Beranda / Romansa / Hasrat Cinta Tuan William / 1. Mulai Saat Ini Kau Milikku

Share

Hasrat Cinta Tuan William
Hasrat Cinta Tuan William
Penulis: Dien Madaharsa

1. Mulai Saat Ini Kau Milikku

Penulis: Dien Madaharsa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-16 17:47:59

“Lepaskan aku!”

Teriakan Lira teredam oleh derasnya hujan. Tubuhnya yang kurus berusaha meronta, namun cengkeraman kasar di lengannya tak goyah sedikit pun.

“Diam! Dasar gadis tidak tahu diuntung, beraninya kau berusaha kabur dariku!” geram sang ayah dengan wajah penuh amarah. Dia menyeret Lira yang terus meronta hingga sampai ke rumah, tidak peduli betapa banyak luka yang terbentuk akibat Lira yang sempat terjatuh beberapa kali di aspal.

Saat sampai di rumah, sang ayah mendorong pintu hingga terbuka keras. 

“Tuan William! Aku sudah menangkapnya!” seru ayah Lira dengan bersemangat, terdengar sangat sungkan dan sopan, jauh berbeda dari biasanya.

Di saat itu, Lira memicingkan mata untuk melihat sosok asing yang terduduk di sofa ruang tamunya. Dan saat matanya menangkap wujud sosok asing itu, dia mematung.

Rambut hitam yang tertata rapi, rahang tegas memesona, garis wajah tampan, dan sorot mata tajam yang langsung membuat udara di ruangan seolah membeku. Patut Lira akui, pria itu adalah salah satu pria paling tampan yang pernah dia lihat dalam hidupnya. 

Dilengkapi dengan jas dan celana bahan mewah yang menonjolkan betapa jenjang kaki pria tersebut—menunjukkan bahwa dia bukan orang biasa.

Selagi Lira terbengong, pria itu melirik tajam ke arahnya dan sang ayah. “Dia putrimu?”

Belum sempat Lira memahami siapa pria itu, tubuhnya didorong keras oleh sang ayah hingga terjerembap ke lantai, tepat di depan kaki pria asing itu. Rasa sakit menjalar ke lutut, namun yang lebih perih adalah rasa terhina.

“Ya, Tuan, ambil saja dia. Dia pasti berguna untukmu!” ucap ayah Lira dengan mata berbinar. “Bagaimana? Dia sesuai dengan yang Anda cari, bukan? Usianya masih 18 tahun.” 

Lira terpaku. Apakah sang ayah sedang menjualnya kepada pria ini?

“Aku tidak mau!” seru Lira dengan lantang, menarik perhatian dua pria dalam ruangan.

“Jangan melawan, dasar jalang kecil!” Sang ayah menjambak rambut Lira dari belakang, kemudian memaksanya untuk berlutut. “Bersikap yang sopan di depan Tuan William! Ke depannya, kau akan melayaninya!”

“Kubilang aku tidak mau!” Lira memberontak, setengah merengek setengah kesakitan, sambil memegangi tangan ayahnya di kepalanya. “Hidupku adalah milikku, kau tidak berhak menjualku seperti ini! Kalau kau mau, kenapa tidak jual saja dirimu kepada pria ini!?”

Plak! 

Suara tamparan terdengar, tapi Lira yang menutup mata tak merasakan sakit. Perlahan ia membuka mata, terkejut melihat tangan sang ayah terhenti di udara. Ternyata, pria asing itu menahan tangannya!

“Jangan menyentuhnya.” Suara pria itu tenang, namun setiap kata seperti membawa ancaman. Pandangannya bergeser sekilas pada Lira, lalu kembali pada sang ayah. “Kau menyerahkannya padaku, bukan? Kalau begitu, dia harus tetap utuh. Bagaimana bisa aku menerima sesuatu yang sudah rusak?”

Ayah Lira langsung menarik tangannya, wajahnya pucat pasi. Tanpa pikir panjang, dia merunduk, hampir bersujud. “Maafkan saya, Tuan William….”

