Share

Bab 4. Terpikat Janda

Jakarta, Indonesia. 23 Januari 2018, 12:34 PM.

Setelah sampai di meja Ardhi, Mey disapa oleh manajer tersebut dengan tawaran yang tidak sesuai dengan dugaan.

"Cantik.. Mau makan bareng ke kantin?" sapa Ardhi dengan senyuman yang sedikit merayu.

"Tidak, pak. Ini berkas dari pak Theo," tolak Mey dengan tegas, menunjukkan keseriusannya dalam menjalankan tugasnya.

Namun, Ardhi, tanpa rasa hormat, mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan video yang merekam kejadian pagi tadi saat kedua tonjolan besar di bawah pinggulnya diremas oleh Theo. "Kenapa Theo sangat beruntung mendapat karyawan sepertimu? Aku juga ingin menikmati tubuhmu!" goda Ardhi dengan nada merendahkan.

Mey begitu terkejut ketika tahu ada karyawan lain yang diam-diam merekam adegan tidak pantas tersebut. Ia merasa dipermalukan dan harga dirinya terluka. "Pak, ini sudah sangat keterlaluan!" ucap Mey dengan nada kecewa.

Kondisi ruangan kantor divisi pemasaran luring yang luas itu sedang sepi karena para karyawan sedang istirahat makan siang. Seolah dijadikan celah bagi Ardhi untuk mencoba melecehkan wanita di hadapannya, dengan tangan kekarnya, jemarinya merayap lembut di antara punggung Mey, sambil tersenyum nakal.

Mey tidak terima dengan perlakuan tersebut, segera menepis tangan Ardhi dan menjauh. "Anda dan pak Theo sama saja, sama-sama rendahan!" ucap Mey dengan nada tegas, mempertahankan martabatnya.

Namun, Ardhi tak berhenti di situ. Ia bangkit dari tempat duduknya dan beranjak menuju Mey dengan niat yang kurang baik. Ardhi mencengkeram lengan Mey dan menyeretnya, tapi tiba-tiba terdengar suara seorang pria yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah ruangan.

"Apa yang kalian lakukan?" teriak pria tersebut, menyelamatkan Mey dari situasi yang semakin tidak terkendali.

Ardhi tersentak oleh gangguan yang mendadak, pandangannya langsung tertuju pada sosok pria yang memergokinya. Dengan penuh ketidakberdayaan, ia berkata, "Maaf, saya hanya ingin memberi pelajaran pada bawahan saya!" Suara Ardhi mencuat di udara, menciptakan ketegangan yang tak terduga.

Di hadapan Ardhi, berdiri seorang pria dengan karismatik tak terbantahkan, berwajah rupawan dan postur tubuh yang tinggi hampir enam inci. Pria itu tak lain adalah Zion, sosok selebriti terkenal yang juga adik dari CEO Willson Group.

Suara Zion menggelegar, “Bukan seperti itu caramu menegur bawahan! Lepaskan tangan dia!”

Ardhi terpojok oleh kehadiran Zion, meresapi kata-kata tajam yang terlontar. “Ba-baiklah,” ucap Ardhi dengan hati yang masih berdegup kencang, sambil melepaskan cengkeramannya pada lengan Mey.

"Pergilah dari sini," desak Zion pada Ardhi, memberikan perintah tanpa cela.

Ardhi meninggalkan tempat itu dengan langkah yang terhuyung-huyung, merasa terguncang dengan situasi yang baru saja dihadapi. Mey yang sebelumnya terperangkap dalam situasi yang mencekam, merasa lega melihat Ardhi pergi. Dia mengucapkan rasa terima kasihnya, "Terima kasih, Anda telah menolong saya."

"Sama-sama. Ngomong-ngomong, nama kamu siapa?" tanya Zion, yang sebelumnya telah menanyakan hal yang sama.

"Saya, Huang Mey. Anda siapa?" balas Mey sambil mengulurkan tangannya, menciptakan hubungan baru yang terbentuk.

Zion menerima uluran tangan Mey dengan senyum ramah, menjawab, "Namaku Zion Willson."

