LOGINSeminggu berlalu tanpa terasa. Persiapan yang penuh ketegangan itu kini terbayar lunas dengan hari yang ditunggu-tunggu, yaitu hari sakral yang menyatukan Aryan dan Nadira dalam ikatan suci.
Gaun putih sederhana yang membalut tubuh Nadira memantulkan cahaya lembut. Di hadapan penghulu, dengan tatapan mantap, Aryan mengucapkan ijab kabul yang hanya sekali ucap langsung dinyatakan sah. Tepuk tangan dan ucapan selamat mengalir dari para tamu. Nadira menunduk haru, sementara tangan Aryan menggenggamnya erat, seolah berjanji akan menjaga genggaman itu selamanya.
Keluarga Nadira yang datang dari desa tampak begitu terharu. Ayahnya berkali-kali mengusap mata, ibunya tersenyum penuh syukur, dan adik lelakinya yang masih duduk di bangku sekolah tak berhenti memotret dengan ponselnya.
“Akhirnya, kamu menemukan bahagiamu sendiri, Nak,” bisik sang ibu sambil memeluknya erat.
“Terima kasih karena sudah menjagaku selama ini, Ibu,” balas Nadira membalas pelukannya tak kalah erat.
*****
Tiga hari setelah pernikahan, menjadi momen yang tak akan pernah dilupakan Nadira. Orang tuanya masih memperlakukannya seperti putri bahkan setelah ia resmi menjadi istri orang. Tidak ada bentakan, tidak ada paksaan untuk mengurus rumah. Semua dilakukan dengan hati yang lapang, seolah ingin memastikan putri mereka menikmati hari-hari awal pernikahan tanpa beban.
Namun kebahagiaan itu tak bisa berlangsung lama. Tepat di pagi hari yang keempat, keluarga Nadira harus kembali ke desa. Pekerjaan di ladang menunggu ayahnya, dan adiknya tidak bisa meninggalkan sekolah terlalu lama. Mereka berpamitan di depan kontrakan kecil Nadira dan Aryan, dengan pelukan hangat yang membuat Nadira terasa penuh.
“Jaga dirimu baik-baik, Nak. Ibu titip Nadira padamu ya, Aryan.” Ibunya berpesan sebelum menaiki mobil travel.
Aryan mengangguk, tersenyum tipis memastikan bahwa tak ada keraguan dari ucapannya. “Baik, Bu. Aku janji akan menjaga Nadira semampuku, jadi jangan khawatir. Nanti kalau sudah tiba, jangan lupa kabari kami.”
Setelah mobil travel itu menghilang di tikungan, Nadira berdiri lama di depan pagar. Hatinya hangat, tapi juga sedikit sepi. Aryan merangkul bahunya dari belakang.
“Kita akan sering pulang ke desa kalau kamu mau,” ucapnya lembut.
Nadira hanya mengangguk, mencoba mengabaikan kehangatan pelukan suaminya.
Sore harinya, suasana berubah. Ponsel Aryan berdering. Nadira yang tengah merapikan meja makan hanya melirik sekilas, lalu kembali ke pekerjaannya. Namun, ekspresi Aryan saat menjawab panggilan itu perlahan berubah.
“Iya, Bu ... besok? Selama sebulan?” Aryan menoleh sekilas pada Nadira yang kini menghentikan gerakannya. “Baik, nanti kami ke sana.”
Begitu telepon ditutup, Nadira sudah berdiri di hadapannya. “Selama sebulan di rumah ibumu?” tanyanya dengan nada datar.
Aryan menggaruk tengkuknya. “Iya, Ibu mau kita tinggal di sana dulu. Katanya biar lebih dekat dan ... ya, sekalian ada yang ingin beliau bicarakan.”
Nadira menatapnya tak percaya. “Kita bahkan belum seminggu menikah, Yan. Aku ingin kita menikmati waktu berdua di sini. Kenapa harus pindah ke rumah ibumu? Bahkan sampai sebulan lamanya.”
Aryan menarik napas, lalu menggenggam tangannya. “Sayang, aku tahu kamu khawatir. Tapi aku janji, Ibu tidak akan bersikap menyebalkan padamu. Aku akan ada di sisimu setiap saat.”
