Adira membelalak. Ia mempertegas pendegarannya. Otaknya bekerja keras untuk mencerna semua kata-kata yang keluar dari mulut suaminya.
"Kenapa diam saja? Katakan! Dengan siapa kamu tidur tadi malam?" lanjut Keenan dengan intonasi meninggi.Deg ....Jantung Adira serasa berhenti seketika, otaknya akhirnya berhasil menangkap maksud ucapan dari suaminya.Bibirnya terasa membeku. Bahkan tak ada sedikit pun tenaga untuk sekedar mengeluarkan suara. Pria yang dicintainya dengan sepenuh hati, nyatanya mampu melakukan hal sekeji ini. Padahal dari awal ia mencoba untuk berpikir positif, dengan membuang jauh-jauh prasangka buruknya terhadap sang suami. Namun pada kenyataannya, Keenan telah mengakui jika ia telah mengirimkan sang istri ke ranjang pria lain malam tadi, yang tidak lain dan tidak bukan adalah seorang pria tua berhidung belang yang memiliki banyak istri."Kenapa?" Suara lirih akhirnya terdengar dari mulut wanita cantik yang kini mencoba menahan tangisannya. Hatinya terasa hancur berkeping-keping, mengingat selama satu tahun membina rumah tangga, ia selalu menjadi istri yang penurut. Hal itu ia lakukan bukan tanpa sebab, ia ingin suatu saat Keenan memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Menjadikan pernikahan yang tidak diawali dengan cinta, namun hanya maut yang bisa memisahkan mereka.Seringai kecil muncul dari wajah sang suami. Sorot mata itu menatap lurus pada sang istri dengan tatapan memuakkan."Kamu pikir kenapa aku mau menerima perjodohan ini? Sedangkan aku tidak mendapatkan kembali uangku yang telah dihabiskan oleh kedua orang tuamu?" ucapnya lirih, mendekatkan wajahnya pada Adira yang seketika melangkah mundur untuk beberapa langkah.Adira menghapus kasar air mata yang mengucur deras membasahi pipi dengan lengan kemejanya. Pengakuan itu seketika membuat hati kecilnya tergerak. Mungkin alasan itu ada benarnya. Orang tuanya tidak bisa membayar hutang, dan menyerahkan dirinya sebagai jaminan. Sementara dirinya tidak bekerja dan tidak menghasilkan uang, jadi mungkin wajar jika sang suami melakukan hal ini terhadapnya."Berapa banyak jumlah hutang orang tuaku?" tanya Adira dengan suara serak. Tangannya yang bergetar hebat mencoba menghilangkan ketakutan dengan memilin ujung kemeja."Lima puluh juta," jawab Keenan singkat. Sorot matanya menatap sinis pada beberapa bercak merah yang terpampang jelas pada leher istrinya.Adira membelalak. Jujur saja, ia tidak tahu menahu tentang jumlah uang yang dipinjam orang tuanya pada keluarga Keenan. Tanda tanya besar seketika terlintas dalam otaknya, untuk apa orang tuanya meminjam uang sebanyak itu?"Aku akan berusaha melunasi hutang itu secepatnya." Tekadnya membulat seketika. Ia ingin segera melunasi hutang itu dengan berbagai cara, agar dirinya bisa segera angkat kaki dari rumah yang lebih pantas disebut dengan neraka. Setahun lebih membina rumah tangga, ia merasa diperlakukan tidak manusiawi oleh suami dan ibu mertuanya."Cih! Mau bayar dengan apa? Daun?" Hinaan itu kembali keluar dari mulut suaminya."Cepat masak dan lakukan pekerjaan rumah! Aku sudah muak hanya dengan melihat wajahmu saja!" Keenan menarik dan menghempaskan kuat tubuh sang istri dengan kasar hingga terjatuh di lantai keramik rumahnya.Adira meringis kesakitan untuk beberapa saat, namun tatapan memuakkan itu tak kunjung merasa iba, hanya meliriknya sekilas lalu melangkah