Setelah itu, tangan keduanya aaling melepaskan. "Jadi, Anda tidak mengenal saya?" goda Zion, ingin menggali pengetahuan Mey tentang dirinya.

"Ohh.. Iya, Zion kan? Kata cewe-cewe tadi kamu itu artis ya?" ucap Mey, mencoba menyelipkan sedikit kepolosan.

"Jadi, kamu tidak tahu kalau aku ini artis? Aku juga penyanyi lho," jawab Zion dengan kegembiraan dalam suaranya, membongkar kepingan informasi tentang dirinya.

Mey merasa malu karena ketidaktahuannya, "Astaga, maaf, aku tidak tahu."

"Ngomong-ngomong, kamu tidak makan siang?" suara Zion menciptakan obrolan ringan di antara mereka.

Mey hanya menggelengkan kepalanya, tetapi Zion tidak bisa mengabaikan perempuan yang disukainya itu bekerja dengan perut kosong. Dengan senyuman tulus, ia menawarkan, "Bagaimana kalau kamu aku traktir makan? Di dekat sini ada restoran sushi Jepang yang enak!"

"Eh, seharusnya saya yang menraktir anda. Karena anda telah menolong saya," balas Mey dengan rendah hati.

"Sudahlah, ayo! Aku saja yang menraktir! Kapan-kapan giliran kamu yang traktir aku, oke?" ucap Zion dengan penuh semangat, memberikan tawaran yang tak bisa ditolak.

Mey setuju dengan senyuman, dan mereka berdua segera beranjak pergi. Di tengah lorong-lorong perusahaan yang sibuk, langkah mereka yang seirama menarik perhatian sejumlah karyawan yang penasaran.

Namun, kebahagiaan singkat itu terhenti ketika Jenny tiba-tiba menghadang Zion. "Hey, Zion! Kenapa kau jalan berdua dengannya?" serunya sambil menunjuk Mey.

"Aku mau makan siang dengan dia, kenapa?" tanya Zion dengan ketegasan.

"Apa kau sudah gila, Zion? Kau juga tertarik dengan janda murahan ini?" hardik Jenny dengan kata-kata yang menusuk, mencoba merusak suasana positif.

"Astaga, sejak kapan omonganmu jadi tidak sopan seperti ini, Jenny?" ucap Zion dengan sedikit keheranan, menyadari bahwa situasi mulai memanas.

"Sopan tidaknya aku, tergantung pada siapa aku berbicara. Sebaiknya, kau itu jangan dekat-dekat sama dia. Dia itu seperti kecoak yang menjijikkan!" cemooh Jenny, merendahkan Mey.

Sambil meresapi situasi yang tiba-tiba menjadi tegang, Zion memutuskan untuk tidak terpancing. "Sudahlah, ayo, Mey. Jangan dengerin ocehan Jenny yang gak jelas itu," ucap Zion sambil dengan tegas menggandeng tangan Mey.

Mereka melangkah pergi, mengabaikan gertakan Jenny, dan tanpa disadari, memicu rasa iri di antara karyawan perempuan yang menyaksikan momen itu.

Begitu melangkah keluar dari gedung, Zion meminta valet untuk menyiapkan mobilnya. Dan tak berapa lama kemudian, sebuah Ferrari berwarna merah merayap dengan elegan, berhenti tepat di depan mereka berdua. Zion dengan sopan membuka pintu mobil untuk Mey, mempersilahkan untuk masuk.

"Ayo naik," pinta Zion dengan senyuman yang ramah, seperti seorang pangeran yang menawarkan pada putri kerajaan.

Mey tersenyum senang, melangkah ke dalam mobil yang begitu gemerlap dengan kemewahan. "Aku belum pernah naik mobil semewah ini," ucap Mey dengan rasa kagum yang terpancar di matanya.

"Syukurlah, sekarang kamu bisa merasakan sensasi berkendara dengan mobil sport," balas Zion dengan kehangatan, memandang Mey seolah-olah dunia ini hanya ada mereka berdua.

Perlahan, mobil sport mewah itu beranjak menjauh dari gedung Willson. Meninggalkan ketegangan yang beberapa saat lalu tercipta.