Lira kaget. Sang ayah, yang selama ini selalu berlaku kasar dan arogan, kini tampak ciut seperti seekor tikus di hadapan pria bernama William itu. Rasa heran bercampur takut menyergap hatinya.

Siapa sebenarnya pria itu?

William berdiri, langkahnya pelan namun mantap menghampiri Lira yang masih meringkuk di lantai. Jemarinya yang panjang terulur, menangkap dagu Lira dan memaksanya mendongak.

Untuk pertama kalinya, Lira melihat jelas matanya. Mata kelabu, dingin, seolah menyimpan pusaran badai di balik sana. Tanpa dijelaskan, dalam hati Lira paham, pria ini sangat berbahaya. Seperti badai yang tenang sebelum meledakkan petirnya, siap menghancurkan siapa pun yang menentang.

“Kau sangat muda. Pernah bekerja sebelumnya?” tanya pria itu.

Sebelum Lira sempat menjawab, ayahnya sudah lebih dulu buka suara. “Dia bekerja sepanjang waktu,” ujarnya cepat, seolah siap menyebutkan seratus pekerjaan yang bisa dilakukan Lira. “Dia gesit, cekatan, dan suka kebersihan. Dia juga bisa membetulkan ledeng, atap rumah bocor, dan tidak takut dengan banyak hal. Sebenarnya saya agak sayang kalau harus melepasnya, tapi saya tahu Anda lebih menginginkannya daripada saya.”

“Tidak takut dengan banyak hal?” William mengulang, suaranya datar namun mengandung tekanan. Tatapannya menyapu wajah Lira perlahan, menelusuri matanya, hidungnya, pipinya, hingga bibirnya. “Apa artinya… dia berani untuk melawanku?”

“Maaf, Tuan William!” sang ayah segera membungkuk dalam-dalam, panik. “Dia… dia memang agak … liar, tetapi dengan sedikit didikan dan kekerasan, dia akan tunduk.”

“Kau kira aku anjing?” Lira berdesis, tatapannya membara penuh amarah.

William terdiam sejenak, lalu mendengkus tawa pendek yang dingin. “Kalau begitu, aku akan menerimanya.” Jemarinya terlepas dari dagu Lira, tubuhnya tegak berdiri menjulang. “Aku suka mendidik hewan liar agar tunduk,” imbuhnya, senyum tipis menggores wajahnya yang tampan sekaligus berbahaya.

Darah Lira mendidih. Hinaan itu menusuk lebih dalam dari tamparan mana pun. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit dengan sisa tenaga, melayangkan tinjunya lurus ke wajah William. 

Lira ingin lihat bagaimana pria itu akan menjinakkannya!

Grab!

Tidak Lira duga, tangannya terhenti di udara, tergenggam kuat oleh tangan William. Pria itu menaikkan alis. “Kau…” sudut bibirnya terangkat ke atas—terhibur, “…begitu tak sabar untuk dilatih olehku?”

Dengan mudah, William menghempaskan tangan Lira, membuat tubuh gadis itu kembali menghantam lantai. Namun, alih-alih takut atau tunduk, Lira hanya meringis kesakitan sebentar, sebelum mendelik ke arah pria itu.

Menatap Lira dari atas, sorot kelabu William tampak puas. “Keras kepala,” gumamnya, seakan sedang menilai seekor binatang buruan. “Menarik.”

Tersadar dari kegilaan yang putrinya coba untuk lakukan, Ayah Lira buru-buru maju, wajahnya pucat. “M-maafkan dia, Tuan William! Saya jamin dia tidak akan berani macam-macam lagi. Saya akan pastikan dia—”

“Cukup.” William mengangkat tangannya, menghentikan ocehan itu. Tatapannya tak pernah lepas dari Lira yang tergeletak. “Mulai saat ini, dia bukan milikmu lagi. Dan kau…” Suaranya berat, setiap kata terasa seperti perintah mutlak. “…tidak berhak lagi menyentuhnya, apalagi memutuskan apa yang harus dia lakukan.”

