Share

Bab 2. Derita Janda Montok

Jakarta, Indonesia. 22 Januari 2018, 09:23 AM.

Di balik pintu gudang yang tertutup rapat, cahaya remang menghiasi dinding dan suasana yang tak nyaman merayap di setiap sudut ruangan. Mey masuk ke dalam bersama Theo.

"Tubuhmu sungguh sangat menarik!" bisik lembut Theo.

Mey memilih untuk diam, tak menanggapi bisikan mesum yang diungkapkan oleh atasannya itu. Dalam keheningan yang terasa berat, Mey memutuskan untuk menyerahkan proposal yang telah ia susun dengan teliti. Namun, sikap lancang Theo merajalela ketika ia tanpa permisi meremas sesuatu yang tak seharusnya, Mey merasakan kelembutan yang menyakitkan.

"PAK! Anda sangat tidak sopan!" tegur Mey dengan tatapan tajam.

Seolah-olah tak terpengaruh oleh reaksi bawahannya, Theo melanjutkan perilakunya yang tidak bermoral dengan menyosor bibir Mey. Bagaimanapun juga, Mey tidak tinggal diam. Dengan cepat, ia memberikan respons yang tegas dengan mendorong Theo hingga sang manajer tergelincir dan jatuh ke lantai.

"Berani sekali kau, jalang!" dengus Theo dengan marah, sambil mencoba untuk bangkit dari posisi terjatuhnya.

"Jika kau ingin proposalmu diterima, jangan sekali-kali membantah kemauanku!" tambahnya, membawa suasana semakin tegang.

Merasa terhimpit dalam keadaan yang semakin menjebak, dengan berat hati, Mey mengangguk pelan kepalanya. Melihat respons itu, Theo tersenyum licik. Tanpa memberikan aba-aba, Theo merangkul tubuh Mey dengan gairah yang menggelora dan mencium lehernya.

Pandangan matanya yang penuh nafsu, Theo menuntun tangan Mey untuk memegang suatu yang telah menonjol di balik celana. Namun, keberanian Mey mulai muncul, “P-pak! Stop!” Sambil menarik tangannya.

"Apa kau bisa diam, janda? Bukankah ini yang kau inginkan?" balas Theo, tanpa memedulikan penolakan Mey.

"Jangan, lakukan itu, Pak. Kita sedang berada di kantor!" teriak Mey, mencoba memanggil bantuan.

“Kau jangan berteriak, sialan!” bentak Theo, mencuatkan kemarahannya.

Mey yang telah mencapai batas kesabarannya, berbicara dengan tegas, "Mau sampai kapan bapak melecehkan saya? Saya di sini bekerja, bukan untuk melacur! Tolong hargai saya!"

Sejenak, Theo terdiam tak bergeming. "Kalau kau ingin pekerjaan tetap di kantor ini, diam saja dan turuti semua kemauanku," ucap pria cabul tanpa hati itu, menunjukkan kekuasaannya di tengah ketidakberdayaan yang membebani Mey.

Mey memilih keluar dari gudang dengan tergesa-gesa, membiarkan kata-kata atasannya bergema di antara dinding-dinding yang dingin.

'Dasar mesum! Aku merasa muak setiap kali melihat wajahnya!' benak Mey, dengan ekspresinya mencerminkan kekesalan yang tak terbendung. Sudah dua bulan lamanya ia terjebak sebagai karyawan magang, dan tekanan yang dialaminya terasa semakin berat.

Status janda dan kemolekkan tubuhnya yang menarik, seolah menjadi bumerang yang dilemparkan padanya. Rekan-rekan kerjanya, bahkan atasan yang seharusnya memberikan contoh yang baik, justru lebih memilih untuk melecehkan, merendahkan dan menghinanya. Ia merasa seperti terperangkap dalam labirin ketidakadilan.

Tetapi, Mey memiliki beban yang lebih besar daripada penghinaan itu. Anaknya yang baru duduk di kelas satu SD, dan kedua adiknya yang sedang berkuliah. Mey memahami bahwa ia tak boleh menyerah pada cobaan yang berusaha mencekiknya, sebab, ia memiliki tanggung jawab pada keluarga yang bergantung padanya. Selain itu, Mey harus menanggung beban hutang ratusan juta yang ditinggalkan oleh suaminya.

Setelah Mey beranjak keluar dari gudang, ia melangkah dengan tegas melewati koridor kantor yang diiringi oleh bisikan-bisikan sinis di antara para karyawan. Tatapan tajam mengarah padanya, mewakili ejekan dan sindiran yang memenuhi suasana setiap sudut kantor.

"Hey, lihatlah! Di bawah bokongnya basah!" bisik salah satu karyawan.

"Tadi dia masuk ke gudang sama pak Theo!" jelas karyawan lain.

"Wah.. Jangan bilang, dia jual diri biar bisa jadi karyawan tetap," ejek karyawan lain dengan ekspresi merendahkan.

Tiba-tiba, Bella, sahabat akrab Mey, muncul dari sudut ruangan. Kehangatan dan keceriaan yang melekat pada Bella, mengubah suasana koridor yang tegang. “Mey, kenapa rokmu basah? Kamu habis pipis lupa pakai tisu?” sapa Bella dengan senyuman yang manis.

Spontan, Mey merespon dengan menutupi rok yang basah memakai kedua tangannya, senyuman yang sedikit malu tergambar di wajahnya. “Oh astaga, iya, aku tadi kelupaan pakai tisu."

Bella hanya mengangguk ringan sambil memberikan senyum penuh pengertian, "Ya sudah, lain kali jangan lupa ya. Semangat ya kerjanya," seraya melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.

