Share

Bab 6. Demi sang Pujaan Hati

Jakarta, Indonesia. 29 Januari 2018, 8:11 AM.

Mey beranjak menuju kantor dengan langkah yang terasa begitu berat, tatapannya kosong, hilang di tengah keruwetan pikiran. Setelah menghabiskan akhir pekan yang seharusnya memberikan ketenangan, justru, ia habiskan dengan begadang dua malam. Dirinya terguncang oleh fakta yang diungkapkan oleh Denny.

Ketika langkah Mey mencapai meja kerjanya, suasana kantor yang hening tiba-tiba terpecah oleh suara riuh yang tak terduga. “Selamat pagi, Mey!” seru Zion, muncul seperti angin segar dengan setelan kemeja putih dan celana kantor hitam yang memberikan sentuhan elegan.

Mey yang terperangkap dalam lamunan, seketika terkejut, matanya mencari sumber suara yang tiba-tiba menggema di sekitarnya. "Zion? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Mey, rasa penasaran mencuat di ekspresinya.

"Aku baru saja melamar untuk bekerja di sini, Mey. Satu divisi yang sama denganmu!” jawab Zion penuh semangat, senyumnya memperlihatkan antusiasnya yang besar.

Mey hanya mampu merespons dengan senyuman samar, menyembunyikan kegelisahan di balik ekspresi wajahnya. Namun, Zion yang teramat peduli terhadap Mey, mempertanyakan keadaan. "Kenapa wajahmu terlihat lesu? Jika ada sesuatu yang mengganjal di hatimu, Mey. Ceritakan padaku," pinta Zion dengan kebaikan hatinya.

Mey menggeleng pelan, mencoba meredakan kecemasan di dalam dirinya, "Tidak apa-apa kok."

Namun, Mey tersadar akan suatu hal, kala Zion menempati meja yang seharusnya diisi oleh Yudhi. "Bukankah ini meja Yudhi?" tanya Mey, rasa penasarannya yang mencuat ditandai dengan satu alisnya yang naik.

"Dia memutuskan untuk pindah ke departemen lain," jawab Zion, ekspresinya serius, membawa kabar yang tak terduga.

"Oh, begitu," ucap Mey, sembari menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti.

Gina melangkah masuk ke kantor dengan langkah yang ceroboh, matanya melotot ketika dirinya dihadapkan pada pemandangan yang tak terduga. "Hei, siapa pria yang berada di meja depan itu, Mey?" tanyanya, suaranya terguncang oleh keheranan.

Mey dengan santai, menjawab, "Tidakkah kamu sudah kenal dengannya sebelumnya?"

"Apakah mungkin dia ... Zion?" Gina mencari konfirmasi.

“Yap,” Mey menjawab dengan singkat.

"What the hell? Aku tidak percaya ini, dia bekerja di sini! AKU SANGAT SENANG!" seru Gina, penuh semangat, seolah dunianya tiba-tiba berubah menjadi dunia yang lebih berwarna.

Namun, kebahagiaan Gina seketika diusik oleh kehadiran Jenny yang muncul tanpa aba-aba, memberikan sejumput komentar sinis. "Norak!" ucap Jenny tanpa pandang bulu.

Gina membulatkan matanya, “Apa yang baru saja kau katakan?”

"Kau itu norak," ulang Jenny dengan sikap arogan.

Gina meradang, “Jaga ucapanmu! Kau itu lebih muda dariku, cewek songong!”

Jenny dengan santainya menantang, “Apa? Kau mau apa ha?”

Mencoba meredakan luapan emosi yang mencuat di antara keduanya, Mey menenangkan Gina, "Sudahlah Gin, tak perlu diberi tanggapan, bukankah sikapnya memang seperti itu."

Jenny beralih dan memilih untuk duduk di kursi sebelah tempat duduk Zion. "Apa kau kesurupan? Ngapain kerja di sini? Bukannya dunia selebriti jauh lebih menyenangkan?" tanya Jenny dengan penasaran yang menggelayuti dirinya.

Dengan mata berbinar, Zion tanpa ragu menjawab, "Aku suka pada seseorang yang bekerja di sini, Jenny. Jadi, aku memutuskan untuk bekerja di sini, agar bisa melihatnya setiap hari!"

