LOGIN
“Sayang ... pelan sedikit!” Suara lembut dan menggoda tiba – tiba terdengar dari ruangan samping, tatkala Renata mulai siuman dari pingsannya.
“Ah ... sayang! Bagaimana bisa kamu tampak begitu menggoda seperti ini?! Kamu benar – benar luar biasa, sayang.” suara seorang pria dengan nafas sedikit tertahanan kembali menyapa indera pendengaran Renata. Saat membuka matanya, Renata merasa kepalanya seperti dihantam oleh sesuatu. Terasa sakit tapi juga menekan. Pandangannya berbayang saat melihat ke sekitar. Butuh waktu beberapa saat untuk bisa menormalkan penglihatannya. Saat ia tersadar, rupanya ia berada di ruangan yang tidak asing. Ruangan yang beberapa hari lalu ia pesan atas namanya. Ruangan yang akan ia gunakan untuk menghabiskan waktu bersama tunangan sekaligus orang yang paling berarti dalam hidupnya. Hanya saja, saat ia melihat ke segala sudut yang sunyi itu, ia sedikit mengernyitkan kening. Matanya yang sejernih air melihat ke semua arah, mencari sosok yang seharusnya ada di sana. Bersamanya. Sayangnya, tidak peduli seberapa ia berusaha mencari, sosok itu tidak juga ia temukan. Saat ia bertanya – tanya kemana sosok yang seharusnya ada itu berada, telinganya kembali menangkap pembicaraan dua orang dari luar. Membuat Renata kaku di tempatnya. Ia bahkan belum sempat merespon apa yang saat ini terjadi tetapi telinganya kembali mendengar percakapan dari dua orang yang berada di luar ruangan itu. “Sayang, bagaimana jika Renata terbangun dari pingsannya?’’ Meski kalimatnya terdengar khawatir, tapi siapapun yang mendengar nadanya akan merasa jika perempuan itu sangat menikmati momen saat ini. “Jangan khawatir. Dia tidak akan bangun sampai besok pagi. Aku sudah memberikan obat bius dosis tinggi untuknya. Akan lebih bagus jika dia tidak bangun selamanya.” Hati Renata berdesir saat mendengar percakapan dua orang itu. Ia berpikir jika dirinya mungkin saja mabuk hingga berhalusinasi mendengar suara – suara yang tidak seharusnya ada. Hanya saja derit ranjang dari ruangan samping tidak juga berhenti dan justru semakin terdengar intens. Diiringi suara geraman dan desahan yang saling menyahut satu sama lain. Renata sendiri masih termangu di tempatnya. Kepalanya berdengung hingga ia tidak tahu harus memroses semua ini seperti apa. Tentu saja ia sangat mengenali suara dua orang yang tengah bercumbu itu. Satunya adalah suara yang dimiliki oleh orang yang paling ia benci dalam hidup, satunya lagi adalah suara milik orang yang sangat ia cintai selama ini. Pria itu adalah Julian, tunangannya, sekaligus orang yang begitu berarti dalam hidupnya. Sementara perempuan yang tengah bercumbu dengan tunangannya itu adalah Juwita. Wanita yang ia benci. “Tidak mungkin ...” gumam Renata pelan. Meski sudah mendengar percakapan dua orang itu Renata masih ingin memastikan sesuatu. Dengan begitu, ia tetap menyeret tubuhnya yang masih sangat lemah untuk keluar dan melihat sendiri apa yang terjadi di sana. Memanfaatkan celah pintu yang terbuka, Renata bisa melihat aktivitas yang dilakukan dua orang di sana. Mereka tengah bergumul dan menikmati momen intim mereka tanpa peduli sekitar. Mata Renata melebar, air mata terjatuh begitu saja sementara mulutnya terkunci rapat. Pemandangan yang terpampang di depannya ini bagaikan pukulan telak baginya. ‘Buugh’ kedua kaki Renata lemas hingga membuatnya jatuh ke lantai. Mungkin karena kedua orang di depannya itu asik dengan dunia mereka, mereka bahkan tidak menyadari suara benturan yang terdengar. Dengan pelan Renata menyenderkan tubuhnya yang lemah ke balik dinding. Matanya kosong tapi ia merasa hatinya seperti dicabik – cabik. Merasa seluruh dunianya gelap. Ia tidak pernah menyangka bahkan dalam mimpi terburuknya, ia akan mengalami pengkhianatan dari orang yang ia percayai selama