Share

Menikah denganku!

"Pu-pulang?" Satu kata itu seketika membuat dadanya terasa sesak. Ia tak memiliki tempat bersingah untuk melepas penat, di mana lagi dirinya harus pulang selain rumah ini?

Jika pria ini adalah seorang asisten pribadi dari pria yang pernah menghabiskan malam dengannya, kemungkinan identitas pria itu bukanlah orang biasa.

Semua orang nampak terbelalak. Wajah terkejut mereka tak bisa tertutupi sedikit pun. Tanpa sadar, ucapan itu membuat Adira dicap sebagai wanita murahan yang dengan mudahnya tidur dengan siapa saja.

"Cih! Pulang? Dia ini Istriku, ada hak apa kamu ingin membawanya pergi?" ketus Keenan yang sudah terlanjur tersulut emosi.

Kedua tatapan tajam itu kembali saling mengimbangi. Membuat situasi mencekam terasa begitu menusuk.

"Bukankah baru saja kamu ingin mengusirnya?"

Keenan nampak terdiam untuk waktu yang cukup lama. Tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Pandangan matanya mengedar, mencari sebuah alasan yang sedikit menguntungkan untuknya.

"Baik, kamu bisa membawanya pergi, asalkan kamu melunasi seluruh hutang keluarganya yang bernilai lima puluh juta," ucapnya menyeringai. Keenan tahu, Adira tidak akan bernilai semahal itu di mata orang lain. Ia mengira, setelah ini, pria itu akan pergi dengan tangan kosong.

Tanpa banyak basa-basi. Asisten pribadi itu mulai mengibaskan tangannya, memberikan isyarat pada salah satu pengawal untuk mengambil sesuatu di dalam mobil.

Pengawal itu pun seketika berlari. Hanya berselang beberapa menit sampai akhirnya ia kembali dengan menenteng sebuah koper berwarna gelap.

Adira hanya tertunduk lesu. Tak ada secercah kebahagiaan yang menyeruak dalam hati ketika akhirnya mengetahui ayah dari bayi yang ada dalam kandungannya. Ia tidak pernah menyangka, sang suami begitu tega menjualnya untuk yang kedua kalinya pada seorang pria asing hanya demi uang.

"Aku akan memberimu lima kali lipat dari jumlah yang kamu sebutkan sebelumnya."

Pria itu melemparkan kasar koper hitam yang baru ia terima dari tangan pengawalnya.

Keenan dengan sigap menangkap koper yang melayang ke arah wajahnya yang masih menyeringai. Sorot matanya menatap remeh pada beberapa pria yang berada di hadapannya.

"Cih! Jangan bercanda, wanita ini tidak seberharga itu," ejeknya.

Dengan kedua tangan yang berada dalam saku celana. Pria itu melayangkan tatapan mengintimidasi pada Keenan yang seketika tertunduk. 'Tck! Pria ini menjijikkan sekali!' Begitu umpatnya dalam hati.

"Jangan banyak bicara, buka saja koper itu!" Titahnya kasar.

Keenan mendengus kesal sebelum akhirnya menuruti perintah pria asing yang berada di hadapannya.

Matanya terbelalak. Ada keraguan yang masih mengganjal dalam hati ketika melihat gepokan uang berwarna merah dalam koper. "I-ini uang?"

Seluruh mata nampak terkagum-kagum melihat jumlah uang yang tak terhitung jumlahnya. Kecuali Adira. Kedua tangannya mengepal kuat. Ada perasaan tidak terima diperlakukan layaknya barang dagangan yang berulang kali dijajakan oleh sang suami.

Tangan kurus itu merebut paksa koper hitam dari tangan suaminya dengan kasar.

"Jangan terima uang ini! Aku akan membayar hutangku dengan keringatku sendiri! Dan aku tidak akan pernah ikut dengan pria ini!" tegasnya.

Keenan yang berusaha menahan diri untuk waktu yang cukup lama, akhirnya tak bisa lagi menutupi seluruh emosinya yang meluap-luap. Tangannya mendorong kasar tubuh rapuh sang istri yang seketika terhuyung tak tentu arah. Beruntungnya, Gavin, sang asisten pribadi dengan sigap menangkap tubuh kurus itu dengan kedua tangannya.

Koper itu merosot dari tangan Adira hingga membuat seluruh isi dari koper itu tercecer di atas lantai teras rumah.

Hati nurani yang telah tertutupi oleh hawa nafsu duniawi itu dengan begitu tidak tahu malunya memunguti uang yang berhamburan keluar. Seluruh anggota keluarga yang tinggal bersebelahan itu bertingkah laku seperti anjing yang tengah berebut makanan.