“Tapi—”
“Aku tidak akan membiarkanmu sendirian menghadapi beliau. Anggap saja ini kesempatan untuk membuktikan kalau hubungan kita kuat.”
Nadira menunduk, hatinya bimbang. Di satu sisi, ia ingin menjaga hubungan baik dengan mertuanya. Namun di sisi lain, bayangan tentang intervensi mertuanya memenuhi kepalanya.
Aryan mengusap punggungnya perlahan. “Percaya padaku, Nad. Kita akan baik-baik saja.”
Nadira terdiam lama sebelum akhirnya menghela napas. “Baiklah. Tapi kalau ada yang membuatku tidak nyaman, aku akan langsung bilang padamu.”
Aryan tersenyum lega. “Itu yang aku mau. Kita saling terbuka tentang semuanya.”
Namun di dalam hati Nadira, masih ada kegelisahan yang tak bisa ia redam. Ia hanya bisa berharap janji Aryan kali ini benar-benar ditepati.
*****
Sore itu, langit mulai meremang ketika mobil Aryan berhenti di depan rumah ibunya. Udara di halaman depan terasa lebih sejuk, dengan aroma bunga kamboja yang semerbak dari sudut taman.
Nadira duduk tenang di kursi penumpang sebelah Aryan, meski hatinya berdegup sedikit lebih cepat. Ia mencoba mengatur napas, meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja seperti janji Aryan.
Begitu mesin dimatikan, seorang perempuan berambut hitam sebahu mendekat dengan sapu di tangan. Nadira mengenali wajah itu, ya siapa lagi kalau bukan Erlina. Ternyata wanita itu masih ada di sini.
Erlina sempat terhenti di tengah langkahnya. Kedua matanya membulat, jelas kaget melihat siapa yang turun dari mobil. Sapu di tangannya ikut merosot sedikit.
“Kalian ...?” Erlina cepat-cepat memaksakan senyum, lalu meletakkan sapu ke badan mobil. “Astaga, aku tidak tahu kalian mau datang. Kenapa tidak kabari dulu?”
Aryan tersenyum tipis ketika keluar mobil. Ia berjalan pelan menuju bagasi belakang mobilnya. “Keputusan mendadak, Lin. Ibu ingin kami tinggal di sini dulu sebulan.”
Erlina mendekat, tangannya langsung terulur membantu menurunkan koper dari bagasi. “Tapi, bukankah kalian baru menikah? Harusnya masih menikmati waktu berdua.” Nada suaranya terdengar basa-basi, namun tatapan matanya cepat melirik ke arah Nadira.
Aryan terkekeh kecil, mencoba mencairkan suasana. “Justru ini kesempatan bagus. Nadira ingin lebih aku sama Ibu.”
“Oh, begitu. Kalau begitu, ayo masuk. Ibu ada di dalam.” Erlina mengangguk singkat, lalu mengangkat salah satu koper serta mengambil sapunya, kemudian melangkah ke teras.
Aryan mengangkat dua koper besar sekaligus, sementara Nadira hanya menenteng dua tas yang cukup berat. Langkahnya sedikit tertinggal di belakang, membiarkan Aryan dan Erlina berjalan lebih dulu.
Udara di halaman depan terasa kian pekat bagi Nadira. Tatapannya berkeliling, mengamati rumah yang sebentar lagi akan menjadi tempat tinggal sementaranya. Dalam hati, ia bertanya-tanya apakah ini sudah benar.
Begitu melangkah masuk, aroma masakan langsung menyambut dari arah dapur. Mala keluar dari sana dengan celemek masih terikat di pinggang. Senyum lebarnya langsung mengembang begitu melihat Aryan.
“Anakku! Akhirnya pulang juga,” ujarnya sambil meraih tangan Aryan dan menepuknya penuh sayang.
“Iya, Bu,” sahut Aryan, membalas pelukan singkat itu.
Tatapan Mala hanya sekilas beralih ke Nadira, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada putranya.
“Aku sengaja masak banyak hari ini. Ada sup iga kesukaanmu, tumis buncis, dan ayam panggang bumbu asam pedas. Kamu pasti lapar, kan?” Mala berbicara cepat sambil menarik Aryan menuju meja makan yang sudah setengah penuh hidangan.