ini. Butuh waktu selama satu jam bagi dua orang di luar menyelesaikan aktivitasnya. Sementara Renata masih bersandar lemah di dinding dengan posisi yang masih sama. “Sayang, tadi sangat luar biasa. Terima kasih.” Suara Julian terdengar dengan nafas yang terdengar masih memburu. Sementara Juwita menjawab dengan nafas yang tersengal dan nada yang menggoda, “Aku bahagia jika kamu senang. Sayang ... sebenarnya sampai kapan kita akan berhubungan diam – diam seperti ini? Hatiku sakit saat melihat kamu yang harus berduaan dengan Renata.” Suara kecupan terdengar sebelum Julian menjawab, “Tenang saja. Sebentar lagi aku akan memutuskannya. Sejujurnya aku juga sudah tidak kuat jika harus terus bersikap baik dengannya. Menjengkelkan! Jika bukan karena pertunangan yang sudah dirancang itu aku tidak akan sudi bersikap baik padanya.” dengan nada mengandung rasa jijik yang terdengar jelas, Julian menjawab. Juwita pun ikut menambahkan dengan nada yang terdengar khawatir, “Meski begitu, kita perlu berhati – hati agar pemutusan pertunangan ini tidak membuat dampak negatif pada Keluarga Herlambang” “Sayang ... kamu bisa mempercayaiku. Kali ini keputusanku dan jalan yang ku ambil tidak akan salah. Aku sudah merancang semuanya untuk memutuskan pertunangan sialan ini tanpa perlu membuat Keluarga Herlambang dalam bahaya.” Dan seluruh percakapan ini sudah didengar oleh Renata. Ia bahkan sudah kembali ke ranjangnya dan merekam semuanya. Dengan tatapan dingin dan penuh dendam, Renata bergumam dalam hati, “Julian, Juwita, aku akan mengingat ini dengan baik!”Darah Renata berdesir saat mendengar kalimat ini. Matanya yang sejernih air menatap lekat – lekat mata tajam milik Damian. Mencoba mencari celah kebohongan yang mungkin terlihat di sana. Sayangnya, ia tidak menemukannya sedikitpun. Tatapan itu tampak tajam dan dalam, tapi bukan tatapan kemunafikan yang biasa ia lihat di mata Julian. Renata segera menarik pandangannya dan bergumam pelan, “Terima kasih.”Meski itu terdengar kecil tapi Damian bisa mendengar dengan jelas. Tanpa diketahui oleh Renata, sesungging senyum tipis terlihat di wajah Damian yang jarang sekali terlihat. Dari kursi pengemudi Royan yang melihat senyum tuannya dari kaca tengah, tiba – tiba tanpa sadar mengerem mobil secara mendadak. Membuat Renata hampir jatuh ke depan. Beruntung tangan kekar milik Damian dengan tanggap menangkap tubuhnya. Damian segera melemparkan pandangan dingin pada sekretarisnya itu. Royan hanya bisa merasa punggungnya dingin.Dengan sedikit gemetar Royan menjawab, “M-Maafkan saya Tuan, Nyony
Sesampainya di Lobi apartemen, dering ponsel kembali terdengar. Rahang Renata mengeras saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Ia memilih untuk menolak panggilan itu. Hanya saja, berkali – kali panggilan itu tidak juga berhenti. Membuatnya mengerutkan kening sebelum akhirnya dengan enggan mengangkat panggilan tersebut. ‘’Renata?! Kau ada dimana?! Hari sudah siang dan kau bahkan belum sampai ke kantor?! Tahukah kau, karena keterlambatanmu itu pekerjaan menjadi menumpuk dan beberapa pekerjaan menjadi terbengkalai?!”Bahkan Renata belum sempat memberikan salamnya tapi suara Julian sudah lebih dulu terdengar dengan setengah berteriak dari ujung panggilan.Jika biasanya, Renata akan segera meminta maaf dan terburu – buru ke kantor untuk mengurus semuanya, kali ini dia memilih untuk tetap tenang di tempatnya. Renata masih diam dan dengan santai mendengar semua ocehan yang keluar dari mulut Julian hingga keheningan menyergap keduanya.Setelah menunggu jeda yang agak lama, denga
