Share

Sebuah Pertemuan

[Temui aku nanti malam tepat pukul tujuh di Orchard Road]

Begitu kalimat pembuka pesan ini yang diikuti alamat sebuah restoran mewah dan nama si pengirim: Hartono Lim.

Begitu singkat dan dominan! Seperti pemiliknya. 

Niatku ingin menyantap lunch selesai sudah. Alih-alih ke kantin, aku malah naik ke rooftop untuk menikmati tiupan angin yang mengantarkan terik mentari untuk berpikir kembali. Langkah apa yang harus aku ambil ke depannya? Apakah langkah ini sudah benar? 

Usai meyakinkan diri sendiri, aku terhenyak kala mengingat satu hal lain.

Astaga! Jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan angka satu, artinya waktu makan siang yang berharga sudah selesai. Buru-buru kuhabiskan soft drink yang tinggal separuh setelah menikmati sandwich tuna dalam dua kunyahan besar.

Aku bergegas turun. Ms. Jane, kepala ruangan kami, tadi pagi memintaku menemuinya. Firasatku tak enak soal panggilan mendadak ini. 

Benar saja. Begitu pintu ruang kerjanya terbuka, beliau menatapku dengan ekspresi kesal yang tak mau repot-repot ditutupi. 

"Kenapa lambat sangat?" Tanpa basa-basi dia mengumandangkan tanya.

"Maaf Ma'am, tadi saya kena stomachache." Aku menyahut sekenanya. 

Bukannya menunjukkan rasa simpati, wanita awet muda ini hanya mendengus. Tak terpengaruh sama sekali dengan mimik wajahku yang memelas. 

"Okay, saya akan to the point. Waktu you pertama kali apply, saya dah cakap tak ada office romance. Tapi yang saya dengar, you selalu nak dekat doctor Vincent?"

 Aku terperangah. "Maksudnya, Ma'am?" Betul, Vincent menaruh hati padaku, tetapi ajakan itu sudah kutepis. Lantas apa masalahnya?

"You memang naif atau stupid? Masih tak paham juga saya cakap apa?" balasnya ketus. Saking kesalnya, Fountain pen di tangan Ms. Jane sampai terlepas. 

"Saya nak tegaskan saja, I have no time for romance, saya datang kat sini nak kerja," sahutku tak mau kalah. 

"You beralasan je dengan saya?"

"Kayak tuduhan dia beralasan aja!" pekikku dalam hati. Rasa suka Ms. Jane pada dokter Vincent sudah jadi rahasia umum, tapi apa iya sampai harus mengintimidasi perawat yang nggak tahu apa-apa sepertiku? Mentang-mentang keponakan direktur! 

"Saya tak peduli, you harus move ke ruang lain. Tak boleh di bagian internal disease lagi."

"Baik, tapi beri saya masa. Saya mesti kemas-kemas."

Kulihat kilat kaget di mata Jane. Mungkin Dia tak menyangka bisa secepat ini mendepak 'gadis murahan' yang mendekati pria idamannya. 

"Makan tuh duda!" batinku lagi. Memang dikira semua orang penyuka duda? Apalagi yang bisanya cuma menjanjikan hubungan tak jelas macam Vincent, cuih! 

"Good! I will manage your transfer next week. Kamu akan move ke emergency room, we need more nurses there."

'Dia benar-benar niat menyiksaku!'

Emergency room katanya? Heh, silakan saja dia berlarian ke situ. Dikira aku tak tahu betapa rempongnya bertugas di IGD? Saban hari ada saja pasien kritis yang masuk ke sana membuat petugas IGD harus selalu sigap dan terburu-buru. Sorry! that's not my cup of tea. 

Lagipun, kalau rencanaku berhasil, paling lama lusa aku udah out dari negara tetangga ini. Siapa juga yang mau berlama-lama tinggal di rumah sakit dan menghadapi atasan baper kayak si Jane. 

"Baik Ma'am. Kalau begitu saya pamit dulu." Aku menyahut singkat, tak sudi lagi berlama-lama memandang muka Jane yang tak menarik itu.

Setelah shift kerja berakhir, tak butuh waktu lama aku sampai di apartment yang letaknya memang tak jauh dari tempat kerja. Selesai mandi, kukenakan night dress simple dipadu riasan sederhana yang menonjolkan kecantikan mata. Ini jadi jurus andalanku malam ini. Setahuku, pria-pria kaya tidak suka dandanan menor. Lebih baik riasan nude yang classy atau yang kerap disebut sebagai no makeup look. 

