Share

Bab 7-jaga pagi

Arletta 7

*Happy Reading*

Benar saja, sehari setelah pengaduan Arletta pada Elkava. Video itu pun hilang dari peredaran. Dan terhapus dari semua pencarian.

Ya! Elkava memang selalu bisa diandalkan untuk urusan seperti ini.

Namun, seperti kata Elkava pula. Seusai huru hara tentang Video itu menghilang. Kini Arletta harus menerima teror dari si model cantik, yang sudah kembali eksis di depan kamera.

Karmila Anastasya.

Model sekaligus sahabat kampretnya, yang mulai sering menerornya tiap hari. Perihal video itu.

Seperti halnya pagi ini, saat Arletta sedang bersiap untuk melaksanakan tugas pagi di Cafe. Model itu sudah merecokinya.

Karmila [Letaaa ... manager gue mau ketemu sama lo]

Arletta hanya bisa menghela napas lelah melihat chat dari si model.

Arletta: [Apalagi sih, Mil? Gue udah bilang gak mau bahas itu lagi!]

Arletta menjawab dengan kesal. Karena sudah sangat muak diteror chat seperti ini sama setiap hari.

Orang gak mau, kok dipaksa!

Karmila: [Gue juga udah bilang begitu. Tapi dia maksa. Gue harus apa?]

Selalu saja itu alasannya.

Arletta: [Bilang aja lo gak kenal sama gue]

Karmila: [Udah juga. Tapi dia gak percaya. Soalnya banyak saksi yang liat lo dateng nganterin baju buat gue. Dan liat kita akrab waktu itu]

Baru saja Arletta mau membalas chat Karmila. Kinan tiba-tiba saja mengintrupsinya.

"Let, hari ini lo yang standby di depan, pas kita briefing, ya? Soalnya gue mau ada yang ditanyakan sama Pak Chandra nanti," ucapnya, sambil menepuk pundak Arletta begitu saja.

Arletta pun segera menutup ponselnya, dan menjauhkannya dari pandangan Kinan.

Bisa gawat, kalau Kinan tahu dengan siapa dia berbalas Chat.

"Oke!" jawab Arletta singkat. Seraya memasukan ponselnya ke dalam loker. Memilih tak membalas chat Karmila lagi.

"Tapi, nanti lo kasih tau gue ya, hasil briefing-nya?" pinta Arletta kemudian.

"Sip!" jawab Kinan setuju.

Setelah itu. Andra pun memberitahu mereka, tentang briefing yang akan segera mulai. Itu berarti, sudah waktunya bertugas.

Seperti permintaan Kinan tadi. Saat semua temannya bersiap ikut briefing pagi. Arletta pun memasuki stand kasir, yang menyatu dengan bar. Menghandle semua tamu yang datang pagi ini, sendirian, sementara semua temannya briefing di area dapur.

Untungnya, kalau pagi-pagi gini, biasanya cuma ada pelanggan yang beli kopi atau camilan saja buat sarapan. Karena itulah, Arletta gak akan kerepotan, sekalipun berjaga seorang diri seperti saat ini.

Hoooaaammmm ...

Suasana Cafe yang masih sepi dan dinginnya Ac, membuat Arletta kembali mengantuk pagi itu.

Apalagi, sebenarnya dia tuh masih sangat mengantuk, karena memang tak terlalu suka bangun pagi.

Biasanya dia akan tidur lagi selepas Sholat Subuh. Karena Arletta itu, memang termasuk orang yang gak bisa tidur di bawah jam 12 malam.

Pokoknya dia baru akan mengantuk, kalau jam sudah menunjukan lebih dari jam 12 malam. Kadang jam setengah satu, atau jam satu baru bisa tidur.

Itulah kenapa, Arletta sebenarnya sangat malas jika kebagian shift pagi seperti ini. Tetapi demi transferan tiap bulan dari Cafe. Arletta pun tak punya pilihan lain.

'Memang cafe milik emak lo!' Nanti Arletta malah disindir begitu. 

"Njir! Sepet banget mata gue!" gerutunya, sambil menepuk-nepuk pipi sendiri, demi menghalau rasa kantuk yang lumayan menderanya pagi ini.