pergi ke luar dari rumah.Adira menatap nanar punggung sang suami yang semakin hilang dari pandangan matanya. Namun ia kembali mengumpulkan ketegaran dalam hati. Meyakinkan dirinya sendiri jika suatu saat nanti ia bisa membalaskan rasa sakit hatinya pada keluarga suaminya."Adira!" Suara teriakan seorang wanita begitu menusuk telinga. Menggema di seluruh penjuru ruangan. Membuat Adira seketika kalang kabut untuk segera menghampiri."I-iya, Bu." Adira berdiri di depan seorang wanita paruh baya yang tengah duduk dengan angkuh di sebuah sofa panjang berwarna merah. Tanpa alasan yang jelas, tubuhnya mendadak bergetar begitu hebat.Sosok wanita itu mampu membuat Adira ketakutan hanya dengan mendengar suaranya saja. Adira berusaha menyembunyikan rasa takut itu dengan memilin ujung kemejanya."Pergi masak! Aku lapar," ucap ibu mertua tanpa sedikit pun melirik sang menantu yang masih berdiri membeku di hadapannya."Ba-baik." Tak ingin memperpanjang masalah, Adira melangkah cepat menuju dapur tanpa sempat mengganti baju.Ia memasak bahan makanan apa pun yang bisa ia temukan di dalam lemari pendingin.Hingga satu jam berlalu. Adira menyajikan makanan yang baru ia buat pada sang ibu mertua yang masih terdiam di tempat semula.Prang!Sebuah piring yang baru ia letakkan di atas meja seketika ditampik oleh ibu mertua dengan kakinya. Hingga sepiring tempe goreng berceceran di atas lantai."Makanan apa ini?!" murkanya."Ma-maaf, Bu. Tapi hari ini Mas Keenan tidak memberiku uang untuk belanja." Adira tertunduk, menyembunyikan ketakutan yang terpampang jelas di wajah cantiknya.Betari, sang ibu mertua seketika bangkit. Mendekati Adira dengan langkah kasar.Plak!Satu tamparan mendarat sempurna di wajah cantik yang masih tertunduk itu."Dasar tidak tahu diri! Sudah menumpang tinggal di sini masih mengharapkan uang belanja," ketusnya dengan tatapan sinis.Adira masih terdiam, tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab."Bukankah semalam kamu menjual diri? Seharusnya dapat uang banyak kan?" bisik Betari dengan nada mengejek.Adira membelalak. Hinaan itu seketika menusuk relung hatinya yang paling dalam. Dirinya berusaha melupakan kejadian malam itu, namun berkali-kali ingatan itu kembali oleh ucapan sang suami dan ibu mertuanya.Mereka tidak pernah tahu, sehancur apa dirinya saat ini. Adira berlari kencang, meninggalkan air mata yang jatuh bercucuran membasahi lantai. Memasuki kamar mandi dan mengurung diri di dalam sana untuk waktu yang cukup lama.Tubuh rapuh itu duduk di bawah shower. Menyalakan keran air dingin, hingga buliran air berjatuhan membasahi tubuhnya, luruh bersamaan dengan air mata yang kian membasahi pipi."Heh! Adira. Keluar! Bersihkan ini dulu!"Gedoran pintu dan teriakkan sang mertua tidak menggentarkan hatinya sedikit pun. Ia begitu menikmati guyuran air dari shower yang menutupi suara tangisnya yang semakin menjadi-jadi.Meski berkali-kali ia mencoba menggosok tubuhnya, perasaan kotor itu tidak akan pernah hilang dari sana.Tangis itu tidak ia tujukan pada siapapun, melainkan pada nasibnya sendiri yang semakin hari semakin memburuk.