Share

BAb 9 Kehamilan

Seperti biasa di hari pagi – pagi sebelumnya Tamara sudah akan memulai aktifitasnya di dapur membuat sarapan dibantu dengan beberapa pelayan lain. Kehidupanya terus berjalan sebagai seorang istri yang tak pernah di anggap oleh suaminya, tepatnya hari ini pernikahan mereka sudah berjalan empat bulan. Namun tiada yang berubah sama sekali, yang ada hanya keduanya semakin mengacuhkan satu sama lain. Kedua suami istri itu seakan memiliki kehidupan mereka masing – masing, apa lagi sekarang Tamara resmi bekerja sebagai seorang guru di taman kanak- kanak yang tak jauh dari rumah.

Tamara menyajikan nasi goreng buatannya di atas kedua piring lalu kemudian meletakkan di atas meja makan, juga disana Damian sudah duduk dan menunggu sarapannya. Pelayan yang menyaksikan interaksi mereka berdua hanya bisa diam dan menatap miris kedua majikannya ini yang bersikap seperti orang asing. Makan berdua di meja makan namun tak ada sedikit pun pembicaraan yang dapat menjembatangi terjadi sebuah interaksi kecil di antara mereka.

Tara fokus pada sarapannya sementara Damian lebih fokus pada ponselnya, entah hal menarik apa yang ia lihat disana Tamara pun tidak peduli.

“Aku akan segera berangkat” Ujar Damian mendorong sarapannya yang masih tersisa banyak.

Sementara Tamaar hanya diam dan memilih lanjut untuk menghabisi sarapannya.

Kehamilan Tamara kini sudah menginjak usia lima bulan dan selama ini juga Tamara selalu melalui semuanya sendiri, Tamara sama sekali tidak pernah keberatan atau mempermasalah jika sang suami tidak dapat menemaninya untuk Check up kedokter. Tamara sudah terbiasa melalui semuanya sendiri dan juga karena ia tahu Damian akan selalu memiliki alasan untuk dia tidak pergi. Tamara hanay tidak ingin menghabiskan waktu berharap pada pria yang memang sudah sejak dulu tidak ingin bersamanya.

“Hari ini jadwalmu cek kandungan kan, tapi sepertinya aku tidak bisa mengantarmu. Aku ada urusan mendadak jadi kau pergilah sendiri.” Ucap Damian dengan begitu terburu – buru untuk pergi.

Harry datang dan membawakan susu khusus ibu hamil yang telah ia buat untuk majikannya itu. “Nona, ini susunya.”

“Terimah kasih bibi.”

Terkadang Harry merasa kasihan melihat Tamara yang seharusnya mendapatkan banyak dukungan dan kasih sayang dari orang – orang terdekatnya layaknya sorang ibu hamil pada umumnya. Namun tak satu pun teman atau pun keluarga yang hadir untuk itu, Harry melihat jika Tamara berjuang dan melalui semuanya sendiri.

Bahkan taak jarang ia melihat majikannya itu diam – diam menangis saat sauna rumah sedang sepi, ia sendiri begitu takjub dengan bagimana kuatnya mental dari majikannya itu yang selalu memendam semuanya sendiri. Harry juga tidak habis pikir dengan Damian yang statusnya sebagai seorang suami namun sama sekali tidak pernah memperdulikan keadaan istrinya, mau bagaimana pun Tamara tetaplah orang yang sedang mengandung dan akan melahirkan penerusnya. Jiak pun tidak cinta, namun setidaknya berikanlah sedikit perhatian pada sang istri.

“Nona, jika anda tidak keberatan saya bisa mengantar nona kerumah sakit. Saya akan segera menyeesaikan pekerjaan saya.” Ujar Harry pada Tamara.

“Tidak perlu bibi, aku juga biasa selalu pergi sendiri. Lagi pula rumah sakitnya tidak jauh dan aku juga harus ke taman kanak – kanak setelah dari rumah sakit.”

Tamara beranjak dari duduknya setelah menghabiskan sarapan dan susunya, tak ingin membuang – buang waktu Tamara dengan cepat bersiap untuk segera kerumah sakit.

***

Tamara duduk diantara beberapa wanita hamil yang suka sedang menunggu gilirannya untuk melakukan Check up, Tamara menatap iri beberapa wanita hamil yang ditemani oleh suaminya beberapa dari mereka terus menjaga dan memberikan segala perhatian dan dukungan kepada istri mereka.

Tidak lama setelah itu datang seorang anak kecil yang memberikan setangkai bunga padanya, Tamara pun bingung mengapa anak ini memberikan bunga. Namun karena tidak ingin membuat anak kecil itu berkecil hati dan sedih Tamara menerima itu dengan melemparkan senyum yang tulus.

“Terimah kasih.”

“Anda sangat santik, maka dari itu saya memberikan anda bunga.”

