Share

5. Bangkit Lagi , Sandiwara Lagi

Edi duduk sambil merenung dan memperhatikan unggas peliharaannya. Pikirannya tertuju pada kedua anaknya.

“Nabila dan Nadia masih kecil, kalau begini terus bisa-bisa mereka nggak sekolah dan nggak punya masa depan,” gumamnya.

Hampir setahun lamanya Edi tidak bekerja dan biaya untuk kebutuhan sehari-hari tentunya tidak akan berhenti. Edi yang merasa tubuhnya lebih baik walaupun tidak bisa beraktivitas berat seperti dulu pun bertekad untuk melobi teman-temannya untuk mendapatkan pekerjaan.

Ia pun bergegas menghubungi beberapa temannya untuk meminta pekerjaan. Ada yang memberi tanggapan positif adapula yang berpura-pura sibuk dan tidak mengenalnya.

“Huft, harus gimana ini. Tidak aku tidak boleh menyerah, aku adalah seorang ayah dan aku wajib menafkahi kedua anakku. Ibunya anak-anak sudah tidak bisa diharapkan, yang ia pedulikan hanya dirinya sendiri. Mungkin juga karena usianya yang masih sangat muda jadi belum memiliki tanggung jawab,” gumam Edi sambil mencoba menghubungi salah satu temannya lagi.

Memang usia Ajeng dan Edi terpaut cukup jauh. Ajeng baru berusia delapan belas tahun saat Edi meminangnya.

“Kamu beneran mau kerja Ed?” tanya salah satu teman yang ia hubungi, Bambang yang juga seorang kontraktor.

“Iya Mbang, aku butuh pekerjaan, anak-anakku masih kecil masih butuh banyak biaya.”

Pembicaraan mereka terjeda selama beberapa detik sampai akhirnya Bambang  pun menghembuskan napas panjang.

“Mmm sebenarnya ada, tapi apa kamu mau? Pekerjaan yang ada di tempatku sekarang sebagai mandor bangunan, dan saat ini proyek yang sedang dijalani juga bukan proyek besar, gimana Ed?”

“Iya aku mau, nggak masalah yang penting bisa mencukupi kebutuhan anak-anakku,” jawab Edi cepat tanpa berpikir panjang lagi.

Ia yang sudah lama berkutat di bidang konstruksi tentunya tahu pekerjaan seorang mandor bangunan itu seperti apa berikut juga gajinya. Yang jelas seorang mandor tidak terlalu banyak beraktivitas berat, dan tentunya tubuhnya masih bisa berkompromi.

“Beneran nggak masalah? Kamu nggak malu Ed, dulu kan kontraktor besar?” Bambang mengulangi pertanyaannya.

“Ngapai malu Mbang, kalau aku nggak kerja anakku mau dikasih makan apa.”

“Ya sudah kalau memang kamu mau besok kamu bisa datang ke kantorku, nanti kita bicarakan lebih lanjut.”

Edi pun sangat bersukur dengan tawaran yang diberikan oleh Bambang. Setidaknya dengan pekerjaan ini ia masih bisa menukupi kebutuhan anaknya. Sungkan juga buat Edi yang setiap hari harus dikirimi makanan oleh kakak dan adiknya yang tinggalnya di kanan kiri rumah Edi.

Setiap harinya Edi bekerja dengan penuh semangat, hingga rasa lelah dan sakit yang dideritanya tidak dirasakan sama sekali. Pelan-pelan kehidupan barunya mulai tertata, hutang di warung sudah mulai lunas, ia juga mampu membelikan jajanan untuk anaknya setiap hari. 

Begitu juga dengan perusahaan tempatnya bekerja, tampaknya kehadiran Edi di perusahaan Bambang memberikan dampak yang positif. Edi yang sudah berpengalaman di bidang konstruksi membuat klien Bambang puas dengan jasa yang ditawarkan. Sampai-sampai Edi mendapatkan kepercayaan untuk menjadi mandor pada proyek besar, yang pasti berdampak pada pemasukan Edi.

Perubahan yang terjadi pada keluarga kecilnya tentu tak luput dari perhatian Ajeng. Ia yang biasa menghabiskan waktu di luar sering melihat kedua anaknya menikmati jajanan, menu makanan yang ada di meja pun jadi lebih baik.