Joan adalah orang yang selalu berada di samping Renata bahkan saat dirinya menjadi model. Perjuangan Renata untuk meraih posisi itu, tentu Joan tahu dengan betul. Dia adalah saksi hidup yang melihat segala perjalanan sahabatnya ini.Bahkan ketika Renata mengatakan padanya untuk mundur dan menarik diri dari dunia modelling, Joan adalah orang pertama yang paling menentang. Tidak terhitung berapa kali ia mencoba untuk bisa meyakinkan Renata agar tidak menyerah begitu saja pada mimpinya.Hanya saja, ia juga tidak bisa memaksa terlalu jauh. Bagaimanapun keputusan akhirnya ada di tangan Renata saat itu. Sebagai sahabat, ia hanya bisa menghargai keputusan itu meski sangat disesalkan.Sekarang saat mendengar jika sahabatnya itu ingin kembali ke industri fashion, sebagai sahabat ia tentu sangat bahagia. Melebihi kebahagiaan apapun yang ia pernah alami dalam hidup.“Renata, jangan khawatirkan apapun. Lagi pula, kau juga tahu bagaimana aku memiliki sedikit pengaruh dalam dunia itu. Kau bisa memp
Ia sendiri tidak pernah mengira jika Renata akan bisa membalas dirinya. Selama ini Renata hanya akan diam dan membisu jika ia mengatakan apapun di depan orang lain. Bahkan meski dia mengolok – olok Renata, Renata tidak akan berbicara atau bahkan membalas. Ia hanya akan memilih diam, tidak peduli cercaan seperti apa yang mengarah padanya. Juwita mengira jika kali ini akan seperti biasanya. Siapa yang mengira jika Renata justru memiliki sikap yang tidak hanya anggun namun juga tenang dalam mengendalikan keadaan? Ia seperti seorang yang berbeda yang membuat Juwita merasa asing di saat yang bersamaan. Saat ia menoleh ke arah Julian, tatapannya tiba – tiba muram saat mendapati tatapan pria di sisinya itu yang masih menatap sosok Renata yang sudah menjauh dari mereka. Beberapa orang di sekitar berbisik, membuat Juwita segera menarik lengan Julian untuk menyadarkan lamunannya. ‘’Julian, di sini sangat ramai. Mari kita pergi lebih dulu.” Kalimat lembut ini sukses menyadarkan Julia
Sesampainya di depan hotel, Renata menatap mobil Maybach Exelero itu pergi menjauh. Baru setelah mobil itu tidak lagi terlihat ia memasuki lobi dan ingin menghubungi Joan. ‘Bruuuk!’ Tanpa disadari Renata justru menabrak seseorang hingga dirinya mundur dan jatuh ke belakang. “Hati – hati! Sayang, kamu tidak apa?” Suara itu begitu familiar di telinga Renata. Saat ia mendongakkan kepalanya ia justru melihat sosok Julian yang kini memperlihatkan raut khawatirnya pada wanita di sisinya yang tidak lain adalah Juwita, kakak tirinya. Nampak kening Juwita memerah karena benturan yang terjadi. “Kau tidak punya mat ...!” suara Julian tertahan saat melihat siapa wanita yang baru saja menabrak Juwita. Tidak pernah mengira jika Renata justru ada di sini. Bukankah wanita itu seharusnya masih terbaring di tempat tidur? Lalu, kenapa dia sudah ada di sini? Begitu kira – kira yang ada di pikiran Julian. Juwita juga ikut melihat sosoknya. Hanya saja tidak ada sikap canggung atau malu – ma
Baik Renata maupun Royan sama – sama tercenung saat mendengar pertanyaan singkat dari pria luar biasa di depan mereka. Terlebih bagi Renata. Meski ia awalnya hanya asal bicara tapi ia tahu jika ucapannya ini tidak berdasar dan terkesan tidak masuk akal. Dia bahkan bersiap untuk mendengar penolakan dari mulut Damian.Siapa yang mengira jika Damian justru bertanya alasan padanya? Seolah Damian memang mempertimbangkan usulan yang ia kemukakan barusan.‘Gleeek!’ Tanpa sadar Renata menelan ludah dan matanya menatap lekat – lekat wajah tampan bak patung itu tanpa berkedip. Ia menarik nafas dalam – dalam sebelum mulutnya kembali membuka, “Karena saya juga butuh seseorang yang bisa melindungi saya yang juga berada di pihak saya. Saya tidak tahu alasan Anda untuk mencari istri, hanya saja saya bisa menjadi istri yang Anda butuhkan.”“Istri yang aku butuhkan? Apakah kau tahu istri apa yang aku butuhkan?” Damian justru bertanya dengan ruat wajah tidak tertebak. Namun matanya yang tajam bagaika







