Beranda / Romansa / Hasrat Cinta Tuan William / 2. Tanggalkan Pakaianmu

Share

2. Tanggalkan Pakaianmu

Penulis: Dien Madaharsa
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-16 17:49:16

Hujan telah reda ketika sebuah Lamborghini Aventador putih memasuki halaman pemukiman mansion keluarga Frederick. Ketika pintu belakang terbuka, seorang pengawal pria menarik paksa Lira agar keluar dari mobil. Gadis itu berusaha memberontak, tetapi fokusnya mendadak terdistraksi oleh sesuatu yang tampak di depannya. 

Sebuah mansion, hampir menyerupai kastil mini bergaya Eropa, berdiri megah di hamparan tanah luas yang dilatari perbukitan hijau. Lira tengadah sambil menjatuhkan rahang, belum pernah melihat bangunan seluas dan seglamor ini. 

Sebuah patung malaikat dibangun di sudut-sudut halaman yang dikelilingi taman berliku seperti labirin, pepohonan berbagai rupa dan dekorasi, kolam renang dengan air mancur, dan paviliun-paviliun yang tersebar di penjuru kawasan mansion. Saking tersihir dengan miniatur surgawi ini, Lira bungkam seribu kata. 

Kesadarannya baru muncul ketika pengawal di sampingnya menyuruhnya agar bergegas. “Cepat jalan!”

Di titik ini, benaknya menjeritkan sejuta pertanyaan, tetapi Lira berusaha sabar. Dia harus melihat situasi dulu sebelum merencanakan strategi untuk kabur. 

Maka, kendati marah, Lira pasrah saja membiarkan dirinya didorong-dorong maju. 

Dia melangkah tepat di belakang William, yang tidak sekali pun menengok ke belakang untuk memeriksanya. Satu hal yang Lira sadari, setiap langkah yang dijejak oleh pria itu meninggalkan aroma unik parfum yang khas—mengingatkan Lira dengan wangi hutan yang basah, zaitun, dan rempah-rempah liar. Dia masih memikirkan aroma apa lagi yang terselip dalam tubuh William ketika kakinya hampir tersandung undakan tangga. 

“Perhatikan jalannya, dasar bocah!” bentak pengawal di belakangnya, terdengar kecut dan merendahkan. Lira menahan-nahan untuk tidak menonjok hidung pria satu ini. 

Begitu sampai di depan teras, pintu ganda di hadapan mereka terbuka dari dalam. Lira terkesiap saat disambut oleh kira-kira selusin pelayan yang berbaris di samping kanan dan kiri seraya menundukkan kepala. 

Seorang wanita berusia pertengahan empat puluh mendekat dari ujung barisan. mengenakan kacamata, dengan wajah keibuan dan rambut yang disanggul di belakang kepala. Wanita itu menatap Lira sekilas, kemudian menunduk sopan pada William. 

“Selamat datang, Tuan. Saya sudah menyiapkan apa yang Tuan minta.” 

“Bawa anak ini ke tempat biasa. Sepuluh menit lagi aku ke sana.” 

Lalu tanpa menunggu jawaban dari si wanita berkacamata, William meninggalkan tempat itu dengan melangkah ke koridor di sayap kiri mansion. Seorang pelayan keluar dari barisan, mengikutinya dari belakang, dengan gerakan lincah menengadahkan tangan untuk menangkap jas yang baru saja dilempar William. 

Lira yang menatap hal itu hanya bisa melongo. 

“Nona,” Tiba-tiba saja wanita berkacamata tadi mengajaknya bicara, sambil tersenyum sedikit membungkuk. “Perkenalkan, nama saya Annalise, kepala pelayan di mansion ini. Sayalah yang akan memandu Nona selama ada di sini.”

“A-ah ….” Lira tergagap. Matanya sibuk jelalatan ke penjuru mansion karena terpana dengan semua pemandangan ini. Selusin pelayan berseragam, perabotan mewah dengan ukuran dan pola rumit, lampu kristal yang menggantung megah, lantai marmer, dan apa di seberang sana? Sebidang dinding yang penuh pigura-pigura pencapaian? 

