Tatapan nanar itu tak berpaling sedetik pun dari benda kecil yang berada di genggaman tangannya. Ia mengguncang kuat benda itu berkali-kali, berharap satu garis merah itu cepat menghilang. Namun semua usaha yang ia lakukan berakhir sia-sia. Testpack itu masih menunjukkan hasil semula.
'Aku harus bagaimana?' Tangisnya dalam hati. Tangannya membekap erat mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Bagaimana pun, sang suami dan ibu mertuanya tidak akan menerima kehadiran nyawa baru dalam perutnya."Aku bahkan tidak tahu Ayah dari Anak yang ku kandung ini," gumamnya lirih. Rasa takut dan kebingungan bercampur aduk menjadi satu. Kini rasa nyeri seketika menjalar ke seluruh tubuh. Perasaan hancur kini memenuhi dada, hingga membuatnya sesak dan kesulitan untuk bernafas.Namun secara tidak sadar, sebuah tangan kekar merebut paksa testpack dari tangan Adira, hingga membuat matanya membelalak.Karena bersusah payah menahan tangis, membuatnya tidak menyadari jika sang suami telah memasuki kamar mandi yang sebelumnya tertutup rapat.Sorot tajam itu menatap lurus ke arah benda panjang yang menampakkan dua garis merah, membuat tubuh Adira seketika bergetar hebat. Wajah ketakutannya kini tidak bisa lagi ia sembunyikan."Kamu hamil?" tanyanya lirih namun penuh penekanan. Keenan melayangkan tatapan nyalang pada sang istri yang seketika tertunduk dengan mata tertutup.Tak kunjung mendapatkan sebuah jawaban, Keenan semakin terlihat murka. Tangannya mengepal erat dengan nafas yang semakin memburu hebat."Jawab!" Satu teriakkan itu berhasil membuat tubuh Adira tersentak."I-iya, Mas, aku hamil," jawabnya singkat, diiringi dengan suara tangis di akhir kalimat yang terdengar menggema dalam ruangan itu.Keenan yang terlanjur murka, menyeret paksa tubuh Adira dan menghempaskannya kuat di depan ibunya."Ada apa ini, Keenan?" Betari begitu tercengang dengan Adira yang secara tiba-tiba jatuh tersungkur di bawah kakinya."Lihat Menantumu, Bu! Dia sedang mengandung Anak haram dari pria yang bahkan tidak diketahui identitasnya," ucap Keenan dengan nada mengejek. Melipat kedua tangannya di bawah dada dengan gestur angkuh.Betari seketika meletakkan gawai yang sedari tadi berada dalam genggaman tangannya. "A-apa? Kamu hamil?"Adira masih terdiam dengan posisi semula. Suara tangisnya semakin menjadi-jadi. Ia bahkan tidak tahu dosa apa yang telah ia perbuat hingga membuat kehidupannya sehancur ini. Perasaan malu dan hancur kini menyatu dan terasa begitu menyayat hati. Bahkan lidahnya seketika terasa keluh hanya untuk sekedar mengutarakan kata-kata."Aku sudah muak! Inikah wanita baik yang Ibu maksud ketika menjodohkanku dengannya?" Keenan menyeringai, melayangkan tatapan sinis pada sang ibu yang bersikukuh menjodohkannya dengan Adira satu tahun yang lalu.Betari hanya terdiam, wajahnya tertunduk lesu. Ia tidak bisa membantah sedikit pun tuduhan yang dilayangkan sang putra padanya.Sementara itu, seorang pria dengan sorot mata tajam tengah mengawasi layar laptopnya untuk waktu yang cukup lama. Menyaksikan seluruh kejadian yang menimpa Adira belakangan ini. Entah sejak kapan ia memasang beberapa kamera pengintai di seluruh penjuru rumah."Tck! Wanita ini lemah sekali, tidak bisakah kamu melawan mereka?" Pria itu beberapa kali terlihat mendengus kesal."Gavin! Cepat kamu bawa perempuan itu kemari, aku merasa sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan keluarganya. Tidak peduli apa pun alasannya, Anakku ada dalam rahim wanita itu, jangan sampai dia mengugurkannya," titah pria itu kepada asisten pribadinya yang terlihat berdiri dan menyaksikan layar itu dari samping.Tak peduli apa pun alasannya, Aksa harus cepat menghilangkan bayangan wajah penuh penderitaan yang selalu menghantuinya setiap malam."Baik, Tuan," jawab asisten itu singkat.