduk ini pula, dia sering melihat Raga suaminya pulang-pergi setelah mengunjungi seseorang yang dia ketahui sebagai sosok yang spesial bagi suaminya hingga ia rela melepas kebebasan demi menikahi Melody."Taf, pesenan yang biasa, ya!" ucap Melody begitu sampai di hadapan pemuda berambut gondrong dengan penampilan urakan yang tengah asik mengguntingi bulu hidung di depan meja kasir.Tiga tahun menjadi pelanggan tetap membuat Melody cukup mengenal penjaga warung dan perpustakaan mini ini."Siap. Airnya dikit, banyakin sawi, telor setengah mateng, kan?" Oktaf--lelaki seumuran Melody itu mendikte kembali makanan yang biasa perempuan itu pesan."Iya. Ngomong-ngomong kamu mandi, kan hari ini? Jangan sampe dakinya netes ke kuah emih," celetuk Melody dengan santainya."Anj--ya mandilah.""Ya, baguslah. Aman berarti." Setelah puas meroasting Oktaf, Melody langsung melipir ke pepustakan mini, memilah-milah bacaan, sembari menunggu orang yang dituju.Sementara itu, Oktaf menyiapkan pesanan tepat di dapur yang tersekat pintu dari meja kasir."Btw ke mana aja lu dua minggu ini? Tumben nggak keliatan," tanya Oktaf begitu dia menghidangkan pesanan Melody plus es teh manis di atas meja."Biasa, ada urusan keluarga." Melody menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari novel di genggaman.Meski sudah tiga tahun kenal. Percakapan mereka memang hanya terbatas dari keseharian, maupun hobi yang sama-sama disukai. Keduanya seolah tak ingin saling melanggar privasi dengan membahas masalah pribadi.Akhirnya Oktaf hanya mangut-mangut, walaupun masih banyak hal yang ingin dia tanyakan tentang perempuan ini."Novel Indo, dengan tema perjodohan rata-rata emang begini, ya?" Melody membuka percakapan saat menyadari Oktaf masih duduk di bangku tepat di hadapannya. Dia menyodorkan novel bersampul merah muda yang di covernya tertulis 'sudah dibaca sekian juta kali di platform anu'"Gimana emang? Gua nggak pernah baca tema romance soalnya." Oktaf balik menanyakan."Ya, gitu. Saling benci, gengsi, cowoknya dingin, nggak mau nyentuh ceweknya, seiring kebersamaan baru cinta muncul perlahan, makin deket, intim, hamil, mulai membucin, konflik dikit, akhirnya bahagia dunia akhirat.""Ya, emang begitu rata-rata. Lu maunya gimana?" Oktaf bingung harus menanggapi, karena sejauh yang dia tahu memang seperti itu."Ya ...." Ada jeda cukup panjang. Melody terdiam, pikirannya jauh melayang menapaki tiap kenangan yang sudah dia lewati selama dua puluh lima tahun kehidupan. "Nggak gimana-gimana, cuma kadang realita nggak sesederhana dan seindah apa yang digambarkan di novel-novel."Oktaf terdiam. Lekat dia menatap perempuan cantik berambut sebahu yang duduk di sisinya. Pandangan mata bening itu beralih dari novel di genggaman. Seolah ada luka yang tersembunyi di balik sorot matanya yang dipaksa tegar."Lu nggak apa-apa, kan, Mel?" Lelaki dengan celana robek-robek itu mulai khawatir.Melody menoleh, lalu tersenyum lebar meyakinkan. "Nggak apa-apa, ko--""Pemisi!" Suara lembut dari arah pintu masuk terdengar menginterupsi.Melody mengintip dari balik rak buku di depan."Oh, orangnya udah dateng!" seru perempuan berkulit putih itu."Siapa?" Oktaf mengerutkan kening.Melody menggeleng sejenak. "Nggak penting. Suruh langsung ke sini aja, Taf!""Oh, oke!" Meski sempat bingung dan penasaran, akhirnya Oktaf mengangguk pelan, sebelum beranjak bangkit.