“Anda sudah tahu tentang Tuan William, saya kira,” ujar Annalise. 

Lira mengerutkan kening. “Yang saya tahu, dia bedebah kurang ajar.” 

Bisik-bisik dari para pelayan langsung merebak bagaikan cicitan tikus. Lira tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, tetapi dari nada dan raut wajahnya, mereka semua tampak gelisah, tidak habis pikir, bahkan ada yang terlihat panik. 

‘Ada apa sih?’

Annalise langsung mengoreksi, “Nona, Tuan William adalah fashion designer sekaligus pemilik rumah mode Asvara yang menjadi satu dari sepuluh brand teratas paling bergengsi di dunia. Semua orang mengenal dan tunduk padanya. Dia bisa mengangkat orang ke puncak, atau menjatuhkannya ke jurang dalam semalam. Karena itu…” Annalise menahan kalimatnya, “… sebaiknya jaga sikap dan jangan memancing amarahnya.”

“Daripada menyuruh saya jaga sikap, harusnya Anda yang menyuruh si parlente itu agar bersikap sopan—hmmph!” 

Annalise tiba-tiba membungkam mulut Lira dengan tangannya, kemudian menyeretnya pergi dari tempat itu, meninggalkan para pelayan yang sibuk membicarakannya seperti burung kelaparan, menuju kawasan luar yang dinaungi kegelapan malam. Di sepanjang rute berbatu taman, Lira memberontak dan memukul-mukul lengan Annalise, tetapi tenaga ibu-ibu satu ini sangat kuat. 

Annalise baru melepaskan bungkamannya ketika sudah mencapai separuh perjalanan. 

“Hahhh! Aku tidak bisa bernapas! Apa yang Anda lakukan barusan, hah?”

Annalise melap tangannya menggunakan saputangan. Lira memandang adegan itu dengan sorot tersinggung sekaligus marah. 

“Percayalah, Nona, saya baru saja menyelamatkan Anda.” Suaranya seperti agak jengkel. “Sekarang ikut saya.”

“Tidak mau! Anda harus menjawab pertanyaan saya dulu; KENAPA SAYA DIBAWA KEMARI?” 

“Jawabannya ada di tempat itu.” Dia menunjuk sebuah bangunan lebih kecil yang berdiri secara terpisah tidak jauh dari rumah utama. 

“Apa yang ada di dalamnya?”

“Anda akan tahu sendiri nanti. Sekarang cepat, sebentar lagi Tuan William akan datang. Anda harus sudah berada di sana sebelum beliau.”

Begitu memasuki bangunan itu, Lira disuguhkan dengan pemandangan yang jauh berbeda dari rumah utama. Interior di dalam sini terlihat lebih sederhana dan modern, bernuansa putih yang hangat dan sedikit redup. Seperti sebuah studio runway kecil. 

Ada sebuah panggung berbentuk T yang digelar di tengah-tengah, beserta panel-panel lampu yang menyala di sepanjangnya. Di sekeliling ruangan, ada kotak-kotak kaca yang memajang manekin dengan busana beraneka rupa—kebanyakan adalah gaun dengan model elegan yang menonjolkan kelembutan dan keanggunan wanita. 

‘Tempat apa ini?’

“Nona, berdirilah di panggung sana.” 

“Tidak!” 

“Tuan William sudah datang,” Annalise mengumumkan. 

Selang beberapa detik kemudian, wangi itu menghambur lagi ke hidung Lira. Aroma William—kayu dan vetiver hutan yang liar sekaligus sensual. Mendadak saja pria itu sudah melenggang masuk ke dalam studio, dengan pakaian yang berbeda. Bukan lagi kemeja formal dan jas, melainkan sweater hitam berleher botol dengan kedua lengan disingsingkan sampai siku. 

William tampak tidak terpengaruh dengan tatapan bengis Lira. Dia menatap Annalise dan memberi gestur agar wanita itu keluar. 

Dengan kekuatan penuh, Annalise mendorong Lira agar berdiri ke tengah panggung, kemudian menghampiri pintu keluar dan menutupnya dengan bunyi debum keras. 