***Bruk!Tubuh rapuh wanita itu terhempas, jatuh tersungkur bersama satu tas besar berisi pakaian lusuhnya.Keenan dan Betari, hati nuraninya seolah telah mati, tak ada sedikit pun perasaan iba pada sang menantu yang selama ini mendedikasikan hidupnya pada keluarga. Mereka bahkan tidak ada keinginan sedikit pun untuk mendengarkan penjelasan dari Adira."Mas, kenapa kamu tega mengusirku seperti ini?" ucapnya memelas. Bulir bening itu tak henti-hentinya berjatuhan membasahi lantai keramik teras rumahnya."Kamu tidak ingin pergi dari rumah ini?" tanya Keenan dengan nada mengejek. Matanya menatap wajah sang istri, seolah berkata jika Adira sangat menjijikkan.Adira terdiam membisu. Hati nuraninya ingin menolak setiap tawaran yang datang untuk membuatnya tetap bertahan, namun dirinya tak ada tempat lain untuk sekedar bersingah sejenak. Apa yang harus ia lakukan kali ini?Dengan suara isak tangis, otaknya mencoba untuk berpikir keras. Namun usahanya berakhir sia-sia. Selain tak mempunyai keluarga, siapa yang mau menerima seorang pekerja hamil seperti dirinya? Mungkin semua harapan indah untuk melunasi hutang dan melakukan pembalasan dendam terhadap keluarga Keenan hanya akan menjadi angan-angan saja."Heh! Aku akan menerimamu kembali, asalkan kamu mengugurkan kandungan itu," lanjutnya dengan seringai.Masih dengan posisi semula, Adira membelalak. Otaknya seolah mendukung peluruhan janin yang masih belum memiliki nyawa itu, namun berkali-kali hati nuraninya menolak. Bagaimana bisa ia mengorbankan seorang bayi yang tidak memiliki dosa hanya untuk melancarkan pembalasan dendamnya.Kini Adira menjadi bahan gunjingan para tetangga yang ikut menyaksikan pengusiran itu. Namun dibandingkan dengan rasa malu, rasa sakit hati akibat harga dirinya yang berkali-kali diinjak-injak kini lebih mendominasi. Membuat amarah yang tersembunyi itu semakin membara di dalam hati.Sebuah mobil jenis Buggati berwarna putih, nampak berhenti di depan mereka. Sorot kagum dan tanda tanya besar kini menggantikan Adira yang sebelumnya menjadi pusat perhatian.'Siapa dia?' Tanda tanya besar seketika terlintas dalam kepala Adira, ketika seorang pria tampan mulai turun dari dalam mobil yang perlahan terbuka.Wajah angkuh dengan sorot mata mengintimidasi, kini menatap lurus ke arah jam seharga puluhan juta yang tengah melingkar di pergelangan tangannya. Kaki jenjang itu kini perlahan mendekat dengan pasti, setelah mengibaskan jas hitamnya dengan begitu angkuh. Beberapa pria bertubuh besar yang terlihat seperti seorang pengawal, nampak mengekor di belakang tubuhnya."Siapa kalian?" tanya Keenan yang terlihat begitu kebingungan.Pria itu terdiam sejenak. Sorot tajam itu menatap lurus ke arah Keenan yang seolah mengiris nyalinya tipis-tipis. Pria itu merasa acuh tak acuh pada tatapan semua orang yang menyoroti setiap pergerakan tubuhnya.Tak kunjung mendapatkan sebuah jawaban, membuat Keenan yang sejatinya adalah seorang pria yang mudah tersulut emosi kini nampak murka. Ia melayangkan tatapan nyalang pada pria tampan itu untuk sesaat, sebelum akhirnya membuang muka karena tak mampu menandingi karisma kuat yang terpancar dari wajahnya."Saya datang ke sini untuk menjemput Nona Adira," ucapnya datar.Keenan terdiam. Otaknya mencoba untuk berpikir keras, mengingat sang istri yang tidak mempunyai garis keturunan bangsawan. Bagaimana mungkin seorang pria dengan penampilan berwibawa seperti ini menjemput Adira? Sebenarnya siapa orang ini?"Siapa kalian? Aku tidak mengenal satu pun dari kalian, jadi mau apa menjemputku?" Adira seketika berdiri tegak. Kedua tangannya bertumpuan pada pilar untuk menopang tubuhnya yang terasa lemas tak bertenaga."Nona, saya adalah Asisten pribadi dari Tuan yang kini benihnya tertanam di rahim Anda. Dan saya datang ke sini untuk membawa Anda pulang.""Pu-pulang?" Satu kata itu seketika membuat dadanya terasa sesak. Ia tak memiliki tempat bersingah untuk melepas penat, di mana lagi dirinya harus pulang selain rumah ini?Jika pria ini adalah seorang asisten pribadi