LOGINSetelah keduanya membersihkan diri, barulah Juwita dan Julian datang ke kamar dimana Renata berada.
Saat keduanya memasuki kamar itu, Renata memejamkan mata. Berpura masih pingsan dan menormalkan gelora amarah yang menyelubungi dadanya. “Lihat! Dia masih belum bangun. Obat bius itu memang luar biasa. Seharusnya kita bermain lebih lama tadi.” Dengan tangan yang masih melekat di pinggang Juwita, Julian pun berucap dengan sedikit menyayangkan. Tidak lupa, ia mengecup bagian pundak milik Juwita. “Sayang, aku tidak bisa berlama – lama. Aku harus ada pemotretan besok. Harus menjaga stamina. Dan juga, aku tidak menyukai kamar ini.” Juwita bersandar di dada Julian tapi matanya masih menatap wajah Renata yang memang menghadap ke arah mereka dengan pandangan jijiknya. “Kalau begitu, ayo pindah tempat dan mencari ruangan yang sesuai seleramu. Masih banyak waktu sampai esok hari.” Ajak Julian pada kekasih gelapnya itu. “Lalu, bagaimana dengan dia? Akankah kita meninggalkannya sendirian di sini?” Tangan putih dan bersih Juwita menunjuk ke sosok Renata yang masih bergeming di tempatnya. “Biarkan saja! Lagi pula, bukan urusan kita jika terjadi apapun padanya. Bahkan jika dia mati, bukankah itu sangat baik bagi kehidupan kita ke depannya?” tanya Julian lagi dengan dingin tanpa perasaan. “Baiklah. Ayo!” Dengan senyum di wajah Juwita, ia menarik Julian dan pergi dari kamar itu. Membuat suasana kembali hening seketika. Renata kembali membuka kedua matanya. Menatap dingin dengan amarah bergejolak yang kembali membeludak di dadanya. Ia sudah menekan mati – matian air matanya tadi, sayangnya air mata itu kembali turun tanpa aba. Malam itu, Renata menangis dan meraung seorang diri. Ia bahkan hanya bisa memeluk dirinya sendiri dengan lemah karena efek biusnya masih begitu terasa. Selama ini ia telah melakukan segalanya demi Julian. Ia mengorbankan karirnya yang gemilang hanya untuk menuruti kepuasan Julian. Ia merelakan kesempatan untuk menang pada perlombaan model hanya untuk membuat Julian tidak marah padanya. Renata Aditama, dia adalah putri kedua dari Keluarga Aditama. Ia adalah putri juga pewaris sah dari Keluarga Aditama. Ibunya sudah meninggal, yang ada hannyalah seorang ibu tiri dan kakak tirinya yang bernama Juwita Aditama. Kepergian ibunya begitu membuat Renata sedih. Ia ditinggal ibunya saat usianya masih menginjak 5 tahun. Tapi satu tahun kemudian, ayahnya - Herman Aditya, justru membawa seorang wanita dengan anak perempuan yang hanya berbeda usia 1 tahun darinya. Setelah kedatangan ibu dan saudari tirinya itu, hidup Renata semakin tersiksa. Ia yang sering difitnah agar dimarahi oleh ayahnya, juga beberapa kali sengaja dijebak untuk seolah memperlihatkan jika dirinya adalah seorang anak nakal dengan hati yang kejam. Hubungan yang mulai retak semakin hari semakin melebar. Seolah ada jurang pemisah antara dirinya dan ayahnya. Hingga akhirnya, tepat setelah Renata lulus dari kuliahnya, ia keluar dari rumah Keluarga Aditama dan tidak juga kembali ke sana. Ia merintis menjadi seorang model dengan usahanya sendiri yang akhirnya berhasil. Ia berhasil menjadi model yang dikenal banyak orang tanpa dukungan dari Keluarga Aditama. Tidak sampai di sana, ia bahkan berhasil menyabet beberapa gelar juara bergengsi pada masanya. Namanya disanjung – sanjung di sudut negara. Hanya saja, karir yang cemerlang dan prestasi gemilangnya yang selama ini ia usahakan dengan segenap hati, harus ia serahkan begitu saja pada Juwita. Juwita Aditama adalah kakak tirinya. Semenjak dia datang di kehidupan Renata, dia selalu menjadi penyebab penderitaan Renata. Sejak usia 6 tahun, Renata harus merasakan perasaan yang menyakitkan. Melihat