Denting garpu dan sendok beradu di atas piring porselen, menciptakan irama yang seharusnya menenangkan. Namun bagi Jovan, suasana di meja makan ini lebih menyerupai ruang interogasi daripada jamuan keluarga.
"Sudah lima tahun menikah, gajimu sebulan cuma segini?" Suara Bu Intan tajam, menusuk langsung ke dada.
Wanita paruh baya itu menatap lembaran slip gaji yang diletakkan begitu saja di meja, seolah itu hanya selembar kertas tak berharga.
Jovan mengepalkan tangannya di bawah meja. Ia sudah terbiasa dengan sikap sinis ibu mertuanya, tapi kali ini, ada sesuatu yang lebih menyakitkan—rasa muak yang nyaris tak bisa ia bendung.
"Alhamdulillah, cukup untuk hidup layak, Bu," jawabnya, berusaha tetap tenang.
Bu Intan tertawa kecil, penuh ejekan. "Hidup layak untuk siapa? Untuk anak pejabat seperti putriku? Atau untuk dirimu sendiri?"
Wanita itu menyandarkan punggung, menyilangkan tangan di depan dada, lalu menggeleng pelan.
"Kamu tahu kan, Jovan? Sejak awal aku tidak pernah setuju dengan pernikahan ini. Dan sekarang, kamu justru membuktikan bahwa kekhawatiranku benar."
"Bu—"
"Jangan menyela!"
Bentakan itu membuat ruangan tiba-tiba terasa lebih dingin.
Jovan menahan napas. Dari sudut matanya, ia bisa melihat istrinya, Tania, duduk diam dengan wajah tertunduk. Jemari wanita itu menggenggam ujung serbet di pangkuannya—kebiasaannya saat gelisah. Namun, tetap saja, mulutnya terkunci rapat
“Kamu gak malu sama Kenzi, adiknya Tania?" lanjut Bu Intan. "Dia lelaki bertanggung jawab, baru dua tahun kerja sudah memiliki segalanya. Mobil, rumah, tabungan. Bulan madunya dengan Nayla bahkan ke Raja Ampat.”
Jovan mengeratkan rahangnya. Rasanya ingin tertawa. Perbandingan ini sudah terlalu sering ia dengar, dan tetap saja, setiap kali disebutkan, selalu menampar harga dirinya dengan cara yang berbeda.
"Hidup itu bukan cuma soal cukup," lanjut Bu Intan. "Putriku terbiasa dengan kemewahan, dalam standar hidup yang tinggi. Kamu pikir hanya dengan gaji karyawan BUMN, kamu bisa memenuhi semua itu?"
Hening.
Di luar, hujan mulai turun, mengetuk jendela besar ruang makan. Atmosfer semakin berat.
Jovan menatap slip gaji yang masih tergeletak di meja, lalu mengangkat kepalanya. Tatapan matanya tak lagi setenang tadi. Ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya.
Ia menyandarkan tubuh, menatap langsung ke mata Bu Intan, lalu berkata dengan suara pelan, namun dingin.
"Maaf, Bu. Saya menikahi Tania, bukan rekeningnya."
Ruangan itu terasa membeku setelah kata-kata Jovan meluncur dari bibirnya.
Untuk pertama kalinya, Bu Intan terdiam. Sejenak saja, tapi cukup bagi Jovan untuk menikmati keterkejutan di wajah wanita itu.
Sial. Seharusnya dia tidak berkata seperti itu. Seharusnya dia tetap menjaga kepalanya tetap dingin. Tapi setelah bertahun-tahun menerima penghinaan yang sama, entah kenapa malam ini ada sesuatu yang membuatnya tak bisa lagi menelan semuanya bulat-bulat.
Tania akhirnya mengangkat wajahnya, tapi tatapan yang diberikan istrinya itu kosong—seolah ia baru menyadari bahwa suaminya juga memiliki batas kesabaran.
Bu Intan terkekeh pelan. Tapi kali ini, bukan tawa meremehkan seperti tadi. Ada sesuatu yang lebih tajam, lebih beracun.
