Tubuh Anggun ambruk ke tanah dengan bersimbah darah. Pisau masih menancap di pinggangnya ketika dia tak sadarkan diri. Bu Ika berteriak meminta tolong pada warga yang lewat.
Anggun segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Sedangkan perempuan yang menusuknya diamankan oleh warga sekitar bersama dengan dua yang lainnya.Sementara itu, Gunawan baru saja kembali ke rumahnya setelah acara selesai dan para tamu telah pulang. Termasuk semua kerabat dan pak Dullah juga sudah pulang ke rumah masing-masing.Bi Darni yang sejak tadi menunggu kepulangan Gunawan, tampak menghela napas lega kala melihat sang keponakan datang. Perempuan itu lantas menghampiri Gunawan yang baru saja tiba di rumahnya."Kamu dari mana saja, Le?" Bi Darni bertanya seraya menghampiri Gunawan di teras rumahnya.Gunawan menghela napas panjang. "Aku masuk dulu ya, Bi. Aku capek banget," ucap Gunawan.Mendengar suara Gunawan, pak Kosim segera keluGunawan memegangi pipinya yang perih karena tamparan itu. Belum sempat ia berkata atau membela diri, sebuah bogem mentah mendarat di wajahnya. "Kalau hanya menjadi beban keluarga, kenapa tak mati saja menyusul ibumu!" Suara itu kembali berkata keras dengan mata menatap nyaman. Bi Darni yang melihat itu, hanya bisa berteriak histeris. Wanita itu berusaha menolong Gunawan yang terkena tamparan dan bogem mentah dari orang itu. "Sudah, Kang! Sudah! Jangan diteruskan lagi." Bi Darni berkata sembari menghalau tangan lelaki yang tak lain adalah pakde Dullah itu. "Biarkan aku menghajar anak kurang ajar ini. Dasar anak sialan!" Semburan kalimat menyakitkan kembali meluncur bebas dari mulut lelaki jangkung itu. Gunawan hanya bisa terdiam tanpa melakukan apa-apa. Seolah dia pasrah dengan perlakuan lelaki yang masih terhitung saudaranya itu. "Sudah, Kang! Sudah!" Bi Darni kembali mengulangi perkataannya."Semuanya masoh bisa d
Bu Marina tampak berpikir keras. Di satu sisi, dia tak ingin berbagi harta dengan Anggun dan juga ibunya. Tapi di sisi lain dia tak ingin masuk penjara."Gimana? Semua keputusan ada di tangan kamu. Saya hanya memberikan solusi dan pilihan terbaik." Anggun mengulangi perkataannya yang membuat Bu Marina semakin terpojok.Sementara itu Pak Adi terus saja mendesak sang istri untuk memberikan rumah itu. Dia tak ingin masalah ini menjadi panjang. Dia hanya ingin masalah ini cepat selesai. Namun Bu Marina sepertinya masih enggan untuk menyerahkan itu walaupun ancaman masuk penjara di depan mata."Sudahlah, Bu. Lebih baik kita mengalah saja. Daripada Ibu dipenjara. Bapak nggak bisa lihat Ibu menderita," bisik Pak Adi.Bu Marina menghela napas panjang. Dia masih terdiam di tempatnya. Otaknya masih berpikir bagaimana caranya supaya tak kehilangan rumah dan dirinya tak dipenjara.
Faizal dan Ridwan menghampiri Gunawan yang tertunduk lesu. Mereka tahu apa yang menyebabkan Gunawan di panggil oleh Pak Anang ke ruangannya. Mereka juga tahu siapa yang telah memfitnah Gunawan seperti itu. "Gun!" Faizal menegur Gunawan sembari menepuk pundak lelaki itu. Gunawan menoleh. Lelaki itu tersenyum pada sahabat baiknya itu. Itulah luar biasanya Gunawan. Di saat dia menghadapi permasalahan, Gunawan masih bisa menghadirkan senyuman tulus. "Ada apa?" tanya Faizal. Lelaki berperawakan sedang itu pura-pura tak mengetahui yang sebenarnya. Dia ingin Gunawan berkata jujur dan menceritakan semuanya pada Faizal. Gunawan mengernyitkan keningnya. "Kenapa, Bang?" Faizal menghela napas panjang. "Kamu kenapa? Apa ada masalah? Soalnya aku lihat, kamu kayak lagi banyak masalah," ujar Faizal. "Iya, Mas. Mas Gunawan kalau ada masalah, cerita aja sama kita. Insya Allah kita bantuin cari solusi," sahut Ridwan. Gunawan menatap dua rekan kerjanya itu bergantian. Kemudian dia mengulas senyum
