Share

3. Perselingkuhan

Penulis: Ralph Author
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-14 23:48:13

Ajeng seringkali kedapatan tersenyum sendiri. Tingkahnya seperti seorang remaja yang baru mengenal cinta monyet. Edi yang sudah mulai terapi pun diam-diam memperhatikan tingkah laku istrinya itu. Namun ia masih berusaha untuk bersabar, dan berpikiran positif.

“Biarlah, mungkin dengan ngobrol di hp atau lihat video Ajeng jadi sedikit terhibur. Kondisiku yang sekarang sudah tidak bisa membuatnya bahagia seperti dulu lagi,” pikir Edi sambil mengelus dada.

"Dek, sudah masak buat anak-anak", tanya Edi tiba-tiba mengejutkan Ajeng. 

Ajeng yang sedang asyik pun membalik ponselnya tiba-tiba karena tak ingin Edi mengetahui apa yang sedang ia lakukan.

"Nanti beli lauk kan bisa,saya capek hari ini lagipula sebentarl lagi ada keperluan diluar,” jawab Ajeng dengan malas.

“hmm ya udah,” balas Edi sambil menghela napas panjang.

Tanpa menghiraukan suaminya yang masih berdiri di tempat semula, Ajeng pun segera pergi dengan mengendarai motor yang menjadi kendaraan keluarga mereka satu-satunya. Kali ini Ajeng memang sudah berjanji untuk bertemu dengan Seno di rumah Dita.

Seno sendiri bekerja sebagai tenaga pemasaran di sebuah perusahaan swasta yang cukup bergengsi di Jogja. Dia adalah seorang pria lajang yang usianya tak jauh beda dengan Ajeng.

Sementara Dita sendiri seorang janda anak satu yang tinggalnya tak jauh dari rumah Edi, tepatnya di kampung sebelah Edi. Dita mempunyai sifat yang hampir sama dengan Ajeng akan tetapi Dita keturunan orang kaya,jadi walaupun single parent harta dari orang tuanya tidak bakalan habis.

Pertemuan kedua Seno dengan Ajeng ternyata berjalan lancar. Mereka berdua semakin rutin dalam berkomunikasi dan tak jarang Seno memberikan Ajeng perhatian-perhatian kecil. Seperti saat tiba-tiba mengirimkan pulsa atau sekedar mentraktirnya makan. Tanpa peduli kalau Ajeng wanita yang sudah bersuami.

Suatu malam saat Ajeng selesai mencuci piring, ia pun kembali sibuk dengan ponselnya. Secara kebetulan Seno pun mengirim pesan padanya.

"Ajeng," sapanya melalui aplikasi hijau.

"Iya, mas Seno ada apa?” balas Ajeng sambil diikuti emoji senyum.

“Sabtu besok aku pengen ngajak kamu main ke Kaliurang, mau gak?

"Hmm … memang sama siapa saja?" tanya Ajeng pura-pura jual mahal padahal sebenarnya ini ajakan yang menyenangkan untuknya. Sudah lama Ajeng tidak bersenang-senang liburan.

“Ada temanku dan mbak Dita sama anaknya.”

"hmmm … tapi aku ga ada uang saku, kamu tahu sendiri kan keadaan keluargaku gimana?” balas Ajeng diikuti emoji sedih.

Ajeng sendiri menjual kesedihannya pada Seno. Ia mengarang cerita kalau suaminya sudah tidak peduli dengannya dan anak-anak, memberikan uang bulanan pun sudah jarang. Ajeng berkata kalau dia harus berjualan kue dan dititipkan pada warung untuk biaya hidup.

“Ya akulah yang bayar semua, orang aku yang ngajak kok,” balas Seno.

Ajeng pun mengiyakan ajakan dari Seno. Ia pun bernyanyi-nyanyi riang membayangkan acara liburan di Kaliurang. Sambil menunggu hari H, Ajeng tetap melakukan aktivitas seperti biasa, tetap menjadi seorang istri dan Ibu yang tidak baik bagi keluarga kecilnya.

Hingga jumat sore, Ajeng yang sudah membereskan pakaiannya pun mendekati Edi yang baru saja menyantap kudapan sore hari, pisang kukus. 

