Beranda / Rumah Tangga / Harap Restu Seorang Menantu / Bab 3~Keretakan yang Tersusun Kembali~

Share

Bab 3~Keretakan yang Tersusun Kembali~

Penulis: Giana
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-13 18:03:04

Aryan menarik napas pelan. Ia tahu, apapun yang keluar dari mulutnya saat ini tidak akan cukup untuk memadamkan bara api di hati Nadira. Maka ia memilih langkah lain.

Perlahan, ia melepaskan pelukannya. Nadira menunduk, menyeka sisa air mata yang menggantung di pipinya. Aryan menoleh ke belakang, tepat ke arah Erlina yang sejak tadi berdiri membisu seperti patung. Matanya kosong, wajahnya pucat, dan jelas terlihat bahwa ia merasa tidak nyaman berada di tengah pertengkaran itu.

“Erlina,” panggil Aryan, tenang namun tegas.

Gadis itu mendongak cepat. “Iya?”

“Kamu tunggu di mobil, ya. Aku ingin bicara dengan Nadira cukup lama. Kalau bosen di mobil, kamu juga bisa jalan-jalan sekitar kompeks sini, nanti kalau kita udah beres pasti aku telepon.”

Ragu sesaat, Erlina akhirnya mengangguk. Ia melangkah mundur dengan pelan, kembali masuk ke dalam mobil seperti yang diperintahkan. Pintu tertutup rapat, menyisakan hanya Aryan dan Nadira di teras yang sepi.

Tanpa berkata apa-apa, Aryan menggandeng tangan Nadira. Awalnya perempuan itu enggan bergerak, namun akhirnya mengikuti langkah tunangannya masuk ke dalam rumah.

Begitu sampai di ruang tamu, Aryan membimbing Nadira duduk di sofa. Ia sendiri tidak duduk di sebelahnya, melainkan berlutut di hadapannya. Tangannya menggenggam kedua tangan Nadira yang masih terlipat di atas pangkuan.

Tatapan mata mereka bertemu. Dalam diam itu, Aryan mencari celah untuk menyusupkan ketulusan.

“Nadira, aku minta maaf. Aku tahu, kamu pasti sangat kecewa. Mungkin kamu merasa sendirian dalam hubungan ini. Tapi sungguh, kamu salah kalau berpikir aku tidak memihakmu.” Suaranya rendah, nyaris seperti bisikan yang khusyuk.

Nadira masih diam, tapi matanya mulai berkabut lagi. Ia menunduk, mencoba menghindari tatapan Aryan yang terlalu jujur.

“Aku nggak akan membiarkan siapa pun membuatmu merasa tak diinginkan. Bahkan jika itu ibuku sendiri. Aku memang belum bisa sepenuhnya menentang beliau. Tapi aku janji, kalau suatu saat ada ketegangan antara kalian, dan memang ibuku yang salah, aku akan memilih berpihak padamu. Kamu akan jadi istriku, Nad. Calon ibu dari anak-anakku nanti. Kamu adalah rumah yang selalu ingin aku pulangin.”

Isakan kecil kembali terdengar dari tenggorokan Nadira. Kali ini bukan karena marah atau kecewa, tapi karena hatinya terasa disiram air hangat. Kata-kata Aryan yang jarang ia dengar sedalam ini, membuat tembok kerasnya mulai retak.

“Kamu tahu ... aku takut, Aryan. Aku takut menikah hanya untuk jadi orang asing di pihak keluarga suamiku sendiri. Aku tidak mau hubungan kita hancur karena intervensi pihak ketiga,” gumam Nadira lirih.

Aryan mengangguk cepat. “Aku juga takut kehilangan kamu. Makanya aku di sini. Memohon agar kamu tetap percaya. Kita pasti bisa jalanin ini bareng-bareng.”

Butuh beberapa detik bagi Nadira untuk menjawab. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Aryan yang masih bersimpuh di bawahnya. Dengan pelan, ia menggenggam balik tangan laki-laki itu.

“Baiklah. Tapi aku minta kamu pegang janjimu. Jangan biarkan aku merasa sendirian lagi.”

Aryan langsung mengangguk, lalu mengecup lembut punggung tangan Nadira. “Aku janji.”

Suasana menjadi lebih hangat. Ketegangan mulai mengendur. Untuk beberapa saat, mereka hanya saling menatap, membiarkan kebisuan itu bekerja sebagai penawar luka.

Setelah Nadira terlihat jauh lebih tenang, Aryan perlahan berdiri. Ia mengusap kepala Nadira sekilas, sebelum berbalik menuju dapur.