"Astaga…" Suaranya lirih, berdenyut dengan kemarahan yang tertahan. "Jadi kamu sekarang berani bicara seperti ini, ya?"
Jovan tetap diam.
Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan. "Kamu tahu, Jovan? Kalau bukan karena cucu yang kamu berikan padaku, aku bahkan tak sudi melihatmu duduk di meja ini."
Tania tersentak, kedua tangannya langsung mengepal di atas pangkuan.
Jovan tidak bergerak, tetapi matanya berubah gelap.
"Kamu pikir, menikahi Tania itu cuma soal cinta? Hah?" Bu Intan semakin mendekat. "Dengar baik-baik, anak muda. Keluarga ini punya standar. Dan kalau kamu masih ingin bertahan di dalamnya, kamu harus tahu tempatmu."
Jovan menelan ludahnya. Darahnya mendidih, tapi ia menahan diri. Ia tahu, kalau ia membalas lebih jauh, ini bukan hanya pertengkaran antara dia dan ibu mertuanya. Ini bisa menghancurkan semuanya.
Ia melirik ke arah Tania, berharap istrinya akan berkata sesuatu. Apa pun.
Tapi yang ia dapatkan hanyalah kesunyian.
Hujan di luar semakin deras, membasahi kaca jendela. Di dalam ruangan ini, kehangatan terasa lebih mustahil daripada sebelumnya.
Dengan napas panjang, Jovan akhirnya berdiri. Kursinya bergeser sedikit ke belakang, menciptakan bunyi gesekan yang mengisi keheningan di meja makan.
"Terima kasih makan malamnya, Bu," katanya singkat. Suaranya datar.
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik menatap Tania. Tapi di dalam dadanya, ada sesuatu yang pecah.
Dan yang paling menyakitkan bukanlah hinaan ibu mertuanya—tapi diamnya Tania.
Dada Jovan bergemuruh. “Tania?” Suaranya terdengar lebih lirih dari yang ia maksudkan.
Wanita itu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sendu, tapi bibirnya tetap terkunci rapat. Seperti ada ribuan kata yang ingin diucapkan, tetapi akhirnya hanya tersangkut di tenggorokan. Balas menatap wajah suaminya dengan sorot yang sulit dijelaskan.
Bu Intan tersenyum miring, penuh kemenangan. “Lihat? Bahkan anakku pun mulai menyadari bahwa dia berhak mendapatkan yang lebih baik.”
Jovan menelan ludah. Ada bagian dari dirinya yang ingin membanting gelas di depannya, ingin berteriak bahwa ia lebih dari cukup, bahwa ia mampu memberi Tania kehidupan yang layak. Tapi ada bagian lain yang tahu bahwa ini bukan soal uang atau status.
Ini soal harga diri.
Dan malam ini, harga dirinya diinjak-injak di hadapan istrinya sendiri.
Dengan gerakan perlahan, Jovan meraih gelasnya, menyesap air putihnya dengan tenang. Ketika ia meletakkannya kembali ke meja, ia tersenyum tipis. Bukan senyum yang ramah, bukan pula senyum yang kalah.
Senyum itu—dingin, penuh arti.
“Terima kasih atas sarannya, Bu,” katanya, suaranya terdengar lebih tenang dari yang seharusnya. “Tapi aku pikir, aku akan tetap di sini. Dan kita lihat saja nanti… siapa yang akan menyesali keputusannya.”
Bu Intan menyipitkan mata, tampak tidak menyukai ketenangan Jovan.
Tapi Jovan tidak peduli. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu kembali menatap Tania dan berbisik, “Kalau kamu ingin aku pergi, katakan, Tania. Bukan ibumu.”
Tania tetap diam.
Jovan tersenyum kecil.
Baiklah, kalau begitu. Aku akan membuat kalian menyesal.
Jovan melangkah keluar. Suara hujan di luar semakin deras. Jantungnya berdentam keras di dada. Ia berdiri di ambang pintu dan sekali lagi berbalik. Menggeser pandangannya ke arah Tania, berharap sekali lagi.