***Satu bulan berlalu begitu cepat. Karena gagal menjual malam pertama Adira pada seorang Bos besar, Adira diperlakukan lebih tidak manusiawi dibandingkan sebelumnya."Huwek!" Adira berlari menuju wastafel yang berada di dalam kamar mandi. Perutnya terasa begitu bergejolak akhir-akhir ini. Suhu tubuhnya meningkat, namun tak ada keberanian untuk memberi tahu sang suami dan ibu mertua tentang kondisinya saat ini. Meski kerap kali mendapatkan omelan dan berbagai umpatan kasar dari penghuni rumah yang merasa pekerjaan rumah tangga yang tak terselesaikan dengan baik, Adira tetap berusaha beraktivitas seperti biasa. Melawan segala rasa sakit yang menjalar ke sekujur tubuhnya."Kepalaku pusing sekali," gumamnya lirih. Setelah mengeluarkan semua isi perutnya yang terasa diaduk-aduk, kedua tangannya bertumpuan pada wastafel berwarna putih. Matanya lurus menatap pantulan wajahnya dari cermin persegi panjang yang tergantung di atas wastafel."Mungkinkah ... tidak! Itu tidak mungkin, aku hanya melakukan itu sekali, bagaimana mungkin aku langsung hamil?" Adira menggeleng cepat, mencoba menghilangkan prasangka buruk yang seketika terlintas dalam pikirannya. Tangannya menyalahkan keran air untuk membasuh wajahnya yang terlihat pucat pasih.Karena pikiran yang terasa semakin kacau, Adira memutuskan untuk pergi ke apotek terdekat untuk membeli sebuah alat tes kehamilan. Ia memberanikan diri untuk memastikan suatu hal yang tidak ia inginkan terjadi sama sekali dalam hidupnya.Setelah membeli sebuah alat tes yang ia butuhkan, Adira berlari menuju kamar mandi. Menyembunyikan sebuah testpack dari balik saku daster lusuhnya yang warnanya terlihat begitu pudar akibat terlalu sering dicuci.'Jangan muncul garis dua, jangan muncul garis dua.' Begitu harapnya dalam hati.Hatinya mendadak gusar. Lantunan doa berkali-kali ia panjatkan dari dalam hati. Perasaan harap-harap cemas ia rasakan ketika menunggu hasil dari sebuah benda yang baru ia gunakan.Adira membelalak, ketika melihat alat tes kehamilan itu menunjukkan dua garis merah terjejer dengan begitu jelas. Ia seketika terduduk lemas. Kakinya bergetar hebat hingga lututnya tak mampu menopang tubuhnya yang terasa rapuh saat ini. Satu tangganya membekap mulut. Tanpa sadar, bulir bening kini mulai berjatuhan membasahi lantai kamar mandi."A-aku, hamil?"Tatapan nanar itu tak berpaling sedetik pun dari benda kecil yang berada di genggaman tangannya. Ia mengguncang kuat benda itu berkali-kali, berharap satu garis merah itu cepat menghilang. Namun semua usaha yang ia lakukan berakhir sia-sia. Testpack itu masih menunjukkan hasil semula.'Aku harus bagaimana?' Tangisnya dalam hati. Tangannya membekap erat mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Bagaimana pun, sang suami dan ibu mertuanya tidak akan menerima kehadiran nyawa baru dalam perutnya."Aku bahkan tidak tahu Ayah dari Anak yang ku kandung ini," gumamnya lirih. Rasa takut dan kebingungan bercampur aduk menjadi satu. Kini rasa nyeri seketika menjalar ke seluruh tubuh. Perasaan hancur kini memenuhi dada, hingga membuatnya sesak dan kesulitan untuk bernafas.Namun secara tidak sadar, sebuah tangan kekar merebut paksa testpack dari tangan Adira, hingga membuat matanya membelalak.Karena bersusah payah menahan tangis, membuatnya tidak menyadari jika sang suami telah memasuki kamar mand