"Oke, terima kasih, Bell,” jawab Mey seraya tersenyum dan melanjutkan langkahnya menuju meja kerjanya.

Setelah tiba di mejanya, Mey kembali merasakan tatapan tajam dan bisikan-bisikan di belakangnya. Jenny Winarta, sesama karyawan magang, mencoba memanfaatkan kesempatan untuk menyebarkan gosip tak bermoral. "Hey, kau habis ngapain sama pak Theo? Abis jual tubuh biar dapet kerjaan tetap?" ejeknya dengan nada merendahkan.

Wajah Mey terasa memanas, tak terima dengan tuduhan tak berdasar. "Apa maksudmu?" Mey menanggapi dengan mata yang menyiratkan ketegasan.

"Jangan kau pikir aku ini bodoh, dasar janda kesepian dan miskin! Demi menjadi karyawan tetap, kau rela menjual dirimu!" sergah Jenny dengan nada sinis.

Namun, kehadiran Regina Rinjani, perempuan berkaca mata yang berusia dua puluh tiga tahun, mencoba membela Mey. Dengan sikap tegas, Regina menyela, "Hey, jaga ucapanmu! Mulutmu itu tidak pernah sekolah ya?"

"Sudah Gina, tidak usah ditanggapi," Mey berujar dengan tenang, berusaha menghindari pertikaian yang tak perlu. Namun, di balik ketenangan itu, Mey merenung dalam hati, bertekad untuk tetap menjaga martabatnya di tengah badai fitnah dan celaan yang terus berhembus di kantor.

Waktu bergulir dengan cepat, dan suasana kantor mulai terasa sepi seiring dengan tibanya jam istirahat makan siang. Dalam momen itu, Gina dengan ramah mengajak Mey untuk makan bersama di kantin. "Kak Mey, ayo makan di kantin," ajak Gina dengan senyum ramah di wajahnya.

Meskipun tawaran Gina penuh kebaikan, Mey menolak dengan lembut, "Aku sudah membawa bekal, Gina." Dengan tangannya yang gemulai, Mey membuka kotak bekalnya, memperlihatkan isi di dalamnya kepada Gina.

Setelah melirik isi bekal yang dibawa oleh Mey, Gina kembali merayu lagi. "Astaga kak Mey, lauk tahu dan tempe lagi? Ayo, Gina traktir makan di kantin!" goda Gina sembari mencoba meyakinkan Mey.

Setelah serangkaian rayuan dan godaan, Mey akhirnya setuju untuk bergabung makan di kantin. Saat tiba di sana, berbagai aroma sedap menguar, memenuhi udara dan menyentuh indera perasa, membuat perut mereka semakin bersuara.

"Kak Mey mau makan apa?" tanya Gina dengan semangat.

"Terserah kamu, Gina," jawab Mey dengan senyuman hangat.

Gina memutuskan untuk mengecap lezatnya hidangan di warung nasi padang, tempat di mana Theo dan kawan-kawannya kerap berkumpul. Seiring dengan langkah mereka menuju meja yang tersedia, terdapat beberapa rekan kerja Mey, yang menatapnya dengan sorotan tajam dan sindiran-sindiran berbau ejekan.

"Ehh, ada si bahenol," ucap Yudhi, seorang rekan kerja semeja dengan Mey.

Suasana semakin tegang ketika Theo menyentil dagu Mey sambil berkata, "Sayang, makasih ya buat tadi!"

Yudhi yang tak mau ketinggalan, memberikan tanggapan sinis, “Oh, jadi tadi rokmu basah karena itu?”

"Ti-tdak! Aku tidak melakukan apapun!" sanggah Mey dengan nada membela diri.

Situasi semakin memanas ketika Ardhi, manajer divisi pemasaran luring, ikut campur dengan komentarnya yang cenderung merendahkan. “Wah, pak Theo udah nyobain ya? Lain kali, tidur bersamaku, oke?” rayunya dengan penuh nada menggoda.

Mey yang merasa jengkel dan tak tahan lagi dengan ejekan yang tak beretika itu, dengan hati berat memutuskan untuk beranjak pergi dari kantin.

'Dasar si tua brengsek! Dia pikir aku semudah itu?'

Langkahnya yang begitu cepat, tak terasa tiba di lobi gedung R&W. Di hadapannya, terlihat seorang pria memakai kaca mata hitam dengan jas mahal keluar dari mobil sport bermerek Pagani Huayra hitam.

Kala langkah pria itu memasuki lobi gedung, terlihat sangat jelas sepatu dan jam tangannya yang sama persis dengan milik pria yang meniduri Mey.

'T-tunggu ... Jam tangan ini? Sepatunya juga ... Sepertinya sangat familiar. Dimana aku melihatnya ya?'

Mey mengerutkan dahinya sembari mengingat-ingat dimana ia melihat jam tangan itu. Namun, ketika ingatan itu kembali, ia malah berkeringat dingin. 'Oh, shit! D-dia kan.. Pria semalam yang tidur denganku!'

'Tidak salah lagi! Jam tangan dan juga sepatunya, aku ingat!'

'Tidak, tidak! Kupikir, setiap orang kaya pasti memilikinya! Mungkin saja, pria semalam dan juga lelaki di depanku ini, adalah orang yang berbeda!'

'Iya, betul! Pasti mereka adalah orang yang berbeda!'

Isi kepala Mey berkecamuk tak karuan memikirkan berbagai hal yang akan menjadi konsekuensi dari malam terlarang yang telah ia lakukan tadi malam.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status