"Dasar Jalang tidak tahu diri! Sudah untung ada yang sudi melunasi hutang-hutangmu!" geramnya. Tangannya tidak berhenti menunjuk Adira yang hanya bisa menahan tangisnya.

"Sudahlah, Nona. Ikutlah denganku, Anda akan mendapatkan kehidupan yang lebih pantas di masa depan," lirihnya. Namun berapa kali pun ia membujuk, Adira tetap terdiam membisu. Dirinya merasa enggan untuk ikut dengan orang asing yang tidak tahu arah tujuan mereka yang sebenarnya.

Selain tubuhnya yang terasa luluh lantak. Tak ada satu pun yang tersisa dari kehidupannya saat ini.

Dengan perut yang akan semakin membuncit di masa depan, sebuah kebahagiaan seperti apa yang pantas ia harapkan? Bahkan ia tak memiliki harga diri di mata orang lain.

Adira bersusah payah mengumpulkan ketegaran yang tersisa dalam hatinya. Meski demikian, perasaan sesak akibat kekecewaan yang mendalam itu masih memenuhi dada, membuat dirinya kesulitan untuk bernafas lega.

'Mungkin lebih baik aku pergi saja dari rumah ini. Meski pun harus keluar dari kandang macan dan kembali dimasukkan ke dalam kandang buaya, aku tidak masalah. Paling tidak, aku bisa menarik kembali harga diriku yang sudah lama terinjak-injak,' gumamnya dalam hati.

Adira mengambil nafas panjang sebelum akhirnya memutuskan sesuatu yang akan mengubah jalan hidupnya.

"Aku akan ikut denganmu! Bawa aku sekarang juga, sebelum aku berubah pikiran," ucapnya dengan penuh keyakinan. Berdiri tegak dengan kedua tangan yang menghapus air matanya secara kasar. Adira tahu, selang beberapa menit dari sekarang dirinya akan segera berubah pikiran. Perasaan yang begitu mendalam pada sang suami tidak bisa ia hilangkan dalam sekejap mata.

Gavin, sang asisten pribadi itu tersenyum penuh kemenangan. Ia tahu, tak ada istri yang akan betah diperlukan seperti budak di rumah suaminya sendiri.

Sementara Keenan hanya terdiam. Wajahnya menunjukkan ekspresi yang sulit untuk dimengerti. Sebuah kekecewaan nampak jelas terlihat dari matanya yang membelalak sempurna.

'Ada apa ini? Kenapa hatiku merasa sedih? Bukankah seharusnya aku bahagia jika Jalang itu akhirnya bisa melunasi seluruh hutang keluarganya?' Ungkapnya dalam hati. Bahkan otaknya tidak bisa mencerna perasaannya dengan baik.

"Mari ikuti saya, Nona!" Gavin mempersilahkan Adira untuk mengekor di belakang tubuhnya.

Adira menurut. Tangannya menenteng sebuah tas besar dengan langkah pasti. Namun tak ada sedikit pun keberanian untuk melihat sekilas wajah tampan yang pernah mengisi hatinya untuk waktu yang cukup lama. Meski begitu, kekecewaan yang memenuhi dada, seketika menutupi perasaan cinta yang pernah menggebu dalam hati.

Tanpa sadar, kaki Keenan hendak beranjak dari tempatnya. Menyusul Adira yang kini mulai memasuki mobil. Namun langkah itu seketika terhenti saat sang ibu menarik kasar lengan kemejanya.

"Keenan! Sadarkan dirimu!" Betari mengguncang kuat kedua pundak sang putra yang masih terdiam membisu.

Sorot kekecewaan itu tak berhenti menatap mobil mewah berwarna putih yang perlahan menghilang dari pandangan matanya.

***

Satu jam berlalu begitu saja. Tak ada obrolan yang berarti baik dari Adira atau pun Gavin, sang asisten pribadi.

Mobil itu akhirnya memasuki sebuah halaman luas yang penuh dengan tanaman bunga dan air mancur yang indah.

Adira mengedarkan pandangan matanya. Mengamati setiap keindahan rumah yang lebih pantas disebut sebagai istana negara.

"Mari, Nona." Seorang pengawal pria nampak membukakan pintu untuk Adira dengan begitu sopan, hingga membuat hatinya sedikit terenyuh.

'Apa aku pantas mendapatkan perlakuan sopan dari orang lain seperti ini?' gumamnya dalam hati. Perasaan hina masih begitu melekat pada hatinya.