Astaga!!!

Nih mata apa salak, sih? Sepet banget dah, ah!

Ting!!!

Sebuah bunyi yang lumayan nyaring membuyarkan rasa ngantuk dan sepi pagi itu.

"Selamat datang di D'cafe," Arletta mengucapkan salam ramah seperti biasa, sesuai yang diajarkan peraturan cafe saat masa trainingnya dulu. 

"Selamat pagi, Ada yang bisa saya bantu, Pak?" Sapanya lagi, saat melihat seorang pria muda, sudah berdiri tegap di hadapannya.

Pria ini ... kenapa seperti familier ya, wajahnya? Seperti pernah bertemu. Tapi ... dimana?

Arletta gak ingat!

"Saya mau coffee americano dingin dua," jawab pria itu dengan santai.

"Itu saja?" tanya Arletta memastikan.

"Iya," jawabnya singkat.

"Gak mau coba short cake, cheese cake, atau yang lainnya? Untuk menemani sarapannya, Pak?" Arletta mencoba melakukan combo selling pada pria ini.

Pria itu pun terlihat berfikir sejenak sambil Melirik deretan kue yang ada di etalase samping Arletta.

"Kalo kamu sukanya apa?" tanyanya tiba-tiba.

"Hah?"

"Uhm ... maaf. Maksud saya. Boleh minta rekomendasi kue yang menurutmu enak di sini?" ralatnya cepat-cepat. 

Oh, itu toh maksudnya. Hampir saja Arletta salah paham.

"Uhm ... mungkin Bapak bisa mencoba Tiramisu cake, atau Cheese cake-nya. Kedua cake itu lumayan best seller di cafe ini, Pak," jawab Arletta, meyakinkan pelanggannya.

"Kalo gitu saya mau dua-duanya," jawab pria itu kemudian.

"Baik. Makan di sini atau take a way, Pak?"

"Take a way."

"Baik. Ditunggu sebentar, ya, Pak?" pinta Arletta, seraya memasukan pesanan pria itu pada komputer kasir di hadapannya.

Sejenak suasana pun hening. Hanya bunyi jam dinding yang menemani mereka.

"Totalnya seratus delapan puluh rupiah, Pak. Bayar Cash atau kartu?" ucap Arletta lagi, setelah memastikan semua pesanan pada mesin kasir benar adanya.

Tanpa kata, pria itu pun menyodorkan kartu berwarna hitam, dari salah satu Bank kenamaan di Asia.

Arkana Sadewa H.

Arletta melirik nama yang tertera di kartu itu sejenak. Sebelum mengangguk pelan dan menggesek kartu tersebut pada mesin EDC.

"Ditunggu sebentar, untuk pesanannya ya, Pak?" pinta Arletta sopan, seraya menyerahkan kartu tadi dan struk belanjaan pada pria itu. Sebelum kemudian meninggalkannya, untuk meracik kopi dan membungkus pesanan pria tersebut.

Bersyukurlah pada coffee maker dan kotak-kotak pembungkus kue, yang memudahkannya menyiapkan pesanan tanpa harus membuang waktu lama.

Juga deretan kue yang sudah berderet rapi di etalasenya. Karena tanpa mereka semua, entah berapa waktu yang harus Arletta pakai untuk menyiapkan pesanan pria tadi.

"Maaf menunggu lama." Arletta akhirnya kembali, dengan dua buah gelas plastik di tangannya. Dan paper bag medium untuk kuenya. Kemudian segera menyerahkan bungkusan plastik di tangannya, ke hadapan pria itu, yang langsung diterimanya dengan senang hati.

"Silahkan dicek kembali pesanannya, Pak," pinta Arletta. Untuk menghindari pelanggan balik lagi karena lupa, atau barang tidak sesuai pesanan.

Pria itu pun melirik bungkusan pesanannya, dan melakukan apa yang Arletta ucapkan tadi.

"Menurut kamu, lebih enak Cheese Cake atau Tiramisu Cake?" tanya Pria itu kemudian. Membuat alis Arletta bertaut samar.

Ya … mana Arletta tau, nyobain aja belum pernah, kok.' Batinnya menggerutu.

