Home / Romansa / Hasrat Cinta Tuan William / 3. Akan Kuperlakukan Kau Semauku

Share

3. Akan Kuperlakukan Kau Semauku

last update Last Updated: 2025-10-16 17:51:28

“A-apa kau bilang?” Lira berdesis tidak percaya. 

“Kubilang tanggalkan pakaianmu. Apa telingamu tuli?” Suara William nyaris tanpa emosi. 

“Kau bajingan gila!” 

Lira tidak sudi untuk menyerah. Dia bangkit dari lantai dan berusaha kabur lagi, tetapi William mencengkeram lengannya dengan kasar, menyeret gadis itu, hingga punggungnya menghantam dinding dengan keras. 

Belum sempat Lira pulih dari rasa sakit, William menarik kedua lengan Lira dan menyentaknya ke atas. Mengungkung gadis itu di antara dinding dan tubuhnya. Lira menjerit-jerit histeris manakala jemari William merayap ke blus biru lusuh yang dikenakannya, dan dalam sekejap—bret! 

Pakaian Lira dirobek paksa. 

Suara Lira seketika hilang lantaran terlalu syok. Sebagai gantinya, sekujur tubuhnya gemetar hebat. Air mata melelehi pipinya yang terasa panas menyengat. William tidak memedulikan semua itu. Dia melucuti blus dan rok Lira hingga menyisakan pakaian dalamnya saja. Setelah itu, melepas cengkeramannya. 

Pelepasan tiba-tiba itu membuat tubuh Lira merosot ke lantai, gemetar tidak terkendali seperti anjing yang tersudutkan. Dia baru saja memberanikan diri untuk mendongak ketika sesuatu yang tebal dan halus tiba-tiba dilempar ke wajahnya. 

“Pakai itu.” 

Di tangan Lira, teronggok sebuah kain—mulanya dia pikir ini semacam seragam khusus pelayan yang dia lihat beberapa menit lalu, akan tetapi Lira sadar kain tersebut adalah gaun berwarna merah sangria yang berpotongan dada sangat rendah, dengan gradasi emas tipis di bagian bawah. 

Dia menatap William sekali lagi, hendak meminta penjelasan, tetapi ekspresi wajah William menjeritkan ancaman yang tidak bisa dijelaskan di benak Lira. 

Tiba-tiba saja, Lira kehilangan daya untuk memberontak. Semua perlakuan ini membuatnya merasa malu dan terhina. Jantungnya berdegup kencang dan badannya tidak berhenti gemetar. Kepalanya terus tertunduk kaku, sementara air matanya menetes-netes di lantai. 

Tiba-tiba saja William bergerak maju, lalu berlutut di hadapannya untuk mengangkat dagu Lira. 

“Bila kau ingin ini segera selesai, cepat pakai gaun itu, lalu berdiri di tengah-tengah panggung.” Mata kelabu William sepekat badai yang mengganas. Pria itu merunduk pada wajah Lira, dan membisikkan kata-kata di telinganya seperti mantra terkutuk. “Anjing malang ini pasti tidak ingin melihat tuannya marah dan memukulinya lagi, bukan?” 

Dia bukan seekor anjing. Keyakinan itu tertanam kuat di kepalanya. Akan tetapi, sekujur tubuhnya bertindak sebaliknya; tangan gemetar Lira akhirnya terangkat untuk mengenakan gaun itu. William kembali berdiri, menunggu dengan sabar. Suara kain yang menggesek kulit Lira menjadi selingan di antara kesunyian. 

Kemudian, Lira berdiri, dengan kepala tertunduk. William menghampiri lagi untuk mendongakkan dagunya. 

“Tegakkan kepala. Mata menghadap depan dengan lurus.” Lalu tangan William menekan punggungnya. “Jangan membungkuk.” 

Selagi Lira melakukan semua hal sesuai arahan, William berjalan pelan mengitarinya, menatapnya dari atas sampai bawah dengan sorot menilai, seakan-akan Lira adalah seonggok barang yang hendak dijual. 

“Kau terlalu kurus. Tidak punya lekukan dada dan pantat.” Tiba-tiba William memegang pinggangnya, meraba ke atas seperti gerakan memijat lembut, membuat Lira diserang gelombang panik lagi. “Tulang rusukmu bahkan menonjol di balik pakaian ini. Kondisimu persis seperti anjing kurus yang ditelantarkan di jalanan. Liar, kotor.”

Wajah Lira memanas karena rasa malu dan terhina, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menatap lurus ke depan, dengan mata merah berair, dan napas tersendat-sendat. Gelombang isakan keluar dari bibirnya yang pecah-pecah. Sikapnya menarik perhatian William. Pria itu kemudian berdiri di hadapannya. 

“Dengan tubuh kurang gizi seperti ini, aku heran kau masih bisa hidup dan berperilaku seganas itu.” 

“Apa urusanmu terhadapku, hah?” Akhirnya Lira sanggup berkata. Kendati suaranya diwarnai getaran ketakutan, dia memaksa diri untuk menatap lurus ke dalam mata bajingan ini. “Kalau kau bertindak lebih jauh lagi, aku bersumpah akan membunuhmu!”