“Mau ke mana?” tanya Nadira pelan.

Aryan menoleh dengan senyum kecil. “Bikin susu cokelat buat kamu.”

Nadira berkedip. “Tapi aku udah bikin tadi pagi.”

“Iya, tapi pasti udah dingin. Nggak enak lagi. Sekalian, ini juga bentuk permintaan maafku.

Nadira tidak menanggapi, hanya menggeleng pelan sambil tersenyum tipis. Ada rasa geli dan haru yang bercampur dalam dadanya.

Beberapa menit kemudian, Aryan kembali dengan dua mug susu hangat di tangannya. Nadira menerima salah satunya, dan keduanya duduk berdampingan di ruang makan.

Percakapan mereka mulai ringan. Tawa pelan menyelingi, mencairkan suasana yang tadinya beku. Seolah tak terjadi pertengkaran sebelumnya, seolah luka tadi hanyalah debu yang sempat beterbangan lalu mengendap kembali.

***

Namun di luar sana, di dalam mobil yang terparkir, Erlina menatap rumah dari balik kaca. Erlina duduk membisu di bangku penumpang belakang. Tubuhnya bersandar lemas, matanya memandangi jalanan kompleks yang lengang dari balik kaca jendela.

Suara ponselnya yang bergetar di dalam tas membuatnya tersentak kecil. Ia buru-buru merogoh dan melihat nama yang tertera di layar. Tante Mala—ibunya Aryan.

Erlina menelan ludah, ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat.

“Halo, Tante. Ada apa, ya?”

Suara di seberang terdengar tegas dan dingin. [“Bagaimana? Sudah sampai? Bagaimana Nadira menyambutmu?”]

Erlina melirik rumah yang sunyi itu, lalu mengusap tengkuknya yang terasa tegang.

“Sudah, Tante. Kami baru sampai tadi pagi. Tapi—” Erlina menarik napas, suaranya mengecil. “Tadi sempat terjadi sedikit keributan antara Nadira dan Mas Aryan.”

Sejenak tidak ada respons di seberang. Hanya desahan napas yang terdengar lirih.

[“Keributan? Apa Nadira mulai berulah? Apa dia marah karena kamu ikut? Aku sudah bilang ke Aryan, kalau perempuan itu pasti tidak bisa terima kamu ada di dekatnya.”] Suara Mala meninggi sedikit.

Erlina tidak langsung menjawab. Ia menggigit bibir, merasa tak nyaman berada di tengah-tengah pertarungan diam antara dua pihak yang seharusnya tidak saling berseteru.

Namun sebelum ia sempat menenangkan suasana, dari balik jendela mobil, terdengar suara tawa. Erlina menoleh cepat.

Di sana, dari arah dalam rumah, Aryan dan Nadira melangkah keluar sambil bergandengan tangan. Keduanya tampak tersenyum hangat dan akrab, seperti tak terjadi apa-apa sebelumnya.

Tawa Aryan menggema kecil, diikuti cengiran Nadira yang mencoba memukul pelan lengan tunangannya itu.

Melihat itu, Erlina kembali membawa ponsel ke telinganya. “Mereka ... sepertinya sudah baikan, Tante.”

Suara di seberang langsung berubah muram. [“Cepat sekali berbaikannya,”] gumam Mala, nadanya penuh nada sinis.

‘KLIK’

Sambungan diputus sepihak, membuat Erlina terdiam dengan layar ponsel yang kembali gelap. Ia menghela napas panjang, menyandarkan kepala ke jok mobil sambil menatap kosong ke langit-langit.

Beberapa menit kemudian, Aryan membukakan pintu pagar dan menghampiri mobil dengan tangan Nadira masih menggandeng erat. Mereka tampak begitu mesra, seperti pasangan muda yang tengah dimabuk cinta.

Aryan membuka pintu mobil untuk Nadira lebih dulu, lalu melirik ke kursi belakang. Ia tampak sedikit terkejut saat menyadari bahwa Erlina masih setia duduk di dalam sejak tadi.

“Maaf ya lama, Erlina. Aku tidak tahu ternyata kamu tetap nunggu di sini,” ujar Aryan menatapnya dengan rasa bersalah.

Erlina hanya tersenyum kecil dan menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku malah bersyukur kalian sudah berbaikan. Tadi aku sempat takut, beneran bakal batal nikahnya.”

Aryan tertawa pelan. “Doakan aja semoga tidak ada drama lagi sampai hari H.”

