"Pa-patahkan?" lirih Mayang dengan bibir bergetar. Rasa takut seketika memenuhi hati.Seluruh tamu undangan nampak terperangah, kala puluhan pengawal bertubuh besar yang sebelumnya mengekor di belakang tubuh atasannya mendadak menjejakkan kaki melaksanakan perintah tuannya.Puluhan penjaga nampak membela diri dengan beradu tinju untuk sejenak. Sampai beberapa saat berlalu. Seluruh penjaga telah terkapar begitu saja dengan seluruhnya yang menderita patah tangan.Sementara itu, Bagaskara hanya mampu memijat pelipis kala melihat seluruh anak buahnya terkapar tak berdaya. Ia tak ada niatan sedikit pun untuk melawan, mengingat seorang petinggi perusahaan bernama Aksa Adhitama bukanlah tandingannya."Sayang, tidak perlu khawatir. Setelah pulang dari sini aku akan membelikanmu satu toko perhiasan. Kamu bisa memilih dan mengganti perhiasan sesukamu," ucap Aksa dengan nada lembut. Sorot matanya menatap teduh ke arah sang istri yang masih terperangah tidak percaya.Meski ucapan Aksa hanya sekeda
Teriakkan lantang terdengar menggema di seluruh penjuru ruangan.Hingga beberapa menit berlalu, sebuah ambulans nampak berhenti di depan pintu gedung. Nampak beberapa petugas kesehatan menjejakkan kaki dengan kepanikan hebat menghampiri Keenan dan Bagaskara yang telah tidak sadarkan diri.Mayang tidak mengetahui siapa yang telah memanggil ambulans untuk segera datang. Ia bisa memastikan jika para tamu undangan hanya menonton tanpa turut serta membantunya.Hanya tinggal satu kemungkinan yang terjadi. Aksa sang petinggi perusahaan yang begitu ditakuti sang ayah telah membaca situasi yang akan terjadi, hingga memanggil ambulans datang untuk sekedar berjaga-jaga. 'Syukurlah, ternyata pria bernama Aksa Adhitama itu masih punya hati.'Mayang berlutut dengan air mata haru yang mulai bercucuran, kala sang suami dan ayahnya dibopong memasuki mobil berwarna putih dengan sirene yang masih menyala."Papa, jangan sampai terjadi apa pun padamu. Aku tidak memiliki siapa pun sebagai sandaran di dunia
"Jadi, langkah apa yang akan kamu ambil selanjutnya?""Membuat pernikahan mereka hancur," timpal Adira datar.Aksa seketika menghentikan aktivitasnya, kala firasat buruk mulai menghampiri. "Apa kamu akan mencoba menggoda Keenan di depan Istrinya?" Aksa memutar kepala menghadap Adira dengan sorot kecemasan.Namun tak langsung menjawab, Adira hanya terdiam sejenak untuk memikirkan cara apa yang akan ia gunakan. "Aku tidak tahu, tapi kedengarannya cara itu cukup bagus," jawabnya datar."Tidak!" Bentakan keras dari Aksa seketika membuat Adira tersentak. Denyut jantungnya berdegup begitu kencang, hingga detaknya terdengar jelas melalui telinga."Kamu tidak boleh melakukan itu!" Pria tampan dengan peluh yang mengucur membasahi dahi terlihat murka. Nafasnya memburu hebat disertai otot leher yang mulai menyembul dari bawah kulit.Ia tidak tahu mengapa, namun membayangkan rencana itu saja mampu membuat gejolak amarah dalam hati kian terasa membara.Adira menatap pria dengan rambut setengah basa
Gertakan itu membuat Sean terkekeh dengan senyum canggung. "Eh? Jangan terlalu serius begitu dong, nanti cepat tua loh ...." ledek Sean sebelum berlari menghindar ketika Aksa hendak melayangkan bogemnya.Pria itu menyusul sang keponakan dengan langkah lebar yang terlihat berlari memasuki kediaman.Sementara Adira masih mematung di tempat semula. Beberapa pengawal terlihat berbaris di belakangnya, begitu pula Gavin, sang asisten pribadi nampak setia menemani majikan wanitanya."Kenapa diam saja? Cepat pergi pisahkan perkelahian mereka!" Wanita cantik itu terlihat panik hingga mengguncang kuat tubuh Gavin.Sang asisten terkekeh untuk sejenak. Tangannya menghentikan guncangan kuat pada tubuhnya tanpa menyentuh tangan Adira. "Nyonya, tenanglah. Sebelum Tuan muda pergi ke luar negri untuk kuliah, pemandangan seperti ini hampir terjadi setiap hari."Adira seketika mengerinyitkan alis. Ia hampir tidak mengerti dengan tingkah laku penghuni di kediaman ini.***Denting jam menunjukkan pukul se
