"Si Raga ke mana, sih, Bi? Katanya mau cari Melody, tapi udah sampe tengah malam begini masih belum juga balik." Harmoni mondar-mandir di ruang keluarga rumah Raga. Sudah berjam-jam sejak dia menunggu putranya kembali."Bibi nggak tahu, Bu." Bi Tuti pun tampak panik sendiri. Setelah keributan yang terjadi, wanita paruh baya itu cukup tertekan dan terus merasa tak enak hati."Dia nggak akan pulang sebelum bawa Melody." Harmoni dan Bi Tati menoleh pada Fiona yang keluar dari kamar tiba-tiba menimpali."Kita nggak tanya pendapat kamu," cetus Harmoni ketus, "dasar perempuan nggak tahu diri!""Mau sampai kapan Tante begini?" Harmoni mengernyitkan dahi."Apa maksud kamu?""Saya kenal anak Tante udah cukup lama, loh. Raga juga sering cerita tentang kedekatan antara keluarga Tante sama keluarga Melody yang dirasa janggal selama ini."Pupil mata Harmoni melebar. "Nggak usah sok tahu, ya, Fiona! Siapa kamu, hah?""Saya emang bukan siapa-siapa.Tapi, asal Tante Harmoni tahu, ada satu alasan ken
Oktaf terpaku di tempat menatap tubuh Melody yang mulai kejang-kejang mirip orang kesurupan. Banyak kalimat yang keluar dari mulut perempuan itu, tetapi tak ada satu pun yang mampu Oktaf mengerti.Dia tahu bila seseorang dengan gangguan skizofrenia terkadang bisa tak terkendali, tapi baru pertama kali Oktaf berhadapan dengan salah satu dari penderita yang bisa dibilang orang terdekatnya sendiri. Ada rasa prihatin dan iba di waktu yang bersamaan. Dia seolah masih tak percaya bahwa semua cerita Melody tentang kondisi kesehatan mentalnya itu benar perempuan itu alami."Taf, bantu pegangin!" Panggilan Raga menyentak segala lamunannya tentang ketidakpercayaan Oktaf bahwa sosok sehangat dan seceria Melody bisa menderita penyakit semacam ini. Raga yang sejak tadi sibuk sendiri tampak susah-payah memegangi tubuh sang istri sementara di tangannya terdapat sebuah suntikan obat.Oktaf yang seolah tersadarkan, buru-buru mengambil langkah lebar, lalu mengukung Melody dengan posisi membungkuk di at
"Oktaf ...."Raga dan Oktaf terperanjat begitu mendengar panggilan Melody. Keduanya bangkit dari posisi berbaring hanya beralaskan karpet setelah terjaga hampir semalaman."Y-ya? Kenapa, Mel?" Raga lebih cepat mengambil langkah, dia duduk di tepi ranjang menatap sang istri yang masih mencoba mengumpulkan nyawa."Kak Raga kenapa belum pulang?" tanyanya begitu sadar sepenuhnya."Aku nggak akan pulang sebelum kamu ikut." Bersikeras Raga mencoba menyakinkan Melody."Ya, bener. Dia nggak boleh pulang sebelum lu ikut," serobot Oktaf. Lelaki gondrong itu bangkit setelah sebelumnya memijit pelipis berkali-kali.Melody mengerutkan kening menatap Oktaf yang kini memihak, sebenarnya apa yang terjadi saat ia tak sadarkan diri?"Kok, kamu jadi belain dia, sih?" protesnya."Ng, itu, anu ...." Oktaf menggaruk rambut yang tak gatal. Setelah melihat kondisi Melody semalam, dia tak yakin bisa menanganinya sendiri. Jadi, kehadiran Raga di sini sebenarnya cukup membantu. Bahkan hanya dalam waktu semalam
"Oke."Harmoni akhirnya mengambil keputusan besar setelah melewati perdebatan panjang dengan kekasih gelap putranya yang kini menduduki takhta Melody. Dalam beberapa situasi dia merasa terpojok dengan argumentasi Fiona."Saya akan menentukan bagaimana hubungan kamu dan Raga ke depannya, tapi ... setelah memastikan keadaan Melody."Karena suatu alasan mau tak mau Harmoni mulai menerima keberadaan Fiona. "Terima kasih." Fiona tersenyum penuh kemenangan, sampai suara dering ponsel Harmoni, menginterupsi mereka. Wanita berkursi roda yang sadar posisi itu langsung pergi."Ya, Hendrix?"" .... ""Ng, Raga dan Melody ...." Harmoni tampak kebingungan." .... ""Apa?"Entah kenapa wajahnya langsung memucat saat dia mendengar satu nama yang sampai saat inu masih menyisakan trauma untuk dia dan keluarganya.***"Haaah ... tadi seru banget, ya?" Melody mengempaskan diri di sofa setelah meletakkan beberapa totebag belanjaannya. "Jadi, nggak sabar buat besok.""Udah cukup, Mel. Nggak ada lagi bes
