Aryan yang memperhatikan dari ruang tamu segera menghampiri Nadira. “Sayang, keluar sebentar, yuk,” ajaknya sambil menyentuh pelan punggung istrinya.
Nadira mengerutkan dahi. “Ke mana?”
“Jalan-jalan sebentar. Anginnya enak, lumayan buat santai setelah perjalanan.”
Tanpa memberi waktu Nadira membantah, Aryan menggandengnya keluar lewat pintu samping. Begitu udara malam menyapa kulit, langkah Nadira terasa lebih ringan, tapi hatinya masih menyisakan ganjalan.
Aryan tersenyum kecil, mencoba menenangkan. “Jangan dipikirin, ya. Ibu mungkin belum terbiasa sama kamu, jadi mohon maklum dulu. Lagi pula, bisa jadi ibu bersikap begitu karena emang nggak mau bikin kamu capek, kita habis dari perjalanan lumayan jauh.”
Nadira menatapnya lama. “Aku ngrasa ibu emang nggak mau dekat denganku. Aku lihat sendiri giliran sama Erlina terlihat sangat akrab, padahal dia cuma kerabat jauh. Sedangkan sama aku yang jelas-jelas istrimu, ibumu terlihat dingin.”
Aryan terdiam sejenak, seperti menimbang jawabannya.
Nadira menatap Aryan dengan tatapan penuh keraguan. “Yan, aku mau tanya. Mau sampai kapan Erlina tinggal di rumah ibumu? Masa kita harus satu atap selama sebulan? Aku jujur, itu membuatku merasa tak nyaman. Bagaimanapun, meski dia kerabat jauh, tidak baik kalian berada di rumah yang sama terlalu lama.”
Aryan menghela napas, lalu menatapnya sabar. “Sayang, aku paham kekhawatiranmu. Tapi Erlina juga pasti mengupayakan untuk segera dapat kerja dan pindah. Dia ingin mandiri di kota ini, cuma ya itu butuh waktu. Lagi pula, dia bukan orang asli sini, jadi memang belum bisa adaptasi.”
Nadira mengerutkan dahi merasa belum puas dengan penjelasan itu. “Tetap saja—”
Aryan memotong pelan. “Dengar, aku kerja dari pagi sampai sore. Malamnya, aku hanya akan langsung mencari kamu. Tidak akan ada celah untukku dekat-dekat sama Erlina. Kamu yang akan selalu jadi satu-satunya untukku.”
Kata-kata itu terdengar tulus, namun rasa tak nyaman di hati Nadira belum sepenuhnya sirna. Ia hendak menyanggah lagi, tapi Aryan lebih dulu tersenyum kecil. “Sudahlah, kita kembali ke rumah. Pasti makanannya sudah siap.”
Dengan enggan, Nadira mengangguk. Aryan kembali meraih tangannya, menggenggam erat saat melangkah putar balik menuju rumah.
Namun, sebelum sempat memasuki halaman rumah, sosok Erlina keluar dari pintu rumah. Ia berlari kecil mendekati keduanya yang tampak termangu melihatnya.
“Kalian habis dari mana saja? Ibu menyuruhku mencari, untung saja kalian sudah kembali,” ujar Erlina dengan senyum tipis.
Aryan terkekeh, meski sedikit canggung. “Ah, maaf. Kami cuma jalan sebentar di sekitar sini. Ayo, masuk.”
Ia kemudian melangkah lebih cepat ke dalam, seperti merasa tak enak pada ibunya karena membuatnya menunggu. Dalam hitungan detik, Aryan menghilang di balik pintu, meninggalkan Nadira dan Erlina berdua di luar.
Keheningan sejenak menyelimuti. Erlina menatap Nadira, seolah menunggu ia bicara lebih dulu.
Nadira mengangkat dagunya sedikit. “Mau sampai kapan kamu tinggal di sini? Bukankah harusnya kamu segera cari kerja dan kontrakan? Apalagi aku dan Aryan sepertinya akan sering berkunjung. Kuakui, rasanya tak nyaman jika di rumah ini malah melihatmu.” Nada suaranya tenang, namun tegas.