“Wah, terima kasih, Bu,” Aryan tersenyum.
“Nanti bantu ibu taruh hidangannya, ya, Lin,” panggil Mala ke arah Erlina yang sudah menaruh koper di sudut ruang tamu.
“Baik, Bu,” sahut Erlina cepat, lalu berjalan ke dapur.
Nadira yang berdiri di dekat sofa, merasa sungkan hanya diam. Ia melangkah pelan ke arah dapur. “Biar saya bantu, Bu,” ucapnya dengan nada sopan.
Namun, Mala hanya menoleh sekilas, suaranya hambar. “Tidak usah. Biarkan Erlina saja yang bantu.”
Ucapan itu menghentikan langkah Nadira. Ia berdiri canggung di ambang pintu dapur, melihat Erlina yang sibuk menata piring sambil berbincang akrab dengan Mala. Bahkan telinganya menangkap panggilan ‘Ibu’ yang meluncur dari bibir Erlina, seolah mereka sudah dekat sejak lama.
Udara pagi itu masih menggigit, embun di dedaunan belum sepenuhnya kering ketika sebuah motor berhenti di depan rumah Nadira. Paula turun dari motor dengan sweater tebal dan wajah setengah terkantuk.“Harusnya aku masih tidur nyaman di kasur, tapi aku malah sudah di sini. Aku pasti hanya akan jadi penonton drama romantis pasangan suami-istri itu. Kasihan sekali diriku,” gumamnya setengah malas, sebelum akhirnya ia mengetuk pintu.Tak lama, dau pintu terbuka. Nadira muncul dengan senyum yang sudah siap sejak subuh. Rambutnya dikuncir rapi. “Pagi, La! Cepat juga kamu datangnya.”Paula mengangkat alis. “Aku pikir kita mau berangkat pagi-pagi banget. Kamu sendiri yang bilang, udara di puncak lebih enak kalau berangkat sebelum macet.”Nadira tertawa pelan. “Iya, bener kok. Tapi nggak nyangka kalau kamu bakal berangkat sepagi ini. Perbekalannya udah siap, tinggal nunggu Mas Aryan masukin tas ke bagasi mobil.”Dari dalam, Aryan keluar dengan membawa beberapa tas yang dia bawa di tangan dan b
Beberapa menit pertama diisi dengan suara sendok yang beradu ringan dan dentingan gelas. Tidak ada pembicaraan yang berarti, tapi keheningan itu bukan tanda canggung, lebih seperti ruang yang tenang untuk menikmati kebersamaan.Sampai akhirnya, Aryan membuka suara di sela kunyahannya. “Tadi waktu di mobil, aku jadi kepikiran sesuatu.”Nadira menatapnya singkat. “Apa, Mas?”“Kayaknya aku setuju, deh, kalau Paula sama Pak Raka itu dijodohin aja. Cocok, nggak sih?” Aryan menatapnya dengan mata berbinar jahil, seolah baru saja menemukan ide besar.Nadira tertawa pelan, menutup mulut dengan punggung tangan. “Mas serius? Menjodohkan orang bukan perkara mudah, loh.”“Justru karena itu aku yakin kita bisa bantu. Mas nggak tahu kenapa, tapi ngelihat Paula tadi itu ... kayak anak sekolah yang lagi jatuh cinta diam-diam,” ujar Aryan, nadanya penuh keyakinan tapi tetap diselimuti nada main-main.“Hmm, aku juga ngerasa begitu. Paula memang terlihat sekali sedang menunjukkan ketertarikan pada Pak R
Suara pintu mobil tertutup pelan, diikuti hembusan udara dari pendingin yang langsung merasuk ke kulit. Paula baru saja masuk setelah berpamitan singkat pada Raka, sementara Nadira sudah lebih dulu duduk manis di kursi penumpang depan. Aryan melirik sebentar lewat spion, memastikan semua siap sebelum mobil melaju perlahan di tengah lalu lintas sore yang padat.Tidak ada percakapan selama beberapa detik pertama. Sampai akhirnya Aryan yang duduk di balik kemudi yang lebih dulu membuka suara, nadanya ringan, bahkan terdengar seperti sedang berusaha mencairkan sisa tegang di antara mereka.“Rasanya aku baru sadar, ternyata Paula bisa juga ya akrab sama Pak Raka. Aku lihat tadi kalian ngobrol asyik sekali di halte. Kupikir, Pak Raka itu jauh lebih dekat dengan istriku karena mereka satu divisi.” Nada suaranya dibuat ringan, tapi jelas ada gurat menggoda di baliknya.Nada bercanda yang terselip di ujung kalimatnya membuat Nadira spontan menoleh. Ia menahan senyum kecil yang hampir lolos dar