“Tania, kalau kamu masih punya sedikit saja hati… jawab aku. Aku ini suamimu atau bukan?”
Kali ini, Tania menatapnya. Matanya basah, tapi bibirnya bergerak membentuk satu kata yang menghancurkan segalanya.
“Pergilah, Mas.”
Jovan menutup matanya sesaat.
Dunia di sekelilingnya seolah berhenti berputar. Kata-kata Tania—pendek, datar, tapi mematikan—menghantamnya lebih keras dari seribu hinaan Bu Intan.
‘Pergilah, Mas.’
Jadi, begini akhirnya?
Lima tahun berjuang, lima tahun menelan setiap sindiran dan hinaan, lima tahun mengorbankan segalanya demi menjaga keutuhan rumah tangga mereka. Semua itu ternyata tidak lebih dari satu kalimat singkat yang mengusirnya pergi.
Jovan menggigit bibirnya, menahan sesuatu yang ingin pecah di dalam dadanya. Hatinya terasa diremas, seolah ada tangan tak terlihat yang mencengkeramnya kuat-kuat, meremukkan setiap harapan yang tersisa.
Bukan karena hinaan mertuanya. Bukan karena dibanding-bandingkan dengan adik iparnya. Tapi karena perempuan yang selama ini ia cintai, yang seharusnya menjadi tempatnya pulang, memilih untuk tetap diam saat harga dirinya diinjak-injak.
Ia ingin tertawa. Ironis sekali. Ia pikir, di balik semua tekanan yang diberikan keluarga Tania, ada satu hal yang bisa ia pegang—cinta istrinya. Tapi ternyata, ia salah.
Tania tidak membelanya. Tidak menarik tangannya, tidak menentang ibunya, bahkan tidak sekadar berkata, "Jangan pergi."
Tidak ada.
Yang ada hanya satu kalimat singkat yang menamatkan segalanya.
Jovan menarik napas panjang, menatap mata istrinya untuk terakhir kali. Mencari sesuatu di sana—keraguan, penyesalan, keinginan untuk menarik kembali kata-kata yang telah terlanjur keluar.
Tapi tidak ada apa-apa di sana.
Hanya kesedihan yang samar. Dan itu tidak cukup.
Jovan menegakkan punggungnya. Rasa sakit masih mengguncangnya, mengalir seperti racun di dalam darahnya. Tapi ia menelannya bulat-bulat.
Baiklah, Tania. Jika itu maumu. Jika selama ini aku hanya beban. Jika aku tidak cukup baik untukmu. Maka aku akan pergi.
Setelah Jovan pergi, Tania tetap duduk di kursinya. Tangannya masih menggenggam serbet di pangkuan, tetapi kini jari-jarinya bergetar. Ia menatap piring di depannya, tapi makanan di sana terasa seperti benda asing—dingin, hambar, tak lagi menggugah selera.
Di dalam hatinya, ada sesuatu yang mencengkeram kuat, menciptakan perasaan hampa yang menyakitkan. Ia bisa merasakan tatapan ibunya yang penuh kemenangan, tetapi bukannya merasa lega, dadanya justru semakin sesak.
Tania menggigit bibirnya, mencoba menahan perasaan yang meluap-luap. Ia tahu bahwa keputusannya tadi telah memecahkan sesuatu—bukan hanya hati Jovan, tapi juga ikatan di antara mereka. Ia yang membiarkan itu terjadi. Ia yang membiarkan Jovan pergi dengan luka yang lebih dalam daripada yang seharusnya.
"Sudahlah, Tan. Lebih cepat kamu sadar, lebih baik," suara Bu Intan terdengar lembut, nyaris menenangkan.
Tania mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan mata yang berkilat karena air mata yang tertahan. "Apa Ibu bahagia sekarang?"
Bu Intan mendengus pelan. "Ini bukan soal bahagia atau tidak. Ini soal masa depanmu."
Masa depan. Kata itu terasa kosong bagi Tania saat ini. Bagaimana bisa ia memikirkan masa depan, ketika hatinya tertinggal di ambang pintu bersama pria yang baru saja pergi?
