Aryan menarik napas pelan. Ia tahu, apapun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan cukup untuk memadamkan bara api di hati Nadira. Maka ia memilih langkah lain.
Perlahan, ia melepaskan pelukannya. Nadira menunduk, menyeka sisa air mata yang menggantung di pipinya. Aryan menoleh ke belakang, tepat ke arah Erlina yang sejak tadi berdiri membisu seperti patung. Matanya kosong, wajahnya pucat, dan jelas terlihat bahwa ia merasa tidak nyaman berada di tengah pertengkaran itu.
“Erlina,” panggil Aryan, tenang namun tegas.
Gadis itu mendongak cepat. “Iya?”
“Kamu tunggu di mobil, ya. Aku ingin bicara dengan Nadira cukup lama. Kalau bosen di mobil, kamu juga bisa jalan-jalan sekitar kompeks sini, nanti kalau kita udah beres pasti aku telepon.”
Ragu sesaat, Erlina akhirnya mengangguk. Ia melangkah mundur dengan pelan, kembali masuk ke dalam mobil seperti yang diperintahkan. Pintu tertutup rapat, menyisakan hanya Aryan dan Nadira di teras yang sepi.
Tanpa berkata apa-apa, Aryan menggandeng tangan Nadira. Awalnya perempuan itu enggan bergerak, namun akhirnya mengikuti langkah tunangannya masuk ke dalam rumah.
Begitu sampai di ruang tamu, Aryan membimbing Nadira duduk di sofa. Ia sendiri tidak duduk di sebelahnya, melainkan berlutut di hadapannya. Tangannya menggenggam kedua tangan Nadira yang masih terlipat di atas pangkuan.
Tatapan mata mereka bertemu. Dalam diam itu, Aryan mencari celah untuk menyusupkan ketulusan.
“Nadira, aku minta maaf. Aku tahu, kamu pasti sangat kecewa. Mungkin kamu merasa sendirian dalam hubungan ini. Tapi sungguh, kamu salah kalau berpikir aku tidak memihakmu.” Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang khusyuk.
Nadira masih diam, tapi matanya mulai berkabut lagi. Ia menunduk, mencoba menghindari tatapan Aryan yang terlalu jujur.
“Aku nggak akan membiarkan siapa pun membuatmu merasa tak diinginkan. Bahkan jika itu ibuku sendiri. Aku memang belum bisa sepenuhnya menentang beliau. Tapi aku janji, kalau suatu saat ada ketegangan antara kalian, dan memang ibuku yang salah, aku akan memilih berpihak padamu. Kamu akan jadi istriku, Nad. Calon ibu dari anak-anakku nanti. Kamu adalah rumah yang selalu ingin aku pulangin.”
Isakan kecil kembali terdengar dari tenggorokan Nadira. Kali ini bukan karena marah atau kecewa, tapi karena hatinya terasa disiram air hangat. Kata-kata Aryan yang jarang ia dengar sedalam ini, membuat tembok kerasnya mulai retak.
“Kamu tahu ... aku takut, Aryan. Aku takut menikah hanya untuk jadi orang asing di pihak keluarga suamiku sendiri. Aku tidak mau hubungan kita hancur karena intervensi pihak ketiga,” gumam Nadira lirih.
Aryan mengangguk cepat. “Aku juga takut kehilangan kamu. Makanya aku di sini. Memohon agar kamu tetap percaya. Kita pasti bisa jalanin ini bareng-bareng.”
Butuh beberapa detik bagi Nadira untuk menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Aryan yang masih bersimpuh di bawahnya. Dengan pelan, ia menggenggam balik tangan laki-laki itu.
“Baiklah. Tapi aku minta kamu pegang janjimu. Jangan biarkan aku merasa sendirian lagi.”
Aryan langsung mengangguk, lalu mengecup lembut punggung tangan Nadira. “Aku janji.”
Suasana menjadi lebih hangat. Ketegangan mulai mengendur. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, membiarkan kebisuan itu bekerja sebagai penawar luka.
Setelah Nadira terlihat jauh lebih tenang, Aryan perlahan berdiri. Ia mengusap kepala Nadira sekilas, sebelum berbalik menuju dapur.
“Mau ke mana?” tanya Nadira pelan.
