Share

Aku hamil?

Author: Liya Mardina
last update Last Updated: 2023-08-18 13:53:03

Adira membelalak. Ia mempertegas pendegarannya. Otaknya bekerja keras untuk mencerna semua kata-kata yang keluar dari mulut suaminya.

"Kenapa diam saja? Katakan! Dengan siapa kamu tidur tadi malam?" lanjut Keenan dengan intonasi meninggi.

Deg ....

Jantung Adira serasa berhenti seketika, otaknya akhirnya berhasil menangkap maksud ucapan dari suaminya.

Bibirnya terasa membeku. Bahkan tak ada sedikit pun tenaga untuk sekedar mengeluarkan suara. Pria yang dicintainya dengan sepenuh hati, nyatanya mampu melakukan hal sekeji ini. Padahal dari awal ia mencoba untuk berpikir positif, dengan membuang jauh-jauh prasangka buruknya terhadap sang suami. Namun pada kenyataannya, Keenan telah mengakui jika ia telah mengirimkan sang istri ke ranjang pria lain malam tadi, yang tidak lain dan tidak bukan adalah seorang pria tua berhidung belang yang memiliki banyak istri.

"Kenapa?" Suara lirih akhirnya terdengar dari mulut wanita cantik yang kini mencoba menahan tangisannya. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, mengingat selama satu tahun membina rumah tangga, ia selalu menjadi istri yang penurut. Hal itu ia lakukan bukan tanpa sebab, ia ingin suatu saat Keenan memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Menjadikan pernikahan yang tidak diawali dengan cinta, namun hanya maut yang bisa memisahkan mereka.

Seringai kecil muncul dari wajah sang suami. Sorot mata itu menatap lurus pada sang istri dengan tatapan memuakkan.

"Kamu pikir kenapa aku mau menerima perjodohan ini? Sedangkan aku tidak mendapatkan kembali uangku yang telah dihabiskan oleh kedua orang tuamu?" ucapnya lirih, mendekatkan wajahnya pada Adira yang seketika melangkah mundur untuk beberapa langkah.

Adira menghapus kasar air mata yang mengucur deras membasahi pipi dengan lengan kemejanya. Pengakuan itu seketika membuat hati kecilnya tergerak. Mungkin alasan itu ada benarnya. Orang tuanya tidak bisa membayar hutang, dan menyerahkan dirinya sebagai jaminan. Sementara dirinya tidak bekerja dan tidak menghasilkan uang, jadi mungkin wajar jika sang suami melakukan hal ini terhadapnya.

"Berapa banyak jumlah hutang orang tuaku?" tanya Adira dengan suara serak. Tangannya yang bergetar hebat mencoba menghilangkan ketakutan dengan memilin ujung kemeja.

"Lima puluh juta," jawab Keenan singkat. Sorot matanya menatap sinis pada beberapa bercak merah yang terpampang jelas pada leher istrinya.

Adira membelalak. Jujur saja, ia tidak tahu menahu tentang jumlah uang yang dipinjam orang tuanya pada keluarga Keenan. Tanda tanya besar seketika terlintas dalam otaknya, untuk apa orang tuanya meminjam uang sebanyak itu?

"Aku akan berusaha melunasi hutang itu secepatnya." Tekadnya membulat seketika. Ia ingin segera melunasi hutang itu dengan berbagai cara, agar dirinya bisa segera angkat kaki dari rumah yang lebih pantas disebut dengan neraka. Setahun lebih membina rumah tangga, ia merasa diperlakukan tidak manusiawi oleh suami dan ibu mertuanya.

"Cih! Mau bayar dengan apa? Daun?" Hinaan itu kembali keluar dari mulut suaminya.

"Cepat masak dan lakukan pekerjaan rumah! Aku sudah muak hanya dengan melihat wajahmu saja!" Keenan menarik dan menghempaskan kuat tubuh sang istri dengan kasar hingga terjatuh di lantai keramik rumahnya.

Adira meringis kesakitan untuk beberapa saat, namun tatapan memuakkan itu tak kunjung merasa iba, hanya meliriknya sekilas lalu melangkah pergi ke luar dari rumah.

Adira menatap nanar punggung sang suami yang semakin hilang dari pandangan matanya. Namun ia kembali mengumpulkan ketegaran dalam hati. Meyakinkan dirinya sendiri jika suatu saat nanti ia bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada keluarga suaminya.

"Adira!" Suara teriakan seorang wanita begitu menusuk telinga. Menggema di seluruh penjuru ruangan. Membuat Adira seketika kalang kabut untuk segera menghampiri.

