LOGINKetika Lira terbangun pagi itu, yang menyambutnya bukan lagi suara omelan sang ayah ataupun bunyi riuh televisi yang disetel dengan volume keras-keras, melainkan alunan musik klasik lembut yang menyelinap sopan di telinganya.
Keganjilan ini membuat Lira terperenyak. Gadis itu mendorong diri agar duduk, menyapu semua hal yang terhampar di sekelilingnya dengan perasaan linglung.
Ranjang yang ditempatinya berukuran besar dan sangat empuk. Bantalnya juga tidak membuat lehernya sakit. Televisi besar menggantung pada dinding di depannya. Rak-rak yang masih kosong, bilik ganti khusus, meja rias, dan nakas-nakas berpelitur cantik. Di seberang kamar, terdapat pintu kaca geser yang berbatasan dengan balkon di baliknya. Langit di luar biru cerah, tetapi hati Lira terasa kelabu muram ketika teringat apa yang dialaminya kemarin.
Pria itu, William, jelas telah menginjak harga dirinya. Dia mengira sudah memiliki dan menguasai Lira seutuhnya—menganggapnya bagai boneka yang bisa dikurung dan dipermainkan dengan sesuka hati. Akan tetapi, Lira sadar William lupa tentang satu hal; bahwa Lira masih memiliki jiwa dan pendirian, yang tercipta dari pecahan masa lalu akibat dihantam badai berkali-kali. Pikirannya adalah satu-satunya hal yang tidak bisa dimiliki oleh siapa pun, tidak untuk dikendalikan atau ditentang.
Dan seburuk apa pun perlakuan William kepada Lira, gadis itu berjanji akan terus melawan… sampai pria itu menyesal dan bertekuk lutut padanya.
Lira baru saja turun dari kasur ketika pintu kamarnya diketuk dari luar. Annalise datang untuk mengecek, sekaligus menyuruh Lira berganti baju dan turun untuk sarapan.
“Kenakan pakaian ini.” Annalise meletakkan satu stel pakaian baru di atas kasur. Lira baru ingat bahwa blusnya sudah robek tak karuan, hingga setelah mandi kemarin dia tidur mengenakan piyama biasa.
Biasanya gadis itu akan memberontak atau memprotes. Namun setelah menjalani satu hari yang melelahkan, Lira sadar mengomel kepada Annalise hanya membuang-buang tenaga saja. Dia hanya seorang kepala pelayan yang menjalankan tugas, bukan otak di balik kebiadaban ini.
Maka Lira memutuskan untuk menurut. Dia melepas atasan piyamanya dengan cepat sampai hanya meninggalkan bra saja. Annalise terlihat kaget, tetapi berusaha tenang.
“Bagaimana tidur Anda semalam, Nona?”
“Lumayan nyenyak sampai aku tidak ingat kalau kemarin seseorang melemparku ke neraka dunia.”
Annalise tersenyum tipis, masih menunjukkan gerak-gerik tenang dan terkendali. Begitu Lira tuntas mengenakan celananya, dia mengajak Lira turun, menuju meja makan, tempat dimana berpiring-piring menu makanan mewah telah tersaji dengan cantik. Tumpukan daging panggang, roti-roti mekar dengan keju putih, kurma dan almond, buah-buahan segar serta deretan menu makan lain yang tidak pernah Lira lihat sebelumnya.
Gadis itu mengambil tempat di salah satu kursinya, disusul seorang pelayan yang langsung melayaninya; menuangkan minuman ke dalam gelasnya, memasukkan kentang tumbuk, daging, serta udang ke piring.
“Aku bisa mengambil makananku sendiri!” Lira tanpa sadar membentak.
Pelayan perempuan itu sejenak menatap Lira. Ada sorot tidak suka yang terpancar dari mata sang pelayan, tetapi dia tidak menunjukkannya dengan terang-terangan.
“Tuan William menyuruh kami memilihkan makanan bergizi untuk Anda,” Annalise tiba-tiba menyahut dari sisi meja makan. “Dalam satu minggu ini, berat badan Anda harus naik.”
Ketika Lira hendak menjawab dengan sindiran, William tiba-tiba datang dari arah tangga. Masih mengenakan piyama putih berlapis kardigan panjang berbahan satin. Bila biasanya pria ini tampak bengis dan galak dalam balutan jas formal ataupun sweater hitam, pagi ini dia terlihat lebih… lembut dan tenang.
Lira tidak sadar sejak tadi dirinya memperhatikan William dari atas sampai bawah.
“Apa yang kau lakukan?” tegur William pada Lira, yang langsung mengerjapkan mata. “Makan.”