Nadira ikut tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil. Aryan menyusul setelah terlebih dahulu membantu memasangkan sabuk pengaman untuk Nadira. Gerakannya lembut dan penuh perhatian.

Erlina yang duduk di belakang hanya bisa menyaksikan semua itu dalam diam. Hatinya kembali mencelos. Ada kehangatan di antara mereka berdua yang terasa mustahil untuk ditembus. Sesuatu yang tak bisa ia miliki, bahkan mungkin hanya bisa ia kagumi dari jauh.

Perjalanan menuju tempat fitting pun dimulai. Sepanjang jalan, Aryan terus menggoda Nadira—menyanyikan lagu-lagu cinta dengan nada sumbang, lalu tertawa karena Nadira merajuk malu. Tangan mereka saling bergandengan di atas sandaran tengah. Seolah Erlina memang tidak ada di sana.

Erlina sesekali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, pura-pura menikmati pemandangan. Tapi hatinya terusik. Rasa iri itu muncul pelan-pelan, merayap halus seperti kabut yang menyelimuti dada.

Ia ingin tak peduli, tapi bagaimana mungkin jika senyum manis Aryan untuk Nadira terus saja menghantui pikirannya? Erlina mengepalkan tangan di atas pangkuan. Ia tahu, perasaannya salah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 53~Perjalanan Menyenangkan ke Puncak~

    Udara pagi itu masih menggigit, embun di dedaunan belum sepenuhnya kering ketika sebuah motor berhenti di depan rumah Nadira. Paula turun dari motor dengan sweater tebal dan wajah setengah terkantuk.“Harusnya aku masih tidur nyaman di kasur, tapi aku malah sudah di sini. Aku pasti hanya akan jadi penonton drama romantis pasangan suami-istri itu. Kasihan sekali diriku,” gumamnya setengah malas, sebelum akhirnya ia mengetuk pintu.Tak lama, dau pintu terbuka. Nadira muncul dengan senyum yang sudah siap sejak subuh. Rambutnya dikuncir rapi. “Pagi, La! Cepat juga kamu datangnya.”Paula mengangkat alis. “Aku pikir kita mau berangkat pagi-pagi banget. Kamu sendiri yang bilang, udara di puncak lebih enak kalau berangkat sebelum macet.”Nadira tertawa pelan. “Iya, bener kok. Tapi nggak nyangka kalau kamu bakal berangkat sepagi ini. Perbekalannya udah siap, tinggal nunggu Mas Aryan masukin tas ke bagasi mobil.”Dari dalam, Aryan keluar dengan membawa beberapa tas yang dia bawa di tangan dan b

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 52~Rencana Kecil di Meja Makan~

    Beberapa menit pertama diisi dengan suara sendok yang beradu ringan dan dentingan gelas. Tidak ada pembicaraan yang berarti, tapi keheningan itu bukan tanda canggung, lebih seperti ruang yang tenang untuk menikmati kebersamaan.Sampai akhirnya, Aryan membuka suara di sela kunyahannya. “Tadi waktu di mobil, aku jadi kepikiran sesuatu.”Nadira menatapnya singkat. “Apa, Mas?”“Kayaknya aku setuju, deh, kalau Paula sama Pak Raka itu dijodohin aja. Cocok, nggak sih?” Aryan menatapnya dengan mata berbinar jahil, seolah baru saja menemukan ide besar.Nadira tertawa pelan, menutup mulut dengan punggung tangan. “Mas serius? Menjodohkan orang bukan perkara mudah, loh.”“Justru karena itu aku yakin kita bisa bantu. Mas nggak tahu kenapa, tapi ngelihat Paula tadi itu ... kayak anak sekolah yang lagi jatuh cinta diam-diam,” ujar Aryan, nadanya penuh keyakinan tapi tetap diselimuti nada main-main.“Hmm, aku juga ngerasa begitu. Paula memang terlihat sekali sedang menunjukkan ketertarikan pada Pak R

