Drrttt ... Drrttt ....
Getaran ponsel dari atas nakas berhasil membuat tubuh wanita cantik itu kembali mendapatkan kesadarannya. Sorot cahaya matahari yang menyeruak memasuki celah jendela membuatnya mengerjap-ngerjapkan kedua matanya.Adira terduduk cepat. Matanya membelalak, ketika mendengar suara dengkuran halus dari samping tubuhnya."Siapa pria ini?" Sorot mata itu menelusuri setiap inci dari tubuh kekar yang bertelanjang bulat, masih berbaring di samping tubuhnya. Bulu lentik dan alis tebal terlihat jelas dari wajah tampan yang masih memejam erat. Karisma yang terpancar dari wajahnya tak hilang sedikit pun termakan usia yang terpaut cukup jauh dengannya."Sebenarnya apa yang terjadi?" Adira memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Memori otaknya seolah berputar mundur, mengingat semua hal yang terjadi sebelum ia berakhir di sini.Sang suami meminta Adira untuk menemaninya ke sebuah tempat hiburan malam, ia dipaksa meminum sesuatu hingga akhirnya merenggut kesadarannya secara paksa. Satu kalimat yang terdengar begitu jelas memasuki telinganya sebelum pandangan matanya menghitam adalah, "Lima puluh juta, bersiaplah untuk sampai di genggaman tanganku.""Apa mungkin Mas Keenan sengaja ingin menjualku? Tidak! Tidak mungkin." Adira menampar keras kedua pipinya. Berusaha menjernihkan pikirannya yang berkali-kali terlintasi oleh prasangka buruk. Meski sang suami begitu membenci dirinya karena sebuah perjodohan, dia tidak akan mungkin berbuat setega itu terhadapnya.Ia tidak ingin memiliki pikiran kotor terhadap dirinya sendiri, namun penampakan tubuhnya tanpa balutan pakaian sedikit pun dan beberapa bercak merah pada leher dan dada, seolah membantah asumsinya sendiri.Tubuh rapuh itu seketika bangkit, namun sensasi perih menjalar dari pangkal pahanya, membuat tubuhnya terhuyung dengan kedua tangan yang bertumpu pada nakas.Diliriknya tubuh kekar itu. Masih terpejam dengan suara dengkuran halus menyertai tidur lelapnya. Kesempatan Adira untuk segera kabur dari sana."Aku harus cepat pergi dari sini," gumam Adira dengan tangan yang menyambar cepat sembarang pakaian yang berhamburan di atas lantai.Namun sebuah tangan kekar menyambar lengannya secara kasar, hingga tubuhnya terhuyung dan kembali terjatuh di atas ranjang."Mau pergi ke mana?" Suara serak dari seorang pria berhasil mengejutkannya. Matanya membelalak sempurna, menatap seorang pria tampan dengan tubuh telanjang mencoba kembali menindih tubuhnya.Namun sekuat apa pun ia berontak, tubuhnya tak kunjung terlepas. Tenaganya tak cukup kuat untuk menandingi pria dewasa yang berusaha menjamah kembali tubuh moleknya."Diam!" Satu kata yang terdengar memekikkan telinga itu seketika menghentikan pergerakan tubuh Adira. Tatapan tajam mengiris seolah mengulitinya tipis-tipis.Sorot tajam mengintimidasi itu kini menatap lekat bercak merah pada alas kasur berwarna putih. Bibirnya menyeringai dalam sekejap. Ada perasaan bangga telah menerobos pertahanan seorang Jalang yang ternyata masih perawan."Tuan, tolong lepaskan saya." Satu kalimat ia ucapkan setelah mati-matian mengumpulkan keberanian untuk beberapa detik. Karisma yang terpancar dari wajah pria itu seolah tidak dapat dibantah sedikit pun. Membuat ketakutan hebat kini menyeruak dalam hati.Setelah cengkeraman kuat pria itu terasa merenggang, Adira sekuat tenaga mencoba untuk bangkit. Ia meraih sembarang pakaian yang tercecer di atas lantai. Sebuah kemeja putih lengan panjang, ia kenakan untuk menutupi bagian tubuhnya."Tulis nomor rekeningmu!"Secarik kertas ia lemparkan dengan kasar. Hal itu sontak membuat rahang Adira mengeras. Apakah ia mengira jika Adira adalah wanita Jalang yang ditidurinya tadi malam?Tubuh dengan balutan kemeja putih itu sedikit membungkuk, meraih kasar selembar kertas yang terjatuh di bawah kakinya. Tangannya meraih bulpoin di atas nakas, dan terlihat menggoreskan tinta hitam di atas kertas."Setelah ini saya harap kita tidak akan bertemu lagi," geramnya dengan melemparkan kertas yang telah ia remas kasar, sebelum kaki jenjangnya melangkah cepat keluar dari dalam ruangan.Pria itu menyeringai, menatap lekat punggung wanita yang semakin hilang dari pandangan matanya."Tidak bertemu lagi? Itu tidak mungkin, karena sekarang aku