***Melody menatap dengan saksama perempuan berambut panjang yang duduk di hadapannya. Wajah pucat yang nyaris tak pernah tersentuh alat make up, mata bening sayu yang dihiasi bulu nan lentik. Serta kedua alis kembar yang lebat.Ibu satu anak inilah alasan Raga akhirnya mau menikahinya setelah perjodohan mereka lama terencana."Mbak Fiona tahu siapa saya, kan?" Melody langsung saja mengajukan pertanyaan untuk menekankan posisinya."Ya, kamu baru aja jadi istri Raga. Kalian menikah kemarin di gedung Assembly Hall sampe masuk berita saking megah dan meriah acaranya." Perempuan yang lebih dari empat tahun menjada itu masih sempat tersenyum di tengah suara lirihnya.Melody mangut-mangut."Ya, acara yang meriah, tamu dari berbagai kalangan, menghabiskan banyak dana, tapi mempelai pria pikirannya malah ke mana-mana!"Perempuan yang bergantung pada kursi roda itu terdiam menatap Melody dengan tatapan tak terbaca."Dia liatin hape hampir di sepanjang acara. Aku sempet lirik salah satu pesan dari Mbak Fiona yang minta Kak Raga mampir sebentar, karena anak Mbak kangen katanya. Mohon maaf. Yang kangen ibunya atau anaknya?" tambah Melody dengan menggebu-gebu."Raga bilang kalau pernikahan kalian cuma sementara!" Ada kabut amarah yang tersembunyi di balik tatapan lembut Fiona."Oh, ya?" Melody semakin memancing yang sukses membuat perempuan tiga puluh tahun itu mulai menunjukkan aslinya."Ya, pernikahan kalian hanya status, dan kamu cuma pelampiasannya aja, karena saya nggak bisa!"Terpejam mata Melody saat merasakan sesuatu seperti baru saja menghantam dadanya."Raga hanya butuh waktu untuk meluluhkan hati Mamanya agar bisa merestui saya!" Penuh penekanan tiap kata yang Fiona lontarkan bak satu per satu sembilu yang menikam jantung Melody."Jadi, dia mau buat saya jadi janda demi janda?" Ada nada mencibir dibalik kata yang terdengar getir."Emangnya kenapa dengan janda?" Fiona balik bertanya dengan suara yang tak seperti biasanya. "Kalau memang kamu punya segalanya, kenapa cuma saya yang Raga cinta?"Melody memalingkan muka, matanya memanas seketika. Dia remas kuat rok yang dikenakan, kala teringat nama yang Raga sebut di tengah pelepasannya. Fiona."Kamu cantik, kaya, dan berpendidikan, Melody. Semua yang kamu mau bisa kamu miliki. Saya rasa kamu bisa mendapatkan lebih banyak cinta di luar sana!"Melody menengadahkan wajahnya. Dia tahan segenap perasaan bahkan sejak ijab pertama kali Raga lontarkan untuk meminangnya.Hubungannya dengan Raga memang rumit, perkenalan mereka juga sudah berlangsung sangat lama. Meski tak pernah menunjukkannya, tapi Melody meyakini bahwa cinta itu ada.Setelah perasaan sesak di dadanya cukup mereda, dia akhirnya menimpali."Tapi saya cuma mau suami saya, Mbak!"...Bersambung."Kamu cantik, kaya, dan berpendidikan, Melody. Semua yang kamu mau bisa kamu miliki. Saya rasa kamu bisa mendapatkan lebih banyak cinta di luar sana!""Tapi saya cuma mau suami saya, Mbak!"Fiona terbungkam menatap perempuan berparas jelita yang duduk tepat di hadapannya. Tak ada emosi yang kentara, kalimat itu seolah langsung keluar dari dasar hati Melody. Sejak sepakat untuk menerima Raga sebagai suaminya, ia sudah siap dengan segala konsekwensinya, termasuk belenggu yang mengikat suaminya. Yaitu Fiona dan anaknya.Namun, apa salahnya mencoba? Tidak ada yang tahu seberapa dalam hati manusia. Siapa tahu Fiona mau menyerah, setelah sadar posisinya."Kalau itu, saya kembalikan lagi kepada Raga. Dia punya pilihan, dan seharusnya bisa memutuskan." Fiona akhirnya kembali buka suara setelah sekian lama. Sorot mata yang semula terpancar lembut, kini tak lagi ada. Dia seolah tengah menantang istri dari lelaki yang tiga tahun terakhir membersamainya."Setiap keputusan pasti ada pertimbangan.