‘Tenang, Lira. Kita akan melihat situasi dulu ke depannya,’ Lira membatin yakin. Dia berusaha memotong daging bistik di piringnya, tetapi gerakannya begitu kikuk sehingga peralatan makannya malah berbunyi gaduh.
Beberapa pelayan yang berdiri di belakangnya berbisik-bisik. Suara mereka cukup keras hingga bisa terdengar oleh Lira.
“Mana ada yang memegang pisau dan garpu seperti itu?”
“Sekali liar tetap liar, tidak peduli dipoles secantik apa pun.”
“Tuan William sepertinya salah memilih lagi.”
Bisikan terakhir itu membuat Lira menoleh ke belakang dengan ganas. Dua pelayan yang sedang berbisik-bisik tadi tersentak, lalu mundur dan pura-pura menyibukkan diri dengan pekerjaan lain. Annalise tampaknya membaca kejadian barusan. Wanita itu segera undur diri dan memanggil dua pelayan tadi untuk ikut dengannya.
Lira kembali berpaling pada makanannya sendiri. Masih berpikir tentang apa yang didengarnya barusan. Apa maksud para pelayan itu? Tuan William salah memilih?
Jangan-jangan … sebelum ini ada korban lain selain Lira?
“Setelah makan, kau ikut aku.” William tahu-tahu berceletuk. Dia baru saja menyesap minumannya di cangkir dan meletakkannya kembali di meja.
Lira menatap asap teh di cangkir William yang masih mengepul, dan tidak sengaja tatapannya bergeser pada jari manis William.
Sebuah cincin melingkar di sana.
Apakah pria ini sudah beristri?
Yah, bila benar, sebenarnya wajar. Dia terlihat jauh lebih dewasa daripada Lira. Mungkin usianya di pertengahan 30, atau hampir mendekati 40. Namun, harus diakui, penampilannya sangat muda sehingga Lira sempat terkecoh dengan usia sebenarnya. Bahkan dalam siraman cahaya pagi ini, Lira terpaksa mengakui William jauh terlihat lebih tampan. Mata kelabu William bersinar seperti lautan bintang. Ironis membayangkan itu adalah mata yang sama dengan mata pria yang merobek-robek pakaian Lira kemarin.
“Apa Anda akan sungguh-sungguh menjawab bila saya bertanya sesuatu?” Mendadak Lira bertanya dengan nada sopan.
"Tergantung apa pertanyaanmu,” kata William dingin.
“Kenapa Anda membawa saya kemari?”
“Kukira kau sudah bisa menebaknya. Ayahmu menjualmu padaku.”
“Ya, tapi kenapa Anda mau membeli saya?” Lira meremas tepian meja dengan jarinya hingga memutih, kepalang tidak sabar. “Anda mengatai saya kurus, liar, seperti anjing. Kalau Anda butuh seseorang yang lebih berisi dan cantik daripada saya, kenapa tidak mencari yang lain?”
Kemudian Lira kepikiran sebuah gagasan menyedihkan, lalu melontarkannya tanpa basa-basi, “Oh, apa ayah saya menjual saya dengan harga murah? Dan Anda buru-buru tergiur dengan harga murah itu sehingga tidak melihat lebih dulu bagaimana saya? Anda tidak punya uang untuk membeli gadis yang lebih sempurna, ya?”
“Mulutmu itu,” William menatapnya dengan seringai tipis, entah merasa terpukul atau justru terhibur, “Menggonggong terus seperti anjing liar yang mencari makan di tempat sampah. Kau perlu dididik agar tahu tentang adab.”
Lira mendengkus. “Bicara adab seolah-olah Anda tahu saja tentang itu. Tidak ingat apa yang Anda lakukan kemarin?”
Garpu di tangan William terhenti. Pria itu terdiam sejenak. Lira berharap dia berhasil membuat perasaannya tersinggung.
“Kalau kau membangkang, kau akan dapat hukuman. Itulah aturan di sini.” Kemudian William memotong lagi bistik di piringnya dengan tenang. “Sekarang makan. Kau anak kecil cerewet.”
Dasar pria tua! Lira mengutuk dalam hati.
“Anda belum menjawab pertanyaan saya,” tekan Lira. “Kenapa Anda membeli saya? Merobek pakaian, menyuruh saya mengenakan gaun jelek, dan memaksa saya supaya menaikkan berat badan… sebenarnya ini semua untuk apa?”
BRAK! William menggebrak meja. Lira terkesiap, tiba-tiba merasa ciut di hadapan pria ini. Apakah dia salah bicara?
“Gaun jelek, katamu?” William menatap tajam, penuh kemarahan. “Harusnya kau berterima kasih karena telah kuberi kesempatan mencoba gaun itu.”