Erlina tampak terkejut mendengar ucapan Nadira. Matanya membesar sesaat sebelum ia menghembuskan napas panjang, mencoba tetap tenang.
“Aku sebenarnya sudah melamar kerja di beberapa tempat, Nadira. Cuma, memang belum ada satu pun kabar kalau aku diterima. Lagipula, Ibu sendiri yang memintaku tinggal di sini. Katanya, daripada aku buang-buang uang buat kontrakan, lebih baik sekalian di rumah ini. Toh, Ibu senang ada temannya di rumah,” ujarnya, nada suaranya mulai terdengar sedikit defensif.
Nadira mengerutkan kening. “Teman di rumah?” ucapnya dengan nada penuh sindiran. “Lucu sekali. Jadi selama ini kamu menganggap tinggal di rumah ini itu hakmu, ya?”
Erlina menahan senyum tipis, namun matanya menyiratkan rasa kesal. “Kamu sepertinya terlalu jauh curiga padaku. Aku di sini cuma numpang, Nadira. Tidak lebih.”
“Terlalu mencurigai?” Nadira mendengus pelan. “Kalau begitu, coba jelaskan. Kenapa kamu memanggil ibunya Aryan dengan sebutan ‘Ibu’? Padahal harusnya tante atau bibi. Aku risih mendengarnya.”
Senyum Erlina melebar, kali ini penuh ketidakpercayaan. “Astaga, jadi masalahnya cuma itu? Nadira ... panggilanku pada Tante Mala itu biasa. Dia sendiri yang menyuruhku untuk memanggilnya ibu. Lagi pula, keluarga kita adalah kerabat dan sudah saling kenal jauh sebelum kamu bergabung sebagai anggota baru, yaitu istrinya Aryan. Itu kebiasaan yang normal, bukan karena aku ingin merebut tempatmu.”
Nada tawanya membuat dada Nadira semakin panas. “Kebiasaan atau tidak, kamu harus tahu diri. Sekarang aku istrinya Aryan, dan—”
Belum sempat Nadira menyelesaikan kalimatnya, suara pintu terbuka terdengar. Aryan muncul, pandangannya bergantian menatap kedua perempuan itu yang berdiri hanya beberapa langkah berhadapan.
“Kalian kenapa? Kok seperti ... tegang begini?” tanyanya sambil berjalan mendekat.
Nadira terdiam, bibirnya terkatup rapat. Erlina hanya menunduk sekilas, mencoba menyembunyikan ekspresinya.
Aryan menatap keduanya dengan raut bingung. “Ayo masuk. Makan malam sudah siap. Aku nggak mau lihat kalian saling dingin begini.”
Ia lalu meraih tangan Nadira, seolah ingin mengajaknya menjauh dari situ. Namun, Nadira masih bisa merasakan tatapan Erlina di punggungnya. Tatapan yang bukan sekadar basa-basi ramah seperti di depan orang lain.
***
Mala terlihat begitu bersemangat saat Aryan dan Nadira bergabung di meja makan. Namun, dari semua percakapan yang terjadi, hampir semuanya hanya berputar antara Mala dan Aryan.
“Ibu dengar proyek di kantormu sedang ramai, Yan?” tanya Mala sambil menambah lauk di piring anaknya.
Aryan tersenyum, mulai bercerita panjang lebar tentang pekerjaannya. Nadira hanya menunduk, sesekali mengunyah perlahan. Tak sekalipun Mala menoleh padanya, apalagi mengajak bicara.
Erlina duduk di seberang Aryan, ikut menyimak obrolan dengan sesekali menimpali. Semua terasa seperti adegan hangat keluarga. Hanya saja, Nadira berlakon seperti penonton yang tidak diundang.
Begitu makan malam selesai, Nadira bangkit lebih dulu. “Aku ke kamar, ya,” ucapnya singkat. Aryan hanya mengangguk.
Nadira berharap suaminya akan menyusul, namun beberapa menit kemudian pintu kamar terbuka, dan Aryan hanya masuk untuk berkata, “Sayang, Ibu mau ngobrol santai di teras. Aku temani sebentar, ya.”
