Share

4. Kejanggalan Pada Edi

Penuturan dari Bu Rini ini tentu saja mengejutkan Edi. Apalagi ia tahu kalau Bu Rini bukanlah orang yang berada. Kalau sampai menagih hutang sudah pasti wanita itu benar-benar membutuhkannya.

"Loh … hutang apa ya Mbak?” tanya Edi yang memang sama sekali tidak mengetahui perilah hutang piutang istrinya.

Selama ini ia memberikan Ajeng uang dua juta setiap bulan, hanya untuk Ajeng saja tidak termasuk untuk kebutuhan anak dan rumah lainnya.

"Memangnya kamu ga dikasih tau istrimu ya?”

"Nggak pernah Mbak,yang ada malah berantem terus hampir tiap hari,” balas Edi sambil mengusap wajah.

Rini pun mengangguk-angguk kemudian sedikit mencondongkan tubuh ke arah Edi.

"Denger-denger istrimu sering keluar dengan laki-laki lain," bisik Rini.

Bu Rini memang termasuk member dari cctv tetangga alias komunitas ghibah tetangga setempat. Edi yang paham karakter tetangganya ini pun mencoba untuk menutupi keburukan sang istri. Meskipun ia sendiri sudah mencurigai hubungan Ajeng dengan Seno dan juga pesan-pesan mesra dari lelaki lain.

"Mungkin teman kerjanya mbak," balas Edi mengalihkan pembicaraan.

"Oh … iya hutang Ajeng biar saya aja yang bayar mbak tapi Minggu depan ya,sekali lagi maaf," tambah Edi sekaligus berpamitan untuk mengajak anak-anaknya jalan-jalan.

"Ya sudah ga papa Mas Edi,” ujar Bu Rini.

***

Sabtu pagi yang dinantikan Ajeng pun tiba. Ia menyambutnya dengan penuh kegembiraan, dan sudah berkemas dengan membawa koper sejak semalam.

Tepat pukul sembilan pagi, Dita telah berada di depan rumah dan menjemput Ajeng dengan menggunakan sepeda motor. Ajeng yang sudah tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersama Seno pun langsung mengambil koper dan menghambur ke luar.

Nabila yang saat itu tak sengaja melihat Ibunya membawa koper pun berusaha untuk menahan Ajeng.

"Mamah mau kemana?" tanya Nabila.

“Mamah ada perlu, ada kerjaan. udah lah kamu sama papah dulu!” serunya setengah mendorong putri sulungnya untuk pergi menemui papanya.

Edi yang melihat kejadian itu pun dengan kesal berkata, "Mamahmu mau cari papah baru .”

"BERISIK!” bentak Ajeng sambil berlalu menghampiri Dita yang sudah siap di depan rumah.

Namun Ajeng berhenti sebentar dan berbalik sambil menadahkan tangan ke arah Edi.

“Cepetan duit!pusing saya lama-lama dirumah, ” pinta Ajeng dengan kasar. 

Edi menggeleng, “Duit apalagi Jeng, Mas cuma ada 150 ribu, ini juga buat bayar sekolah anak dan kebutuhan sehari-hari,” balas Edi.

Namun sepertinya Ajeng tak peduli. Ia malah merogoh kantong celana Edi dan mengambil uang yang ada di sana lalu pergi. Lagi-lahi tak peduli dengan Edi yang meneriakinya.

Ajeng pun pergi bersama dita yang mengendarai motor matic, lalu menemui Seno yang sudah menunggu di mobil. Ajeng pun celingukan begitu tiba di dekat mobil Seno, memastikan tidak ada tetangga yang mengetahui kepergiannya.

                          ***

Semenjak Edi sakit perhatian Ajeng ke anak-anak memang kurang, karena ia lebih mementingkan kesenangan pribadi dibanding keluarganya. Semua keperluan rumah tangga Edi yang mengurus, mulai dari mencuci dan mengurus rumah lainya, sedangkan ibunda Edi sudah beranjak tua dan sudah tidak bisa beraktivitas berat.

Banyak yang menyarankan agar Edi untuk mengakhiri hubungan dengan Ajeng dan mencari ibu pengganti buat anak-anaknya. Namun Edi masih berat jika anaknya memiliki Ibu tiri, mungkin karena image ibu tiri kejam yang selama ini muncul.

Edi sudah lagi tidak memperdulikan Ajeng, walau ia sudah seing pulang pergi dari Madiun dan Jogja. Yang dipikirkan olehnya sekarang hanya bagaimana bisa menghidupi kedua anaknya.

Satu hal yang tak bisa dimengerti, Edi tetap bergeming walau berulang kali disakiti oleh Ajeng. Seperti kali ini Ajeng pulang ke rumah dan marah-marah.

“Mas kamu ini kemana aja sih aku panggil dari tadi di luar nggak muncul-muncul!” seru Ajeng yang tiba-tiba muncul ke halaman belakang saat Edi memberi makan burung dan ayam peliharaannya.

Memelihara unggas itu tidak hanya sebagai pengisi kebosanan Edi, tapi juga dapat menghasilkan pundi-pundi rupiah untuk menutupi kebutuhan keluarga. Seringkali Edi menjual anak burung hias yang sudah mulai mandiri ataupun telur ayam peliharaannya.

“Ya mana saya dengar, saya kan ada di belakang,” jawab Edi.

“Mas, aku minta duit buat servis motor ini, cepetan!” seru Ajeng.

“Kamu itu lho, mana ada saya duit.”

“Ah nggak usah bohong, saya udah denger kalau kemarin kamu habis panen terlur ayam kampung kan, sini bagian saya!”

“Jeng, uang hasil jualan terlur ayam kampung itu nggak seberapa hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Untuk bayar listrik saja kemarin dibayarin Mbak Sari,” jawab Edi.

“Huh, aku nggak peduli. Pokoknya kamu harus kasih ke aku. Aku ini istrimu, Mas!”

“Nabila dan Nadia juga anak-anakku mereka juga butuh makan,”

Ajeng pun berdiri berkacak pinggang. “Aku nggak mau tahu ya. Pokoknya kamu kasih jatahku sekarang. Masalah makan anak-anak masih ada kakak sama adikmu yang bisa bantu.”

Edi yang tadinya berusaha menolak pun akhirnya mengeluarkan selembar uang lima puluh ribu dan menyerahkan pada Ajeng. 

“Cuma ada ini,” kata Edi.

Tanpa berkata apa-apa Ajeng pun mengambil uang itu dan langsung pergi meninggalkan Edi yang hanya bisa mengelus dada. 

“Ajeng … kamu kok berubah gitu,” gumam Edi.

Tanpa disadari, Putri adik iparnya tak sengaja melihat kejadian itu, dan ia pun keheranan kenapa bisa Edi tidak marah ataupun menegur kelakuan Ajeng yang ajaib. Bahkan saat aibnya sudah tersebar di kampung.

"Mas Edi ini kok lemah banget ya, kelakuan istrinya begitu bukannya negur, tapi diem aja, pasti ini ada apa-apa," pikir Putri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status