"Sial, tumben dia pulang cepet?" Melody melotot panik saat Mobil Tesla yang sering digunakan Raga sudah terparkir di pelataran rumah mereka.Perempuan itu linglung sendiri, lalu mondar-mandir beberapa kali sampai akhirnya melihat asisten rumah tangga mereka keluar dari dalam rumah."Bi Tuti!" Melody memanggil wanita paruh baya itu."Eh, Non Mel! Kenapa nggak masuk?""Ng, itu, anu ... dari kapan Kak Raga pulang, Bi?" Dia malah balik bertanya."Kalau nggak salah Bapak pulang dari sejam yang lalu.""Mampus!" Melody menepuk dahi. Dia melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Curhat dengan Oktaf membuatnya benar-benar tak ingat waktu. "Padahal baru jam lima," gumamnya."Lagi ngapain dia, Bi?" tanya Melody lagi."Tadi, sih bibi liat lagi telponan di kamar.""Oh, aman berarti. Aku masuk sekarang kalau gitu." Melody berlari kecil setelah pamit pada Bi Tuti yang hendak membuang sampah di bak depan pagar.Melihat kondisi rumah yang sepi, Melody mengusap dada lega, lalu buru-buru m
Tak terasa, sepuluh hari berselang sejak perubahan statusnya. Melody masih menjalani kehidupan seperti biasa. Bangun pagi, mengerjakan desain, mengontrol butik, sesekali mampir ke lapak Oktaf. Di samping itu, dia juga masih terus berusaha menjadi istri yang baik untuk Raga, meski kehadirannya kadang tak dianggap ada. Dan dia dibutuhkan hanya untuk pelampiasan lelaki itu saja.Walaupun begitu, dia masih terlihat seceria biasanya. Hanya sesekali perempuan itu menangis untuk meluapkan perasaan sebak di dadanya. Sudah lebih dari sepekan berjalan, sepertinya Melody mulai terbiasa dengan kehidupan barunya.Tumbuh sebagai satu-satunya harapan orang tua, membuat dia mampu berdiri tegak di tengah berbagai tekanan yang ada. Seberapa berat pun beban yang ditangguhkan di pundak kecil itu. Melody tetap mampu menahannnya."Ini bukan kamu yang bikin, kan?" Raga bertanya seraya menarik salah satu kursi di meja makan. Lelaki dengan tinggi seratus delapan puluh sentimeter itu terlihat baru selesai olah
Malam tak pernah terasa amat mencekam, sejak pernikahannya dengan Raga. Untuk pertama kalinya sejak sepuluh hari pernikahan, Melody merasa gelisah di kamarnya padahal jam masih menunjukkan pukul 19.01 WIB.Hantu anak kecil itu sudah mengikutinya sejak umur sepuluh tahun. Dulu perempuan itu menganggapnya tak ubahnya teman, karena Melody memang kesulitan beradaptasi dengan lingkungan hingga menyebabkannya mengalami banyak ketertinggalan.Ayahnya sudah pernah membawa Melody berobat ke orang pintar atau melakukan metode 'pembersihan' yang seringkali disebut dengan Rukyah. Namun, tak ada hasil yang signifikan. Sampai sekarang dia masih belum bisa lepas dari bayang hantu anak lelaki yang sudah mengikutinya sejak kecil. Hanya bersama Raga, hantu itu tak berani menunjukkan wujudnya.Sebenarnya wujud hantu itu tak semenyeramkan seperti yang tampak di film-film horor. Wajahnya bahkan bisa dibilang tampan. Namun, tetap saja, saat hantu itu bersikeras ingin membawa Melody pergi entah ke mana, dia
"Kak ....""Kak Raga.""Bangun, Kak! Udah subuh."Melody mengguncang tubuh Raga yang masih terbaring lelap di ranjang, masih dengan mukena yang melekat di tubuh mungilnya.Alis tebal Raga bertaut, perlahan dia membuka mata mencoba menyesuaikan cahaya yang ada, kemudian mengucek mata dan berdecak menatap istrinya."Iya, iya!" Dengan enggan Raga beranjak dari ranjang nyamannya."Ambil wudu, terus sholat dulu!" ingat Melody saat melihat suaminya berlalu begitu aja menuju kamar mandi."Udah mau siang ini, mana sempet?" dalih Raga masih dengan tubuh sempoyongan, karena nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya."Lebih baik telat daripada nggak sama sekali. Makin banyak yang ibadah di rumah ini, makin setan takut buat mampir. Lagian ini baru jam lima lebih sepuluh menit. Buruan, Kak! Mandinya habis sholat aja, lagian semalem kita nggak ngapa-ngapain," desak Melody."Iya, iya, bawel!" Raga mendengkus, lalu berjalan menuju keran yang ada di samping bilik mandi.Beberapa saat kemudian, dia kembali