Lira berharap William akan berhenti memaksanya, tetapi pria itu malah menjepit kedua pipi Lira dengan kasar. 

“Kau tidak akan bisa membunuhku,” kata William. Napas hangatnya menyapu bibir Lira. “Mulai saat ini, kau adalah milikku. Akulah yang menentukan nasibmu, anjing kecil.” 

“Berhenti memanggilku dengan sebutan itu, bedebah!” Lira mendesis di antara rahangnya yang terkatup rapat. 

William menyeringai tipis. “Sebut aku sesukamu, dan aku akan semakin memperlakukanmu semauku.” 

Kemudian William menyentak pipi Lira hingga wajah gadis itu terlempar ke sisi kanan. 

“Keluar dari ruangan ini, cepat.”

Lira terperenyak, tetapi itu tidak berlangsung lama. Perintah itu kemudian menjadi pemicu bagi kakinya untuk melangkah keluar dari ruangan dengan bunyi gedebuk-gedebuk murka. Dia kira dia bisa langsung kabur, akan tetapi Annalise sudah menunggunya di balik pintu. Wanita itu dengan gesit menggaet lengan Lira dan membawanya ke tempat lain. 

“Lepaskan—aku mau pergi!” 

“Dalam posisi ini, Anda seharusnya tahu sudah tidak bisa lari lagi. Anda pikir mansion ini seperti taman kota yang bisa dimasuki sesuka hati?” 

Lira sudah membuka mulut ingin membalas, tetapi tidak ada apa-apa yang keluar dari sana selain desauan kecewa. Annalise benar. Seluruh kawasan mansion ini pastilah dijaga oleh banyak pengawal dan staf keamanan. Sekarang, yang bisa dilakukannya adalah berpikir tenang, siapa tahu nantinya ada jalan keluar lain. 

“Aku mau dibawa ke mana?” 

“Ke mana lagi kalau bukan mandi? Bau Anda sungguh busuk seperti selokan.” 

Tanpa diketahui Lira maupun Annalise, William mengintip kedua orang itu melalui kaca jendela studio. Sesaat kemudian, dia menyentak tirai agar kembali menutup, lalu melangkah ke sebuah kursi yang terletak di dekat panggung. William merogoh ponsel di saku celana, menatap sesuatu di layarnya dengan ekspresi tidak terbaca. 

Suaranya mengalun penuh rindu ketika dia berbisik;

“Sekarang, aku sudah menemukan penggantimu.” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Cinta Tuan William   73. Tawa di Dalam Kamar Rumah Sakit

    Koridor rumah sakit masih berbau alkohol dan disinfektan ketika Lira kembali dari mesin kopi otomatis. Gelas kertas yang ia genggam berembun hangat di telapak tangan—aroma kopi instan tercium samar. Ia menahan napas sejenak di depan pintu ruang rawat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang sejak tadi tak bisa tenang.Ia membuka pintu perlahan.Dan dunia berhenti.“T-Tuan William…?”William duduk bersandar di ranjang, mata cokelatnya terbuka, tenang… hidup. Walau wajahnya pucat dan bibirnya kering, dia tersenyum kecil saat melihat Lira.“Lira.”Gelas kopi hampir terjatuh dari tangan gadis itu.“Ya Tuhan—Tuan!! Tuan bangun?! Kenapa bangun sekarang?! Maksudnya bukan kenapa—tapi—Tuan sadar?! Apakah Tuan merasa pusing? Apa Tuan haus? Apa saya harus panggil dokter? Atau—”“Lira.”William mengangkat tangan lemah, matanya mengerjap geli.“Pelan-pelan bicaranya. Aku hanya bangun dari pingsan, bukan kembali setelah diculik mesin waktu.”Lira memelototinya, kemudian tersenyum gemetar. “Saya…

  • Hasrat Cinta Tuan William   72. Berikan Aku Seorang Cucu

    Ruang rawat itu sunyi, hanya sesekali berbunyi pelan: beep… beep… beep… dari monitor detak jantung. Lampu redup membuat seluruh ruangan tampak lembut, namun tidak menenangkan. Lira duduk di kursi samping ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya tetap utuh.William masih tidak sadarkan diri. Napasnya naik turun pelan melalui selang oksigen, wajahnya pucat namun tetap… luar biasa tampan.Lira mengembuskan napas yang tidak ia sadari sedang ia tahan. Tatapannya menelusuri garis rahang William yang tegas, turun ke leher, lalu kembali ke wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia memperhatikan William bukan sebagai korban luka… tetapi sebagai seseorang yang begitu—luar biasa tampan.Perasaan bersalah langsung menusuk dadanya.Namun ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya.“Kalau Anda sadar… pasti Anda akan mentertawakan saya,” bisiknya lirih.Karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dan karena ia telah menangis