Tiba-tiba, dadanya terasa begitu penuh. Ia bangkit dengan cepat, hampir menjatuhkan kursinya, lalu melangkah keluar dari ruang makan. Ia tidak ingin ibunya melihat air mata yang akhirnya jatuh, tidak ingin siapa pun tahu bahwa dirinya sedang gemetar hebat.
Sesampainya di kamar, ia menutup pintu dan bersandar di sana, tangannya menutupi mulutnya untuk meredam isakan yang akhirnya pecah.
Ia ingin memanggil Jovan. Ingin berlari menyusulnya.
Tapi semuanya sudah terlambat, bukan?
Dialah yang menyuruhnya pergi.
^*^
“Baiklah, jika itu keinginan Bapak-bapak, saya siap memenuhinya,” balas Bu Intan sigap.Dia berpikir dua bandot di depannya tidak akan jauh berbeda dengan suaminya. Lelaki-lelaki tua berperut buncit, berwajah mesum yang ada di depannya hanya besar nafsu dan keinginannya, sementara stamina dan tenaganya sudah pasti sangat kurang. Hanya dalam beberapa menit saja mereka akan langsung menyerah kalah.Pak Hanif dan Pak Gunarsa tersenyum senang mendengar perkataan Bu Intan. Mereka berpikir istri dosen ini telah menyetujui persyaratan itu dan akan segera mengajaknya pergi ke sebuah hotel secara besama-sama.“Nah, ginikan lebih mudah dan lebih baik Bu. Kami pun tidak usah lagi menseleksi perusahaan-perusahaan lain untuk proyek ini. Dokumen ini akan segera kami serahkan setelah kita selesai melengkapi kekurangannya.” Kembali Pak Hanif bicara ambigu yang entah mengapa orang-orang seperti dia senangnya berbelit-belit.Tanpa mempedulikan ucapan Pak Hanif, Bu Intan pun segera menghampiri dua tamu
“Pak Han, kami sangat mengerti dan akan memenuhi persyaratan itu seperti yang biasa suami saya lakukan. Percayalah, semuanya tidak akan berubah, sesuai yang telah dijalankan oleh suami saya selama ini,” ucap Bu Intan dengan tenang dan berwibawa.“Oh bagus. Kami sangat bersyukur kalau Ibu sudah mengerti dan tahu tentang itu, bagus, sangat bagus.”“Ya terima kasih, Pak. Lantas apa yang harus saya lakukan sekarang?”“Hmmm, begini Bu. Kali ini sepertinya kita akan menemukan sedikit masalah, karena adanya kekurangan-kekurangan yang perlu segera ibu ketahui sekaligus dilengkapi, agar tidak menimbulkan permasalahan yang cukup pelik dalam proses selanjutnya,” timpal Pak Hanif.“Kekurangan dan masalah apa, kalau boleh saya tahu, Pak? Mungkin saya bisa membantu memperbaiki atau melengkapinya sekarang juga.” Bu Intan menjawab tegas dan masih dengan senyum manisnya, walau dadanya mulai sedikit bergemuruh karena muak yang ditahan.“Gak banyak sih Bu, kekurangannya hanya satu, dan kebetulan kekuara
Bu Intan mencondongkan tubuhnya ke depan, meletakkan dagunya di telapak tangan dengan tatapan menggoda. "Beneran nih? Jangan PHP-in Tante, loh."Seorang pemuda dengan kaos hitam tertawa sambil mengusap tengkuknya. "Masa iya kita bohong? Justru seru kalau Tante ikut. Bisa ngerasain sensasi tidur di bawah bintang, dengerin suara alam, dan… siapa tahu ada tantangan seru juga."Bu Intan terkikik kecil, membayangkan betapa serunya pengalaman itu. Tapi sebelum sempat berandai-andai lebih jauh, salah satu dari mereka tiba-tiba menyenggol lengannya dan berbisik, "Tapi kita bukan cuma pecinta alam, Tante. Kita juga suka balapan liar!"Mata Bu Intan langsung berbinar lebih terang. Kenangan saat bersama Rizal, merasakan sensasi berboncengan motor keliling kota, angin malam yang menampar wajahnya, tiba-tiba menyeruak di pikirannya."Serius? Kalian anak-anak jalanan juga, nih?" tanyanya dengan nada penuh minat.Mereka tertawa. "Nggak juga, Tante. Cuma sekadar hobi. Nggak setiap hari, tapi kalau lag