semua hal yang ia miliki satu persatu direbut oleh Juwita . Baik dari barang kesayangan, mainan kesayangan, kamar, bahkan kasih sayang ayah kandungnya sendiri. Di mata orang, dia terkenal menjadi seorang gadis yang baik hati dan berhati malaikat. Tapi hanya Renata yang tahu, di balik wajah malaikat itu tersimpan hati yang segelap iblis. Kemunafikan yang dimiliki oleh Juwita berhasil membuat semua orang terkecoh dan mempercayai dirinya. Dengan hanya sikap manis dan manipulasi kata – kata yang ia lakukan, berhasil membuat Renata menjadi penjahat bahkan di mata ayah kandungnya sendiri. Genggaman erat di tangan Renata kembali menguat saat kembali mengingat kenangan – kenangan pahit yang menyakitkan itu. Dalam hidup ini ia sudah bertekad, dia Renata Aditama, akan membalas orang yang jahat padanya. Ia bersumpah pada dirinya sendiri, tidak akan menyakiti dirinya sendiri hanya untuk menyenangkan orang. Ia juga bersumpah pada dirinya sendiri untuk tidak menyakiti dirinya lagi apapun alasannya. Bahkan sampai pagi hari, Renata belum juga beranjak dari tempatnya. Ia masih termangu disana dengan pemikiran yang bercabang sebelum akhirnya suara ponsel berdering memecah fokusnya. ‘Kriiing ... Kriiing’ Saat ia melihat layar ponsel miliknya, itu adalah nama dari sahabatnya, Joan. “Halo ... Renata. Kau ada dimana? Kenapa kau tidak mengangkat telfon ku semalaman?!”Darah Renata berdesir saat mendengar kalimat ini. Matanya yang sejernih air menatap lekat – lekat mata tajam milik Damian. Mencoba mencari celah kebohongan yang mungkin terlihat di sana. Sayangnya, ia tidak menemukannya sedikitpun. Tatapan itu tampak tajam dan dalam, tapi bukan tatapan kemunafikan yang biasa ia lihat di mata Julian. Renata segera menarik pandangannya dan bergumam pelan, “Terima kasih.”Meski itu terdengar kecil tapi Damian bisa mendengar dengan jelas. Tanpa diketahui oleh Renata, sesungging senyum tipis terlihat di wajah Damian yang jarang sekali terlihat. Dari kursi pengemudi Royan yang melihat senyum tuannya dari kaca tengah, tiba – tiba tanpa sadar mengerem mobil secara mendadak. Membuat Renata hampir jatuh ke depan. Beruntung tangan kekar milik Damian dengan tanggap menangkap tubuhnya. Damian segera melemparkan pandangan dingin pada sekretarisnya itu. Royan hanya bisa merasa punggungnya dingin.Dengan sedikit gemetar Royan menjawab, “M-Maafkan saya Tuan, Nyony
Sesampainya di Lobi apartemen, dering ponsel kembali terdengar. Rahang Renata mengeras saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Ia memilih untuk menolak panggilan itu. Hanya saja, berkali – kali panggilan itu tidak juga berhenti. Membuatnya mengerutkan kening sebelum akhirnya dengan enggan mengangkat panggilan tersebut. ‘’Renata?! Kau ada dimana?! Hari sudah siang dan kau bahkan belum sampai ke kantor?! Tahukah kau, karena keterlambatanmu itu pekerjaan menjadi menumpuk dan beberapa pekerjaan menjadi terbengkalai?!”Bahkan Renata belum sempat memberikan salamnya tapi suara Julian sudah lebih dulu terdengar dengan setengah berteriak dari ujung panggilan.Jika biasanya, Renata akan segera meminta maaf dan terburu – buru ke kantor untuk mengurus semuanya, kali ini dia memilih untuk tetap tenang di tempatnya. Renata masih diam dan dengan santai mendengar semua ocehan yang keluar dari mulut Julian hingga keheningan menyergap keduanya.Setelah menunggu jeda yang agak lama, denga