  • Hasrat Cinta Tuan William   71. Berjuang Kembali Hidup

    Sirene meraung dari kejauhan. Cahaya merah-biru menembus ventilasi ruang bawah tanah yang kelam sebelum akhirnya polisi menyerbu masuk melalui pintu sempit di ujung ruangan. “ANGKAT TANGAN! SEMUA BERHENTI DI TEMPAT!” Para kroni Darren yang tersisa langsung dikunci geraknya. Dua di antaranya mencoba kabur, namun ditangkap dengan cepat. Sementara itu, Darren—yang terhuyung-huyung dan juga merembeskan darah dari lengannya—melompat ke sisi ruangan, dengan gerakan gesit, menabrak polisi dengan keras dan langsung berlari naik ke pintu. “HEI! JANGAN BIARKAN DIA LARI!” Beberapa polisi mengejarnya seraya mengacungkan pistol, namun lorong sempit itu dipenuhi perkakas dan juga cukup gelap. Darren menghilang begitu cepat seperti bayangan yang menelan dirinya sendiri. “Target kabur!” salah satu polisi mengumpat, kemudian melapor pada perangkat komunikasinya, "Cegah dia di gang utama. Jangan sampai lolos!"Sementara kekacauan itu melebur menjadi sebentuk suara berisik, untuk Lira, semua suar

  • Hasrat Cinta Tuan William   70. Gelap Menelan Semuanya

    Begitu Darren ambruk di atasnya, Lira langsung meraup napas banyak. Gadis itu buru-buru bangkit seraya menendang Darren agar menyingkir dari tubuhnya, kemudian dia mendongak—di antara cengkeraman kegelapan, menatap seorang pria berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu mengulurkan tangan pada Lira. "Akhirnya kau ketemu." "Tuan William!" Lira senang tidak terkira, kemudian segera memeluk William begitu erat. Tangisannya pecah seperti kembang api; gadis itu meraung di dada William sampai dadanya sakit. "Kau baik-baik saja? Apa orang-orang ini melukaimu?" William mengusap punggung Lira dengan tekanan lembut, seperti sedang menenangkan bayi. Lira akhirnya melepas pelukannya dan menatap William. "Saya lelah, Tuan.... saya...." "Ya, ya, maafkan aku. Jangan bicara dulu," William mengusap pundak Lira, kemudian menatap memicing pada bayangan gelap di ambang pintu bawah tanah. Sekelompok pria bersetelan hitam tahu-tahu membekuk mereka di tengah kegelapan. "Beraninya kau menyusup

  • Hasrat Cinta Tuan William   69. Lebih Baik Kau Mati

    "Sialan, si bajingan itu memakai jaketku tanpa izin!" Darren menyimpan serapah setelah membuang jaket miliknya yang tergantung di sofa ruang tengah. Olivia yang datang dari arah dapur menghampirinya sambil bergelayut manja di lengan Darren. "Siapa bajingan yang kau maksud, Sayang?" tanya Olivia. "Kemal. Siapa lagi? Jaketku bau busuk! Seperti bau badannya yang tidak mandi berhari-hari! Aku tidak sudi menggunakan pakaian itu lagi!"Olivia terkekeh, lalu memungut jaket itu dari lantai. "Sudah kubilang, bukan? Kalau kau datang kemari, jangan sesekali mengenakan pakaian bagus dan mahal. Kau menampung satu gelandangan dan satu orang kampung di sini. Aromamu yang mahal tidak cocok bersatu dengan mereka.""Yeah, tapi kau tahu aku harus berpakaian sempurna di mana pun. Lagi pula tempat ini adalah rumahku—markas rahasiaku! Aku bebas keluar masuk di dalamnya!" Darren mendekati Olivia dan mengusap pipi kekasihnya dengan lembut, kemudian dia menciumi bibir Olivia berkali-kali, membuat gadis itu

  • Hasrat Cinta Tuan William   68. Kita Temukan Bajingan Itu

    Mobil William memasuki halaman luas kediaman Archen. Pria itu turun dan melenggang menaiki undakan teras yang megah, dan begitu sampai tepat di depan ambang, pintu ganda yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka dari dalam. "Will, tidak kusangka kau akan datang menemuiku lagi." Tuan Archen menatap William dengan pandangan bingung sekaligus resah. Ada yang tidak beres dengan putranya kali ini. "Kau baik-baik saja, Will? Wajahmu pucat.""Ayah sudah mendapat kabar di mana Lira?" William tidak menanggapi segala pertanyaan yang menyinggung kondisinya. Saat ini ada urusan yang lebih penting: keberadaan Lira. Tuan Archen berdeham, kemudian mempersilakan William masuk. Selagi mereka berdua melangkah menuju ruang tamu, sang tuan besar menjawab, "Ada petunjuk kecil yang ditemukan salah satu anak buah, tapi itu belum cukup untuk mengetahui di mana Lira.""Petunjuk yang seperti apa?"Tuan Archen berbalik menghadap putranya. "Hari Kamis, sekitar tiga hari lalu, kami menangkap rekaman CCTV yang m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status