"Oke." Oktaf berusaha mengerti, lalu memilih mengubah topik. "Kalau tentang Lyric, saudara kembar Melody, apa yang lu tahu? Bukannya lu kenal mereka dari masih zigot?"Raga tertegun, dia letakkan ponsel yang semula digenggam. Seolah banyak hal yang dipertimbangkan sebelum memutuskan untuk kembali menggali memori masa lalu yang seolah tak ingin dia kenang lagi."Setahu gue Lyric anak yang cerdas, sangat cerdas. Kita pernah satu sekolah saat masuk sekolah menengah.""Kok, bisa? Bukannya kalian beda lima tahun?""Gue pernah dua kali tinggal kelas, dan dia lompat dua kelas.""Oh, sorry." Sekali lagi Oktaf merasa tak enak karena pertanyaannya yang kadang tak dipikir."Nggak apa-apa. Dulu gue emang bisa dibilang anak yang tertinggal, karena sulit beradaptasi. Satu-satunya teman yang gue punya cuma adik gue sendiri, Kala. Mungkin itu yang jadi alasan kenapa Lyric ngerasa kita nggak setara dan pengaruhin Melody saat keluarga kita ngadain banyak pertemuan bersama. Lu bisa bayangin, gue yang li
"Asyuuu ... boleh gue cekek bini lu sekali ini?" Oktaf berbisik pada Raga begitu mereka duduk di salah satu meja kafe, bersama Jazz dan Harpa yang Melody undang secara resmi.Bahkan sebelum kedatangan mereka bertiga, perang dingin sudah terjadi antara kedua pasangan itu setelah pertengkaran mereka terakhir kali."Diem, gue juga nggak ngerti. Kenapa mesti ada si Jazz, sih?" Raga balas berbisik yang mengundang kernyitan di dahi mulus Jazz yang kebetulan duduk berhadapan dengan mereka."Aduh, panas banget, ya hari ini. Padahal ruangannya ber-AC." Melody mengipasi wajah sembari menatap satu per satu pasang mata yang tengah mengelilinginya.Tak ada yang menghiraukan Melody. Keempat orang itu seolah masih sibuk saling menatap satu sama lain."Interupsi!" Melody memukuli gelas dan sendok hingga menimbulkan bunyi berdenting. Akhirnya mereka semua memusatkan pandangan pada perempuan yang merencanakan pertemuan 'gila' ini. "Kayaknya Bang Jazz sama Kak Harpa lagi ada masalah, ya? Apa karena pert
"Bawa Melody ke kamarnya untuk membersihkan diri!" titah Luisa pada dua pelayan wanita yang menyambut.Wanita tua yang identik dengan warna hitam dan rambut yang dicepol rapi itu berbalik menatap satu-satunya putra yang dia punya, begitu dua pelayan membawa Melody pergi."Harmoni." Ada jeda setelah Luisa menyebut nama ibu kandung Raga itu. "Awalnya kupikir dia wanita terhormat, aku menyukainya karena dia cerdas dengan latar belakang yang jelas, bahkan kupikir tak ada yang lebih baik daripada dia untuk menjadi istrimu saat itu. Tapi, setelah mengetahui apa yang terjadi, ternyata dia tak lebih dari Jalang tak tahu diri. Justru sekarang baru aku sadari, Nada masih jauh lebih baik daripada semua wanita yang pernah dekat denganmu." Luisa menekankan tiap kata yang dia ucapkan dengan logat Bahasa Indonesia yang kurang sempurna, tetapi jelas intinya. 'Wanita-wanita' yang dimaksudnya, termasuk Clara yang saat ini sah sebagai istri kedua dari anaknya."Jujur aku menyesal tak pernah memperlakuka
"Sebenarnya apa yang terjadi, Ma? Kenapa Nenek Lampir itu tiba-tiba balik dan mengusik pernikahan Raga sama Melody?!" tuntut Raga sesaat setelah dia dan Harmoni tiba di rumahnya.Langkah wanita paruh baya berambut cepak itu terhenti, tanpa berbalik menatap sang putra, dia menjawab. "Akhirnya hal yang mama takutkan terjadi. Sejak awal kalian emang nggak seharusnya bersama. Kita udah tamat, Raga!""Tamat gimana maksud Mama? Kayak film? Kayak Novel? Atau Ftv? Tolong jelasin biar Raga bisa ngerti!"Harmoni memejamkan mata sejenak, lalu berbalik agar langsung bersitatap dengan sang putra yang sepertinya butuh jawaban pasti akan apa yang sebenarnya terjadi."Ceraikan, Melody! Bukannya hal itu yang kamu mau agar nggak ada lagi rasa terbebani? Ini kesempatanmu, Nak. Ikhlaskan dia untuk menjalani hidupnya sendiri, perempuan itu bukan seseorang yang bisa dengan mudah kamu tangani."Raga terdiam sesaat, detik berikutnya dia tergelak. Tawa yang seolah penuh ironi, tawa yang menjadi ungkapan rasa