"I-iya, Bu." Adira berdiri di depan seorang wanita paruh baya yang tengah duduk dengan angkuh di sebuah sofa panjang berwarna merah. Tanpa alasan yang jelas, tubuhnya mendadak bergetar begitu hebat.

Sosok wanita itu mampu membuat Adira ketakutan hanya dengan mendengar suaranya saja. Adira berusaha menyembunyikan rasa takut itu dengan memilin ujung kemejanya.

"Pergi masak! Aku lapar," ucap ibu mertua tanpa sedikit pun melirik sang menantu yang masih berdiri membeku di hadapannya.

"Ba-baik." Tak ingin memperpanjang masalah, Adira melangkah cepat menuju dapur tanpa sempat mengganti baju.

Ia memasak bahan makanan apa pun yang bisa ia temukan di dalam lemari pendingin.

Hingga satu jam berlalu. Adira menyajikan makanan yang baru ia buat pada sang ibu mertua yang masih terdiam di tempat semula.

Prang!

Sebuah piring yang baru ia letakkan di atas meja seketika ditampik oleh ibu mertua dengan kakinya. Hingga sepiring tempe goreng berceceran di atas lantai.

"Makanan apa ini?!" murkanya.

"Ma-maaf, Bu. Tapi hari ini Mas Keenan tidak memberiku uang untuk belanja." Adira tertunduk, menyembunyikan ketakutan yang terpampang jelas di wajah cantiknya.

Betari, sang ibu mertua seketika bangkit. Mendekati Adira dengan langkah kasar.

Plak!

Satu tamparan mendarat sempurna di wajah cantik yang masih tertunduk itu.

"Dasar tidak tahu diri! Sudah menumpang tinggal di sini masih mengharapkan uang belanja," ketusnya dengan tatapan sinis.

Adira masih terdiam, tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab.

"Bukankah semalam kamu menjual diri? Seharusnya dapat uang banyak kan?" bisik Betari dengan nada mengejek.

Adira membelalak. Hinaan itu seketika menusuk relung hatinya yang paling dalam. Dirinya berusaha melupakan kejadian malam itu, namun berkali-kali ingatan itu kembali oleh ucapan sang suami dan ibu mertuanya.

Mereka tidak pernah tahu, sehancur apa dirinya saat ini. Adira berlari kencang, meninggalkan air mata yang jatuh bercucuran membasahi lantai. Memasuki kamar mandi dan mengurung diri di dalam sana untuk waktu yang cukup lama.

Tubuh rapuh itu duduk di bawah shower. Menyalakan keran air dingin, hingga buliran air berjatuhan membasahi tubuhnya, luruh bersamaan dengan air mata yang kian membasahi pipi.

"Heh! Adira. Keluar! Bersihkan ini dulu!"

Gedoran pintu dan teriakkan sang mertua tidak menggentarkan hatinya sedikit pun. Ia begitu menikmati guyuran air dari shower yang menutupi suara tangisnya yang semakin menjadi-jadi.

Meski berkali-kali ia mencoba menggosok tubuhnya, perasaan kotor itu tidak akan pernah hilang dari sana.

Tangis itu tidak ia tujukan pada siapapun, melainkan pada nasibnya sendiri yang semakin hari semakin memburuk.

***

Satu bulan berlalu begitu cepat. Karena gagal menjual malam pertama Adira pada seorang Bos besar, Adira diperlakukan lebih tidak manusiawi dibandingkan sebelumnya.

"Huwek!" Adira berlari menuju wastafel yang berada di dalam kamar mandi. Perutnya terasa begitu bergejolak akhir-akhir ini. Suhu tubuhnya meningkat, namun tak ada keberanian untuk memberi tahu sang suami dan ibu mertua tentang kondisinya saat ini. Meski kerap kali mendapatkan omelan dan berbagai umpatan kasar dari penghuni rumah yang merasa pekerjaan rumah tangga yang tak terselesaikan dengan baik, Adira tetap berusaha beraktivitas seperti biasa. Melawan segala rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuhnya.

"Kepalaku pusing sekali," gumamnya lirih. Setelah mengeluarkan semua isi perutnya yang terasa diaduk-aduk, kedua tangannya bertumpuan pada wastafel berwarna putih. Matanya lurus menatap pantulan wajahnya dari cermin persegi panjang yang tergantung di atas wastafel.