dari pria yang pernah menghabiskan malam dengannya, kemungkinan identitas pria itu bukanlah orang biasa.Semua orang nampak terbelalak. Wajah terkejut mereka tak bisa tertutupi sedikit pun. Tanpa sadar, ucapan itu membuat Adira dicap sebagai wanita murahan yang dengan mudahnya tidur dengan siapa saja."Cih! Pulang? Dia ini Istriku, ada hak apa kamu ingin membawanya pergi?" ketus Keenan yang sudah terlanjur tersulut emosi.Kedua tatapan tajam itu kembali saling mengimbangi. Membuat situasi mencekam terasa begitu menusuk."Bukankah baru saja kamu ingin mengusirnya?"Keenan nampak terdiam untuk waktu yang cukup lama. Tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Pandangan matanya mengedar, mencari sebuah alasan yang sedikit menguntungkan untukny
Aksa terdiam untuk sejenak. Ia tak pernah menyangka, amarah itu akan membuat Adira menjadi wanita yang penuh dendam.Namun di balik semua itu, Aksa merasa bersyukur, karena dendam yang begitu membara dalam hati, seketika mengantarkan Adira dengan mudah ke dalam pelukannya."Baiklah, aku akan membuat mereka membayar semua penderitaan yang kamu alami," pungkasnya. Seketika itu, bibirnya menyunggingkan senyuman manis yang berhasil menghipnotis Adira untuk waktu yang cukup lama.Hingga beberapa detik berlalu, Adira baru menyadari keheranannya, "Tu-tunggu, mereka? Kamu tahu siapa Keenan yang aku maksud?"Pria tampan itu tersenyum tipis dengan mengedarkan pandangan matanya. Sebelum kembali menatap lekat manik hitam pekat yang hampir membuatnya gila. "Tidakkah kamu lebih penasaran bagaimana caraku untuk menemukanmu?"Sebelah alis tebal itu diangkat sekilas dengan menelengkan kepala.Adira hanya melengos, ketika pria bermata tajam itu tak berhenti menatapnya lekat.Entah kenapa, ada perasaan
Keenan seketika mendongak, matanya membelalak sempurna. Hatinya begitu bergejolak hingga membuatnya tak bisa mengeluarkan kata-kata."Sudahlah, Keenan ... lagi pula dari dulu kamu menolak perjodohan itu kan? Apa salahnya jika hari ini kita menukar kalimat talak itu dengan uang," timpal Betari yang secara tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah. Matanya begitu berbinar melihat kembali gepokan uang merah dalam tas koper. Hingga membuatnya tak mampu menahan diri untuk segera merebut tas hitam itu dari tangan Gavin.Keenan tertunduk dengan tatapan nanar. Kalimat talak itu memang telah lama ia siapkan untuk Adira. Namun entah kenapa, ketika hari ini benar-benar tiba, justru nuraninya menolak untuk mengucapkan kalimat itu secara lantang."Cepat ucapkan! Ibumu telah menerima uangnya." Gavin mendekatkan layar ponsel di depan wajah Keenan yang seketika berlinang air mata. Entah kenapa, bayangan wajah Adira seketika membuat hatinya terasa perih, seperti tertusuk ribuan busur panah.Keenan mengh
Mata Adira seketika membulat sempurna. Pantas saja, aroma dari bantal ini begitu tidak asing dalam penciumannya. Ternyata itu adalah aroma yang pernah ia cium satu bulan yang lalu di sebuah kamar hotel.Namun, entah kenapa, aroma itu tak membuatnya trauma akan ingatannya yang seketika berputar kembali, tapi malah membuatnya merasa tenang dan nyaman. Sebenarnya apa yang salah dari penciumannya ini? Ataukah semua itu terjadi karena janin yang ada dalam kandungannya?"Pffttt!" Sadar akan terkejutnya Adira, membuat Aksa seketika menahan tawa.Adira segera memutar kepala menghadap Aksa yang tengah terduduk di tepian ranjang, dan memohon sedikit belas kasih, "Tuan, bisakah saya tidur di kamar lain saja? Kamar Pelayan pun tak masalah."Adira memang sering merendahkan diri. Tidak menjadi masalah jika dirinya melakukan hal yang sama guna menyelamatkan dirinya dari terkaman singa jantan itu.Aksa yang telah terdiam kembali tertawa geli. "Sudahlah, makan saja dulu makananmu! Kita bahas itu nanti