Joan adalah orang yang selalu berada di samping Renata bahkan saat dirinya menjadi model. Perjuangan Renata untuk meraih posisi itu, tentu Joan tahu dengan betul. Dia adalah saksi hidup yang melihat segala perjalanan sahabatnya ini.Bahkan ketika Renata mengatakan padanya untuk mundur dan menarik diri dari dunia modelling, Joan adalah orang pertama yang paling menentang. Tidak terhitung berapa kali ia mencoba untuk bisa meyakinkan Renata agar tidak menyerah begitu saja pada mimpinya.Hanya saja, ia juga tidak bisa memaksa terlalu jauh. Bagaimanapun keputusan akhirnya ada di tangan Renata saat itu. Sebagai sahabat, ia hanya bisa menghargai keputusan itu meski sangat disesalkan.Sekarang saat mendengar jika sahabatnya itu ingin kembali ke industri fashion, sebagai sahabat ia tentu sangat bahagia. Melebihi kebahagiaan apapun yang ia pernah alami dalam hidup.“Renata, jangan khawatirkan apapun. Lagi pula, kau juga tahu bagaimana aku memiliki sedikit pengaruh dalam dunia itu. Kau bisa memp
Ia sendiri tidak pernah mengira jika Renata akan bisa membalas dirinya. Selama ini Renata hanya akan diam dan membisu jika ia mengatakan apapun di depan orang lain. Bahkan meski dia mengolok – olok Renata, Renata tidak akan berbicara atau bahkan membalas. Ia hanya akan memilih diam, tidak peduli cercaan seperti apa yang mengarah padanya. Juwita mengira jika kali ini akan seperti biasanya. Siapa yang mengira jika Renata justru memiliki sikap yang tidak hanya anggun namun juga tenang dalam mengendalikan keadaan? Ia seperti seorang yang berbeda yang membuat Juwita merasa asing di saat yang bersamaan. Saat ia menoleh ke arah Julian, tatapannya tiba – tiba muram saat mendapati tatapan pria di sisinya itu yang masih menatap sosok Renata yang sudah menjauh dari mereka. Beberapa orang di sekitar berbisik, membuat Juwita segera menarik lengan Julian untuk menyadarkan lamunannya. ‘’Julian, di sini sangat ramai. Mari kita pergi lebih dulu.” Kalimat lembut ini sukses menyadarkan Julia
Sesampainya di depan hotel, Renata menatap mobil Maybach Exelero itu pergi menjauh. Baru setelah mobil itu tidak lagi terlihat ia memasuki lobi dan ingin menghubungi Joan. ‘Bruuuk!’ Tanpa disadari Renata justru menabrak seseorang hingga dirinya mundur dan jatuh ke belakang. “Hati – hati! Sayang, kamu tidak apa?” Suara itu begitu familiar di telinga Renata. Saat ia mendongakkan kepalanya ia justru melihat sosok Julian yang kini memperlihatkan raut khawatirnya pada wanita di sisinya yang tidak lain adalah Juwita, kakak tirinya. Nampak kening Juwita memerah karena benturan yang terjadi. “Kau tidak punya mat ...!” suara Julian tertahan saat melihat siapa wanita yang baru saja menabrak Juwita. Tidak pernah mengira jika Renata justru ada di sini. Bukankah wanita itu seharusnya masih terbaring di tempat tidur? Lalu, kenapa dia sudah ada di sini? Begitu kira – kira yang ada di pikiran Julian. Juwita juga ikut melihat sosoknya. Hanya saja tidak ada sikap canggung atau malu – ma
Baik Renata maupun Royan sama – sama tercenung saat mendengar pertanyaan singkat dari pria luar biasa di depan mereka. Terlebih bagi Renata. Meski ia awalnya hanya asal bicara tapi ia tahu jika ucapannya ini tidak berdasar dan terkesan tidak masuk akal. Dia bahkan bersiap untuk mendengar penolakan dari mulut Damian.Siapa yang mengira jika Damian justru bertanya alasan padanya? Seolah Damian memang mempertimbangkan usulan yang ia kemukakan barusan.‘Gleeek!’ Tanpa sadar Renata menelan ludah dan matanya menatap lekat – lekat wajah tampan bak patung itu tanpa berkedip. Ia menarik nafas dalam – dalam sebelum mulutnya kembali membuka, “Karena saya juga butuh seseorang yang bisa melindungi saya yang juga berada di pihak saya. Saya tidak tahu alasan Anda untuk mencari istri, hanya saja saya bisa menjadi istri yang Anda butuhkan.”“Istri yang aku butuhkan? Apakah kau tahu istri apa yang aku butuhkan?” Damian justru bertanya dengan ruat wajah tidak tertebak. Namun matanya yang tajam bagaika