Setelah mendengar penjelasan Raka yang bilang kalau sebenarnya dirinya dan Aryan memang sempat bersitegang di meja resepsionis beberapa hari lalu, Nadira dan Paula saling berpandangan singkat—tatapan yang cukup untuk memahami maksud satu sama lain. Paula tahu Nadira sudah bisa menebak arah pembicaraan ini jauh sebelum Pak Raka menuntaskannya.Nadira mengangkat sudut bibirnya sedikit, memberikan senyum yang lembut tapi dalam. “Saya sudah tahu, Pak,” ujarnya tenang. “Memang sempat ada pembicaraan antara aku dan suamiku soal itu. Tapi sekarang, semuanya sudah terkendali.”Nada suaranya teduh, tapi ada getar tipis yang nyaris tak terdengar di ujung kalimat. Ia menunduk sejenak, merapikan sendok di tepi piringnya, lalu kembali menatap Pak Raka. “Saya juga mengerti kenapa Bapak memilih untuk tidak menceritakannya. Saya paham, Bapak hanya tidak ingin memperbesar keadaan.”Raka mengangguk pelan. Ada kelegaan samar yang melintas di matanya. “Terima kasih, Nad. Aku lega mendengarnya. Aku benar-
Suara riuh di kantin terdengar samar di antara denting sendok dan gelas. Aroma makanan bercampur dengan wangi kopi instan yang diseduh di sudut ruangan. Nadira dan Paula duduk di meja dekat jendela, tempat sinar matahari jatuh miring, menyorot sebagian wajah mereka.Paula menaruh nampan di meja dengan ekspresi lega. “Aduh, aku masih deg-degan kalau inget tadi pagi, Nad. Sumpah, tadi pas di depan kantor lihat suamimu dan Pak Raka saling sapa gitu, jantungku hampir copot,” katanya sambil menepuk dadanya sendiri.Nadira terkekeh pelan, mengaduk nasi di piringnya. “Kita nggak jauh beda, La. Aku juga tegang banget.“Ya ampun, aku sampai nahan napas, lho. Soalnya, tatapan dua orang itu kayak—” Paula menggantung kalimatnya, menirukan ekspresi dingin Aryan dan datar Raka dengan gerakan tangan dramatis.Nadira tersenyum kecil, tapi senyumnya lebih mirip helaan napas yang tertahan.“Aku cuma bersyukur aja mereka nggak sampai debat di tempat. Kalau itu terjadi, aku pasti langsung pura-pura pings
Aroma kopi hitam dan roti panggang menguar lembut memenuhi ruang makan yang hangat. Suara sendok beradu dengan cangkir menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di antara dua orang yang duduk berhadapan. Nadira memotong rotinya perlahan, menatap piring tanpa benar-benar melihat. Sementara Aryan di seberang hanya sesekali mengaduk kopinya, padahal dari tadi belum seteguk pun tersentuh.Mereka berdua sama-sama mencoba bersikap wajar. Tapi keheningan yang terlalu rapi justru membuat udara di meja makan itu terasa kaku, seperti ada sesuatu yang belum selesai dibicarakan.“Rotinya gosong dikit, Mas,” gumam Nadira pelan, mencoba membuka percakapan.Aryan menoleh, bibirnya terangkat kecil. “Nggak apa-apa. Justru aku lebih suka yang agak garing, Nad,” balasnya datar tapi lembut.Jawaban yang seharusnya biasa itu malah terdengar terlalu tenang. Nadira tahu, suaminya sedang menahan sesuatu di balik nada suaranya. Ia pun hanya mengangguk kecil, kembali menunduk menatap piring.Belum sempat suasa







