Share

Bab 3 : Nasihat untuk Jadi Lelaki

Tepat pukul sebelas siang, Erlangga pun meluncur ke sebuah Resto milik teman Tiara yang bernama Erwin. Di sepanjang jalan menuju tempat resto tersebut, ia masih saja memikirkan anak yang berada di dalam kandungan Elena.

“Gue harus bagaimana untuk ambil darah daging gue di Elena? Kalau ingat semua kejadiannya, nyesel banget gue ke Singapura waktu itu. Kalau aja ... udahlah, kalau emang si Lena kagak suka juga kagak mungkin kejadian.”

Erlangga berbicara pada dirinya sendiri, saat perasaan benci timbul di hatinya mengingat perbuatan Herlambang bersama Elena di belakangnya. Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai pun sampai pada sebuah resto milik teman Tiara.

Seorang pelayan menyambut kedatangan Erlangga, ketika lelaki tampan itu akan memasuki pintu masuk restoran.

“Silakan Kak ... untuk berapa orang? Apa kakak sudah boking meja sebelumnya?” tanya seorang pelayan seraya membukakan pintu dan berhadapan dengan Erlangga.

“Belum sih, Mbak. Mungkin mami saya udah pesan meja, kata mami saya sih ... om Erwin pemilik resto ini, teman baik mami saya,” ujar Erlangga membuka kaca mata hitam yang dikenakannya.

“Oh, silakan ... Kak, ikuti saya. Nyonya Tiara dan Tuan Erwin sudah menunggu,” ucap pelayan tersebut memberitahukannya. Erlangga pun masuk dan mengikuti langkah dari pelayan tersebut.

Sekitar lima langkah dari meja yang di duduki, Tiara telah melihat putranya dan melambaikan tangan ke Erlangga dengan tersenyum lebar. Tampak seorang lelaki paruh baya duduk di hadapan Tiara menoleh ke arahnya pula.

“Win, kenalin anakku, Erlangga,” ucap Tiara memperkenalkan Erlangga pada lelaki paruh baya itu.

“Halo, apa kabar? Mami kamu sering cerita tentang kamu,” sapa Erwin menyambut uluran tangan Erlangga.

“Wah, cerita apa aja nih, Om ... bukan cerita kenakalan Er, kan? Hehehehe,” tawa kecil Erlangga menghiasi bibirnya saat membalas celoteh Erwin dan ia pun duduk diantara Tiara dan Erwin.

Setelah itu, seorang pramusaji datang dan mereka pun memesan makanan dan minuman. Tak lama kemudian mereka pun menikmati makan siang bersama dan berbicara beberapa hal mengenai Sakti, Elena dan Herlambang.

Sekitar lima belas menit kemudian, Erwin yang diketahui sebagai pengacara juga memberikan saran pada Erlangga, terkait dengan properti miliknya dan anak yang dikandung Elena.

“Er, Om sebagai teman mami dan almarhum papi kamu, cuma ingin memberi saran dari semua yang sudah Om sampaikan tentang pentingnya seorang penerus dalam keluarga dan hukum yang berlaku tentang anak serta warisan atas anak kandungmu, Jadi, cobalah temui Elena. Justru kalau kamu bisa menguasai wanita itu, kamu juga bisa kuasai anak-anaknya. Habis itu, kamu bisa urus pula masalah anakmu dan anak Herlambang. Semua itu untuk kebaikan bersama."

Erlangga hanya mangut-mangut dan Tiara pun ikut menambahkan,, “Er, benar kata Om Erwin. Kebetulan besok papi Her akan ke Surabaya. Apa sebaiknya kamu temui Elena. Bicarakan tentang anak yang di kandungnya. Enam bulan lagi aja, bayi itu akan lahir. Kalau kamu nggak percaya anak yang dilahirkan Elena itu anakmu, lebih baik sedini mungkin kamu ajak Elena untuk lakukan test DNA."

“Berapa hari papi Her ke Surabaya?” tanya Erlangga.

“Katanya tiga hari. Karena selain bertemu koleganya, dia juga mau rapat internal. Jadi menurut Mami, kamu menginap di rumah aja barang satu atau dua hari,” usul Tiara memegang tangan putranya dan berharap Erlangga akan kembali dan tinggal di rumah.

“Ya nanti Er pikirkan lagi, Mii. Soalnya Er masih males ketemu Elena,” tolak Erlangga atas usul Tiara.

“Ayolah, pulang barang satu malam. Kamu nggak kangen sama Mami? Besok pagi aja papi Her udah jalan dari rumah, pulanglah. Apalagi, udah satu bulan kamu nggak pulang. Kalau emang kamu nggak mau nginap, kamu mampir ke rumah aja ... dan tanya Elena, bayi siapa yang di kandungannya. Er ... Mami mohon, untuk kali ini aja ... ikuti keinginan Mami.”