Aryan menoleh dengan senyum kecil. “Bikin susu cokelat buat kamu.”
Nadira berkedip. “Tapi aku udah bikin tadi pagi.”
“Iya, tapi pasti udah dingin. Nggak enak lagi. Sekalian, ini juga bentuk permintaan maafku.
Nadira tidak menanggapi, hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Ada rasa geli dan haru yang bercampur dalam dadanya.
Beberapa menit kemudian, Aryan kembali dengan dua mug susu hangat di tangannya. Nadira menerima salah satunya, dan keduanya duduk berdampingan di ruang makan.
Percakapan mereka mulai ringan. Tawa pelan menyelingi, mencairkan suasana yang tadinya beku. Seolah tak terjadi pertengkaran sebelumnya, seolah luka tadi hanyalah debu yang sempat beterbangan lalu mengendap kembali.
***
Namun di luar sana, di dalam mobil yang terparkir, Erlina menatap rumah dari balik kaca. Erlina duduk membisu di bangku penumpang belakang. Tubuhnya bersandar lemas, matanya memandangi jalanan kompleks yang lengang dari balik kaca jendela.
Suara ponselnya yang bergetar di dalam tas membuatnya tersentak kecil. Ia buru-buru merogoh dan melihat nama yang tertera di layar. Tante Mala—ibunya Aryan.
Erlina menelan ludah, ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat.
“Halo, Tante. Ada apa, ya?”
Suara di seberang terdengar tegas dan dingin. [“Bagaimana? Sudah sampai? Bagaimana Nadira menyambutmu?”]
Erlina melirik rumah yang sunyi itu, lalu mengusap tengkuknya yang terasa tegang.
“Sudah, Tante. Kami baru sampai tadi pagi. Tapi—” Erlina menarik napas, suaranya mengecil. “Tadi sempat terjadi sedikit keributan antara Nadira dan Mas Aryan.”
Sejenak tidak ada respons di seberang. Hanya desahan napas yang terdengar lirih.
[“Keributan? Apa Nadira mulai berulah? Apa dia marah karena kamu ikut? Aku sudah bilang ke Aryan, kalau perempuan itu pasti tidak bisa terima kamu ada di dekatnya.”] Suara Mala meninggi sedikit.
Erlina tidak langsung menjawab. Ia menggigit bibir, merasa tak nyaman berada di tengah-tengah pertarungan diam antara dua pihak yang seharusnya tidak saling berseteru.
Namun sebelum ia sempat menenangkan suasana, dari balik jendela mobil, terdengar suara tawa. Erlina menoleh cepat.
Di sana, dari arah dalam rumah, Aryan dan Nadira melangkah keluar sambil bergandengan tangan. Keduanya tampak tersenyum hangat dan akrab, seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.
Tawa Aryan menggema kecil, diikuti cengiran Nadira yang mencoba memukul pelan lengan tunangannya itu.
Melihat itu, Erlina kembali membawa ponsel ke telinganya. “Mereka ... sepertinya sudah baikan, Tante.”
Suara di seberang langsung berubah muram. [“Cepat sekali berbaikannya,”] gumam Mala, nadanya penuh nada sinis.
‘KLIK’
Sambungan diputus sepihak, membuat Erlina terdiam dengan layar ponsel yang kembali gelap. Ia menghela napas panjang, menyandarkan kepala ke jok mobil sambil menatap kosong ke langit-langit.
Beberapa menit kemudian, Aryan membukakan pintu pagar dan menghampiri mobil dengan tangan Nadira masih menggandeng erat. Mereka tampak begitu mesra, seperti pasangan muda yang tengah dimabuk cinta.
Aryan membuka pintu mobil untuk Nadira lebih dulu, lalu melirik ke kursi belakang. Ia tampak sedikit terkejut saat menyadari bahwa Erlina masih setia duduk di dalam sejak tadi.
“Maaf ya lama, Erlina. Aku tidak tahu ternyata kamu tetap nunggu di sini,” ujar Aryan menatapnya dengan rasa bersalah.
Erlina hanya tersenyum kecil dan menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku malah bersyukur kalian sudah berbaikan. Tadi aku sempat takut, beneran bakal batal nikahnya.”
Aryan tertawa pelan. “Doakan aja semoga tidak ada drama lagi sampai hari H.”