Aksa tersentak dengan tubuh sedikit menegang. Kalimat itu seolah mempertanyakan perasaan yang bahkan ia sendiri pun masih tidak yakin akan hatinya.Keraguan pada hati Adira semakin menjadi, kala mengingat kembali kejadian di mana dirinya bertemu dengan seorang wanita yang mengaku sebagai calon dari nyonya di kediaman ini."Dia sebenarnya sedang cemburu padamu, Tante. Wajar, pria es itu baru pertama kali merasakan jatuh cinta selama hidupnya," timpal Sean yang tiba-tiba muncul dari balik elevator. Berjalan perlahan menghampiri, dengan kedua tangannya yang bersarang di saku celana.'Baru pertama kali?' Tanda tanya besar seketika memenuhi kepala Adira.Seorang pria yang telah menjadi pelanggan tetap di sebuah bar, dan setiap hari berinteraksi dengan wanita baru pertama kali merasakan perasaan jatuh cinta? Yang benar saja."Dasar bocah tengil. Urus urusanmu sendiri!" murka Aksa yang telah mengambil ancang-ancang untuk memukul Sean, namun dengan cepat Sean menghindar dengan senyum mengejek
"Apakah perlu aku pergi menemanimu?" Tawar Aksa dengan wajah berharap. Seolah ingin jika Adira mengajaknya untuk pergi.Sebenarnya ada sedikit perasaan cemas yang mengganjal dalam hati ketika dirinya pergi sendiri. Mengingat Adira yang hanya merupakan wanita miskin yang tidak memiliki kekuasaan. Ia takut jika akan mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan kembali dari keluarga mantan suaminya. Namun jika dirinya mengajak Aksa untuk pergi, mungkin tidak leluasa baginya untuk melampiaskan kekesalannya pada mereka."Tidak perlu, Tuan. Tunggulah saya di rumah. Saya tidak akan lama," ucapnya dengan sudut bibir yang dipaksa naik.Sorot kekecewaan terlihat jelas dari wajah pria tampan dengan selimut tebal yang masih berada di genggaman tangannya.Aksa memberikan selimut berwarna cerah itu pada sang istri dengan menghela nafas berat. "Bawalah ini. Ini akan menghangatkan tubuhmu."Wanita cantik itu seketika terkesiap. Tanpa sadar tangannya merebut cepat selimut itu dari tangan Aksa dengan wajah
"Itu tidak mungkin. Kamu pasti hanya mengarangnya saja kan. Pasti kamu datang hanya untuk mencari simpati dari Mas Keenan," ucap Mayang dengan senyum mengejek.Adira hanya terdiam dengan mengangkat sedikit sudut bibirnya. Sampai akhirnya pintu elevator perlahan terbuka, dan Adira segera beranjak dari sana. "Kamu akan mengetahuinya nanti," ucapnya datar tanpa menghentikan langkah kakinya.Sementara wanita dengan balutan dress merah, masih terdiam di tempat semula, dengan kedua tangannya yang meremas kuat ujung keresek di tangannya. Tatapan tajam nan sinis ia layangkan pada punggung wanita dengan balutan jaket yang semakin menjauh.Wanita yang tengah hamil muda itu menelusuri panjangnya lorong rumah sakit yang nampak senyap di jam-jam istirahat seperti ini. Pandangan matanya mengedar ke arah deretan pintu untuk mencari nomor yang sebelumnya ditunjukkan oleh resepsionis padanya. "110A, 111A ... 112A, ini dia," gumamnya lirih, membaca deretan angka yang tergantung di atas pintu ruangan.A
"Aku haus sekali," gumam Keenan dalam keheningan. Kalimat itu seolah memecahkan perasaan mencekam yang memenuhi ruangan.Mayang dan Betari seketika gelagapan. Keduanya nampak segera beranjak hendak mengambil segelas air putih yang sudah tersedia di atas nakas. Namun aktivitas mereka seketika terhenti, kala Keenan kembali bersuara, "Tunggu!"Keenan segera memutar kepala menghadap Adira yang tengah berdiri di samping tubuhnya. Tatapan teduh ia tujukan pada sang mantan istri yang kini tengah menatapnya datar. "Adira, bisakah aku merepotkanmu untuk membantuku minum? Tubuhku terasa lemas sekali," ucapnya lembut dengan tersenyum kecil.Kini Keenan baru sadar akan perasaannya sendiri. Perasaan cinta itu timbul tanpa ia sadari sebab terbiasa dengan kehadiran Adira di kehidupan sehari-harinya. Namun nahasnya, ia menyadari perasaan itu ketika Adira telah menjadi mantan istrinya. Akankah ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan mereka yang telah kandas itu?Adira tertegun. Kedua alisnya terangk