Ayah Lira terdiam, rahangnya mengeras menahan ketakutan. Sementara itu, dada Lira bergemuruh. Ketakutan, kemarahan, sekaligus rasa asing yang tak bisa ia jelaskan bergumul menjadi satu.

Pria itu berbalik sejenak, memberikan perintah singkat pada seorang bawahan yang entah sejak kapan sudah menunggu di pojok ruangan. 

“Siapkan mobil. Kita berangkat malam ini.”

Jantung Lira mencelos. Malam ini juga? Ke mana ia akan dibawa?

Namun sebelum sempat ia bertanya, William kembali menunduk, menatapnya dalam-dalam.

“Bangkitlah, anjing kecil. Mulai saat ini, kau milikku.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Cinta Tuan William   73. Tawa di Dalam Kamar Rumah Sakit

    Koridor rumah sakit masih berbau alkohol dan disinfektan ketika Lira kembali dari mesin kopi otomatis. Gelas kertas yang ia genggam berembun hangat di telapak tangan—aroma kopi instan tercium samar. Ia menahan napas sejenak di depan pintu ruang rawat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang sejak tadi tak bisa tenang.Ia membuka pintu perlahan.Dan dunia berhenti.“T-Tuan William…?”William duduk bersandar di ranjang, mata cokelatnya terbuka, tenang… hidup. Walau wajahnya pucat dan bibirnya kering, dia tersenyum kecil saat melihat Lira.“Lira.”Gelas kopi hampir terjatuh dari tangan gadis itu.“Ya Tuhan—Tuan!! Tuan bangun?! Kenapa bangun sekarang?! Maksudnya bukan kenapa—tapi—Tuan sadar?! Apakah Tuan merasa pusing? Apa Tuan haus? Apa saya harus panggil dokter? Atau—”“Lira.”William mengangkat tangan lemah, matanya mengerjap geli.“Pelan-pelan bicaranya. Aku hanya bangun dari pingsan, bukan kembali setelah diculik mesin waktu.”Lira memelototinya, kemudian tersenyum gemetar. “Saya…

  • Hasrat Cinta Tuan William   72. Berikan Aku Seorang Cucu

    Ruang rawat itu sunyi, hanya sesekali berbunyi pelan: beep… beep… beep… dari monitor detak jantung. Lampu redup membuat seluruh ruangan tampak lembut, namun tidak menenangkan. Lira duduk di kursi samping ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya tetap utuh.William masih tidak sadarkan diri. Napasnya naik turun pelan melalui selang oksigen, wajahnya pucat namun tetap… luar biasa tampan.Lira mengembuskan napas yang tidak ia sadari sedang ia tahan. Tatapannya menelusuri garis rahang William yang tegas, turun ke leher, lalu kembali ke wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia memperhatikan William bukan sebagai korban luka… tetapi sebagai seseorang yang begitu—luar biasa tampan.Perasaan bersalah langsung menusuk dadanya.Namun ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya.“Kalau Anda sadar… pasti Anda akan mentertawakan saya,” bisiknya lirih.Karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dan karena ia telah menangis

  • Hasrat Cinta Tuan William   71. Berjuang Kembali Hidup

    Sirene meraung dari kejauhan. Cahaya merah-biru menembus ventilasi ruang bawah tanah yang kelam sebelum akhirnya polisi menyerbu masuk melalui pintu sempit di ujung ruangan. “ANGKAT TANGAN! SEMUA BERHENTI DI TEMPAT!” Para kroni Darren yang tersisa langsung dikunci geraknya. Dua di antaranya mencoba kabur, namun ditangkap dengan cepat. Sementara itu, Darren—yang terhuyung-huyung dan juga merembeskan darah dari lengannya—melompat ke sisi ruangan, dengan gerakan gesit, menabrak polisi dengan keras dan langsung berlari naik ke pintu. “HEI! JANGAN BIARKAN DIA LARI!” Beberapa polisi mengejarnya seraya mengacungkan pistol, namun lorong sempit itu dipenuhi perkakas dan juga cukup gelap. Darren menghilang begitu cepat seperti bayangan yang menelan dirinya sendiri. “Target kabur!” salah satu polisi mengumpat, kemudian melapor pada perangkat komunikasinya, "Cegah dia di gang utama. Jangan sampai lolos!"Sementara kekacauan itu melebur menjadi sebentuk suara berisik, untuk Lira, semua suar