menyukai tubuhmu," gumamnya lirih. Tangan kekar itu meraih kasar gumpalan kertas yang telah diremas kuat, membuka setiap sudutnya dengan perlahan.Ekspresi wajah itu seketika berubah hanya dalam waktu persekian detik. Alih-alih mendapatkan deretan angka panjang yang terpampang di buku rekening bank, Adira dengan begitu berani menuliskan satu kata yang berhasil membuat pria itu murka, 'BODOH!'Beberapa pertanyaan seketika terlintas dalam pikirannya. Siapa sebenarnya wanita ini? Punya keberanian dari mana menghina seorang Aksa Adhitama yang begitu luar biasa di kalangan para wanita?"Lihat saja! Aku akan mencarimu sampai ke ujung dunia."Sementara itu, Adira mengedarkan pandangan matanya untuk mencari pintu keluar. Ini adalah pertama kalinya ia datang ke tempat seperti ini. Tubuhnya kini terasa luluh lantak. Tak ada sedikit pun ketegaran yang tersisa dari dalam hati. Matanya mengawasi sekeliling dengan nanar, mencari keberadaan sang suami yang entah di mana keberadaannya."Mas Keenan, kamu di mana?" Adira menangis sesenggukan, berjalan tertatih-tatih untuk mencari sang suami. Namun hingga keluar dari dalam Bar, Keenan tak kunjung menampakkan batang hidungnya.Ketegaran yang bersusah payah ia kumpulkan mendadak luruh bersamaan dengan air mata yang jatuh membasahi jalanan kota.Adira mendapati sorot mata sinis yang kian menatapnya secara bergantian. Beberapa orang yang berlalu-lalang di sekitar bar menatap bekas merah pada tubuhnya dengan perasaan jijik."Aku bukan wanita kotor, aku bukan seorang Pelacur," gumam Adira dengan menundukkan wajahnya. Menyembunyikan air mata yang mulai luruh dari ujung matanya.Hanya karena dia keluar dari dalam sebuah Bar dengan berpenampilan lusuh, bukan berarti orang lain bisa sembarangan menyebutnya sebagai Pelacur.Memakai kemeja kebesaran dan rambut urakan, Adira berjalan tak tentu arah. Ia tidak tahu ke mana jalan pulang. Jika ia tahu pun, dirinya tidak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini. Apa yang akan dipikirkan sang suami ketika melihat penampilannya saat ini?"Aku harus pergi ke mana?" Adira terduduk lemas di trotoar jalan. Kedua tangannya menelungkup menutupi wajahnya yang mulai bercucuran air mata. Kehormatan yang selama ini ia jaga untuk suaminya, dengan gampangnya direnggut paksa oleh sosok pria asing yang menidurinya semalam.Isak tangis itu terdengar semakin lantang. Adira merasa acuh tak acuh pada sebagian orang yang menatapnya jijik. Dibandingkan dengan rasa malu, perasaan hancur kini lebih mendominasi dalam hatinya.Setelah beberapa jam. Akhirnya tangis itu mampu meredakan sedikit amarah dalam hati. Kaki jenjang itu kini mulai melangkah pasti, menelusuri jalanan beraspal hingga sampai di kompleks perumahan tempatnya tinggal."Apa aku harus pulang dengan keadaan seperti ini?" Adira berhenti di depan pintu rumahnya. Memandangi dirinya sendiri dengan tatapan nanar.Beberapa tetangga nampak keluar. Menatap jijik pada Adira yang masih tertunduk di depan pintu."Astaga! Adira? Ternyata seperti ini kelakuanmu? Pantas saja selama ini Keenan tidak ingin menyentuhmu," cibir seorang tetangga yang merupakan bibi dari suami Adira. Hal itu ia ucapkan bukan tanpa sebab. Selama satu tahun membina rumah tangga, Keenan tak sekali pun merasa sudi untuk menyentuh tubuh Istrinya. Mungkin karena pernikahan mereka yang berawal dari sebuah perjodohan karena utang piutang kedua orang tua Adira yang kini telah berpulang ke Rahmatullah.Adira hanya terdiam dengan tatapan kosong. Mulutnya tak berniat menampik sedikit pun tuduhan-tuduhan yang dilontarkan padanya.Pintu rumah perlahan terbuka. Membuat wajah tertunduk itu seketika mendongak pasti. Namun bukan sambutan hangat yang ia dapatkan. Melainkan tamparan keras dan berbagai umpatan kasar yang keluar dari mulut suaminya.Plak!"Dasar Jalang! Katakan! Pergi ke mana saja kamu? Kenapa Tuan Aditya Buana tidak menemukanmu di kamarnya semalam?"***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe
"Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S
Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te
"Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida
***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so
"Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg