Share

6. Kambuh

Ajeng kembali dielu-elukan oleh kawan-kawan sosialitanya. Setelah sekian lama ia dikenal sebagai tukang hutang, beberapa hari terakhir ini ia selalu datang mentraktir teman-temannya atau mengundang mereka ke rumah.

Semuanya dilakukan sebelum jam lima sore karena sang suami baru pulang kerja menjelang maghrib. Seperti kali ini, dagangannya baru laku beberapa tapi ia sudah sibuk dengan grup chatnya.

"Yuhuu gaes,hari ini saya punya menu spesial lho buat kalian. Buat yang mau silakan mampir kerumah, GRATIS!” tulis Ajeng saat membuat pengumuman. Tentu saja ini membuat teman-temannya semangat, dan hal ini pun terus menerus dilakukan.

Satu hari, sebelum Edi mengantar kedua anaknya sekolah, Ajeng pun langsung mendekati suaminya.

"Mas, tambahin modal donk buat dagang!" pinta ajeng.

“Loh … keuntungan kemarin emang sudah habis? Kan daganganmu selalu abis tiap hari,” balas Edi.

“Masih sih mas, tapi kan mau nambah dagangan lagi biar lebih lengkap, jadi tambah rame,” rengek Ajeng.

“Mas belum gajian dek, pakai modal yang ada dulu.”

"Huh,” jawab Ajeng sambil menggerutu, dan tidak mempedulikan suaminya yang berpamitan hendak mengantar anak-anaknya sekolah.

Ajeng pun langsung menelepon kawannya, Rina dan meminjam uang sepeninggal Edi.

"Kamu pinjam lima ratus ribu Jeng?” Rina memastikan sambil mendengkus kesal.

“Iya, kamu ada kan?” tanya Ajeng.

"Maaf ya jeng kali ini saya lagi ga ada uang,lagian uang yang kamu pinjam bulan kemarin aja belum kamu kembalian,” jawab Rina dengan ketus.

"Yasudah makasih Rin,” jawab Ajeng sambil menutup teleponnya.

Ajeng pun mulai mengomel-ngomel sendiri, ia terus memaki teman-temannya dan mengatakan mereka pelit. Terbersit pikiran untuk meminjam uang pada koperasi, tapi ia tidak memiliki jaminan untuk pengajuan pinjaman.

Tak sengaja pandangannya beralih pada motor yang ada di depan. Bergegas Ajeng masuk kamar dan mulai mencari surat motor.

“Semoga aja Edi tidak mengetahui,” batinnya lalu bergegas menuju kantor koperasi yang letaknya tidak jauh dari rumah.

Ajeng tidak peduli kedepannya bisa membayar hutang atau tidak,

yang terpenting Ajeng bisa pegang uang untuk bersenang-senang apapun caranya. Bahkan tak peduli kalau anak-anaknya semakin besar, apalagi Nabila tak lama lagi akan melanjutkan ke jenjang SMP.

                         ***

Ajeng pun menghempaskan tubuhnya pada sofa, ia kembali menggerutu ketika menunggu pembeli, "Aku capek dengan aktivitas yang monoton tiap hari.”

Memang keseharian Ajeng sekarang bangun pagi saat langit masih merah dan ke pasar untuk membeli bahan dagangannyabangun pagi harus ke pasar, belum juga masak buat jualan kemudian memasak dan membuka warung. Untuk ketiga anaknya sama sekali tidak pernah dipedulikan olehnya. Bagi Ajeng memasak untuk mereka bertiga saja sudah cukup.

“Kenapa sih hidup aku susah bener, udah nggak bisa kayak dulu lagi. Suami udah nggak bisa diandalkan, boro-boro ngasih duit jajan, buat modal dagang aja sekali doang,” runtuk Ajeng.

Di saat ia mengomel sendiri, tiba-tiba dikejutkan oleh suara seorang laki-laki yang hendak makan di warungnya. Lelaki itu usianya tak jauh beda dengan Ajeng. Dia adalah Agung, keponakan dari tetangga Edi.

Agung berpenampilan mentereng, kemana-mana selalu menggunakan motor sport kebanggaannya. Agung juga dikenal sebagai laki-laki yang suka menggoda perempuan tak peduli kalau dia istri orang. Dengan iming-iming uang yang selalu dipamerkannya, ia dengan mudah menaklukkan para perempuan.

"Mbak … beli gado-gado dan es buah dimakan disini," pintanya.

Ajeng pun langusng menyiapkan pesanan Agung sambil sesekali melirik motor sport yang dikendarai pemuda itu.

“Mas Edi kerja Mbak?” tanya Agung basa-basi.

"Iya, Mas pulangnya sore selepas maghrib," jawab Ajeng.