"Pu-pulang?" Satu kata itu seketika membuat dadanya terasa sesak. Ia tak memiliki tempat bersingah untuk melepas penat, di mana lagi dirinya harus pulang selain rumah ini?Jika pria ini adalah seorang asisten pribadi dari pria yang pernah menghabiskan malam dengannya, kemungkinan identitas pria itu bukanlah orang biasa.Semua orang nampak terbelalak. Wajah terkejut mereka tak bisa tertutupi sedikit pun. Tanpa sadar, ucapan itu membuat Adira dicap sebagai wanita murahan yang dengan mudahnya tidur dengan siapa saja."Cih! Pulang? Dia ini Istriku, ada hak apa kamu ingin membawanya pergi?" ketus Keenan yang sudah terlanjur tersulut emosi.Kedua tatapan tajam itu kembali saling mengimbangi. Membuat situasi mencekam terasa begitu menusuk."Bukankah baru saja kamu ingin mengusirnya?"Keenan nampak terdiam untuk waktu yang cukup lama. Tak ada niatan sedikit pun untuk menjawab pertanyaan yang diajukan padanya. Pandangan matanya mengedar, mencari sebuah alasan yang sedikit menguntungkan untukny
Aksa terdiam untuk sejenak. Ia tak pernah menyangka, amarah itu akan membuat Adira menjadi wanita yang penuh dendam.Namun di balik semua itu, Aksa merasa bersyukur, karena dendam yang begitu membara dalam hati, seketika mengantarkan Adira dengan mudah ke dalam pelukannya."Baiklah, aku akan membuat mereka membayar semua penderitaan yang kamu alami," pungkasnya. Seketika itu, bibirnya menyunggingkan senyuman manis yang berhasil menghipnotis Adira untuk waktu yang cukup lama.Hingga beberapa detik berlalu, Adira baru menyadari keheranannya, "Tu-tunggu, mereka? Kamu tahu siapa Keenan yang aku maksud?"Pria tampan itu tersenyum tipis dengan mengedarkan pandangan matanya. Sebelum kembali menatap lekat manik hitam pekat yang hampir membuatnya gila. "Tidakkah kamu lebih penasaran bagaimana caraku untuk menemukanmu?"Sebelah alis tebal itu diangkat sekilas dengan menelengkan kepala.Adira hanya melengos, ketika pria bermata tajam itu tak berhenti menatapnya lekat.Entah kenapa, ada perasaan
Keenan seketika mendongak, matanya membelalak sempurna. Hatinya begitu bergejolak hingga membuatnya tak bisa mengeluarkan kata-kata."Sudahlah, Keenan ... lagi pula dari dulu kamu menolak perjodohan itu kan? Apa salahnya jika hari ini kita menukar kalimat talak itu dengan uang," timpal Betari yang secara tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah. Matanya begitu berbinar melihat kembali gepokan uang merah dalam tas koper. Hingga membuatnya tak mampu menahan diri untuk segera merebut tas hitam itu dari tangan Gavin.Keenan tertunduk dengan tatapan nanar. Kalimat talak itu memang telah lama ia siapkan untuk Adira. Namun entah kenapa, ketika hari ini benar-benar tiba, justru nuraninya menolak untuk mengucapkan kalimat itu secara lantang."Cepat ucapkan! Ibumu telah menerima uangnya." Gavin mendekatkan layar ponsel di depan wajah Keenan yang seketika berlinang air mata. Entah kenapa, bayangan wajah Adira seketika membuat hatinya terasa perih, seperti tertusuk ribuan busur panah.Keenan mengh
Mata Adira seketika membulat sempurna. Pantas saja, aroma dari bantal ini begitu tidak asing dalam penciumannya. Ternyata itu adalah aroma yang pernah ia cium satu bulan yang lalu di sebuah kamar hotel.Namun, entah kenapa, aroma itu tak membuatnya trauma akan ingatannya yang seketika berputar kembali, tapi malah membuatnya merasa tenang dan nyaman. Sebenarnya apa yang salah dari penciumannya ini? Ataukah semua itu terjadi karena janin yang ada dalam kandungannya?"Pffttt!" Sadar akan terkejutnya Adira, membuat Aksa seketika menahan tawa.Adira segera memutar kepala menghadap Aksa yang tengah terduduk di tepian ranjang, dan memohon sedikit belas kasih, "Tuan, bisakah saya tidur di kamar lain saja? Kamar Pelayan pun tak masalah."Adira memang sering merendahkan diri. Tidak menjadi masalah jika dirinya melakukan hal yang sama guna menyelamatkan dirinya dari terkaman singa jantan itu.Aksa yang telah terdiam kembali tertawa geli. "Sudahlah, makan saja dulu makananmu! Kita bahas itu nanti