Sekarang, hanya ada Lira dan William saja. 

Panik menjalar sampai ke ubun-ubunnya. Lira mencoba kabur lagi menuju pintu, tetapi William menangkap tubuhnya dengan tangkas. Pantang menyerah, Gadis itu mengayunkan pukulan ke wajah William, tetapi kepalannya ditangkis lagi dengan mudah. Setelahnya, tubuh Lira didorong hingga gadis itu tersungkur ke lantai. 

William berdiri menjulang di hadapannya. Tatapannya segelap palung sunyi di lautan. 

“Tanggalkan pakaianmu.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hasrat Cinta Tuan William   73. Tawa di Dalam Kamar Rumah Sakit

    Koridor rumah sakit masih berbau alkohol dan disinfektan ketika Lira kembali dari mesin kopi otomatis. Gelas kertas yang ia genggam berembun hangat di telapak tangan—aroma kopi instan tercium samar. Ia menahan napas sejenak di depan pintu ruang rawat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang sejak tadi tak bisa tenang.Ia membuka pintu perlahan.Dan dunia berhenti.“T-Tuan William…?”William duduk bersandar di ranjang, mata cokelatnya terbuka, tenang… hidup. Walau wajahnya pucat dan bibirnya kering, dia tersenyum kecil saat melihat Lira.“Lira.”Gelas kopi hampir terjatuh dari tangan gadis itu.“Ya Tuhan—Tuan!! Tuan bangun?! Kenapa bangun sekarang?! Maksudnya bukan kenapa—tapi—Tuan sadar?! Apakah Tuan merasa pusing? Apa Tuan haus? Apa saya harus panggil dokter? Atau—”“Lira.”William mengangkat tangan lemah, matanya mengerjap geli.“Pelan-pelan bicaranya. Aku hanya bangun dari pingsan, bukan kembali setelah diculik mesin waktu.”Lira memelototinya, kemudian tersenyum gemetar. “Saya…

  • Hasrat Cinta Tuan William   72. Berikan Aku Seorang Cucu

    Ruang rawat itu sunyi, hanya sesekali berbunyi pelan: beep… beep… beep… dari monitor detak jantung. Lampu redup membuat seluruh ruangan tampak lembut, namun tidak menenangkan. Lira duduk di kursi samping ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya tetap utuh.William masih tidak sadarkan diri. Napasnya naik turun pelan melalui selang oksigen, wajahnya pucat namun tetap… luar biasa tampan.Lira mengembuskan napas yang tidak ia sadari sedang ia tahan. Tatapannya menelusuri garis rahang William yang tegas, turun ke leher, lalu kembali ke wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia memperhatikan William bukan sebagai korban luka… tetapi sebagai seseorang yang begitu—luar biasa tampan.Perasaan bersalah langsung menusuk dadanya.Namun ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya.“Kalau Anda sadar… pasti Anda akan mentertawakan saya,” bisiknya lirih.Karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dan karena ia telah menangis

  • Hasrat Cinta Tuan William   71. Berjuang Kembali Hidup

    Sirene meraung dari kejauhan. Cahaya merah-biru menembus ventilasi ruang bawah tanah yang kelam sebelum akhirnya polisi menyerbu masuk melalui pintu sempit di ujung ruangan. “ANGKAT TANGAN! SEMUA BERHENTI DI TEMPAT!” Para kroni Darren yang tersisa langsung dikunci geraknya. Dua di antaranya mencoba kabur, namun ditangkap dengan cepat. Sementara itu, Darren—yang terhuyung-huyung dan juga merembeskan darah dari lengannya—melompat ke sisi ruangan, dengan gerakan gesit, menabrak polisi dengan keras dan langsung berlari naik ke pintu. “HEI! JANGAN BIARKAN DIA LARI!” Beberapa polisi mengejarnya seraya mengacungkan pistol, namun lorong sempit itu dipenuhi perkakas dan juga cukup gelap. Darren menghilang begitu cepat seperti bayangan yang menelan dirinya sendiri. “Target kabur!” salah satu polisi mengumpat, kemudian melapor pada perangkat komunikasinya, "Cegah dia di gang utama. Jangan sampai lolos!"Sementara kekacauan itu melebur menjadi sebentuk suara berisik, untuk Lira, semua suar