Gunawan menjalani hari-harinya sebagai pengangguran lagi. Lelaki jangkung itu kini mencoba mencari pekerjaan di tempat lain. “Mas Gun!” Handi memanggil kakak sepupunya itu seraya berjalan mendekat ke arahnya. “Mas Gunawan ngerti soal listrik kan?” tanya Handi. “Ngerti dikit-dikit. Kenapa, Han?” ujar Gunawan. “Nah pas banget dah. Itu pengeras suara di masjid rusak. Mas Sucip yang biasanya benerin, lagi sakit. Jadi nggak ada yang bisa benerin pengeras suaranya,” jelas Handi. “Terus hubungannya sama aku apa, Han?” tanya Gunawan tak mengerti. “Pak Holil nyuruh aku buat nyari orang yang bisa benerin pengeras suara. Nah aku langsung keinget Mas Gunawan.” Handi menjelaskan lagi maksud dan tujuannya. “Mas Gunawan bisa kan benerin pengeras suaranya?” tanya Handi. Gunawan menghela napas panjang. “Ya udah. Nanti Mas ke sana. Sekarang Mas mau nyari kerja dulu.” Handi mengangguk paham. Dia lantas berbalik dan masuk ke dalam rumahnya. Sepen
Anisa semakin dirundung kegelisahan tak bertepi setelah berkunjung ke tempat kerja sang suami. Dia semakin bertanya-tanya ke mana sebenarnya Irfan pergi? Apa yang sedang ia lakukan dan ia rasakan sekarang? “Aku harus mencari ke mana lagi sekarang?” tanyanya putus asa. Anisa mengembuskan napas panjang. Begitu berat dan menyesakkan dada. Sebuah tepukan di pundaknya membuat Anisa terlonjak kaget. Dia lantas menoleh dan mendapati sang ayah berdiri di belakangnya. “Kamu kenapa? Ada masalah?” tanya Pak Dullah. Anisa menggelengkan kepalanya. Dia masih belum mau berterus terang kepada ayahnya perihal sikap sang suami. “Nisa mau ke belakang dulu ya, Pak. Mau angkatin jemuran,” ucap Anisa. Pak Dullah mengangguk. Walaupun dalam hatinya ada rasa yang mengganjal dan tak tenang, tetapi dia tak bisa memaksa Anisa untuk berkata jujur. Tak hanya Anisa yang dilanda kegelisahan. Ambar juga dilanda perasaan yang sama. Dia sampai harus memejamkan matanya sejenak ke
Gunawan tiba di rumahnya tepat saat azan ashar. Lelaki itu bergegas menuju sumur untuk membersihkan diri. Rasa lelahnya hilang seketika saat air di kamar mandi membasahi badannya. “Loh sudah pulang, Gun?” Pak Kosim yang akan menuju kamar mandi terkejut melihat sang keponakan. “Sudah, Paman,” jawab Gunawan pendek. “Gimana tadi tesnya?” tanya Pak Kosim lagi. “Alhamdulillah gampang, Paman. Tapi…” “Enggak apa-apa, Gun. Enggak semua yang kita mau bisa kita dapatkan dengan mudah.” Pak Kosim berkata seolah-olah mengerti apa yang akan Gunawan ucapkan. “Kadang kala kita harus berusaha keras lebih dari yang lain agar apa yang kita mau bisa didapatkan. Tapi, kadang juga kita harus merasakan kecewa walaupun kita sudah bekerja keras untuk mendapatkan apa yang dimaui,” lanjut Pak Kosim. Gunawan mengangguk paham. Seulas senyum tergambar di wajahnya saat sang paman tak menyudutkan dirinya yang gagal. Tapi lelaki tua itu justru memberikannya dukungan dan bahu u
Ghani mengembuskan napasnya dengan sedikit kasar. Dia tak pernah merasa semarah ini pada sang ibu. Kilasan masa lalu mulai membayang dalam benak lelaki 35 tahun itu. Rasa sakitnya pun masih jelas membekas dalam hatinya. “Mas.” Ambar menyentuh bahu suaminya dengan lembut. Senyum manis terukir di wajahnya kala menegur sang suami. Ghani menoleh. Senyuman manis juga terukir di wajah tampannya. “Kenapa? Kok melamun?” tanya Ambar dengan lembut. Ghani menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Emosi dan amarah masih tersisa di dalam hatinya. “Aku nggak apa-apa.” Hanya itu yang keluar dari mulut lelaki itu. Ambar menghela napas panjang. “Kalau nggak apa-apa, kenapa melamun di sini? Lagi ada yang dipikirkan?” Ghani lagi-lagi menarik napas dan men
“Sebaiknya kamu jujur pada ayahmu,” saran Bu Siti. Saat ini Bu Siti dan Anisa sedang berada di teras rumah Anisa. Mereka berdua memutuskan pulang karena hingga siang masih belum juga berhasil menemukan Irfan. “Supaya ayahmu juga tahu apa yang sedang kamu alami sekarang. Ibu tidak akan pernah membela Irfan jika dia bersalah.” “Ibu akan tetap membela kamu, Nisa,” pungkasnya. Anisa hanya bisa diam mendengar apa yang dikatakan oleh ibu mertuanya. Memang benar, sebaiknya dia berkata jujur pada Pak Dullah. Tapi… apa itu tidak akan mengganggu kesehatan pria itu? Anisa hanya takut jika dia berkata jujur, kesehatan sang ayah akan terganggu. Dia belum siap kehilangam cinta pertamanya itu untuk selamanya. “Anisa nggak tahu, Bu. Anisa takut kalau… kalau… Anisa jujur nanti akan…”&