Nadira ikut tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil. Aryan menyusul setelah terlebih dahulu membantu memasangkan sabuk pengaman untuk Nadira. Gerakannya lembut dan penuh perhatian.
Erlina yang duduk di belakang hanya bisa menyaksikan semua itu dalam diam. Hatinya kembali mencelos. Ada kehangatan di antara mereka berdua yang terasa mustahil untuk ditembus. Sesuatu yang tak bisa ia miliki, bahkan mungkin hanya bisa ia kagumi dari jauh.
Perjalanan menuju tempat fitting pun dimulai. Sepanjang jalan, Aryan terus menggoda Nadira—menyanyikan lagu-lagu cinta dengan nada sumbang, lalu tertawa karena Nadira merajuk malu. Tangan mereka saling bergandengan di atas sandaran tengah. Seolah Erlina memang tidak ada di sana.
Erlina sesekali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, pura-pura menikmati pemandangan. Tapi hatinya terusik. Rasa iri itu muncul pelan-pelan, merayap halus seperti kabut yang menyelimuti dada.
Ia ingin tak peduli, tapi bagaimana mungkin jika senyum manis Aryan untuk Nadira terus saja menghantui pikirannya? Erlina mengepalkan tangan di atas pangkuan. Ia tahu, perasaannya salah.
Pagi harinya, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar. Nadira terbangun lebih dulu, tubuhnya terasa sedikit pegal namun segar. Ia bangkit perlahan, menyalakan ponsel yang sejak malam diisi dayanya.Layar baru saja menyala dan langsung dipenuhi deretan notifikasi. Puluhan panggilan tak terjawab dari Aryan, disusul beberapa pesan yang tak sempat ia baca. Dada Nadira terasa bergemuruh, campuran antara senang karena suaminya kelimpungan mencarinya, namun juga bingung harus bersikap bagaimana.Belum sempat ia membuka satu pun pesan itu, suara langkah terdengar dari arah dapur. Paula muncul sambil menenteng dua gelas teh hangat. “Akhirnya hidup juga tuh ponselmu,” ujarnya sembari duduk di sebelah Nadira.“Iya, nih. Eh, ternyata dari semalam Mas Aryan nelpon berkali-kali dan juga spam pesan padaku,” gumam Nadira pelan, jemarinya masih ragu menyentuh layar.Paula menatapnya sesaat sebelum menaruh gelas di meja. “Kalau kamu nggak siap ngomong sekarang, kirim pesan aja dulu. Bilang ponselmu
Nadira menahan napas cukup lama sebelum berbalik dan berlari kecil menjauh dari rumah Paula. Suara langkahnya berpacu dengan detak jantung yang berisik di dada. Ia tak peduli lagi dengan dinginnya udara malam yang menusuk kulit. Pikirannya hanya satu, yaitu menjauh sebelum Aryan menyadari keberadaannya.Begitu mencapai jalan besar, matanya menatap liar ke segala arah, mencari tanda-tanda motor Paula. Rasa panik yang sejak tadi ia tekan, kini hampir meledak. Untung saja, dari kejauhan ia melihat cahaya lampu motor yang familiar tengah melaju cepat ke arah gerbang kompleks.“Paula!” serunya berteriak keras sambil melambaikan tangan agar Paula mendengarnya.Motor itu segera berhenti. Paula yang mengenakan jaket krem menurunkan kaca helmnya, terlihat terkejut sekaligus bingung. “Nad, ngapain kamu di sini? Bukannya harusnya udah di rumah duluan?”Nadira menghampiri, napasnya masih tersengal. “Paula, tolong kita jangan ke rumahmu dulu. Putar balik saja,” katanya cepat sambil menggenggam len