"Mungkinkah ... tidak! Itu tidak mungkin, aku hanya melakukan itu sekali, bagaimana mungkin aku langsung hamil?" Adira menggeleng cepat, mencoba menghilangkan prasangka buruk yang seketika terlintas dalam pikirannya. Tangannya menyalahkan keran air untuk membasuh wajahnya yang terlihat pucat pasih.

Karena pikiran yang terasa semakin kacau, Adira memutuskan untuk pergi ke apotek terdekat untuk membeli sebuah alat tes kehamilan. Ia memberanikan diri untuk memastikan suatu hal yang tidak ia inginkan terjadi sama sekali dalam hidupnya.

Setelah membeli sebuah alat tes yang ia butuhkan, Adira berlari menuju kamar mandi. Menyembunyikan sebuah testpack dari balik saku daster lusuhnya yang warnanya terlihat begitu pudar akibat terlalu sering dicuci.

'Jangan muncul garis dua, jangan muncul garis dua.' Begitu harapnya dalam hati.

Hatinya mendadak gusar. Lantunan doa berkali-kali ia panjatkan dari dalam hati. Perasaan harap-harap cemas ia rasakan ketika menunggu hasil dari sebuah benda yang baru ia gunakan.

Adira membelalak, ketika melihat alat tes kehamilan itu menunjukkan dua garis merah terjejer dengan begitu jelas. Ia seketika terduduk lemas. Kakinya bergetar hebat hingga lututnya tak mampu menopang tubuhnya yang terasa rapuh saat ini. Satu tangganya membekap mulut. Tanpa sadar, bulir bening kini mulai berjatuhan membasahi lantai kamar mandi.

"A-aku, hamil?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Kelahiran anak kedua

    ***Sembilan bulan kemudian. Tepat di saat hari perkiraan lahir sang anak yang masih berada dalam kandungan. Namun hingga hari itu terlewati tak ada tanda-tanda kelahiran akan tiba.Kediaman Aksa Adhitama. Pukul sembilan pagi."Sayang? Kenapa tidak berangkat bekerja hari ini? Bukankah Gavin baru saja memberi tahumu jika akan ada Klien yang akan membuat janji temu di perusahaan?" tanya Adira yang tak sengaja mendapati sang suami masih berada di ruangan kerja, saat hendak membersihkan ruangan itu.Namun alih-alih langsung menjawab, Aksa terlihat masih sibuk dengan layar pada laptopnya.Adira yang tak kunjung mendapatkan respon seketika merasa dongkol. Melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah tertekuk."Kamu mau apa? Berhentilah bersih-bersih! Cepat pergi istirahat!" tegas Aksa dengan nada lembut. Namun pandangan matanya tak berpaling sedikit pun dari layar laptopnya."Aku harus bergerak aktif, agar persalinan nanti bisa berjalan normal. Orang yang tidak pernah berolahraga sepe

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Tebakan bapak tua

    "Kita bisa pulang sekarang?" tanya Aksa meminta persetujuan dari sang istri untuk segera meninggalkan makam.Sontak Adira yang tengah sibuk mengeringkan sebagian bajunya yang terkena tetesan air hujan segera mengangguk pasti.Tangan Adira spontan meraih rambut sang suami untuk segera dikeringkan dengan handuk di tangannya. Ia tak ingin Aksa jatuh sakit setelah melewati beberapa peristiwa berdarah akhir-akhir ini, yang sangat menguras energi."Sayang, bolehkah setelah ini kita mampir membeli sate ayam? Aku lapar," ucap Adira seraya menyengir. Nampaknya tak ada sedikit pun raut kesedihan yang kembali muncul setelah prosesi pemakaman tersebut. Sontak hal itu membuat Aksa tersenyum bahagia, kini tak ada lagi yang ia khawatirkan tentang kondisi sang istri yang akan merasa bersalah seperti sebelumnya."Baik, Nyonya Adhitama," jawab Aksa dengan sedikit bergurau. Ia tak ingin membuat sang istri kembali berekspresi tegang hingga membuat seulas senyum tak mampu sedikit pun menghiasi bibirnya.S

