Share

Bab 3. Apakah Dia Terpesona?

Jakarta, Indonesia. 22 Januari 2018, 8:14 PM.

Setelah seharian menjalani rutinitas pekerjaan yang melelahkan, langkah Mey akhirnya membawa dirinya pulang, di mana kehangatan rumah menunggunya. "Mama..." seru Lily dengan sorak-sorai kegembiraan saat melihat pintu rumah terbuka oleh sosok ibu yang dicintainya.

"Sayangku, maafkan mama ya. Tadi ada begitu banyak pekerjaan," bisik Mey dengan lembut, menyampaikan penjelasan atas keterlambatannya.

"Tidak apa-apa, ma. Lily dari tadi sibuk ngerjain PR dan dibantu oleh ii," jawab Lily dengan senyum ceria, meredakan kekhawatiran ibunya.

Mata Mey bersinar penuh kebanggaan saat melihat putrinya yang begitu cerdas. Ia mengelus lembut kepala Lily, seraya berkata, “Anakku pintar.”

Namun, kesunyian sejenak terputus oleh teriakan Mey yang menggema di seluruh rumah, “Jessi… Lusi… Cici, belikan ayam goreng kaefci, nih!” Suara lantang itu membawa kedua adiknya, Jessi dan Lusi, keluar dari kamar masing-masing dengan rasa penasaran.

"Lho, tumben cici beli kaefci," goda Jessi dengan spontan.

"Nggak apa-apa lah, masa nggak boleh beli kaefci?" Mey tersenyum santai, sambil mengeluarkan satu ember ayam goreng dari bungkus.

"Cici itu boros, utang koko belum sepenuhnya lunas lho," komentar Jessi, menyelipkan ketegangan diantara kebahagiaan.

"Shutt! Ci Jess, jangan ngomong kayak gitu! Bersyukur bodo!" Lusi langsung merespon dengan nada bercanda, menciptakan tawa di antara mereka. Suasana penuh kehangatan dan canda tawa memenuhi ruang keluarga, mengusir lelah Mey setelah seharian bekerja.

Mereka berempat duduk bersama, menikmati sajian lezat dari ayam goreng kaefci yang masih hangat sebagai hidangan makan malam. Suasana di sekitar meja makan dipenuhi dengan tawa kecil dan berbagi cerita-cerita konyol yang mereka hadapi hari ini.

Setelah hidangan malam selesai, Mey dan Lily beranjak ke tempat tidur. Dalam keheningan malam, Lily menyampaikan rindunya pada sosok ayahnya. "Maa... Lily kangen sama papaa. Lily pengen jalan-jalan sama papa lagi," ucapnya dengan semerbak kerinduan.

Mey yang merasakan kerinduan yang sama, mendekap erat tubuh kecil putrinya. Sambil mencoba menenangkan hati Lily, Mey berucap lembut, “Shutt! Lily sayang, gak boleh ngomong begitu. Mama juga kangen sama papamu, tapi…” Mey terdiam, sejenak merenungi kenangan yang indah bersama sang suami, dan akhirnya, tetes demi tetes air mata jatuh membasahi pipinya.

Wajah Lily bersinar penuh kepedihan saat melihat ibunya menangis. Anak kecil itu dengan lembut mengusap air mata yang membasahi pipi Mey. “Mama, maafkan Lily kalau buat mama sedih,” ucap Lily, ekspresinya penuh dengan kepedulian.

"Bukan salah kamu sayang," balas Mey dengan suara lembut, sambil tersenyum penuh kasih, meskipun air matanya masih menyisakan kesedihan. Dia merasakan betapa besar cinta dan pengertian yang tersemat dalam hati kecil Lily.

"Waktunya tidur, sudah larut malam lho," bisik Mey, mencoba menutup perbincangan malam itu dengan kehangatan.

Lily dan Mey akhirnya memejamkan mata dalam kegelapan kamar, tetapi hati mereka tetap terhubung dalam kerinduan dan cinta yang tak lekang oleh waktu pada sosok Huang Vincent.

**

Keesokan paginya, ketika Mey baru saja tiba di kantor, suasana di sana terasa sedikit berbeda. Keceriaan dan kehebohan nampak menyelinap di antara para karyawan. Mey menyadari bahwa ada sesuatu yang berbeda di kantor hari itu, memutuskan untuk segera mendekati Gina dan bertanya, "Ini ada apa sih Gina?"

"Hari ini adalah ulang tahun CEO yang ke dua puluh tujuh tahun," jelas Gina sambil tersenyum gembira.

"Terus kenapa?" Mey bertanya lagi, rasa penasaran semakin menguasai dirinya.

"Astaga, kak Mey! Rumornya, adik CEO kita itu selebriti yang sangat terkenal. Yang pernah membintangi beberapa film dan dia juga seorang penyanyi," Gina memberikan informasi sambil memperlihatkan bersemangatnya.

"Penyanyi? Selebriti? Aku tidak tahu," ucap Mey sambil mengernyitkan dahi, mencoba mencerna informasi yang baru saja dia terima.

"Astaga.. Zion William, itu nama panggungnya! Nama aslinya itu Zion Willson. Dia itu adik CEO kita, Jean Willson!" Gina menjelaskan dengan detail.

"Aku sama sekali nggak tahu, siapa kedua orang itu," ungkap Mey.

"Ahh sudahlah, kak Mey nggak akan tahu!" Gina tertawa, mengakui bahwa tidak semua orang bisa mengikuti dunia selebriti.

