Share

Tangkapan Besar

Tiga tahun kemudian. 

Dari balik kaca pemantau di pintu, aku menatap wanita yang masih tampak cantik di usia tua. Dalam kamarnya yang mewah layaknya kamar hotel bintang lima, tampak cairan infus masih terhubung di pergelangan tangannya. 

Penyakit komplikasi menyerang wanita yang kuketahui bernama Nyonya Lim itu. Sudah dua minggu beliau dirawat di kamar ini. Jika bisa kusimpulkan, beliau adalah gambaran dari kesempurnaan ragawi. Rambut kelabu yang tersisir rapi ke belakang, pakaian, serta wajah bersih yang dipoles make up tipis. Tak ketinggalan pangkal hidung yang tampak mencuat dari salah satu sisi wajahnya. 

"Selamat pagi, Nyonya."

Aku menyapanya ramah, seraya membawa nampan berisi makanan, obat, dan buku status pasien. Sebagai seorang perawat pasien khusus kamar VVIP di sebuah rumah sakit mewah di Singapura, beginilah kesibukanku tiga tahun terakhir ini.

"Hai, selamat pagi juga." Dia menatapku dengan senyum tipis aristokrat. 

"Waktunya sarapan di hari yang indah, Nyonya." Aku berucap lagi sambil membuka tutup nampan lalu menekan tombol pada tempat tidur agar posisi duduknya lebih nyaman. 

Sepertinya beliau tidak mau 'membeli' basa-basiku yang murahan. Bisa kulihat dari sudut bibirnya yang terangkat sedikit, seperti mencibir. 

"Apa gunanya makanan ini untukku, Suster? Makan apapun pasti jadi racun bagiku."

Makanan bertemakan menu oriental itu ditatapnya tanpa minat.

Kendati demikian, aku tetap tersenyum, berusaha membujuknya. "Makanan ini sudah disesuaikan dengan diet Anda, Nyonya, tak usah khawatir. Perlu dibantu?" 

Dia mendesah pelan, lalu mulai mengaduk bubur di depannya. Dalam karir sebagai perawat di rumah sakit, kerap kali kutemukan orang lansia seperti pasien di depanku ini. Manusia yang sudah menyerah untuk hidup, tapi enggan pula mati dengan terus berjuang berobat. Nyonya Lim ini buktinya. Dia yang tinggal di Indonesia, tela berobat hingga ke Singapura.

Melihat dia yang mulai menyentuh jatah sarapannya, aku beralih pada buku status pasien yang kupegang. Mencatat kondisi seperti tekanan darah, denyut jantung hingga kecepatan cairan infus kulakukan dengan teliti.

"Jadi, kamu sudah berumah tangga?" tanyanya tiba-tiba seraya menyuap sesendok bubur ke mulut. 

"Maaf?" ujarku tergagap. Buku status pasien yang sedang kuisi sampai tercoret pulpen saking kagetnya. Tak biasanya wanita konglomerat ini menanyakan hal pribadi. Usai bisa menguasai diri, aku menyahut. "Saya masih single."

"Tak ada niatan untuk menikah?"

"Ada, tapi belum ketemu jodohnya." Aku mengerling, kemudian mencoba berbasa-basi. "Apa Nyonya bisa kasih rekomendasi?" 

Lagi-lagi dia cuma tersenyum miring seraya mengusap mulut dengan serbet basah. Lekas, kuberikan obat yang harus dimakan beserta segelas air hangat. 

Dalam sekali telan, semua pil di tanganku tadi lenyap dalam tenggorokannya dan langsung hanyut terbawa segelas air yang menyusul masuk. Aku sungguh takjub melihat kemampuan beliau menelan pil yang besar-besar itu. 

"Tak perlu heran begitu," tukasnya waktu melihat roman mukaku. "Kalau sama duda anak dua kamu mau?" tambahnya kemudian. 

Kembali, aku dibuat melongo dengan ucapannya."Ehem, kalau duda, yah ... lihat situasinya juga."