  • Hasrat Cinta Tuan William   70. Gelap Menelan Semuanya

    Begitu Darren ambruk di atasnya, Lira langsung meraup napas banyak. Gadis itu buru-buru bangkit seraya menendang Darren agar menyingkir dari tubuhnya, kemudian dia mendongak—di antara cengkeraman kegelapan, menatap seorang pria berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu mengulurkan tangan pada Lira. "Akhirnya kau ketemu." "Tuan William!" Lira senang tidak terkira, kemudian segera memeluk William begitu erat. Tangisannya pecah seperti kembang api; gadis itu meraung di dada William sampai dadanya sakit. "Kau baik-baik saja? Apa orang-orang ini melukaimu?" William mengusap punggung Lira dengan tekanan lembut, seperti sedang menenangkan bayi. Lira akhirnya melepas pelukannya dan menatap William. "Saya lelah, Tuan.... saya...." "Ya, ya, maafkan aku. Jangan bicara dulu," William mengusap pundak Lira, kemudian menatap memicing pada bayangan gelap di ambang pintu bawah tanah. Sekelompok pria bersetelan hitam tahu-tahu membekuk mereka di tengah kegelapan. "Beraninya kau menyusup

  • Hasrat Cinta Tuan William   69. Lebih Baik Kau Mati

    "Sialan, si bajingan itu memakai jaketku tanpa izin!" Darren menyimpan serapah setelah membuang jaket miliknya yang tergantung di sofa ruang tengah. Olivia yang datang dari arah dapur menghampirinya sambil bergelayut manja di lengan Darren. "Siapa bajingan yang kau maksud, Sayang?" tanya Olivia. "Kemal. Siapa lagi? Jaketku bau busuk! Seperti bau badannya yang tidak mandi berhari-hari! Aku tidak sudi menggunakan pakaian itu lagi!"Olivia terkekeh, lalu memungut jaket itu dari lantai. "Sudah kubilang, bukan? Kalau kau datang kemari, jangan sesekali mengenakan pakaian bagus dan mahal. Kau menampung satu gelandangan dan satu orang kampung di sini. Aromamu yang mahal tidak cocok bersatu dengan mereka.""Yeah, tapi kau tahu aku harus berpakaian sempurna di mana pun. Lagi pula tempat ini adalah rumahku—markas rahasiaku! Aku bebas keluar masuk di dalamnya!" Darren mendekati Olivia dan mengusap pipi kekasihnya dengan lembut, kemudian dia menciumi bibir Olivia berkali-kali, membuat gadis itu

  • Hasrat Cinta Tuan William   68. Kita Temukan Bajingan Itu

    Mobil William memasuki halaman luas kediaman Archen. Pria itu turun dan melenggang menaiki undakan teras yang megah, dan begitu sampai tepat di depan ambang, pintu ganda yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka dari dalam. "Will, tidak kusangka kau akan datang menemuiku lagi." Tuan Archen menatap William dengan pandangan bingung sekaligus resah. Ada yang tidak beres dengan putranya kali ini. "Kau baik-baik saja, Will? Wajahmu pucat.""Ayah sudah mendapat kabar di mana Lira?" William tidak menanggapi segala pertanyaan yang menyinggung kondisinya. Saat ini ada urusan yang lebih penting: keberadaan Lira. Tuan Archen berdeham, kemudian mempersilakan William masuk. Selagi mereka berdua melangkah menuju ruang tamu, sang tuan besar menjawab, "Ada petunjuk kecil yang ditemukan salah satu anak buah, tapi itu belum cukup untuk mengetahui di mana Lira.""Petunjuk yang seperti apa?"Tuan Archen berbalik menghadap putranya. "Hari Kamis, sekitar tiga hari lalu, kami menangkap rekaman CCTV yang m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status