  • Hasrat Cinta Tuan William   70. Gelap Menelan Semuanya

    Begitu Darren ambruk di atasnya, Lira langsung meraup napas banyak. Gadis itu buru-buru bangkit seraya menendang Darren agar menyingkir dari tubuhnya, kemudian dia mendongak—di antara cengkeraman kegelapan, menatap seorang pria berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu mengulurkan tangan pada Lira. "Akhirnya kau ketemu." "Tuan William!" Lira senang tidak terkira, kemudian segera memeluk William begitu erat. Tangisannya pecah seperti kembang api; gadis itu meraung di dada William sampai dadanya sakit. "Kau baik-baik saja? Apa orang-orang ini melukaimu?" William mengusap punggung Lira dengan tekanan lembut, seperti sedang menenangkan bayi. Lira akhirnya melepas pelukannya dan menatap William. "Saya lelah, Tuan.... saya...." "Ya, ya, maafkan aku. Jangan bicara dulu," William mengusap pundak Lira, kemudian menatap memicing pada bayangan gelap di ambang pintu bawah tanah. Sekelompok pria bersetelan hitam tahu-tahu membekuk mereka di tengah kegelapan. "Beraninya kau menyusup

  • Hasrat Cinta Tuan William   69. Lebih Baik Kau Mati

    "Sialan, si bajingan itu memakai jaketku tanpa izin!" Darren menyimpan serapah setelah membuang jaket miliknya yang tergantung di sofa ruang tengah. Olivia yang datang dari arah dapur menghampirinya sambil bergelayut manja di lengan Darren. "Siapa bajingan yang kau maksud, Sayang?" tanya Olivia. "Kemal. Siapa lagi? Jaketku bau busuk! Seperti bau badannya yang tidak mandi berhari-hari! Aku tidak sudi menggunakan pakaian itu lagi!"Olivia terkekeh, lalu memungut jaket itu dari lantai. "Sudah kubilang, bukan? Kalau kau datang kemari, jangan sesekali mengenakan pakaian bagus dan mahal. Kau menampung satu gelandangan dan satu orang kampung di sini. Aromamu yang mahal tidak cocok bersatu dengan mereka.""Yeah, tapi kau tahu aku harus berpakaian sempurna di mana pun. Lagi pula tempat ini adalah rumahku—markas rahasiaku! Aku bebas keluar masuk di dalamnya!" Darren mendekati Olivia dan mengusap pipi kekasihnya dengan lembut, kemudian dia menciumi bibir Olivia berkali-kali, membuat gadis itu

  • Hasrat Cinta Tuan William   68. Kita Temukan Bajingan Itu

    Mobil William memasuki halaman luas kediaman Archen. Pria itu turun dan melenggang menaiki undakan teras yang megah, dan begitu sampai tepat di depan ambang, pintu ganda yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka dari dalam. "Will, tidak kusangka kau akan datang menemuiku lagi." Tuan Archen menatap William dengan pandangan bingung sekaligus resah. Ada yang tidak beres dengan putranya kali ini. "Kau baik-baik saja, Will? Wajahmu pucat.""Ayah sudah mendapat kabar di mana Lira?" William tidak menanggapi segala pertanyaan yang menyinggung kondisinya. Saat ini ada urusan yang lebih penting: keberadaan Lira. Tuan Archen berdeham, kemudian mempersilakan William masuk. Selagi mereka berdua melangkah menuju ruang tamu, sang tuan besar menjawab, "Ada petunjuk kecil yang ditemukan salah satu anak buah, tapi itu belum cukup untuk mengetahui di mana Lira.""Petunjuk yang seperti apa?"Tuan Archen berbalik menghadap putranya. "Hari Kamis, sekitar tiga hari lalu, kami menangkap rekaman CCTV yang m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status