"Sejauh ini gimana pernikahan kalian?" Pertanyaan Hendrix Alejandro, Ayah Melody membuka percakapan kelima orang yang berkumpul di ruang tamu.Pertemuan tak terencana antara dia serta anak dan menantunya, membuat Raga sempat kesal karena seharusnya saat ini dia tak beranjak dari ranjang dengan Melody dalam rengkuhan."Baik, Yah. Seperti pengantin baru kebanyakan, masih hangat-hangatnya." Raga mengatakannya sembari melirik Melody yang berada tepat di sebelahnya."Kayaknya pertanyaan itu lebih tepat diajukan setelah satu-dua bulan atau bahkan setahun pernikahan," sahut Melody. "Nggak usah basa-basi, kalau nggak ada hal yang penting nggak mungkin Ayah yang super sibuk nyempetin dateng ke sini!""Mel ...." Raga mengingatkan, dia remas jemari istrinya yang terkepal di atas paha."Nggak apa-apa, Ga." Pria paruh baya berdarah Meksiko itu tersenyum. "Bisa tolong tinggalkan kami berdua?" pintanya kemudian.Raga mengangguk, dia bangkit lebih dulu diikuti ibu dan kakak tiri Melody."Ayah tahu pe
Besoknya, Raga celingukan saat turun ke ruang makan. Tak dia temukan sang istri yang biasanya lebih dulu sampai."Melody ke mana, Bi?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar setelah sekian lama pandangannya berkejaran."Non Mel udah pergi beberapa saat lalu, Pak!" sahut Bi Tuti menghampiri."Kok, dia nggak bilang saya, ya?" Raga bingung sendiri. Kalaupun memang ada urusan mendesak, biasanya Melody menunggu Raga pergi lebih dulu."Duh, kalau itu Bibi kurang tahu." Bi Tuti menggaruk rambutnya yang dicepol rapi.Raga menghela napas gusar sembari memeriksa ponsel di genggaman."Ck, mana nombernya nggak aktif lagi." Dia mulai khawatir ada yang terjadi, sebab apa yang baru kemarin Melody alami.Terdesak keadaan, dia memang langsung mengabarkan pada sang mertua saat Bi Tuti laporan kalau istrinya tiba-tiba teriak di kamar. Malamnya Raga juga diam-diam memerhatikan bagaimana istrinya ketakutan hingga meminta tidur bersama, belum lagi sosok 'dia' yang kembali diceritakan setelah cukup lama Raga tak
Lekat Oktaf menatap perempuan cantik yang tengah menyeruput es cappucino extra cream di hadapannya. Dari pagi sampai siang mengamati, bahkan setelah singgah di kedai kopi ini, dia masih belum juga menemukan letak 'kesalahan' dalam diri Melody. Kira-kira apa yang membuat seseorang yang terlihat senormal ini dikatakan 'sakit' hingga pernah ditangani rumah sakit jiwa?"Oktaf suka Americano?" Pertanyaan Melody yang tiba-tiba membuat Oktaf terhenyak dari lamunan yang menghanyutkan. Tanpa sadar dia menggeleng kemudian mengangguk secara beriringan."Jadi, suka atau enggak?" tanya Melody dengan alis yang bertautan."Sebenarnya cuma asal pilih aja, lagian ini yang paling murah, kan?" jawab Oktaf sekenanya."Kenapa pesen yang paling murah? Kan, aku yang bayar," protes Melody setelahnya."Bukan masalah lu yang bayar, kebetulan aja gue emang lumayan suka kopi pait, apalagi buat temen rokok. Keduanya kombinasi yang pas untuk melengkapi idup gue yang nggak kalah pait.""Emang hidup kamu pahit? Kena