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Pemakaman Betari

    Setelah selesai bersiap-siap, kini ketiganya mulai berkumpul di halaman dekat garasi mobil.Terlihat Gavin berjalan enggan ke arah sang atasan. Ketakutan itu masih terlihat jelas dari sorot matanya."Gavin? Apakah hari ini kamu kurang sehat? Kenapa wajahmu pucat sekali?"Rentetan pertanyaan yang sang atasan ajukan hanya mampu membuat pemuda berusia dua puluhan tahun itu tersenyum getir.Tak mendapati respon yang diinginkan, Aksa pun mulai berpikir keras. Mungkinkah Gavin tak ingin pergi dengannya hari ini?"Gavin, tetaplah di rumah! Urus keperluan sekolah Naura setelah dia bangun nanti," ucap Aksa pada akhirnya mengetes asumsinya sendiri. Dan benar saja, Gavin yang sebelumnya tertunduk lesu kini mendongak pasti dengan wajah berbinar cerah. "Baik, Tuan," ucapnya lantang dengan seulas senyum yang tertahan. Membungkukkan sedikit tubuhnya memberi hormat."Baiklah, aki akan pergi sekarang. Jika ada hal darurat, segera telepon!" ucap Aksa mengingatkan sebelum beranjak memasuki mobil yang te

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Kabar duka dari rumah sakit jiwa

    "Astaga ...!" Dokter itu pun sontak mengusap kasar wajahnya frustasi. Di saat-saat genting semacam ini pun malah tak ada yang langsung bertindak.Hingga pada akhirnya. Dengan berat hati dokter itu segera mengambil sebuah benda pipih di saku jasnya. Menggulir layar ponselnya beberapa kali hingga menghubungkannya dengan sambungan telepon."Halo, Polisi, cepat datang! Ada pasien rumah sakit jiwa yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri ...." Dokter itu berbicara panjang lebar dari sambungan telepon. Menjelaskan secara rinci kejadian yang ia lihat dan lokasi yang harus dituju oleh polisi tersebut. Hingga pada akhirnya sambungan telepon terputus."Cari data keluarga Pasien! Kita harus segera menghubungi keluarganya!" ucap dokter itu panik pada salah satu rekannya setelah selesai meletakkan kembali ponselnya di saku jas putih."Ba-baik." Meski dengan sedikit ketakutan yang masih terasa, namun salah satu perawat segera beranjak melakukan perintah yang ditujukan padanya. Jika dirinya tida

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Betari mengakhiri hidupnya

    ***Rumah sakit jiwa. Pukul satu dini hari.Di jam-jam istirahat kali ini sedikit berbeda. Suasana sunyi seketika terasa mencekam setelah salah satu ruangan dalam rumah sakit itu digunakan salah seorang pasien untuk mengakhiri hidupnya.Betari yang kini telah sedikit kembali mendapatkan kewarasannya sontak celingukan ke kanan dan ke kiri saat mendapati bunyi hentakan kaki di dalam ruangannya."Keenan? Apakah itu kamu?" ucap Betari yang masih menganggap sang putra masih hidup, dan berkhayal seolah sang putra tengah menemaninya setiap hari."Bu ...."Betari segera memutar kepala menghadap belakang, saat samar-samar telinganya menangkap suara Keenan yang tengah memanggilnya."Keenan? Kamu di mana? Jangan main-main dengan Ibu! Cepat keluar!" ucap Betari dengan wajah setengah panik. Pandangan matanya mengedar ke seluruh sudut ruangan, namun tak kunjung ditemukan siapa pun di dalam sana selain dirinya sendiri."Bu, aku di sini."Lagi, suara itu terdengar kembali dan semakin jelas. Betari so

  • Harga Diriku Bernilai Lima Puluh Juta   Penderitaan Mayang

    "Tutup mulut kalian ...!" teriak Mayang lantang dengan tatapan nyalang yang ia layangkan pada lima tahanan wanita yang satu sel dengannya.Sontak seluruh tahanan wanita menatap heran ke arahnya. Merasa bingung, dari mana asal keberanian yang Mayang milik untuk menantang mereka semua.Deru nafas memburu terdengar jelas saat Mayang membulatkan matanya dengan tatapan tajam mengintimidasi. Berdiri tegak dengan satu betisnya yang dililit oleh perban dengan darah yang masih merembes keluar."Cih! Kaki pincang saja masih berani meninggikan suara. Apakah ingin segera dihabis oleh kita?" cibir salah satu tahanan wanita yang memiliki tato di lengannya. Berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat rapi di depan dada dengan gestur angkuh.Sontak kalimat itu membuat Mayang bergidik ngeri. Dirinya melupakan kondisi kakinya saat ini. Meski begitu, dirinya juga tak memiliki pengalaman bela diri sekali pun untuk melawan. Lantas, apa yang harus Mayang lakukan saat ini? Bodoh sekali dirinya sampai meningg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status