Seolah paham keenggananku, Nyonya Lim hanya tertawa kecil. "Kamu tenang saja, dia masih muda juga tampan. Soal materi tak perlu ragu, lebih dari cukup. Lagipula, dia duda ditinggal mati, bukan duda cerai atau selingkuh."

Aku masih berusaha mencerna tawarannya yang menarik ketika pintu kamar tiba-tiba didobrak dari luar. Tak lama, pekik sorak dua bocah terdengar riuh sebelum menghambur memeluk beliau. 

"Nainai, sudah sehat?" Bocah perempuan yang kelihatannya si sulung mulai bertanya. 

"Nai, tadi Jiejie marahin Joan." Bocah lelaki bertubuh gempal segera melapor sambil duduk di depan sang nenek. 

Nyonya Lim tersenyum sabar mendengar ocehan keduanya seraya mengelus-elus lembut rambut mereka. Tak tampak sedikitpun ekspresi tak sabar pada wajahnya yang anggun. 

Sementara aku? Meski sempat trenyuh dengan pemandangan hangat ini--bagaimanapun, aku juga seorang ibu, perhatianku teralih pada sosok rupawan berwajah muram di belakang kedua anak kecil tadi.

Rahang yang kokoh, tatapan mata yang tajam, hidung yang tinggi, serta tubuh yang atletis, kurasa mampu mendebarkan hati semua kaum hawa yang menatapnya. Dia memang tidak berpakaian layaknya karakter CEO di novel-novel roman. Dia hanya mengenakan jins biru gelap, kaos polo putih, sepatu kets, dan topi baseball. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku enggan berpaling. Untuk sesaat aku hanya terpaku di sana bagai terkena gendam. 

"Jadi, Suster... ini anakku, Hartono Lim dan kedua cucuku. Anakku ini sudah ditinggal istrinya tiga tahun silam."

Ucapan nyonya Lim memecah keheningan yang melanda pikiranku. 

Aku buru-buru mengulurkan tangan pada pria yang kini berdiri tepat di sisiku. "Shanty," ujarku lirih.

"Hartono." 

Dia menyahut singkat dan datar. Namun begitu, cengkeraman erat pada jari-jari ini makin menguatkan dugaanku jika dia seorang Alpha Male. 

Setelahnya, aku bergegas membereskan semua peralatan makan pasien lalu pamit pada nyonya Lim yang kini duduk bersandar didampingi cucunya. Sepersekian detik, tatapanku dan Hartono Lim bertemu. Waktu tatapan kami bertemu, ada kilatan tajam di manik matanya. Meski hanya sesaat, cukup membuatku paham jika beliau sedang menyiratkan sesuatu. 

Duda yang dimaksud Nyonya Lim barusan pastilah tuan Hartono Lim yang terhormat. Setelah selesai dengan tugasku mencatat status pasien, aku berpamitan dan lekas menutup pintu di belakangku.

Tubuhku bersandar pada daun pintu itu sejenak buat menenangkan debaran jantung yang menggila. 

Aku bersorak dalam hati. Ternyata, upaya maksimalku dalam dua minggu ini untuk mendekati Nyonya Lim tidak sia-sia. Aku sengaja bekerja di rumah sakit kelas atas dan melayani pasien ruang VVIP, semuanya demi saat ini. 

Apa yang begitu sulit didapat orang lain, bisa kudapat agak mudah. Aku berwajah cantik, bisa berbahasa Inggris dan sedikit Mandarin, serta memiliki kemampuan diplomasi yang baik. Terbukti, tangkapanku kali ini cukup besar!

Hartono Lim yang kutemui di ruangan tadi, sudah lama jadi incaran. Duda kaya seperti dia tentu tidak akan menuntut istri barunya punya anak. Sangat cocok untuk wanita tanpa rahim sepertiku.

Dengan berusaha menarik perhatian Nyonya Lim, aku berhasil sampai di tahap ini. Selama dua tahun bekerja RS ini, sudah empat kali Nyonya Lim berobat ke sini. Dan baru kali inilah beliau mengungkapkan keinginannya - walau tak secara gamblang - untuk mencari ibu baru bagi kedua cucunya. 

