Share

Bab 5. Pria yang Merenggut Suamiku

Jakarta, Indonesia. 27 Januari 2018, 9:11 AM.

Beberapa hari kemudian, saat cahaya mentari pagi menerangi rumah Mey, di mana Lusi tengah sibuk memasak sarapan, sedangkan Jessi dan Lily bersemangat membersihkan rumah. Sabtu yang tenang ini memberikan kelonggaran bagi Mey untuk menikmati tidurnya yang pulas. Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara dering ponsel yang mengusik tidurnya. Dengan mata yang masih terpejam, Mey menjawab panggilan dari Denny Septian, seorang junior detektif kepolisian yang dibimbing oleh mendiang suaminya.

"Halo, Ci. Apa kita bisa bertemu hari ini?" tanya Denny melalui telepon.

Mey yang masih setengah sadar menjawab dengan suara lirih, "Yaaa.."

"Oke, aku sudah berada di depan rumahmu lho, Ci," ucap Denny.

Mata Mey yang tadinya masih terpejam pun terbelalak, kini terbuka dengan lebar secara tiba-tiba. "APAA??" teriaknya sambil beranjak dari tempat tidur.

Mey segera mematikan panggilan telepon, menyadari bahwa pagi ini tidak akan seperti Sabtu biasanya. Dengan cepat, ia mencuci wajahnya dengan sabun muka, menyikat gigi, dan berganti pakaian. Tanpa menunggu lama, Mey membuka pintu rumah dan mempersilahkan Denny masuk.

"Lusi, apakah kamu bisa membuatkan minuman untuk Om Denny?" lolongan suara Mey pada adiknya yang tengah memasak.

Lalu, Mey melanjutkan, "Ada apa, Denny?"

"Ini soal kematian ko Vincent, apa tidak masalah bicara di sini?" tanya Denny, membawa suasana menjadi serius.

"Gimana kalau sambil jalan-jalan dan cari sarapan?" tawar Mey, mencoba memecah kebekuan.

"Di kafe saja, bagaimana ci?" usul Denny.

"Baiklah," ucap Mey.

Lusi datang membawa secangkir teh di nampan. "Maaf, Lusi. Cici mau keluar sebentar sama Om Denny," jelaskan Mey kepada adiknya.

Lusi mengerutkan dahinya, "Lalu, teh ini?"

"Maaf, Lusi. Tehnya kamu minum saja," balas Mey dengan sedikit senyuman sungkan.

"Tau gitu gak aku buatin teh!" gerutu Lusi dengan ekspresi yang tampak kesal .

Mey tertawa kecil dan menjawab, "Maaf ya."

Mey dan Denny, meninggalkan rumah menuju kafe terdekat. Setelah sampai, suasana di tempat itu masih sunyi dan sepi. Mey memesan dua kopi panas untuknya dan Deny, lalu melanjutkan, "Apa yang terjadi, Denny?" Mey bertanya, mencurigai bahwa pertemuan tak terduga ini pasti membawa berita serius.

"Kematian Ko Vincent, bukan diakibatkan oleh kecelakaan mobil, Ci. Dia dibunuh oleh seorang pembunuh berantai!" jawab Denny, membawa kabar yang seketika membuat Mey tertegun.

"Apa katamu?" reaksi Mey dari keterkejutannya.

"Sebelum kematiannya, Ko Vincent tengah menyelidiki pembunuh berantai yang meninggalkan jejak khusus pada mayat korbannya. Semua korbannya adalah wanita dengan cat kuku warna merah. Sementara, jari kelingking di mayat Ko Vincent juga memiliki jejak warna merah," jelas Denny.

"Iya. Aku juga melihat kuku jari kelingking suamiku berwarna merah saat meninggal. Padahal sebelumnya dia tidak pernah menggunakan cat kuku," Mey mengekspresikan kebingungannya.

Denny menunjukkan sejumlah foto yang telah dicetak. "Inilah beberapa temuan Ko Vincent mengenai identitas sang pembunuh. Sepatu limited edition bermerek Louis Vuitton x Supreme, serpihan berlian yang diduga dari jam tangan limited edition, dan bekas ban mobil sport bermerek Koenigsegg," terang Denny, menjelaskan setiap foto dengan rinci.

'Tunggu, jam dan juga sepatunya.. Sangat mirip dengan milik pria itu..' benak Mey.

"Maaf, aku masih belum mengerti!" ujar Mey.

"Pada Juli dua ribu tujuh belas, Ko Vincent menemukan jejak sepatu sang pembunuh, yang kemudian diidentifikasi sebagai Louis Vuitton limited edition. Agustus dua ribu tujuh belas, Ko Vincent kembali menemukan serpihan berlian 0,02 karat yang diduga berasal dari jam tangan limited edition. Terakhir, pada September dua ribu tujuh belas, bekas ban mobil sport bermerek Koenigsegg. Kami menemukan cctv pada jalan veteran, dan sang pembunuh tengah memakai hoodie supreme limited edition berwarna merah. Namun, saat mencari plat nomor mobil itu, kami tidak menemukan apapun," ungkap Denny dengan penjelasan yang lebih rinci.

"Dan, satu bulan kemudian. Ko Vincent meninggal karena kecelakaan. Bukankah ini terlalu janggal? Aku berasumsi, bahwa ko Vincent dibunuh oleh pembunuh berantai itu," tambah Denny.

Mey merasa merinding mendengar cerita ini dan hanya bisa terdiam, menundukkan kepala. Melihat reaksi Mey, Denny berbicara lagi, "Menurutku, pembunuh ini bukan sembarang orang biasa, melainkan orang yang sangat kaya raya."

Tiba-tiba, Mey angkat bicara, "Aku pernah bertemu pria mengenakan jam dan sepatu itu."

"Dimana, ci? Apa ci Mey bisa jelasin lebih lanjut?" pinta Denny.

Namun, bibir Mey terkatup rapat. Ia tidak mungkin membeberkan malam yang tak seharusnya terjadi, "Maaf, aku lupa, Denny. Oh iya, aku pasti akan mencari pria itu lagi dan menangkapnya!"

"Bahaya, Ci. Lebih baik jangan! Serahkan padaku saja, oke?" pinta Denny.

Mey mengangguk pelan. Untuk mengalihkan suasana, Denny menceritakan kisah lucu yang membuat Mey tertawa. Suasana berubah lebih ringan.

Setelah segelas kopi capucino habis, mereka berdua memutuskan untuk mengakhiri diskusi. Denny mengantarkan Mey pulang ke rumahnya. Setelah mendapat informasi mengejutkan itu, Mey jadi kesulitan berkonsentrasi pada berbagai hal, padahal ia harus menangani revisi proposal yang segara diserahkan kepada atasan pada hari Senin. Namun, bayangan kematian suaminya dan misteri pembunuh berantai terus menghantui pikirannya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status