"Mas, besok Sabtu aku mau pulang ke Madiun,ada temen nikah,” kata Ajeng memberitahu.

"Loh … berangkat sama siapa?” tanya Edi.

“Besok diantar Dita.”

“Anak-anak kamu ajak? Sekalian dia bisa ketemu Mbahnya di sana.”

Nadia, putri kedua mereka memang saat itu sudah kembali tinggal bersama Edi. Karena ia tak ingin terlalu merepotkan mertuanya.

"Eh … mas, ini saya dapat undangan teman yang menikah, dan saya naik mobilnya Dita,masak iya anak-anak saya bawa udah gitu mampir-mampir lagi,ya ga enak sama Dita," jawabnya ketus.

"Ya sudah," jawab Edi walaupun dengan berat hati. Kembali pria yang tubuhnya tak lagi seperkasa dulu itu pun memakan satu pisang rebus lagi.

"Besok berangkat jam berapa?” tanya Edi lagi.

“Sabtu pagi berangkat pulang Minggu sore.”

“Loh kenapa ga langsung pulang?” tanya Edi yang merasa ada kejanggalan pada istrinya.

Ajeng hanya diam ga menjawab pertanyaan Edi. Ia belum mempersiapkan jawaban untuk pertanyaan yang satu ini.

“Udah ah aku mau mandi dulu habis ini ada perlu dengan teman,” ucap Ajeng pada akhirnya berharap Edi melupakan pertanyaannya barusan.

“hmmm,” Edi menghela napas panjang.

Tanpa disadari handphone Ajeng yang biasa dibawa kemanapun ketinggalan di meja makan dan entah dorongan apa, Edi yang biasanya tidak peduli dengan ponsel istrinya itu pun tiba-tiba tertarik untuk memeriksa isinya.

Betapa terkejutnya Edi ketika membaca isi percakapan pesan yang kebanyakan berasal dari beberapa laki-laki dan begitu akrab. Yang paling menarik perhatiannya adalah Seno yang paling mesra sampai memiliki panggilan sayang dengan Ajeng.

Edi pun mencoba bersabar dengan menghibur diri melihat burung peliharaan sembari menunggu Ajeng yang sedang mandi. Saat melihat istrinya sudah kembali rapi dan wangi, dengan keberaniannya ia pun mendekat pada Ajeng untuk mencari tahu tentang Seno.

"Dek, Seno itu siapa? Kenapa dia manggil kamu pakai sayang-sayang?” tanya Edi tiba-tiba sambil mencoba untuk menahan emosi.

Namun bukannya introspeksi diri atau mengakui kesalahan, Ajeng justru berbalik ke arah Edi sambil bicara dengan nada tinggi.

"Apaan sih buka hp orang, nggak sopan banget!"

“Mas kan sebagai suami perlu tahu dek,” balas Edi.

"Dia itu adiknya Dita dan sudah kuanggap adiku sendiri, panggilan sayang itu cuman bercanda.

lagian siapa suruh kamu buka hp saya!” balas Ajeng kemudian pergi dan membanting pintu.

Dari dalam kamar terdengar Ajeng yang masih mengomel, "Makanya punya istri itu dibiayain apa keperluannya, jangan ditanya buat apa uangnya.”

Kedua anak Edi yang mendengar pertengkaran itu hanya bisa menangis mendengarnya.

Untuk menghibur mereka, Edi pun membawa kedua anaknya untuk jalan-jalan keliling kampung dengan menggunakan motor keponakannya yang saat itu baru pulang kerja.

Mereka bertiga pun berhenti sebentar untuk membeli gulali sebagai jajanan Nabila dan adiknya, Nadia. Saat itu tanpa sengaja ia pun bertemu dengan Rini, salah satu tetangga Edi.

“Sudah sembuh Ed?” tanya Bu Rini dengan ramah.

“Alhamdulillah sudah Mbak, sekarang sudah pemulihan.”

"Oh..iya Ed saya mau kasih tau ke kamu, mumpung ketemu,” Bu Rini mengawali.