Nadira mengangguk pelan. “Iya. Nggak apa-apa.” Dalam hatinya, ia menenangkan diri. Lagi pula itu hanya obrolan ibu dan anak.
Namun, setengah jam kemudian, rasa haus membuatnya keluar kamar untuk mengambil air di dapur. Saat melewati ruang tengah, samar-samar terdengar suara tawa Aryan bercampur Erlina dari arah teras.
Langkah Nadira otomatis melambat. Rasa penasaran menguasai dirinya. Ia mengintip dari balik pintu kaca—dan saat itu juga, napasnya tercekat.
Erlina duduk di sebelah Aryan, keduanya saling merapatkan lutut, seperti dua orang yang tengah berbagi cerita pribadi. Malam itu langit bertabur bintang, dan meraka sama-sama menatapnya seakan melupakan dunia di sekitarnya.”
Tawa kecil keluar dari bibir Erlina, lalu ia menepuk pelan lengan Aryan, berusaha menyembunyikan rona merah yang mekar di pipinya. Aryan hanya menggeleng sambil tersenyum tipis, jelas tidak menepis tepukan itu.
Di tempatnya berdiri, Nadira merasakan darahnya mengalir lebih cepat. Tangannya yang memegang gelas terasa dingin, sementara pikirannya dipenuhi tanda tanya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di hadapannya?
Pagi harinya, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar. Nadira terbangun lebih dulu, tubuhnya terasa sedikit pegal namun segar. Ia bangkit perlahan, menyalakan ponsel yang sejak malam diisi dayanya.Layar baru saja menyala dan langsung dipenuhi deretan notifikasi. Puluhan panggilan tak terjawab dari Aryan, disusul beberapa pesan yang tak sempat ia baca. Dada Nadira terasa bergemuruh, campuran antara senang karena suaminya kelimpungan mencarinya, namun juga bingung harus bersikap bagaimana.Belum sempat ia membuka satu pun pesan itu, suara langkah terdengar dari arah dapur. Paula muncul sambil menenteng dua gelas teh hangat. “Akhirnya hidup juga tuh ponselmu,” ujarnya sembari duduk di sebelah Nadira.“Iya, nih. Eh, ternyata dari semalam Mas Aryan nelpon berkali-kali dan juga spam pesan padaku,” gumam Nadira pelan, jemarinya masih ragu menyentuh layar.Paula menatapnya sesaat sebelum menaruh gelas di meja. “Kalau kamu nggak siap ngomong sekarang, kirim pesan aja dulu. Bilang ponselmu
Nadira menahan napas cukup lama sebelum berbalik dan berlari kecil menjauh dari rumah Paula. Suara langkahnya berpacu dengan detak jantung yang berisik di dada. Ia tak peduli lagi dengan dinginnya udara malam yang menusuk kulit. Pikirannya hanya satu, yaitu menjauh sebelum Aryan menyadari keberadaannya.Begitu mencapai jalan besar, matanya menatap liar ke segala arah, mencari tanda-tanda motor Paula. Rasa panik yang sejak tadi ia tekan, kini hampir meledak. Untung saja, dari kejauhan ia melihat cahaya lampu motor yang familiar tengah melaju cepat ke arah gerbang kompleks.“Paula!” serunya berteriak keras sambil melambaikan tangan agar Paula mendengarnya.Motor itu segera berhenti. Paula yang mengenakan jaket krem menurunkan kaca helmnya, terlihat terkejut sekaligus bingung. “Nad, ngapain kamu di sini? Bukannya harusnya udah di rumah duluan?”Nadira menghampiri, napasnya masih tersengal. “Paula, tolong kita jangan ke rumahmu dulu. Putar balik saja,” katanya cepat sambil menggenggam len