Di tengah terik matahari yang memekik, tiba-tiba Mey melontarkan pertanyaan. "Kenapa kamu baik padaku?" tanyanya, mencoba memahami kebaikan yang disuguhkan Zion.

"Jujur saja, aku tertarik padamu," jawab Zion tanpa ragu, mengungkapkan perasaannya dengan tegas.

"Tertarik?" Mey bertanya lagi, sambil mengerutkan dahinya.

"Lebih tepatnya terpikat! Parasmu yang cantik dan tubuhmu yang seksi. Kamu tipe perempuan yang aku idam-idamkan," ungkap Zion dengan penuh kejujuran, memberikan kejutan yang menggetarkan hati Mey.

Seketika, pipinya merah merona, Mey tersipu malu terbawa suasana oleh kata-kata dan pujian yang diucapkan Zion. Ferrari merah itu membelah hiruk pikuk jalanan ibukota Jakarta, menciptakan pemandangan indah yang terhampar di sepanjang perjalanan. Hingga, akhirnya, mereka tiba di depan restoran sushi Jepang yang megah.

Zion mengajak Mey untuk makan siang yang istimewa di dalam VIP room. Guna memberikan privasi pada Zion, untuk menghindari sorotan paparazi. Di dalam ruangan eksklusif itu, Zion dan Mey menikmati berbagai hidangan sushi yang lezat dan sashimi salmon yang segar. Tak lupa berbagi cerita-cerita konyol dan gelak tawa sesekali ikut memeriahkan.

Setelah selesai menyantap sajian bersama, Zion mengantar Mey kembali ke kantor dengan mobil mewahnya. Saat Mey turun dari mobil, matanya melirik Zion melalui kaca mobil yang terbuka. Mereka berdua saling berpandangan dengan tatapan yang penuh makna. “Terima kasih atas makan siangnya, sushi dan sashiminya enak banget,” ucap ceria Mey, merasa bahagia sebab dapat menikmati hidangan mewah yang lezat.

“Senang bisa menghabiskan waktu bersamamu,” jawab Zion sambil tersenyum, seolah menandai akhir dari pertemuan mereka hari ini.

Ferrari merah itu bergerak secara perlahan, meninggalkan Mey yang menatap punggung mobil dengan senyuman. Saat kembali ke kantor, Mey melanjutkan tugasnya, tetapi suasana di sekitarnya berubah. Jenny tampak tidak puas, dan hendak melepaskan amarahnya.

"Apa hubunganmu dengan Zion? Kau jangan pernah menggodanya! Dia itu teman baikku!" teriak Jenny dengan penuh kemarahan, memecah suasana hening di kantor.

"Apa maksudmu? Dia hanya mengajakku makan siang, aku juga tidak ada niat untuk menggodanya," Mey menjelaskan dengan tenang, mencoba meredakan kegaduhan yang tiba-tiba muncul.

"Tidak usah banyak alasan! Jangan pernah mendekati Zion lagi, atau, kuminta koneksiku di perusahaan ini untuk memecatmu!" gertak Jenny dengan nada ancaman.

Mey tetap fokus pada pekerjaannya, membiarkan teriakan Jenny menggantung di udara tanpa memberikannya perhatian lebih. Jenny yang merasa diabaikan kembali ke meja kerjanya, meninggalkan Mey yang terus sibuk dengan tugasnya.

Waktu berlalu tanpa disadari, dan senja mulai menyelinap masuk melalui jendela kantor. Meskipun jam pulang sudah tiba, Mey masih terpaku pada layar komputernya. Gina memberikan pemberitahuan ramah, "Kak Mey, Gina pulang duluan ya."

"Iya Gina, hati-hati di jalan ya.." balas Mey dengan senyum tipis, tak melupakan etika sopan saat berbicara. Tetap fokus pada layar komputernya, Mey memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya dengan tekun.

Satu persatu karyawan pergi untuk pulang, ruangan kantor semakin lenggang. Suara langkah kaki dan bisikan pekerjaan yang terdengar sepanjang hari mulai meredup, menyisakan Mey seorang diri di antara meja dan kursi yang kosong. Hari yang sibuk telah berakhir, tetapi, Mey masih memiliki beberapa tugas yang menuntutnya untuk diselesaikan.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status