Tiara menatap lekat netra Erlangga seraya mengusap lembut lengannya. Ia berharap Erlangga luluh atas permintaannya. Sementara, Erlangga yang melihat Tiara semakin tampak tua karena pengobatan yang diikutinya mau tidak mau harus menghilangkan ego dan menyisihkan rasa kesal, benci dan dendam pada Elena yang telah mengkhianatinya.

“Er ... bisa ya kamu besok ke rumah, biar Mami tenang. Sekarang ini Mami hanya memikirkan bayi yang ada di kandungan Elena. Makanya, selama ini Mami terus berusaha mengalah. Karena, Mami nggak mau sampai Elena stress disaat hamil bayi itu. Tolong, maafkan Elena demi bayi itu.”

Erlangga hanya terdiam dengan beberapa kali menarik napas panjang dan memandang ke arah Tiara yang terus merayunya untuk pulang ke rumah. Erwin yang kasihan melihat Tiara, berupaya meminta Erlangga untuk pulang dengan ikut menasihati anak muda tersebut.

“Er ...! Jadi lelaki itu harus tahan rasa sakit. Nggak ada rumus laki-laki itu sakit hati. Justru kita yang harus buat perempuan itu sakit hati. Hehehehe. Jangan perlihatkan kelemahan hati kamu ke papi Her. Tunjukan kalau kamu baik-baik aja. Kamu itu muda, tampan dan kaya. Harusnya kamu bisa merebut Elena atau balas sakit hati hatimu dengan permainkan perasaannya. Syukur-syukur kalau tuh perempuan masih suka sama kamu. Jadi kan, kamu bisa buat Herlambang ikut sakit hati juga. Begitu kan, Tia? Anggap impas urusan kamu sama Herlambang,” saran Erwin seraya tersenyum lebar dan menepuk-nepuk bahu Erlangga.

“Mami udah cerita masalah Bella sama Om Erwin?” tanya Erlangga memandang Tiara.

“Semua udah Mami ceritakan ke om Erwin,” jawab Tiara sambil menganggukkan kepala dan melihat ke arah Erwin yang tampak ikut menganggukkan kepalanya.

“Er, untuk masalah Bella, kamu kan, belum sepenuhnya melamar perempuan itu. Keluarga besar juga belum saling berkenalan. Terlebih, kamu masih punya istri yang hamil. Saran Om satu lagi! Jadi lelaki jangan mau di tekan oleh pihak calon istrimu. Kamu yang harus bisa kendalikan dia. Apalagi, perempuan itu cinta mati sama kamu. Manfaatkan! Dimana-mana lelaki baik akan dicari banyak wanita, tapi setidaknya belajar nakal dikit bolehlah ... yang penting jangan sampai bablas dan pegang kendali! Itu lelaki namanya.”

Terlihat Erlangga antusias sekali mendengarkan saran dan nasihat dari Erwin yang pintar mengolah kata dan membujuk lawan bicaranya untuk bisa satu pikiran dengan mendoktrin atas apa yang dikatakannya untuk bisa dijalankannya.

Erlangga pun terlihat mangut-mangut dan sesekali menelan salivanya dengan memandang serius ke arah Erwin yang terus mendoktrin dirinya tentang cara menjadi lelaki sesungguhnya dengan menempatkan perasaan 30%, tindakan 30% dan logika 40%.

“Gimana ... kamu setuju dengan saran Om, kan? Tunjukan kalau kamu lelaki! Lelaki harus menang dari perempuan yang disukainya. Apalagi model Bella yang cinta mati sama kamu. Manfaatkan dia untuk meraih semuanya ... Hahahhahaha,” gelak tawa Erwin diikuti oleh tawa kecil Erlangga dan senyum lebar Tiara.

“Ya, Om ... Er akan mulai terapkan ke diri Er. Memang Er sering emosi dan agak kaku kalau udah marah sama orang lain. Kayak udah males ketemu dan berhubungan sama orang itu. Tapi, mulai hari ini akan coba untuk lebih relax dan mulai atur siasat buat mereka yang udah buat Er terpuruk,” tutur Erlangga penuh semangat.

Tiara yang kembali melihat raut wajah putranya penuh semangat seperti dulu, membuat netranya berkaca-kaca. Diusap air mata bahagia yang mengalir membasahi pipinya.

“Makasih Er, kamu buat Mami bahagia. Mami akan selalu menunggu kepulangan kamu. Secepatnya ya, sayang,” ucap Tiara dengan air mata mengalir dari pipinya dan Erlangga pun menghapus air mata kebahagiaan Tiara atas keputusannya yang akan pulang ke rumah.

Kebahagiaan terpancar dari wajah Tiara yang siap menerima putranya kembali ke rumah dan bersiap memperlihatkan kekuatannya sebagai lelaki. Putra tunggal yang selama ini menjadi curahan cinta dan kasih sayang darinya. Dan bagi Tiara, hanya Erlangga lah yang berhak mengatur semuanya, termasuk perusahaan yang kini di pegang oleh Herlambang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status