Nadira berdiri di tepi jalan sambil menatap layar ponselnya yang menunjukkan waktu hampir pukul 6 malam. Angin sore yang mulai menusuk membuat tubuhnya menggigil pelan. Dari kejauhan, suara kendaraan lewat hanya sesekali terdengar, tapi tak satu pun di antaranya adalah bus yang ditunggunya sejak dua puluh menit lalu.Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari tanda-tanda kalau bus jurusan tempat tinggalnya Paula akan segera datang, tapi nihil. Waktu terus berjalan dan rasa gelisah mulai mengusik dadanya.“Sepertinya aku salah perhitungan,” gumamnya pelan sambil menggigit bibir bawah.Tangan kirinya meremas tali tas yang disampirkan di bahu, sementara tangan kanan menggenggam ponsel yang mulai menipis baterainya. Tak ada orang lain di sana, hanya dirinya dan suara jangkrik yang samar-samar terdengar dari balik semak.Beberapa kali ia mencoba melambaikan tangan ketika melihat lampu kendaraan mendekat, tapi ternyata itu bukan bus melainkan mobil pribadi yang melintas cepat tanpa mempe
Cahaya pagi menyusup lembut lewat celah tirai. Udara dingin dari luar membuat Nadira menggeliat pelan, matanya terbuka separuh, menatap langit-langit kamar yang asing tapi terasa menenangkan. Di sampingnya, Paula sudah terbangun lebih dulu. Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil merapikan rambutnya yang berantakan, sesekali melirik ke arah Nadira dengan senyum lembut.“Pagi, Nad. Gimana tidurmu? Nyenyak apa nggak?” sapa Paula ringan.Nadira mengerjap beberapa kali, lalu mengangguk kecil. “Lumayan,” jawabnya pelan. Suaranya serak karena terlalu banyak menangis semalam. Ia sempat mengusap matanya dengan punggung tangan, mencoba menyembunyikan bengkak di kelopak mata yang masih terlihat jelas.Paula berdiri dan berjalan ke meja kecil di sudut kamar, mengambil dua cangkir teh hangat yang sudah ia siapkan tadi. “Nih, minum dulu. Habis itu buruan mandi, lalu kita berangkat ke kantor, ya. Kamu harus optimis kalau hari ini akan berjalan baik.”Nadira menerima cangkir itu dengan hati-hati. Uap
Aryan menghembuskan napas kasar sambil merenggangkan dasinya. “Maaf, Nad ... aku terbawa emosi. Habis kamu duluan yang bikin aku panas, karena ucapanmu itu terlalu memojokkan Ibu. Aku tentu tak suka ada orang lain yang bicara buruk soal beliau,” ujarnya berat, menatap wajah istrinya yang tampak terluka.Nadira membeku. Matanya masih membulat lebar, menatap Aryan tak percaya.“Oh, jadi aku orang lain yang menjelekkan ibumu? Berarti istrimu ini masih terhitung sebagai orang lain di keluargamu, Mas? Begitu, ya?” suara Nadira bergetar, tapi nadanya tegas.Sekejap wajah Aryan pucat. Ia menggeleng cepat, matanya panik. “Bukan, bukan begitu maksudku, Nad. Aku cuman—”“Sudahlah, Mas. Aku sudah cukup mendengar omongan menyakitkan darimu malam ini.” Nadira memotong ucapan suaminya dengan dingin. Lalu ia berdiri, menarik napas panjang untuk menahan air mata yang sudah mendesak di pelupuk.Nadira sedikit melangkah menjauh dan tatapannya tertuju lurus ke arah pintu. Tangannya sempat terangkat, mem
Suara tawa Paula perlahan mereda ketika ia dan Nadira akhirnya sampai di depan rumah sederhana itu. Di depan gerbang, sebuah mobil hitam sudah terparkir rapi.Aryan.Pria itu tampak berdiri menyender di kap mobil, kedua tangannya terlipat di dada, wajahnya sulit ditebak antara lega atau justru resah. Begitu melihat motor Paula mendekat, Aryan buru-buru menegakkan tubuhnya, sorot matanya langsung terarah pada Nadira yang duduk di jok belakang.Nadira terperangah, nyaris kehilangan kata. Jantungnya berdebar tak karuan, perasaan gugup tiba-tiba menyergap. Ia bahkan belum bersiap untuk menghadapi suaminya malam ini.“Mas Aryan ...” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Paula yang ikut menangkap situasi itu seketika paham. Tanpa banyak basa-basi, ia segera turun dari motor dan berusaha mencairkan suasana. “Masuk dulu saja, ya. Jangan ngobrol di depan gerbang, nanti malah jadi tontonan tetangga.”Paula lekas membuka pintu gerbang rumahnya, lalu menoleh sekilas kepada Nadira dan Aryan. Senyu