Adira membelalak. Satu kata yang terselip dalam kalimat itu seketika membuat jantungnya terasa berhenti berdetak."Calon Nyonya?" Adira mengulangi kalimat yang begitu mengejutkan dirinya dengan lirih.Aksa terlihat salah tingkah setelah menyadari kalimat ambigu yang terucap dari mulut wanita cantik bernama Helen itu. "Tu-tunggu, kamu jangan salah paham dulu, di ...."Helen dengan cepat menyela penjelasan yang hendak keluar dari mulut Aksa, "Saya adalah Tunangan dari Aksa Adhitama, dan sebentar lagi kami akan segera menikah."Tubuh Adira seketika terasa terguncang. Ada rasa sakit yang mulai menjalar dari dalam hati. Perasaan menusuk kini mulai ia rasakan. Ternyata benar dugaannya sebelumnya. Sebenarnya dirinya hanyalah salah satu dari banyaknya wanita koleksi yang dimiliki pria itu."Helen!" Aksa memekik keras. Ia melayangkan tatapan nyalang dan penyesalan secara bergantian dengan Helen dan Adira yang tengah berada dihadapannya."Ada apa? Bukankah apa yang aku katakan memang benar adan
Aksa terperangah. Matanya membelalak sempurna, seolah tidak percaya dengan pemandangan indah di depan mata.Sementara Adira masih tertunduk. Ia berusaha mati-matian untuk menyembunyikan wajahnya yang dipenuhi dengan riasan makeup.Momen canggung itu terjadi hingga beberapa menit. Sampai di mana Aksa baru menyadari jika Gavin masih mematung di tempat dengan sorot mata kagum yang ia layangkan pada calon istri Aksa."Ekhm!" Aksa dengan sengaja berdehem keras untuk segera menyadarkan asistennya dari lamunan.Hal itu sontak membuat Gavin kalang kabut, dan langsung berlari cepat melakukan tugas yang telah diberikan sang atasan padanya."Ma-maafkan saya, Tuan." Satu kalimat itu terdengar sebelum Gavin mulai melangkah cepat meninggalkan tempat semula.Bagaimana tidak. Penampakan Adira kini bagaikan seorang Dewi yang baru turun dari kahyangan. Dengan ciri khas sanggul ala adat Jawa dengan bunga melati yang masih menguncup, menjuntai indah menghiasi kepala.Aksa yang hampir tidak mengenali calo
Tubuh kurus dengan balutan kebaya pengantin itu terlihat begitu terguncang. Secercah amarah kembali terasa meluap-luap dalam hati.Sementara itu, Aksa menyeringai kecil. Perasaan puas kian memenuhi hati, meredamkan amarah yang baru saja terasa begitu menggebu. "Sekarang kamu bisa melihatnya sendiri kan?"Kalimat itu seolah memutar kembali ingatannya, di mana saat Aksa mengatakan jika Keenan memiliki wanita lain di belakang Adira.Dan benar saja, itu benar-benar terjadi. Dan hal ini begitu membuat amarahnya kian memuncak. Dendam dalam hati kini terasa mulai membara. Tak ada lagi kesempatan yang akan ia berikan pada mantan suaminya untuk memperbaiki diri."Jadi masih mau membatalkan pernikahan kita?" tanya Aksa memastikan dengan senyum mengejek dari bibirnya.Adira berusaha mengumpulkan ketegaran dalam hati. Kini semua keputusan berada dalam genggamannya. Jika ia membatalkan pernikahan ini hanya karena seorang wanita yang mengaku sebagai calon Nyonya di kediaman ini, maka sampai maut me