Seminggu telah berlalu sejak kepergian Dave, namun jejak kebersamaan empat hari dengannya masih begitu membekas di hati dan pikirannya.Seperti ombak yang terus menghempas pantai tanpa henti, gairah dalam diri Bu Intan kini bergelora tanpa bisa dikendalikan. Ada sesuatu dalam dirinya yang telah terbangun—sesuatu yang tak bisa ia redam, meskipun ia mencoba.Setiap sudut rumah terasa berbeda, bukan karena ada yang berubah secara fisik, melainkan karena dirinya sendiri yang kini tak lagi sama. Dulu, ia bisa dengan mudah mengabaikan kehampaan dalam rumah tangganya. Namun kini, sentuhan suaminya terasa asing, bahkan dingin. Keberadaan Pak Winata di sampingnya tak lagi membawa kehangatan, justru semakin menegaskan betapa kosongnya hubungan mereka.Malam-malamnya kini terasa panjang dan sepi. Tubuhnya mungkin berbaring di sisi suaminya, tetapi pikirannya melayang jauh, kembali ke malam-malam ketika Dave masih ada di sini. Ia terjaga hingga larut, hatinya berdebar, hasratnya menggelora, namun
Pak Winata masih tertidur dengan lelapnya. Bu Intan masih belum merasa lengkap bila tidak merasakan rudal Dave yang mempunyai ukuran luar biasa tersebut, tapi dia juga sedikit khawatir bila ia teruskan permainannya di kamar tidurnya ini akan membuat suaminya bangun karena mendengar rintihan-rintihan dan erangan-erangannya.Bu Intan kemudian mengajak Dave untuk keluar dari kamar tidurnya. Mereka beranjak dari kamar tidur tersebut dengan setengah telanjang, tidak lupa untuk membawa pakaian mereka yang sudah terlepas.Di ruangan keluarga kembali Bu Intan mencumbu Dave dengan penuh nafsu, Bu Intan mulai mendorong Dave untuk duduk di sofa, ia pun kemudian bersujud di hadapan Dave.Dengan penuh nafsu rudal Dave yang setengah bangun mulai dikulum dan dijilatinya, Dave mulai mendesah-desah keenakan merasakan kuluman dan jilatan mulut dan lidah Bu Intan di rudalnya.Perlahan-lahan Bu Intan mulai merasakan rudal Dave bangkit dan mulai mengeras, mulut Bu Intan yang mungil tidak cukup untuk mengu
Percakapan terus mengalir, diselingi gelak tawa ringan dan sesekali kilatan mata Dave yang mencuri pandang ke arahnya. Botol demi botol dibuka, hingga waktu terasa berlalu begitu saja. Bu Intan memperhatikan wajah suaminya yang mulai memerah. Gerakannya semakin lambat, omongannya mulai melantur.Sementara itu, Dave tampak tetap tenang. Mungkin karena ia terbiasa dengan minuman seperti ini.Jam di dinding telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Pak Winata semakin kehilangan kendali. Matanya sudah setengah terpejam, tangannya terkadang bergerak tanpa arah, dan bicaranya semakin tidak jelas.Bu Intan tersenyum kecil, teringat betapa lemahnya suaminya jika sudah berada dalam kondisi seperti ini. Sebuah ide melintas di benaknya—ia tahu betul bagaimana malam ini bisa berakhir.Senyumnya makin lebar.Dave, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya bertanya. “Apa yang membuat Anda tersenyum, Bu Intan?”Bu Intan hanya menoleh sekilas, lalu kembali tersenyum tanpa menjawab.Seperti yang s