Adira membelalak. Satu kata yang terselip dalam kalimat itu seketika membuat jantungnya terasa berhenti berdetak."Calon Nyonya?" Adira mengulangi kalimat yang begitu mengejutkan dirinya dengan lirih.Aksa terlihat salah tingkah setelah menyadari kalimat ambigu yang terucap dari mulut wanita cantik bernama Helen itu. "Tu-tunggu, kamu jangan salah paham dulu, di ...."Helen dengan cepat menyela penjelasan yang hendak keluar dari mulut Aksa, "Saya adalah Tunangan dari Aksa Adhitama, dan sebentar lagi kami akan segera menikah."Tubuh Adira seketika terasa terguncang. Ada rasa sakit yang mulai menjalar dari dalam hati. Perasaan menusuk kini mulai ia rasakan. Ternyata benar dugaannya sebelumnya. Sebenarnya dirinya hanyalah salah satu dari banyaknya wanita koleksi yang dimiliki pria itu."Helen!" Aksa memekik keras. Ia melayangkan tatapan nyalang dan penyesalan secara bergantian dengan Helen dan Adira yang tengah berada dihadapannya."Ada apa? Bukankah apa yang aku katakan memang benar adan
Aksa terperangah. Matanya membelalak sempurna, seolah tidak percaya dengan pemandangan indah di depan mata.Sementara Adira masih tertunduk. Ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikan wajahnya yang dipenuhi dengan riasan makeup.Momen canggung itu terjadi hingga beberapa menit. Sampai di mana Aksa baru menyadari jika Gavin masih mematung di tempat dengan sorot mata kagum yang ia layangkan pada calon istri Aksa."Ekhm!" Aksa dengan sengaja berdehem keras untuk segera menyadarkan asistennya dari lamunan.Hal itu sontak membuat Gavin kalang kabut, dan langsung berlari cepat melakukan tugas yang telah diberikan sang atasan padanya."Ma-maafkan saya, Tuan." Satu kalimat itu terdengar sebelum Gavin mulai melangkah cepat meninggalkan tempat semula.Bagaimana tidak. Penampakan Adira kini bagaikan seorang Dewi yang baru turun dari kahyangan. Dengan ciri khas sanggul ala adat Jawa dengan bunga melati yang masih menguncup, menjuntai indah menghiasi kepala.Aksa yang hampir tidak mengenali calo
Tubuh kurus dengan balutan kebaya pengantin itu terlihat begitu terguncang. Secercah amarah kembali terasa meluap-luap dalam hati.Sementara itu, Aksa menyeringai kecil. Perasaan puas kian memenuhi hati, meredamkan amarah yang baru saja terasa begitu menggebu. "Sekarang kamu bisa melihatnya sendiri kan?"Kalimat itu seolah memutar kembali ingatannya, di mana saat Aksa mengatakan jika Keenan memiliki wanita lain di belakang Adira.Dan benar saja, itu benar-benar terjadi. Dan hal ini begitu membuat amarahnya kian memuncak. Dendam dalam hati kini terasa mulai membara. Tak ada lagi kesempatan yang akan ia berikan pada mantan suaminya untuk memperbaiki diri."Jadi masih mau membatalkan pernikahan kita?" tanya Aksa memastikan dengan senyum mengejek dari bibirnya.Adira berusaha mengumpulkan ketegaran dalam hati. Kini semua keputusan berada dalam genggamannya. Jika ia membatalkan pernikahan ini hanya karena seorang wanita yang mengaku sebagai calon Nyonya di kediaman ini, maka sampai maut me
Ruangan yang sengaja dibuat meredup itu membuat kantuk seketika menghampiri. Hingga membuat keduanya melupakan kegelisahan yang sebelumnya melanda hati.***Halaman utama kediaman Aksa Adhitama. Pukul sepuluh pagi."Tuan, ada telepon untuk Anda." Pria tampan berkacamata terlihat memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru kepada atasannya yang hendak memasuki mobil.Membuat langkah itu seketika terhenti untuk menerima ponsel dari tangan asisten pribadinya.Aksa sangat mengetahui sikap asistennya. Jika bukan termasuk telepon penting, ia tidak akan memberikan telepon itu pada atasannya dan akan menangani segala sesuatunya sendiri."Ada apa?" Aksa berbicara keras dengan seseorang melalui sambungan telepon. Ia tidak ingin banyak basa-basi yang akhirnya akan membuang banyak waktunya.Wajah kesal itu seketika berubah menjadi tegang dalam waktu persekian detik. Membuat paras tampan nan berwibawa semakin terlihat jelas dari seorang pria yang tengah mendengarkan penjelasan lawan bicaranya melalu