"Istri kamu berutang di saya lima ratus ribu minggu kemarin, dan janjinya hari ini mau dikembalikan … rencana saya mau tagih malah sudah ketemu kamu,” kata Bu Rini yang membuat kedua alis tebal Edi berkerut.

Noted : jangan lupa follow,like dan subscribe ya gaees.makasih

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Harta Tahta Pria   13. Kehilangan

    HTP 13KEhilanganWaktu sudah mendekati tengah hari, saat itulah Ajeng menghentikan sepeda motornya di depan ruamah Edi yang terlihat sepi. Ajeng tentunya sudah hapal jam berapa suaminya itu meninggallkan rumah, dan ketiga anaknya sekolah. Karena masih berstatus istri sah Edi dan Ibu dari ketiga putrinya, Ajeng pun memegang kunci duplikat rumah yang membuatnya bebas keluar masuk. Ajeng juga sengaja datang jam segini agar tidak diketahui tetangga sekitar karena pagi hari banyak yang beraktivitas."Aku datang nggak ada maksud buat jenguk anak-anak,aku mau ambil apa yang bisa aku jual"batin Ajeng sembari membuka kunci pintu belakang rumah.Tanpa ada perasaan sungkan atau rindu rumah, wanita berambut lurus itu masuk rumah dan menggeledah hampir seluruh sudut ruangan. “Aduh ini rumah sepi amat sih nggak ada yang bisa dijual sama sekali. Udah bener-bener miskin kali si Edi, TV juga udah ketinggalan jaman mana udah nggak bagus lagi, bisa laku lima puluh ribu juga udah bagus, tapi nggak sep

  • Harta Tahta Pria   12. Permintaan Nabila

    Hubungan Edi dengan Ajeng masih saja tidak jelas selama bertahun-tahun. Mereka berdua sudah tidak lagi tinggal serumah. Edi sudah tidak tahu kemana istrinya itu pergi, menurut kabar Ajeng sudah tidak lagi tinggal di kontrakan lamanya melainkan kembali ke rumah orang tuanya di Madiun.Dari pengakuan teman Ajeng, kepindahannya dikarenakan tidak memiliki pekerjaan lagi dan tidak ada biaya untuk menghidupi kesehariannya.Namun untuk kembali tinggal di rumah Edi, Ajeng pun enggan, entah apa penyebabnya.Padahal jika Ajeng ingin datang dengan baik-baik, maka Edi pasti akan menerima dengan baik.Seperti apa yang selama ini dilakukan Ajeng, tiap akhir bulan, Ajeng selalu datang berkunjung ke tempat Edi, tapi bukan untuk menengok anak-anaknya. Ajeng hanya datang untuk meminta jatah uang bulanan dari Edi saja.“Dik, kamu nggak nunggu anak-anak pulang dulu, mereka nggak lama kok pergi dengan budhenya?” tanya Edi yang baru saja memberikan sejumlah uang untuk kebutuhan Ajeng beberapa waktu lalu.“

  • Harta Tahta Pria   11. Anak Yang Tak Mengenal Ibunya

    Si bungsu Nania tidak seberuntung kedua kakaknya. Sejak usianya empat bulan Nania sudah sering ditinggal Ajeng dan seringkali diasuh oleh orang lain, kadang adik ipar atau kakak iparnya.Usia yang masih sangat rentan dan benar-benar membutuhkan kasih sayang seorang Ibu tapi sama sekali tidak pernah mendapatkannya.Suatu sore saat Edi pulang kerja, ia dikejutkan oleh tangisan sang putri bungsu yang tak kunjung berhenti. Saat itu Nania sedang berada dalam gendongan Putri di ruang tengah rumah.“Untung Mas Edi cepat pulang, sejak tadi Nania tidak berhenti menangis dan demamnya tinggi sekali. Tadi saya sudah membaluri badannya dengan bawang merah dan minyak telon tapi sama sekali tidak membantu,” Putri yang mengurus Nania langsung melaporkan keadaannya pada Edi. Edi yang saat itu masih lelah dengan pekerjaan yang menyita waktu pun langsung menempelkan punggung tangan di dahi putri kecilnya. Benar sekali tubuh anak itu sangat panas. “Mas, mending sekarang ke dokter aja bawa Nania, biar d