"Kau bicara tentang Mey?" tanya Jenny lagi, ingin memastikan.

"Iya. Dia begitu cantik dan menarik," jawab Zion, senyumannya memancarkan kekaguman dalam kata-katanya.

Jenny menghardikn dengan keras, "Apakah kau sudah gila?"

Zion tertawa ringan, “Yah, mungkin saja, Jenny. Aku sudah dibuat tergila-gila olehnya.”

Dalam kegelapan intrik dan emosi yang berkobar, kisah di kantor ini mulai terurai, membentuk jalinan hubungan yang tak terduga di setiap sudutnya.

Jenny melemparkan cemooh dengan nada sindiran yang menusuk. "Kau sepertinya sudah hilang kewarasan, Zion. Sejak kapan kau berubah jadi idiot begini, huh?"

Zion hanya membalas dengan senyuman, membiarkan hinaan Jenny menggantung di udara. Tak lama kemudian, Theo, sang manajer divisi, muncul dengan ramah menyambut Zion. "Selamat datang, Tuan Zion. Semoga Anda merasa nyaman menjadi bagian dari tim saya!" sambut Theo penuh keramahan.

"Oke," jawab Zion singkat.

Hari kerja dimulai, detik demi detik berlalu. Suasana kantor diisi dengan aktivitas dan keramaian. Tanpa diduga, suara Theo menggema di seluruh ruangan, "Mey! Kemarilah sebenatar."

Mey segera meninggalkan pekerjaannya dan mendekati Theo, "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Ini proposalmu, bukan?" tanya Theo sambil menyodorkan dokumen.

"Iya, Pak," Mey menjawab dengan penuh perhatian.

"Aku sudah menyampaikannya pada manajer utama, dan katanya, CEO ingin bertemu dengan pembuat proposal ini," ucap Theo dengan keseriusan di wajahnya.

Mey terkejut, kemudian bertanya, “Apakah beliau benar-benar terpukau oleh proposal saya? Sehingga meminta untuk bertemu,”

Theo hanya menggeleng, "Entahlah, Mey."

"Sekarang juga, pergilah ke ruangannya yang berada di lantai delapan puluh sembilan!" bentak Theo, memberikan perintah.

"Baik, Pak. Terima kasih banyak!" ucap Mey dengan penuh rasa syukur, hatinya berbunga-bunga dalam antusias yang berkobar.

Mey melangkah dengan ceria, namun, suara seseorang membuatnya terkejut. "Mey, aku ikut. Boleh?" tanya Zion yang sedari tadi mengikuti Mey dari belakang.

"Astaga, Zion! Tentu saja boleh. Toh, ini mau ke ruangan kakakmu," terang Mey, memberikan izin pada Zion untuk ikut dengannya ke ruangan CEO R&W Group.

Mereka berdua memasuki sebuah lift yang menuju lantai delapan puluh sembilan. Di dalam lift tersebut, suasana terasa menjadi canggung lantaran Zion terus menatap Mey. "Ada apa, Zion? Apa ada yang salah dengan penampilanku?" tanya Mey dengan senyuman.

"Tidak ada yang salah dengan penampilanmu, Mey, Hanya saja, aku masih penasaran dengan dirimu. Apakah, benar, kamu ini janda?" pertanyaan Zion dengan spontan.

"Iya, benar. Aku memang janda," jawab Mey tanpa keraguan apapun.

Zion menatap mata Mey dengan ekspresi kesedihan, "Pria bodoh mana yang menceraikan perempuan secantik dirimu, Mey?"

"Zion, maaf, tapi suamiku tidak menceraikanku melainkan sudah meninggal," papar Mey dengan hati yang tegar.

"Oh, astaga Mey. Aku yang seharusnya meminta maaf, karena aku salah paham. Jadi, suami kamu sudah meninggal? Karena apa?" Zion lagi-lagi bertanya dan memberikan perhatian.

"Mendiang suamiku meninggal karena dibu—" sebelum Mey melanjutkan ucapannya, pintu lift sudah terbuka dan di hadapan mereka berdua terdapat karyawan lain yang akan masuk ke dalam. Mau tidak mau, Mey tidak melanjutkan ucapannya.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status