Begitu tiba di tempat tujuan, aku segera menghampiri resepsionis yang bertugas dan menyebutkan identitasku. Tak pakai drama, dia segera mengantarku ke sebuah private room mewah dengan chandelier kristal yang indah di langit-langitnya. Meski kagum, aku berusaha berlagak santai, seolah terbiasa dengan tempat seperti ini. 

Padahal sejak bercerai dengan Roy sudah lama aku tidak mengunjungi tempat-tempat mewah. Usahaku yang cuma klinik kecantikan dan restoran belum mampu membuat diri ini hidup seperti kalangan jetset. Lagipula benakku yang sempit masih dipenuhi skenario balas dendam yang belum tuntas. Mana mungkin sanggup berleha-leha. 

"Kamu telat lima menit." Tanpa memandang wajahku pria bermarga Lim itu menukas begitu aku tiba disisinya. 

"Ehm, ya. Maafkan aku," jawabku tanpa merasa bersalah. "Jadi, boleh aku duduk sekarang?" Aku bertanya lagi waktu melihat tatapan matanya yang menyipit. Mungkin dikira nyaliku bakal ciut mendengar tegurannya barusan. 

"Tentu, silakan duduk." Tanpa basa-basi seperti yang lazim dilakukan manusia fana, pria tampan di depanku ini langsung bertanya, "Jadi kita makan dulu atau langsung ke inti pembicaraan?"

"Sebaiknya makan dulu, aku belum sempat makan." Aku membalas tanpa ragu. Untuk pria dominan seperti Hartono, berpura-pura itu hal paling tak berguna. Karena sebelum membuka mulutpun, dia sudah bisa menebak bahasa tubuhmu. 

Dia mengangguk sekilas, tampaknya setuju dengan tindakanku yang tidak jaga image ini.

Dengan tangannya, dia memberi isyarat hingga pramusaji yang menunggu di luar tadi segera masuk dan menyerahkan buku menu dengan takzim. 

Aku membolak-balik buku menu itu tanpa minat. Semua makanan yang tertera di sana terlihat seperti bongkahan emas bagiku, setidaknya untuk saat ini. Maklum, sudah tidak terbiasa lagi makan-makanan mewah.

"Sudah diputuskan mau pesan apa? Atau aku aja yang pesan?"

"Ya, kamu saja yang pesan."

Dia menyebutkan makanan yang ingin dipesan, dan pada saat inilah aku sibuk menatap wajahnya yang rupawan. Rahang kokoh, mata tajam, bibir sensual, serta hidung yang tinggi. Tampaknya Tuhan sedang murah hati waktu membentuk dirinya dalam rahim nyonya Lim.

Begitu dia selesai bicara dengan pramusaji tadi, cepat-cepat kubuang pandang lewat jendela kaca di depanku. Pemandangan kota Singapura di malam hari tak bisa lebih indah dari ini. 

Restoran yang kami datangi memang terletak dalam hotel bintang lima yang dibangun di apartemen mewah. Posisinya yang tinggi cukup memanjakan mataku yang selalu suka dengan segala yang berkilau, walau itu menipu.

"Apa yang kamu tatap di bawah sana?" Setelah keheningan yang panjang dia membuka percakapan yang baru. 

"Kepalsuan," kataku lalu menatap dirinya yang tersenyum tipis, "Coba lihat lampu yang berkilauan itu, gedung-gedung megah, serta manusia berpakaian parlente yang tampak bahagia di sana, pasti banyak sekali yang mengidamkan hal itu."

"Lantas?" Kali ini dia mencondongkan tubuh ke arahku dan menautkan kesepuluh jemarinya, bahasa tubuh yang konon menunjukkan rasa percaya diri sang pemilik. 

"Padahal mereka tak tahu betapa banyak penderitaan di sana. Di balik gedung-gedung tinggi nan megah itu mungkin hidup sekeluarga dalam keadaan berdesakan, dalam kemilau lampu itu bisa jadi ada orang sepuh yang harus tetap bekerja walau sudah ringkih karena mahalnya biaya hidup di sini, dalam gelak tawa para eksekutif muda di sana bisa saja tersimpan rasa getir yang tak kentara lantaran membayangkan deadline yang harus dikerjakan besok." Wajahku yang tadinya menatap ke luar, kini berbalik menatapnya, "Bukankah semua keindahan tadi jadi palsu?"