Sebetulnya Lira tidak benar-benar berpikir gaunnya jelek. Malah sebaliknya, gaunnya terlihat cantik dan sangat nyaman dikenakan. Ocehan tadi untuk menekankan rasa tidak sukanya karena dipaksa saja. Akan tetapi, melihat betapa serius ekspresi William saat membahas gaun itu, Lira tahu pria ini membelinya atas tujuan yang tidak biasa.
Annalise bilang, William adalah seorang fashion designer, bukan? Gaun kemarin mungkin adalah buatannya. Pantas saja dia terpukul saat Lira mengoloknya.
Ha, syukurlah. Sekarang, Lira mendapatkan satu kelemahannya. Kelak di kesempatan berikutnya, Lira akan lebih banyak lagi berbuat masalah hanya untuk membuat pria ini kesal.
“Kau,” William menudingnya dengan ujung garpu. “Akan menjadi maharkayaku yang paling ambisius.”
“Apa?” Lira mengernyitkan kening.
“Menggunakan busana-busana rancanganku, berjalan di runway, dan berpose. Itulah yang mulai saat ini kau lakukan.”
“Tapi—”
“Tidak ada penolakan. Kau dibeli untuk menjadi barangku. Milikku yang bisa kuatur sesuka hati.”
Berengsek.
Ada banyak hal yang ingin Lira katakan pada pria ini, tetapi dia memilih bungkam. Kelak dia akan mencari cara mandiri agar bisa lepas dari cengkeramannya. Lihat saja.
Lantas gadis itu sukses menahan protes dan beralih melahap makanannya, kendati perutnya sudah tidak berselera.
Semua makanan ini rasanya hambar. Barang-barang glamor yang ada di kamarnya, gaun merah sangria yang dikenakannya, tidak terasa istimewa di benaknya. Betapa aneh melihat pemandangan penuh kekayaan ini namun tidak merasa tertarik dengan segalanya. Padahal saat masih kecil, Lira selalu bermimpi menjadi seorang putri kerajaan.
Kini dia sadar, setelah dirinya dijual kepada seorang pria dewasa yang sifatnya kejam, yang mulutnya setajam pedang, dan tindak-tanduknya menjeritkan potensi untuk menjadi iblis, kekayaan ini tidak berarti apa-apa. Lira hanya ingin bebas dari keadaan yang mengikat ini, seperti burung yang terbang dari sangkar.[]
Koridor rumah sakit masih berbau alkohol dan disinfektan ketika Lira kembali dari mesin kopi otomatis. Gelas kertas yang ia genggam berembun hangat di telapak tangan—aroma kopi instan tercium samar. Ia menahan napas sejenak di depan pintu ruang rawat, mencoba menenangkan degup jantungnya yang sejak tadi tak bisa tenang.Ia membuka pintu perlahan.Dan dunia berhenti.“T-Tuan William…?”William duduk bersandar di ranjang, mata cokelatnya terbuka, tenang… hidup. Walau wajahnya pucat dan bibirnya kering, dia tersenyum kecil saat melihat Lira.“Lira.”Gelas kopi hampir terjatuh dari tangan gadis itu.“Ya Tuhan—Tuan!! Tuan bangun?! Kenapa bangun sekarang?! Maksudnya bukan kenapa—tapi—Tuan sadar?! Apakah Tuan merasa pusing? Apa Tuan haus? Apa saya harus panggil dokter? Atau—”“Lira.”William mengangkat tangan lemah, matanya mengerjap geli.“Pelan-pelan bicaranya. Aku hanya bangun dari pingsan, bukan kembali setelah diculik mesin waktu.”Lira memelototinya, kemudian tersenyum gemetar. “Saya…
Ruang rawat itu sunyi, hanya sesekali berbunyi pelan: beep… beep… beep… dari monitor detak jantung. Lampu redup membuat seluruh ruangan tampak lembut, namun tidak menenangkan. Lira duduk di kursi samping ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat seolah itu satu-satunya hal yang bisa menahan dirinya tetap utuh.William masih tidak sadarkan diri. Napasnya naik turun pelan melalui selang oksigen, wajahnya pucat namun tetap… luar biasa tampan.Lira mengembuskan napas yang tidak ia sadari sedang ia tahan. Tatapannya menelusuri garis rahang William yang tegas, turun ke leher, lalu kembali ke wajahnya. Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia memperhatikan William bukan sebagai korban luka… tetapi sebagai seseorang yang begitu—luar biasa tampan.Perasaan bersalah langsung menusuk dadanya.Namun ia tetap tidak bisa mengalihkan pandangannya.“Kalau Anda sadar… pasti Anda akan mentertawakan saya,” bisiknya lirih.Karena tidak ada siapa pun di ruangan itu, dan karena ia telah menangis