Agung pun mengangguk dan mempersiapkan langkah berikutnya untuk menjadikan Ajeng sebagai target. Ketiga anaknya yang sedang bermain di halaman samping pun didekatinya. Ia memberikan uang jajan untuk mereka agar bisa menarik perhatian Ajeng.

"Mas ngrepoti aja," kata Ajeng.

“Nggak apa-apa mbak, anak-anak mas Edi sudah tak anggap keponakan sendiri,” jawab Agung.

Saat makan, lelaki itu pun diam-diam mencuri pandang ke arah Ajeng. Apalagi saat itu busana yang menempel di tubuhnya memperlihatkan lekuk tubuh. 

Agung pun memikirkan bagaimana bisa mendekati Ajeng, begitu juga sebaliknya. Dari perangainya terlihat kalau Agung seorang yang banyak uang, apalagi saat membayar pria itu tidak mau mengambil uang kembalian dengan alasan besok akan kemari lagi.

“Hmm kayaknya boleh juga ,mungkin kalo aku dekat dengan agung semua keinginanku terpenuhi.

ah..apa aku harus berpaling lagi? kalau ketahuan Edi gimana?” pikir Ajeng sambil memperhatikan bayangan Agung yang sudah menaiki motor.

Ajeng berpikir sejenak mencoba mencari cara agar ia bisa berdekatan dengan Agung tanpa harus diketahui oleh suaminya, Edi.

"Ah iya, kan ada Mbah Darto,” gumamnya kemudian senyum-senyum sendiri.

Keesokan hari Agung datang lagi ke warung Ajeng di jam yang sama dan memesan menu yang sama seperti kemarin. Benar juga perkiraan Ajeng, Agung memang memiliki ketertarikan pada dirinya. 

“Mbak Ajeng, seperti kemarin ya,” kata Agung membuka percakapan dan duduk berhadapan dengan Ajeng.

Pemuda berpenampilan mentereng itu pun menoleh ke sana kemari, seperti mencari seseorang, lalu kembali pada Ajeng.

“Mbak, anak-anak kok nggak keliatan?” tanya Agung beramah-tamah.

“Tuh ditempat budenya,” jawab Ajeng sambil menyiramkan bumbu gado-gado pada piring Agung.

Agung pun mengangguk dan menitipkan uang lima puluh ribu untuk jajan anak-anaknya. Awalnya Ajeng menolak dengan malu-malu, tapi tetap saja ia terima.

“Lumayanlah lima puluh bisa buat isi dompet. Anak-anak dibeliin es lilin aja juga diem,” pikir Ajeng. 

Agung pun mulai mendekati Ajeng dengan bercerita tentang dirinya termasuk kekayaan yang dimiliki. Padahal harta yang sebenarnya ia banggakan adalah milik orang tuanya. Agung memang anak dari seorang pedagang besar di pasar induk. Sama halnya dengan Ajeng yang juga memamerkan harta yang sebenarnya tidak ada. Setelah itu mereka pun mulai bertukar nomor ponsel untuk bisa komunikasi lebih sering.

Setelah mendapatkan nomor ponsel Ajeng, Agung pun pergi dan lagi-lagi meninggalkan uang lebih untuk membayar makanan. 

“Nah gini laki-laki yang banyak duit,” batin Ajeng tanpa mengetahui ada maksud lain dari Agung.

Hanya butuh waktu sehari bagi Agung untuk bisa mengajak Ajeng pergi keluar. Lelaki muda itu menjanjikan Ajeng untuk makan sekaligus jalan-jalan ke Mall. Bahkan Ajeng tak canggung untuk memeluk pinggang Agung ketika berboncengan.

Tentu saja untuk bisa keluar dengan Agung, Ajeng mengarang cerita. Ia mengatakan pada suaminya kalau harus menjenguk kawannya di rumah sakit. Padahal ia memarkir motornya di parkiran depan rumah sakit lalu melanjutkan perjalanan.

“Mbak, panas nggak, mampir ke sana dulu yuk?” ajak Ajeng sambil menunjuk sebuah hotel yang tak jauh dari Mall.

Ajeng hanya mengangguk dan menuruti saran Agung. Dia sudah memperkirakan hal ini, tak masalah baginya jika harus melayani Agung tidur, selama ia juga mendapatkan keuntungan.

“Emang dasar cewek gampangan,baru juga dikasih uang  sedikit aja sudah nuruti kemauan laki-laki tanpa memikirkan statusnya,” pikir Agung yang sedang melakukan prosedur cek in.

Namun pasangan itu tidak sadar kalau saat memasuki hotel ada seorang petugas kebersihan yang melihat Ajeng masuk hotel dengan Agung. Petugas kebersihan itu ternyata tetangga Edi.

“Itu kan istrinya Mas Edi, kenapa bisa ada di sini sama orang lain? Aku harus beritahu Mas Edi.” pikir petugas kebersihan itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status