"Tiinggg... " Bunyi nyaring dari sendok yang jatuh segera menarikku ke dunia nyata. "Huuhh..." Kembali kutarik nafas lega ketika menyadari tak ada yang melihat kelalaianku barusan. 

Buru-buru kuletakkan peralatan makan itu di pantry sebelum melanjutkan perjalanan. Selama berjalan kakiku seperti mengawang saking senangnya. Hingga tak sadar sudah tiba saja di tempat yang dituju. Perlahan kuketuk pintu ruangan dokter internis yang menangani pasien VVIP tadi. 

"Masuk."

Sebuah suara ramah milik pria yang sudah menjadi partner kerjaku setahun belakangan terdengar menyahut. Begitu daun pintu terkuak, kulihat dokter Vincent Kho dalam sebuah kesempatan langka, sedang berbalas pesan di ponselnya. 

"How? Die mahu makan ubat tu?" tanyanya dengan senyum manis terukir di wajah kelimis. 

Dia langsung bertanya mengenai kondisi Nyonya Lim hari ini. "Beliau sudah lebih baik, Dok. Bahkan obatnya juga dihabiskan dalam sekali tegukan."

Dokter Vincent tersenyum puas. "Apa saya cakap? Kalau you yang turun tangan, pasti diorang nak dengar. Your charm is not a joke, you faham, kan?"

"Apelah dokter ni. Saye mencube sahaja, only that."

"Itulah kenape saya suka dekat you. Awak kerja serious, muke pun beautiful. Jarang tengok macam tu."

Aku hanya tersenyum mendengar ucapan beliau. Bukannya tak paham dengan sinyal yang diberikan dokter Vincent selama ini. Aku paham betul, dia memiliki rasa tertarik padaku. Pancaran matanya yang selalu berbinar, ditambah tawaran terang-terangannya untuk jadi partnerku.

Sebenarnya, rasa tertarik beliau pun tak bertepuk sebelah tangan. Siapa pula yang tak suka dengan pria cerdas dan punya pekerjaan mentereng? Namun, aku tak berminat dengan hubungan tak jelas macam yang dia tawarkan, partner. Apa bedanya dengan kumpul kebo terselubung?

"So, awak dah fikir pasal cakap saya semalam?"

Dan, yeah... Lagi-lagi dokter duda ini masih mencoba mengikatku dengan tawarannya. Aku tersenyum tipis. Kurasa, dia sudah tahu kalau lagi-lgi yang kuberikan hanyalah penolakan halus. "Uhm, yep. Saya dah fikir banyak dan tak rasa elok. It's just not to my cup of tea."

"Hahaha, tak payah feeling guilty. It's okay, saye dah biase," ucapnya dengan gaya jenaka, "Tapi bila-bila you feel regret, I selalu ready buat you," tambahnya lagi

"Baik dokter, thank you. Kalau macam tu, saya kena pergi dulu. Nak taking lunch."

Tanpa menunggu lama, aku bergegas keluar demi menikmati jam makan siang yang hanya sekejap. 

Dulu, setelah mengalami prahara dalam pernikahan, kuputuskan untuk melanjutkan pelatihan keperawatan di Singapura seraya mengambil kelas bahasa Mandarin. Begitu pendidikan usai, aku mencoba peruntungan di sini juga. 

Perjuangan yang berat akhirnya membuahkan hasil. Aku bisa bekerja di rumah sakit bonafide ini. Tujuan utama tentu saja bukan uang. 

Kalau hanya uang, aku punya klinik kecantikan dan restoran di kota Batam yang bisa membiayai hidupku. Tapi semua ini pastilah tak cukup. Untuk menepati janji pada mantan suami, aku butuh sesuatu yang lebih besar dari uang: kekuasaan. 

"Drrrttttt."

Tiba-tiba ponsel di saku seragamku bergetar pelan.

Ternyata ada nomor baru mengirim pesan di aplikasi chat-ku. 

[Temui aku nanti malam tepat pukul tujuh di Orchard Road]

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status