Sirene meraung dari kejauhan. Cahaya merah-biru menembus ventilasi ruang bawah tanah yang kelam sebelum akhirnya polisi menyerbu masuk melalui pintu sempit di ujung ruangan. “ANGKAT TANGAN! SEMUA BERHENTI DI TEMPAT!” Para kroni Darren yang tersisa langsung dikunci geraknya. Dua di antaranya mencoba kabur, namun ditangkap dengan cepat. Sementara itu, Darren—yang terhuyung-huyung dan juga merembeskan darah dari lengannya—melompat ke sisi ruangan, dengan gerakan gesit, menabrak polisi dengan keras dan langsung berlari naik ke pintu. “HEI! JANGAN BIARKAN DIA LARI!” Beberapa polisi mengejarnya seraya mengacungkan pistol, namun lorong sempit itu dipenuhi perkakas dan juga cukup gelap. Darren menghilang begitu cepat seperti bayangan yang menelan dirinya sendiri. “Target kabur!” salah satu polisi mengumpat, kemudian melapor pada perangkat komunikasinya, "Cegah dia di gang utama. Jangan sampai lolos!"Sementara kekacauan itu melebur menjadi sebentuk suara berisik, untuk Lira, semua suar
Begitu Darren ambruk di atasnya, Lira langsung meraup napas banyak. Gadis itu buru-buru bangkit seraya menendang Darren agar menyingkir dari tubuhnya, kemudian dia mendongak—di antara cengkeraman kegelapan, menatap seorang pria berdiri menjulang di hadapannya. Pria itu mengulurkan tangan pada Lira. "Akhirnya kau ketemu." "Tuan William!" Lira senang tidak terkira, kemudian segera memeluk William begitu erat. Tangisannya pecah seperti kembang api; gadis itu meraung di dada William sampai dadanya sakit. "Kau baik-baik saja? Apa orang-orang ini melukaimu?" William mengusap punggung Lira dengan tekanan lembut, seperti sedang menenangkan bayi. Lira akhirnya melepas pelukannya dan menatap William. "Saya lelah, Tuan.... saya...." "Ya, ya, maafkan aku. Jangan bicara dulu," William mengusap pundak Lira, kemudian menatap memicing pada bayangan gelap di ambang pintu bawah tanah. Sekelompok pria bersetelan hitam tahu-tahu membekuk mereka di tengah kegelapan. "Beraninya kau menyusup
"Sialan, si bajingan itu memakai jaketku tanpa izin!" Darren menyimpan serapah setelah membuang jaket miliknya yang tergantung di sofa ruang tengah. Olivia yang datang dari arah dapur menghampirinya sambil bergelayut manja di lengan Darren. "Siapa bajingan yang kau maksud, Sayang?" tanya Olivia. "Kemal. Siapa lagi? Jaketku bau busuk! Seperti bau badannya yang tidak mandi berhari-hari! Aku tidak sudi menggunakan pakaian itu lagi!"Olivia terkekeh, lalu memungut jaket itu dari lantai. "Sudah kubilang, bukan? Kalau kau datang kemari, jangan sesekali mengenakan pakaian bagus dan mahal. Kau menampung satu gelandangan dan satu orang kampung di sini. Aromamu yang mahal tidak cocok bersatu dengan mereka.""Yeah, tapi kau tahu aku harus berpakaian sempurna di mana pun. Lagi pula tempat ini adalah rumahku—markas rahasiaku! Aku bebas keluar masuk di dalamnya!" Darren mendekati Olivia dan mengusap pipi kekasihnya dengan lembut, kemudian dia menciumi bibir Olivia berkali-kali, membuat gadis itu
Mobil William memasuki halaman luas kediaman Archen. Pria itu turun dan melenggang menaiki undakan teras yang megah, dan begitu sampai tepat di depan ambang, pintu ganda yang terbuat dari kayu mahoni itu terbuka dari dalam. "Will, tidak kusangka kau akan datang menemuiku lagi." Tuan Archen menatap William dengan pandangan bingung sekaligus resah. Ada yang tidak beres dengan putranya kali ini. "Kau baik-baik saja, Will? Wajahmu pucat.""Ayah sudah mendapat kabar di mana Lira?" William tidak menanggapi segala pertanyaan yang menyinggung kondisinya. Saat ini ada urusan yang lebih penting: keberadaan Lira. Tuan Archen berdeham, kemudian mempersilakan William masuk. Selagi mereka berdua melangkah menuju ruang tamu, sang tuan besar menjawab, "Ada petunjuk kecil yang ditemukan salah satu anak buah, tapi itu belum cukup untuk mengetahui di mana Lira.""Petunjuk yang seperti apa?"Tuan Archen berbalik menghadap putranya. "Hari Kamis, sekitar tiga hari lalu, kami menangkap rekaman CCTV yang m







