Share

Tak Sadar Posisi

"Kamu cantik, kaya, dan berpendidikan, Melody. Semua yang kamu mau bisa kamu miliki. Saya rasa kamu bisa mendapatkan lebih banyak cinta di luar sana!"

"Tapi saya cuma mau suami saya, Mbak!"

Fiona terbungkam menatap perempuan berparas jelita yang duduk tepat di hadapannya. Tak ada emosi yang kentara, kalimat itu seolah langsung keluar dari dasar hati Melody. Sejak sepakat untuk menerima Raga sebagai suaminya, ia sudah siap dengan segala konsekwensinya, termasuk belenggu yang mengikat suaminya. Yaitu Fiona dan anaknya.

Namun, apa salahnya mencoba? Tidak ada yang tahu seberapa dalam hati manusia. Siapa tahu Fiona mau menyerah, setelah sadar posisinya.

"Kalau itu, saya kembalikan lagi kepada Raga. Dia punya pilihan, dan seharusnya bisa memutuskan." Fiona akhirnya kembali buka suara setelah sekian lama. Sorot mata yang semula terpancar lembut, kini tak lagi ada. Dia seolah tengah menantang istri dari lelaki yang tiga tahun terakhir membersamainya.

"Setiap keputusan pasti ada pertimbangan. Kalau Mbak bijak memutuskan, Kak Raga pasti lebih mudah menentukan pilihan." Melody tak mau kalah, dia terus mendesaknya.

"Kenapa kamu sangat bersikeras, Melody? Kamu takut yang Raga pilih ternyata saya?!" Tajam, pertanyaan yang lebih terdengar seperti pernyataan dia gunakan untuk menyudutkan lawan bicara.

Melody menggeleng, ia tersenyum dengan sorot mata yang tajam.

"Awalnya saya kira semua single mom itu luar biasa, tapi setelah melihat Mbak Fiona-- saya menemukan satu yang 'cacat!" Kalimat menohok itu benar-benar berhasil menyulut emosi Fiona. Perempuan berambut panjang dengan kulit kuning langsat itu melotot dibuatnya.

"Kamu mengolok-olok kondisi fisik saya?!" Fiona meradang. Kuat cengkeraman di kedua tangan kursi rodanya.

Namun, dengan santai Melody menanggapi. "Sama sekali enggak. Orang cerdas pasti bisa menilai 'cacat' macam apa yang saya maksud."

Wajah Fiona memerah, rahangnya mengatup rapat berusaha meredam amarah. "Seandainya kamu tahu, bagaimana Raga menilaimu bahkan sejak dulu. Kamu itu beban, Mel. Sadarlah, selama ini kamu hanya menyusahkannya!"

Melody kembali tersenyum, kali ini kepalanya tertunduk menatap kedua tangannya yang bertaut.

"Kalau saya beban, lantas Mbak dan anak Mbak apa? Benalu yang selalu menempel pada inangnya!"

"Cukup!"

Brak!

Fiona memukul meja, hingga membuat kuah mie dan es teh di atasnya sedikit tumpah.

"Saya permisi!" Muak dengan situasi ini, Fiona akhirnya memutar kursi rodanya.

"Kalau Mbak berubah pikiran, sebutin aja nominal angkanya!" Kalimat Melody membuat laju kursi roda Fiona terhenti.

"Nggak perlu!" tolak Fiona keras. "Buat apa uang kamu, kalau Raga bisa memberikan saya segalanya."

Deg!

Perempuan di atas kursi roda itu akhirnya benar-benar berlalu.

***

Melody menyantap mie yang sudah hampir dingin itu, sesekali dia menyeka air mata yang tanpa sadar menetes menghalangi pandangannya.

Tak sengaja menyaksikan semua itu, Oktaf berinisiatif untuk menghampiri perempuan yang bahkan tak peduli memakan mie bercampur rambutnya.

"Ck, minimal kalau makan rambutnya dijepit, walaupun pendek, poni lu, kan panjang!" Oktaf sibuk membenahi rambut Melody. Sementara yang bersangkutan justru melamun.

"Kamu denger semuanya, kan, Taf?" Pertanyaan Melody yang tiba-tiba, sontak membuat Oktaf terdiam. Tangannya masih bertengger di kepala perempuan itu, berusaha mengikat poninya.

"Nggak!" dustanya.

"Bohong! Aku tahu kalau kamu pasti denger," desak Melody.