Di dalam ruang tunggu kantor, keriuhan para karyawan perempuan menciptakan suasana yang hidup. Mereka sibuk mengaca, menyempurnakan penampilan, dan menyemprotkan parfum dengan harapan memberikan kesan terbaik untuk menyambut kedatangan adik CEO. Gema obrolan riang mendengung memenuhi sekitar ruangan, membentuk awan kegembiraan yang tak terhindarkan.

"Zion itu ganteng banget waktu di acara talk show! Aku berharap bisa salaman sama dia dan minta tanda tangannya!" seru salah satu karyawan perempuan, suaranya menyiratkan kekaguman.

"Aku juga mau tandangannya dia!" sahut yang lain, mengikuti gelombang antusias.

"Kalau aku mau berfoto sama dia!" tambah karyawan perempuan yang lain lagi, semangatnya meluap tak terbendung.

Tiba-tiba, Jenny menyahut dengan senyuman sombong. "Ahh.. Zion? Dia itu teman kuliahku di Stanford! Nanti kalau dia di kantor, biar kuajak kesini menemui kalian."

"Kamu serius, Jenny?" tanya salah satu karyawan perempuan dengan mata berbinar penuh keheranan.

"Yapp. Aku sudah berteman dengannya sejak kecil, kalau nggak percaya nih, lihat fotoku sama dia," ucap Jenny dengan bangga memperlihatkan wallpaper ponselnya yang terpampang foto dirinya bersama Zion.

Para karyawan perempuan yang tadinya tidak percaya, kini terkagum-kagum dengan Jenny. "Wah, kamu cantik sekali."

"Kamu dan Zion kok cocok sih?"

"Eh, kok aku jadi iri deh!"

Gemuruh obrolan dan riuh ketawa yang terus menerus mulai mengganggu beberapa karyawan yang tengah fokus pada pekerjaan mereka. yang tidak terlalu tertarik pada sensasi ini, akhirnya memberikan teguran, "Hey, kalian! Jangan berisik.” Suara Theo membuyarkan kegaduhan yang terjadi.

Setelah mendapat teguran tersebut, para karyawan perempuan itu kembali menyibukkan diri dengan tugas masing-masing. Di tengah hiruk-pikuk aktivitas kantor, Theo memanggil Mey dengan suara lantang, menciptakan momen ketegangan di sudut ruangan.

"Mey, kemarilah," panggil Theo dengan nada serius, meminta Mey untuk mendekat.

Mey pun berjalan menghampiri meja atasannya, wajahnya sedikit cemas. "Ada apa pak?" tanya Mey dengan penuh kehati-hatian.

Namun, ketegangan semakin bertambah saat Theo tiba-tiba melakukan tindakan yang tidak pantas di tempat kerja. Ia menepuk dan meremas kasar gumpalan lemak di bawah pinggang Mey, tindakan tersebut jelas tidak sesuai dengan norma perilaku di lingkungan kantor. "Jumat malam, kamu harus ikut makan malam perusahaan!" bisik Theo dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Aksi tidak senonoh ini dilihat oleh sejumlah karyawan lainnya, dan suasana yang tadinya senyap kembali bergemuruh dengan bisikan dan tatapan yang menusuk.

Dengan sikap tegas, Mey menepis tangan Theo yang melakukan tindakan tersebut. "Maaf pak, saya jumat malam ada acara keluarga," ucap Mey dengan suara yang tetap tenang, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya terlibat dalam situasi yang perlu diwaspadai.

"Kau mau langsung dipecat ya? Pokoknya kalau masih mau bekerja di sini, kau harus datang di acara makan malam perusahaan!" ancam Theo, seakan menunjukkan kekuasaannya.

Mey menundukkan kepalanya, meresapi situasi yang sulit ini. Ia kemudian berbalik dan berjalan menuju mejanya, meninggalkan Theo dengan pikiran yang tak menentu. Setelah bekerja beberapa saat, saat jam istirahat makan siang tiba. Theo melewati meja Mey dan menyuruhnya untuk mengantarkan berkas. "Tolong, antar berkas ini ke meja Ardhi," perintah Theo, sambil menyodorkan tumpukan berkas yang cukup banyak.

Gina yang memperhatikan kejadian tersebut, sedikit khawatir. "Apa Kak Mey mau melewatkan makan siang hari ini?" tanya Gina, menunjukkan keprihatinannya.

"Yah, mau bagaimana lagi? Ini perintah," jawab Mey dengan suara yang agak tertekan.

Akhirnya, Gina memutuskan untuk melangkah menuju kantin sendirian. Di sisi lain, Mey sibuk membawa berkas yang sangat banyak. Tangannya yang coba mengatasi beban berkas terlalu besar untuk sekadar langkahnya di tangga, membuat serpihan kertas berterbangan saat ia tanpa sengaja menabrak seorang pria yang sedang melewatinya.

Berkas yang semula tertata rapi kini berserakan di lantai, menciptakan pemandangan yang agak kacau di tengah-tengah tangga kantor. Dengan wajah yang khawatir, Mey segera berjongkok untuk membereskan berkas-berkas yang berserakan. Sementara itu, pria yang berbenturan dengan Mey, hanya diam terpaku dan terus menatap paras cantik wanita dihadapannya, seolah waktu telah terhenti.

"Maaf," ucap Mey dengan penuh penyesalan.

"Aku yang minta maaf," balas pria itu dengan ramah, membuat Mey sedikit merasa lega.

Saat berkas berhasil ditata kembali dengan rapi, Mey melanjutkan langkahnya. Namun, kejadian yang baru saja terjadi belum sepenuhnya berakhir. Pria yang tadinya hanya terdiam membeku, tiba-tiba berseru dari belakang, "Hey, namaku Zion Willson! Namamu siapa?" Mey tak menoleh atau menggubris seruan tersebut, tetap fokus melanjutkan langkahnya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status