“Kamu sangat manis, belajar dari mana kamu bisa bersikap manis seperti ini.” Tanya Tamara gemas mencubit lembut pipi gembul anak laki – laki itu.

“Ayah sering melakukannya itu dengan ibu, ayah memberikan ibu bunga lalu ayah akan mengatakan jika ibu sangat cantik.” Balas anak itu dengan cerdasnya.

Tamara tersenyum lalu mengelus puncuk kepala anak itu, anak kecil yang terlihat bahagia. “Nama kamu siapa?”

Anak kecil itu tersenyum bahagia sambil mengulurkan tangannya untuk memperkenalkan diri. “Namaku Dino, kalau nama anda siapa?”

“Nama kakak Tamara.”

“Suami kakak tidak marah kan karena Dino kasih bunga.”

Tamara terdiam sejenak mencerna pertanyaan dari Dino lalu menggeleng pelan. “Tentu saja tidak, soalnya dia tidak datang jadi dia tidak akan lihat kalau Dino kasih kakak bunga.”

“Kak Tamara cantik sekali, pasti suami kakak juga sering kasih bunga kan?”

Jangankan bunga berbicara dan menanyakan kabar saja tidak pernah, ucap Tamara dalam hati. “Ya, tentu saja.”

“Kalau begitu kenapa sendirian saja, ayah dan ibu mana?” Tanya Tamara lagi, takutnya anak ini berpisah dari kedua orang tuanya.

“Ayah dan ibu ada diruangan dokter, mereka sedang melihat adik.”

Adik?! Tamara mengeryitkan keningnya sejenak. “Adik?”

Anak kecil itu menganguk dengan semangat. “Iya adik, sebentar lagi aku akan segera punya adik.”

“Haa begitu yah, jadi kamu juga akan segera jadi seorang kakak.”

Anak kecil itu seketika tertunduk murung, Tamara yang melihatnya pun jadi bingung. Begitu cepatnya suasana hati anak itu berubah yang tadi begitu ceria dan semangat seketika betubah jadi murung begini.

“Kenapa? Kok mukanya kayak gitu.”

“Nanti kalau adiknya sudah lahir ayah dan ibu tidak akan sayang sama aku lagi, ayah dan ibu pasti akan lebih sayang sama adik.”

Tamara terkejut sebab tidak menyangka jika anak kecil ini akan berkata seperti itu, jadi hal ini yang pikirkannya tadi sehingga terlihat murung dan sedih.

“Teman aku bilang, kalau punya adik ayah dan ibu tidak sayang sama kita lagi.” Ujar Dino.

Tamara menghembuskan nafas pelan, jika posisi yang ia rasakan memang seperti itu tapi tidak semua orang tua juga sama seperti orang tuanya. Tamara hanya kurang beruntung saja sampai ia tidak mendapat kasih sayang dan perhatian ketimbang adiknya yang selalu menjadi hal prioritas.

“Dino…., kamu tidak boleh berpikir seperti itu. Itu namanya Dino seperti meragukan kedua orang tua Dino sendiri, ayah dan ibu pasti akan selalu sayang sama Dion. Asal Dino jadi anak yang baik dan juga sayang sama adik, Dino tidak boleh nakal dan dengarkan ayah dan ibu. Justru kalau punya adik akan lebih seru, Dino punya teman bermain dirumah kalau ayah dan ibu sedang ada kerjaan. Jadi Dino jangan sedih, yah.” Jelas Tamara yang berusaha menenagkan dan meyakinkan Dino.

“Dino!!”

Tamara dan Dino kompak berbalik ke arah suara yang memanggil nama itu, Dion segera berlari kerah sang ibu dan memeluk ibunya dengan erat.

“Ibu, Dino menunggu ibu dan ayah bersama kakak itu.” Ujarnya dengan menunjuk Tamara.

Kedua orang tua Dino saling memandang dan tersenyum kemudian menghampiri Tamara.

“Hai, ingin Check up kehamilan juga.” Sapa ibu Dino.

Tamara menganguk dan tersenyum ramah. “Iya, saya senang karena ada Dino saya tidak merasa bosan dan kesepian. Dia anak yang ramah dan ceria, bahkan juga memberi saya bunga.”

“Tapi Dino tidak merepotkan anda bukan, soalnya Dino begitu aktif makanya Dino keluar dari ruangan dokter karena mungkin bosan berada didalam. Terima kasih sudah menemani putra saya.” Ucap ibu Dino.

“Tidak masalah sama sekali.”

“Kalau begitu saya, suami dan anak saya pamit untuk segera pergi. Karena suami saya sedang ada urusan.”

“Ahh iya, semoga kandungan anda sehat – sehat terus yah sampai diwaktu persalinan.” Balas Tamara yang beranjak dari duduknya.

“Begitu pun dengan anda, semoga kehamilan anda tetap sehat juga dengan ibunya.” Ibu Dion tersenyum ramah dengan mengelus lembut perut buncit Tamara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status