"Ya, kalaupun denger, emangnya gua peduli?" sahut Oktaf datar.

"Ya, nggak, sih." Melody tertunduk. Dia mengubah posisi, setelah meletakkan mangkuk mie yang sudah tandas di atas meja.

Melihat respons-nya yang demikian, seketika Oktaf merasa iba.

"Mau cerita?"

Melody menggeleng.

Oktaf menghela napas panjang. Sudah biasa dia menghadapi sikap wanita yang kekanakan dibanding usianya.

"Ya udah." Tak mau memaksa, Oktaf hanya pasrah.

"Jadi, gini ...." Namun, Melody tiba-tiba membuka percakapan.

"Tadi katanya nggak mau cerita," goda Oktaf yang membuat Melody mengerucutkan bibirnya.

"Cuma dengerin aja bisa nggak?"

Oktaf terkekeh.

"Oke, oke. Ya udah kenapa?"

"Jadi, aku sama Kak Raga--"

"Kak Raga itu siapa?" potong Oktaf.

"Ck, Kak Raga itu suamiku!" Melody berdecak sembari memukul paha Oktaf.

"Ya, mana gua tahu kalau dia laki lu. Kapan kalian nikah?"

"Dua hari lalu. Kamu nggak liat berita emangnya?" Perempuan itu balik bertanya.

"Gue nggak punya TV."

"Kan, ada hape!"

"Hape cuma gua pake buat push rank sama nonton bokep doang."

"Astaghfirullah." Melody mengerutkan kening, lalu kembali memukul Oktaf, kali ini di lengan.

Oktaf yang tak peduli dengan respons Melody hanya mengedikkan bahu.

"Ya udah, si Raga itu laki lu. Terus apa hubungannya sama Mbak-Mbak yang di kursi roda tadi? Mereka selingkuh?"

Melody menggeleng, tapi beberapa saat kemudian dia mengangguk.

"Gimana, sih, lu? Tadi geleng, terus ngangguk udah kayak dugem."

"Aku bingung jelasinnya. Intinya aku sama Kak Raga udah dijodohin dari kita masih kecil. Dari dulu aku seolah nggak bisa lepas dari dia. Udah ketergantungan aja. Tapi, semua berubah sejak--"

"Negara api menyerang!" potong Oktaf lagi.

"Oktaf!" Melody melotot memeringati.

"Sorry, sorry. Lanjut!" Oktaf terkekeh lagi. Entah kenapa, dia senang saja menggodanya. Karena dibanding perempuan dewasa berumur dua puluh lima tahun, baginya Melody lebih terlihat seperti remaja tujuh belasan tahun.

Melody memutar bola mata, kemudian melanjutkan.

"Semua berubah sejak Mbak Fiona hadir tiga setengah tahun lalu. Dia rebut semua perhatian Kak Raga yang semula cuma buat aku. Sikapnya juga jadi ketus gara-gara, tuh janda!"

"Yang sabar, ya! Emang nggak bisa dipungkiri janda itu lebih menggoda." Oktaf tertawa yang sekali lagi mengundang pukulan Melody di lengannya.

"Emang salah aku cerita sama kamu." Melody menghela napas, lalu menenggak habis es teh manisnya.

"Oke, sorry. Gua cuma mencairkan suasana. Btw, tuh janda tinggal di daerah sini?" tanya Oktaf akhirnya.

"Emangnya kamu nggak pernah liat? Selama ini kamu ngapain aja, sih?" sungut Melody kesal.

"Ya, maaf. Gua, kan no life. Idup cuma muter di sini-sini aja. Tidur, makan, rebahan, jaga warung, itu pun keseringan molor karena sepi."

"Ck, nggak ada masa depan!" cibir Melody.

"Gue nggak peduli. Hidup itu gimana nanti."

"Terserah."

"Oke, gue simpulin aja. Jadi, sejak tiga tahun lalu lu sering mampir ke sini, alasannya buat mantau, tuh laki sama si Janda?!"

"Exactly!" Melody menjentikkan jari.

"Sekarang gue tanya, selama tiga tahun ini lu dapet apa?"

Melody terdiam lama. Beberapa saat kemudian bibirnya tiba-tiba bergetar, dan tangisnya pun tumpah.

"Dapet sakitnya."

"Yaelah malah mewek. Mood lu gampang banget berubah."

Pada akhirnya Oktaf hanya bisa menepuk-nepuk punggung Melody.

.

.

.

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
yenyen
sediih sih tapi seruuu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status