Kaki kurus itu perlahan turun dari dalam mobil. Matanya menatap lurus ke arah deretan panjang pelayan wanita dengan seragam hitam putih yang terlihat menyambut kedatangannya.

Adira melirik daster lusuh yang melekat pada tubuhnya untuk sejenak. Bahkan pakaian para pelayan itu lebih layak dibandingkan dengan dirinya. Lantas, pantaskah mereka menyambut kedatangannya yang bagaikan seorang budak itu?

"Mari, Nona, biasakan dirimu dengan pemandangan seperti ini," ucap Gavin sebelum menarik tangan Adira, melewati barisan pelayan yang bergantian membungkukkan tubuhnya ketika Gavin dan Adira melewati mereka.

Kaki kurus itu berusaha mengimbangi langkah lebar sang asisten hingga kualahan. Pandangan matanya tertuju pada seorang pria tampan yang berdiri tegak, memperhatikan dari jendela lantai tiga kediaman itu. Menatap lurus ke arah Adira yang masih dipenuhi oleh tanda tanya besar. 'Sebenarnya, apa tujuan mereka membawaku kemari?'

Sementara itu, Aksa yang akhirnya menemukan sang pujaan hati, kini bisa tersenyum puas. Kegundahan yang ia rasakan setiap malam pada hati setelah ini akan segera sirna.

Setiap detik dari malam panas itu selalu terngiang-ngiang dalam otaknya. Kenikmatan itu terus berputar layaknya sebuah video dengan durasi panjang.

Aksa yang pada dasarnya tidak pernah tertarik pada seorang wanita, merasa kebingungan dengan reaksi tubuhnya yang cukup berbeda ketika menyentuh tubuh Adira. Adira seolah bagai magnet yang selalu menarik perhatiannya. Bahkan keinginannya untuk menjadi lajang seumur hidup sepertinya akan dipatahkan dengan kehadiran Adira dan buah hatinya di kediaman ini.

"Akhirnya kamu akan segera menjadi milikku," gumamnya dengan seringai.

Setelah lamanya proses pencarian, akhirnya pria yang telah menginjak kepala tiga itu berhasil membawa pulang calon istri yang sebentar lagi akan dipersuntingnya.

Setelah penyelidikan yang mendalam, Aksa baru mengetahui jika Adira bukanlah wanita malam yang memang bekerja untuk menjajakan diri. Perlakuan sang suami dan ibu mertuanya sering kali membuatnya geram. Terlebih ketika mengetahui kehamilan dari Adira. Hal itu membuatnya tidak tahan jika harus menunggu lebih lama lagi untuk menjemput wanitanya.

Kaki itu melangkah pasti, mendekati pintu elevator yang perlahan terbuka.

Aksa menyambut kedatangan Adira dengan senyum mengembang sempurna di wajahnya. Namun tidak dengan Adira. Ia menyembunyikan ketakutan dalam wajahnya dengan tertunduk. Kedua tangannya tak berhenti memilin daster lusuh yang warnanya telah memudar. Wajah itu memberikan kesan yang buruk dalam ingatannya, mengingat malam itu adalah puncak kehancuran dalam hidupnya.

"Tuan Aksa, saya sudah membawa Nona Adira ke sini, jadi saya permisi dulu," ucap Gavin, sang asisten pribadi, sebelum mendorong tubuh Adira hingga keluar dari elevator dan pintu elevator seketika kembali tertutup.

Tubuh lemas karena tidak memiliki asupan selama berhari-hari, membuat tubuh Adira seketika terhuyung hanya dengan dorongan kecil. Beruntung, Aksa dengan sigap menangkap tubuh kecil yang hendak tersungkur di depan kakinya.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Aksa khawatir.

Adira seketika menepis kasar tangan kekar yang tengah memeluk tubuhnya itu. "Tidak perlu basa-basi, katakan saja apa maumu. Untuk apa membawaku kemari?" ketusnya.

"Untuk apa lagi? Tentu saja untuk mempertanggung jawabkan perbuatanku."

Adira membelalak. Otaknya mencoba mencerna segala ucapan yang keluar dari mulut pria yang selalu menghantuinya di setiap malam.

"Menikahlah denganku!" lanjutnya dengan penuh keyakinan.

Setelah terdiam cukup lama, akhirnya Adira memberikan sebuah jawaban yang cukup mencengangkan.

"Aku bersedia menikah denganmu, tapi bantu aku untuk membalaskan sakit hatiku pada keluarga Keenan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status