Prok, prok, prok.

Terdengar tepukan perlahan. 

"Bravo! caramu menarasikan semuanya cukup menarik. Sayang sekali, aku bukan manusia perasa. Lagipula tak seharusnya kamu selalu pesimis." Pria itu terlihat menarik napasnya sejenak. "Maksudku ... bisa saja orang sepuh yang bekerja itu karena bosan nganggur di rumah, bisa juga orang lembur itu karena kemarin malam sibuk kelayapan. Iya nggak?"

"Yah, bisa jadi. Tapi tak ada salahnya juga dengan caraku memandang sesuatu, kan?"

Kulihat dia hanya mengedikkan bahu. Mungkin terlalu malas meladeni ucapan perempuan yang sama sekali tak bernilai miliaran rupiah, seperti transaksi bisnisnya yang berhasil. 

Untunglah di saat aku sudah kehabisan bahan untuk dibicarakan, terdengar ketukan perlahan di pintu. Tak lama pramusaji membawa pesanan yang tadi diminta Hartono. 

Ternyata dia memesan hidangan utama berbahan dasar daging, Beef bourguignon, mashed potatoes, serta salad. Untuk minumannya selain air putih juga ada wine yang kutahu jenis Sauvignon Blanc.

Sungguh hidangan yang tepat untuk santap malam yang ingin diselesaikan secara cepat.

"Ayo dimakan," ujarnya ramah lalu mulai mengambil pisau dan garpu di depannya dengan elegan. 

Sementara itu aku sendiri masih menundukkan kepala sejenak sebelum menyantap hidangan yang menggugah selera ini. Astaga! Dagingnya benar-benar lumer di mulut. Tak sia-sia harganya setara dengan gajiku satu minggu. 

"Kamu masih berdoa sebelum makan, ya?"

Tersirat nada geli dalam suaranya, seolah-olah tindakanku barusan itu kegiatan paling konyol yang pernah dilihatnya. 

"Iya, kenapa? Salah, ya?"

"Nggak kok, cuma buang-buang waktu aja."

"Oh, begitu."

Jawabanku singkat saja. Nggak berniat menggurui juga. Siapalah aku hingga berhak menghakimi atau mengubah hidup seseorang. Tuhan saja tak lantas mengirimkan api untuk membakar pria ini hidup-hidup hanya karena tidak berdoa. 

"Apa kamu suka hidangannya?" Dia bertanya lagi. Mungkin hendak mengurai kecanggungan di antara kami berdua. 

"Ya, sangat enak. Dagingnya benar-benar empuk dan tepat disantap dengan Sauvignon ini," sahutku yang lantas menyesap wine itu perlahan. 

Dia tersenyum maklum. Indah meski cuma lengkungan samar dibibir. Menghilang dalam sekejap sama seperti hidup yang berlalu tiba-tiba sebelum kamu sempat menyadarinya. 

Hanya dua puluh menit waktu yang kami butuhkan untuk menyelesaikan makan malam lezat nan hambar. Kalau tidak salah sebentar lagi kami akan membicarakan 'bisnisnya'. 

Lagi-lagi dugaanku tidak meleset. 

Setelah mengusap mulutnya dari wine yang tersisa, dia berdehem kecil dan berucap dalam suara bariton yang dalam. "Jadi Mama berniat menjadikan kamu menantunya. Setelah mendengar cerita beliau tentang situasimu, kurasa gagasannya bukanlah hal yang konyol. Maksudku, tak buruk menjadikanmu sebagai nyonya di rumahku."

Dia berhenti sejenak, memastikan aku benar-benar paham makna ucapannya.

Aku mengangguk tanda mengerti lalu dia melanjutkan lagi, "Seperti yang kamu tahu, aku ini duda dengan dua anak, jadi aku tidak lagi menginginkan anak. Kemudian, kudengar kamu juga punya anak dari pernikahan sebelumnya. Jujur saja, Aku tak mau anak itu tinggal dengan kita, apa kamu siap?"

"Ya, aku siap."

"Bagus. Sekarang mengenai tunjangan dan fasilitas yang akan kamu dapatkan, bisa dibaca sendiri."

Ponselku bergetar, lalu sebuah pesan berbentuk dokumen P*F masuk. Walau mataku tak sampai membeliak, tetap saja rasa kaget terbersit dalam hati waktu membaca rentetan kalimat yang terpampang nyata di sana.

'Apa dia gila?!'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status