Kesuksesan Edi yang perlahan naik membuat Ajeng kembali menjadi seorang wanita yang manis. Ia mulai menurut pada suaminya dan menjadi Ibu yang baik.

Pertengkaran yang dulu kerap muncul sudah tidak pernah lagi terdengar di telinga kedua anaknya. Hingga kabar gembira datang pada mereka, Ajeng hamil anak ketiga. Tentu saja Edi semakin sayang dan perhatian pada istrinya itu.

“Dek … setelah anak kita lahir, adek usaha di rumah aja ya nanti saya modalin,” kata Edi di suatu malam.

“Iya mas, biar saya juga dekat dengan anak-anak,” jawab Ajeng menurut.

***

Edi menepati janjinya pada Ajeng untuk memberikan modal usaha di rumah tepat setalah masa nifasnya selesai. Ajeng yang pandai dalam memasak pun memutuskan untuk membuka warung makan di teras rumah. 

Usahanya tidak pernah sepi, bahkan beberapa kali Ajeng menolak pesanan dari pelanggan dengan alasan harus menjaga si kecil, Nania. Untung saja pelanggan dapat memaklumi.

Kehadiran Nania membawa rejeki tersendiri bagi keluarga kecil Edi. Perekonominannya semakin membaik hingga bisa merenovasi rumah dan menambah satu unit motor lagi dan tentunya perabotan rumah tangga untuk Ajeng.

Namun kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Bu Winarti, Ibunda Edi tiba-tiba jatuh sakit dan meninggal dunia tak lama kemudian. Edi yang merupakan anak kesayangan sang Ibu tentu merasa terpukul.

Di hari kematian mertuanya, Ajeng terlihat sedih dan menangis sewaktu ibu mertuanya meninggal.

akan tetapi semua itu hanyalah sandiwara Ajeng agar terlihat dirinya seorang menantu yang baik. Di balik itu semua, ada sesuatu yang dirahasiakan oleh Ajeng.

"Kenapa nggak dari dulu aja sih meninggalnya?" runtuk Ajeng dalam hati.

Sambil memperhatikan para pelayat yang datang, Ajeng terus saja mengomel dalam hati,

"Si tua bangka ini selalu aja ngrecoki urusan rumah tanggaku, ngerasa dia itu paling benar semua."

Saat semuanya sudah berakhir dan pulang dari pemakaman Ibunda Edi, semua saudara Edi pun berkumpul termasuk kakak adik, sepupu , dan keponakan Edi. Sang kakak Edi yang bernama Sari mencoba mendekati Ajeng dan mengajak ngobrol.

"Jeng?" tanya kakak Edi.

"Iya mbak.”

“Sekarang ibu sudah meninggal, anak-anakmu sudah ga ada yang bantu jaga. Mungkin sekarang waktunya kamu untuk fokus ke keluarga kamu sambil menekuni usaha dirumah.”

"Iya mbak," jawab Ajeng menuruti kakak iparnya.

Namun lagi-lagi ini semua hanyalah topeng yang dipakai oleh Ajeng. Ia memang menekuni usaha yang selama ini dimodali oleh Edi.

Ajeng yang baru saja menutup warung karena dagangannya habis pun mulai menghitung uang hasil jualannya.

"Wah..hari ini sudah dapat untung banyak nih, bentar lagi keluar dan kumpul sama teman-teman lagi ah,” batin Ajeng.

Ibu tiga anak itu pun langsung ke rumah Putri, istri dari adik iparnya sembari menitipkan ketiga anaknya di sana.

“Dek … dek Putri, bisa tolong titip anak-anak sebentar nggak? Saya ada perlu mau belanja karena ada pesanan tiba-tiba,” ucap Ajeng sambil menggendong Nania dan kedua anaknya membuntuti di belakang.

Putri yang masih berdiri pun mencoba mencerna ucapan Ajeng. Namun belum sempat ia bicara Ajeng pun langsung menyerahkan ketiga anaknya untuk diasuh Putri dan menuju motor yang sudah terparkir di depan.

“Jeng, tapi ini,-” panggil Putri yang tidak melihat ada susu untuk Nania, tapi Ajeng tetap saja tidak mempedulikan panggilan adiknya. Ia terus saja melaju dengan motor untuk bertemu dengan teman-temannya di cafe.

Noted : jangan lupa follow,like dan subscribe ya gaees.makasih

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status