"Uhm ... kalo saya pribadi. Mungkin lebih memilih Tiramisu Cake, Pak. Soalnya saya kurang suka keju," ungkap Arletta jujur.

"Jadi kamu gak suka keju, ya?" gumam pria itu kemudian. Sambil mengeluarkan satu bungkus Cake tiramisu, dan satu gelas Coffee dari tempatnya.

"Ini buat kamu," lanjutnya, sambil menyodorkan dua pangan itu ke hadapan Arletta.

Tak ayal Arletta pun langsung mengerjap bingung mendengar kata-katanya barusan.

"Kamu ngantuk banget, kan? Makanya kopi itu buat kamu aja. Biar kamu gak ngantuk lagi."

Hah?

"Dan cake ini. Bisa kamu buat untuk sarapan. Atau ... kamu bawa pulang aja, kalo gak sempat makan di sini," tambahnya lagi dengan santai. Membuat Arletta makin kebingungan di tempatnya.

Ini maksudnya apa, sih? Pria ini mau modusin Arletta, atau gimana, sih? Kok, jadi sok perhatian gini?

Setelah itu, tanpa kata, pria itu pun berbalik badan, dan meninggalkan Arletta yang masih bingung di tempatnya.

"Tunggu!" seru Arletta kemudian. Saat melihat pria itu sudah melangkah menjauh dari tempatnya. 

Langkah pria itu pun terhenti, dan kembali berbalik ke arahnya, dengan senyum menawan di wajah tampannya.

"Maaf, Pak. Tapi ... saya tidak bisa nerima ini," tolak Arletta, sambil melirik minuman dan cake pemberian pria itu lagi, yang masih belum di sentuhnya.

"Kenapa?" Garis samar terlihat dikening pria berjanggut tipis, yang pagi ini tampak fresh dengan gaya rambut cepolnya.

Macho gitu, gengs!

"Karena Bapak sudah membayar untuk minuman dan makanan ini. Jadi minuman dan makanan ini adalah hak Bapak. Bukan hak saya," jawab Arletta sebijak mungkin. Supaya pria itu tidak tersinggung dengan penolakannya.

Bukan apa-apa, Arletta cuma tak mau berhutang pada orang dalam bentuk apapun. Dan pemberian pria itu, membuatnya benar-benar tidak nyaman. Karena, itu akan membuat Arletta otomatis merasa punya hutang atas makanan-makanan itu.

Kini, pria itu terlihat diam, seperti sedang berpikir serius.

Lalu, pria itu pun menghela napas berat. Entah karena alasan apa?

Mungkin, karna baru kali ini dia gagal modusin orang. Eh?

Akan tetapi, kalau dilihat dari tampang pria ini. Memang sudah sepantasnya dia jadi playboy. Karna wajahnya itu memang sangat enak di lihat.

Cogan hwat. Kalau kata Kinan dan barista lainnya pasti. Dan, ya. Arletta juga akui hal itu. Tapi ... bukan berarti Arletta mau di modusin begitu saja, kan?

"Begitukah?" tanyanya kemudian.

"Iya," jawab Arletta meyakinkan.

"Oke! Kalo gitu, anggap aja saya sedang traktir kamu."

Hah?

Ternyata pria ini lumayan keras kepala juga, ya? Gak bisa satu kali ditolak kayaknya.

"Tapi, Pak--"

"Itu minuman saya, kan? Jadi ... terserah saya juga dong, mau kasih ke siapa? Dan kalo saya maunya ngasih ke kamu? Gak ada larangannya, kan?" jelas pria itu lagi dengan enteng. Arletta hanya bisa terdiam di tempatnya.

Memang benar sih, ucapannya itu. Hanya saja ....

"Kalo kamu memang keberatan menganggap minuman itu sebagai traktiran. Ya, sudah, anggap saja itu sebagai tanda terima kasih saya, karena kamu sudah membantu saya menyelamatkan Karmila waktu itu."

Eh? Kok, jadi bawa-bawa Karmila?

Comments (1)
goodnovel comment avatar
yeni diana sari
apa kmu segitu cueknya arleta sehingga dri awal ketemu cogan g sadar
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status