  • Harta Tahta Pria   10.Penolakan (POV Ajeng)

    Hari sudah menjelang siang saat Ajeng turun dari ojek, ia mengamati rumah yang sudah lama tidak ia tempati, tentu saja rumah peninggalan orang tua Edi yang masih dihuni oleh Edi dan ketiga putri mereka.Sudah beberapa bulan terakhir Ajeng tidak pulang dan tinggal di sebuah kamar kos yang letaknya jauh dari rumah Edi. Tentu saja kamar kos itu dibiayai oleh laki-laki selingkuhan Ajeng yang entah laki-laki mana lagi, sudah tak terhitung jumlahnya. Bagi Ajeng materi adalah nomor satu, ia tidak peduli status yang masih diembannya dan juga lelaki yang bersamanya, asalkan ada yang bisa menuhi keinginannya, Ajeng rela menyerahkan harga dirinya.Untuk menutupi kebosanan dan menjaga image, Ajeng pun bekerja, tapi tetap saja tabiatnya menggoda lelaki tidak pernah berubah. Sementara Edi sekarang hanya konsentrasi bekerja untuk membesarkan ketiga anaknya dan memberi kasih sayang sepenuhnya pada mereka. Sari, kadang kakak kandung Edi merasa kasihan melihat mereka, anak masih kecil-kecil sudah tid

  • Harta Tahta Pria   9. Masa Lalu (POV Edi)

    Edi Santosa lelaki tiga puluh tahunan, ketika masih muda menjadi laki-laki idaman perempuan dikampung karena fisiknya yang menarik. Masa muda Edi dihabiskan dengan berfoya-foya, hampir setiap malam pulang dalam keadaan mabuk, seperti kebanyakan pemuda dikampungnya suka konsumsi minuman keras.Ibunya seorang pedagang sayur yang cukup laris di pasar, dan Edi adalah anak kesayangan Bu Wartini apapun yang dilakukannya walau buruk tak akan pernah membuat Ibu memarahinya. Pernah ketika Edi pulang larut malam dalam keadaan mabuk, dan terkapar diteras rumah hanya Bu Wartinilah yang memindahkannya ke kamar, sementara kakak dan kedua adiknya enggan.Hampir setiap hari Edi diberi nasihat untuk berhenti mabuk-mabukan tapi tak diindahkannya, termasuk Ani, perempuan yang saat itu dekat dengannya, dan akhirnya memilih pergi karena tak ada masa depan dala hubungan mereka. Sementara kedua adiknya tidak mampu menasihati Edi karena takut akan watak temperamentalnya saat di bawah minuman keras.Suatu sa

  • Harta Tahta Pria   8. Luluh

    Ajeng pun mengerutkan dahi tidak tahu kenapa pria di hadapannya tertawa terbahak-bahak. Pria yang rambutnya sudah memutih dan giginya hitam itu pun melihat Ajeng dari atas ke bawah. “Hmm, Nduk Ajeng, kamu ini kan masih muda, cantik dan Mbah ini sendirian, kamu tahu kan apa maksud Mbah?” tanya Mbah Darto sambil menggoda Ajeng. Ajeng tersentak saat mendengar permintaan dari pria tua di hadapannya. “Dih, apa iya aku harus tidur dengan si tua bangka ini? Iih nggak bangetlah. Udah tua, jelek, bau lagi,” runtuk Ajeng dalam hati. Mbah Darto pun kembali terkekeh saat melihat sosok Ajeng yang mulai gugup. Perempuan muda yang sedang terjepit terlihat begitu menggoda di matanya. “Gimana Nduk? Mbah udah siap lho dari tadi.” “Mampus, aku harus nemenin si tua bangka bau tanah ini, tapi … aku lagi nggak punya duit. Hmm udahlah aku sambil tutup mata dan lampu dimatiin aja. Sabar … sabar Jeng semua nggak ada yang gratis,” batinnya kemudian mengiyakan ajakan Mbah Darto. *** Ajeng tiba di rumah

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status