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 51~Tak Lagi Cemas~

    Suara pintu mobil tertutup pelan, diikuti hembusan udara dari pendingin yang langsung merasuk ke kulit. Paula baru saja masuk setelah berpamitan singkat pada Raka, sementara Nadira sudah lebih dulu duduk manis di kursi penumpang depan. Aryan melirik sebentar lewat spion, memastikan semua siap sebelum mobil melaju perlahan di tengah lalu lintas sore yang padat.Tidak ada percakapan selama beberapa detik pertama. Sampai akhirnya Aryan yang duduk di balik kemudi yang lebih dulu membuka suara, nadanya ringan, bahkan terdengar seperti sedang berusaha mencairkan sisa tegang di antara mereka.“Rasanya aku baru sadar, ternyata Paula bisa juga ya akrab sama Pak Raka. Aku lihat tadi kalian ngobrol asyik sekali di halte. Kupikir, Pak Raka itu jauh lebih dekat dengan istriku karena mereka satu divisi.” Nada suaranya dibuat ringan, tapi jelas ada gurat menggoda di baliknya.Nada bercanda yang terselip di ujung kalimatnya membuat Nadira spontan menoleh. Ia menahan senyum kecil yang hampir lolos dar

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 50~Bisa Dibilang Sudah Terkendali~

    Setelah mendengar penjelasan Raka yang bilang kalau sebenarnya dirinya dan Aryan memang sempat bersitegang di meja resepsionis beberapa hari lalu, Nadira dan Paula saling berpandangan singkat—tatapan yang cukup untuk memahami maksud satu sama lain. Paula tahu Nadira sudah bisa menebak arah pembicaraan ini jauh sebelum Pak Raka menuntaskannya.Nadira mengangkat sudut bibirnya sedikit, memberikan senyum yang lembut tapi dalam. “Saya sudah tahu, Pak,” ujarnya tenang. “Memang sempat ada pembicaraan antara aku dan suamiku soal itu. Tapi sekarang, semuanya sudah terkendali.”Nada suaranya teduh, tapi ada getar tipis yang nyaris tak terdengar di ujung kalimat. Ia menunduk sejenak, merapikan sendok di tepi piringnya, lalu kembali menatap Pak Raka. “Saya juga mengerti kenapa Bapak memilih untuk tidak menceritakannya. Saya paham, Bapak hanya tidak ingin memperbesar keadaan.”Raka mengangguk pelan. Ada kelegaan samar yang melintas di matanya. “Terima kasih, Nad. Aku lega mendengarnya. Aku benar-

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 49~Mencoba untuk Dekat~

    Suara riuh di kantin terdengar samar di antara denting sendok dan gelas. Aroma makanan bercampur dengan wangi kopi instan yang diseduh di sudut ruangan. Nadira dan Paula duduk di meja dekat jendela, tempat sinar matahari jatuh miring, menyorot sebagian wajah mereka.Paula menaruh nampan di meja dengan ekspresi lega. “Aduh, aku masih deg-degan kalau inget tadi pagi, Nad. Sumpah, tadi pas di depan kantor lihat suamimu dan Pak Raka saling sapa gitu, jantungku hampir copot,” katanya sambil menepuk dadanya sendiri.Nadira terkekeh pelan, mengaduk nasi di piringnya. “Kita nggak jauh beda, La. Aku juga tegang banget.“Ya ampun, aku sampai nahan napas, lho. Soalnya, tatapan dua orang itu kayak—” Paula menggantung kalimatnya, menirukan ekspresi dingin Aryan dan datar Raka dengan gerakan tangan dramatis.Nadira tersenyum kecil, tapi senyumnya lebih mirip helaan napas yang tertahan.“Aku cuma bersyukur aja mereka nggak sampai debat di tempat. Kalau itu terjadi, aku pasti langsung pura-pura pings

  • Harap Restu Seorang Menantu   Bab 48~Rasa Canggung~

    Aroma kopi hitam dan roti panggang menguar lembut memenuhi ruang makan yang hangat. Suara sendok beradu dengan cangkir menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar di antara dua orang yang duduk berhadapan. Nadira memotong rotinya perlahan, menatap piring tanpa benar-benar melihat. Sementara Aryan di seberang hanya sesekali mengaduk kopinya, padahal dari tadi belum seteguk pun tersentuh.Mereka berdua sama-sama mencoba bersikap wajar. Tapi keheningan yang terlalu rapi justru membuat udara di meja makan itu terasa kaku, seperti ada sesuatu yang belum selesai dibicarakan.“Rotinya gosong dikit, Mas,” gumam Nadira pelan, mencoba membuka percakapan.Aryan menoleh, bibirnya terangkat kecil. “Nggak apa-apa. Justru aku lebih suka yang agak garing, Nad,” balasnya datar tapi lembut.Jawaban yang seharusnya biasa itu malah terdengar terlalu tenang. Nadira tahu, suaminya sedang menahan sesuatu di balik nada suaranya. Ia pun hanya mengangguk kecil, kembali menunduk menatap piring.Belum sempat suasa

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status