Nadira berdiri di tepi jalan sambil menatap layar ponselnya yang menunjukkan waktu hampir pukul 6 malam. Angin sore yang mulai menusuk membuat tubuhnya menggigil pelan. Dari kejauhan, suara kendaraan lewat hanya sesekali terdengar, tapi tak satu pun di antaranya adalah bus yang ditunggunya sejak dua puluh menit lalu.Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari tanda-tanda kalau bus jurusan tempat tinggalnya Paula akan segera datang, tapi nihil. Waktu terus berjalan dan rasa gelisah mulai mengusik dadanya.“Sepertinya aku salah perhitungan,” gumamnya pelan sambil menggigit bibir bawah.Tangan kirinya meremas tali tas yang disampirkan di bahu, sementara tangan kanan menggenggam ponsel yang mulai menipis baterainya. Tak ada orang lain di sana, hanya dirinya dan suara jangkrik yang samar-samar terdengar dari balik semak.Beberapa kali ia mencoba melambaikan tangan ketika melihat lampu kendaraan mendekat, tapi ternyata itu bukan bus melainkan mobil pribadi yang melintas cepat tanpa mempe
Cahaya pagi menyusup lembut lewat celah tirai. Udara dingin dari luar membuat Nadira menggeliat pelan, matanya terbuka separuh, menatap langit-langit kamar yang asing tapi terasa menenangkan. Di sampingnya, Paula sudah terbangun lebih dulu. Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan, sesekali melirik ke arah Nadira dengan senyum lembut.“Pagi, Nad. Gimana tidurmu? Nyenyak apa nggak?” sapa Paula ringan.Nadira mengerjap beberapa kali, lalu mengangguk kecil. “Lumayan,” jawabnya pelan. Suaranya serak karena terlalu banyak menangis semalam. Ia sempat mengusap matanya dengan punggung tangan, mencoba menyembunyikan bengkak di kelopak mata yang masih terlihat jelas.Paula berdiri dan berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil dua cangkir teh hangat yang sudah ia siapkan tadi. “Nih, minum dulu. Habis itu buruan mandi, lalu kita berangkat ke kantor, ya. Kamu harus optimis kalau hari ini akan berjalan baik.”Nadira menerima cangkir itu dengan hati-hati. Uap
Aryan menghembuskan napas kasar sambil merenggangkan dasinya. “Maaf, Nad ... aku terbawa emosi. Habis kamu duluan yang bikin aku panas, karena ucapanmu itu terlalu memojokkan Ibu. Aku tentu tak suka ada orang lain yang bicara buruk soal beliau,” ujarnya berat, menatap wajah istrinya yang tampak terluka.Nadira membeku. Matanya masih membulat lebar, menatap Aryan tak percaya.“Oh, jadi aku orang lain yang menjelekkan ibumu? Berarti istrimu ini masih terhitung sebagai orang lain di keluargamu, Mas? Begitu, ya?” suara Nadira bergetar, tapi nadanya tegas.Sekejap wajah Aryan pucat. Ia menggeleng cepat, matanya panik. “Bukan, bukan begitu maksudku, Nad. Aku cuman—”“Sudahlah, Mas. Aku sudah cukup mendengar omongan menyakitkan darimu malam ini.” Nadira memotong ucapan suaminya dengan dingin. Lalu ia berdiri, menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah mendesak di pelupuk.Nadira sedikit melangkah menjauh dan tatapannya tertuju lurus ke arah pintu. Tangannya sempat terangkat, mem
Suara tawa Paula perlahan mereda ketika ia dan Nadira akhirnya sampai di depan rumah sederhana itu. Di depan gerbang, sebuah mobil hitam sudah terparkir rapi.Aryan.Pria itu tampak berdiri menyender di kap mobil, kedua tangannya terlipat di dada, wajahnya sulit ditebak antara lega atau justru resah. Begitu melihat motor Paula mendekat, Aryan buru-buru menegakkan tubuhnya, sorot matanya langsung terarah pada Nadira yang duduk di jok belakang.Nadira terperangah, nyaris kehilangan kata. Jantungnya berdebar tak karuan, perasaan gugup tiba-tiba menyergap. Ia bahkan belum bersiap untuk menghadapi suaminya malam ini.“Mas Aryan ...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Paula yang ikut menangkap situasi itu seketika paham. Tanpa banyak basa-basi, ia segera turun dari motor dan berusaha mencairkan suasana. “Masuk dulu saja, ya. Jangan ngobrol di depan gerbang, nanti malah jadi tontonan tetangga.”Paula lekas membuka pintu gerbang rumahnya, lalu menoleh sekilas kepada Nadira dan Aryan. Senyu