Beranda / Romansa / Hasrat Kakak Tiri / "Akan Kukalahkan Rekor-mu, Arion"

Share

"Akan Kukalahkan Rekor-mu, Arion"

last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-27 06:57:10

Suara itu, tipis seperti benang sutra yang direntangkan, menyelinap dari bawah celah pintu. Desahan tertahan, hela napas yang terlalu panjang—semua merambat dan menghantam jantung Shana.

Shana mematung. Kali ini, kakinya menancap ke lantai. Tidak ada naluri untuk mundur atau lari.

Jika sebelumnya ia terlihat hancur, kini wajahnya menampilkan ketenangan dingin. Seperti seseorang yang baru saja menatap kegelapan di dalam dirinya, dan memutuskan untuk menyambutnya.

Waktu seperti mencair, berdetak lambat. Arion di balik pintu sama sekali tidak menyadari kehadiran Shana.

Dan di balik pintu itu, seakan ada sebuah panggung di mana dunia sedang mentertawakan kebodohan dan kesetiannya.

Namun, Shana mengangkat kepalanya. Pandangan matanya yang semula jatuh, kini mendongak.

Ia tidak boleh terlihat ringkih. Tidak di depan Arion. Dan yang lebih penting, tidak di depan cermin batinnya sendiri.

Rasa cemburu itu masih ada, membakar seperti api. Tapi dalam sedetik, ia menarik napas, dan api itu beruba
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Hasrat Kakak Tiri   42. SLow Down

    “Tenang… tenang,” katanya santai, seolah suasana barusan tidak setegang kabel listrik. “Kami cuma nganter durian.”Arion berkedip. “Durian…?”“Iya.” Ayahnya mengangkat sedikit plastik itu. “Tadi di jalan lihat orang jual durian Medan. Masih siang, tapi udah dibuka. Kata abang-abangnya manis.”Ibunya Shana tersenyum kecil. “Bapakmu ini, kalau ingat Shana sama kamu, bisa tiba-tiba belok.”Shana yang berdiri di ambang pintu kamarnya mengerjap.Durian?Semua ketegangan yang barusan menggumpal seperti benang kusut… mendadak ditarik sedikit longgar.“Masuk dulu, Om,” kata Shana sopan, melangkah ke depan. “Panas.”Ayah Arion tertawa pendek. “Nah, itu. Aku juga mikir gitu. Tadi baru dari sini beberapa jam lalu, tapi kok kepikiran lagi. Perut bapak nggak bisa bohong.”Arion menghela napas pelan.Bukan lega.Lebih ke… tertunda.Mereka masuk. Plastik durian diletakkan di meja makan. Bau khasnya langsung menyebar, memenuhi ruangan, menabrak sisa-sisa ketegangan yang belum sepenuhnya hilang.Naya

  • Hasrat Kakak Tiri   41. Garis Tembak

    Suara lift berdenting pelan. Terlalu pelan untuk menandingi degup jantung Arion yang baru saja diserang Rika barusan. Ia tetap berdiri di ruang tamu, bahu naik-turun, tatapan kosong ke lantai, seperti seseorang yang baru saja diseret keluar dari mimpi buruk masa lalu… lalu dilempar ke mimpi buruk yang baru.Ia belum sempat memproses ucapan Rika—belum sempat memproses tatapan Shana tadi—ketika getaran ponselnya mengiris keheningan.Satu pesan.Pendek.Tapi mematikan.“Aku di bawah. Aku naik sekarang. Ada yang tertinggal.” — NayaArion langsung menegakkan tubuhnya.“Tidak. Tidak sekarang. Sial…”Ia menutup wajah dengan kedua tangan.“Kenapa semua orang harus muncul di hari yang sama?!”Pintu kamar Shana terbuka sedikit—hanya celah tipis.“Ka?”Arion kaget setengah mati. “Shana, jangan keluar dulu.”Shana melihat wajah Arion—masih kacau, masih tegang—dan meski gengsinya tinggi, instingnya tetap bekerja.“Kak… ada apa lagi?”“Pokoknya jangan keluar. Tolong.”Nada Arion rendah, hampir memo

  • Hasrat Kakak Tiri   40. Gengsi

    Cahaya siang menabrak dinding putih apartemen Arion ketika suara ketukan keras memenuhi ruangan.Arion membeku di tempat.Shana keluar sedikit dari ambang pintu kamarnya—tidak penuh, setengah badan saja, seolah ia masih mencari alasan logis buat nongol… padahal jantungnya sudah lari duluan. Yang membuatnya berhenti adalah wajah Arion. Terlihat pucat, tegang, dan seperti kehilangan sepersekian detik waktu.Ia belum pernah melihat Arion sekaget dan sepucat itu.Bahkan saat ayahnya datang tadi siang pun tidak se dramatis ini.Arion berdiri mematung, seperti seseorang yang baru saja mendengar nama yang seharusnya mati di masa lalu.Ketukan kedua terdengar.Dan satu suara menyusul, datar tapi menusuk:“Kamu pikir aku nggak akan tahu soal ini, Arion?”Arion menutup mata sekejap.“Rika…” bisiknya. “Sial.”Shana mengerutkan dahi.Rika? Siapa?Pintu terbuka, dan Rika melangkah masuk. Tanpa menunggu izin. Cara ia berdiri saja sudah menjelaskan jikaia pernah menjadi bagian dari hidup Arion.Bag

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 39. Wanita Selalu Tidak Salah

    Ada orang yang saat marah, suaranya meledak. Teriakan tajam, mengiris udara. Ada yang butuh gestur kasar: membanting benda, menutup pintu dengan bunyi debuman yang membuat dinding bergetar.Shana... justru sebaliknya. Dan itulah yang membuat Arion semakin gila.Sejak pintu kamar itu terkunci tanpa suara, apartemen terasa menyusut, mengecil hingga mencekik. Bahkan dengungan AC yang biasa menenangkan kini terdengar seperti bisikan dingin yang menuduh. Arion mondar-mandir, setiap langkahnya terasa berat dan sia-sia. Matanya terpaku pada pintu kayu itu, seolah ia sedang menatap pintu kandang yang ia buka sendiri, membiarkan makhluk buas—atau lebih tepatnya, makhluk yang tersakiti—bersembunyi di dalamnya.“Kendalinya di dia sekarang, ya…” gumamnya, memijat tengkuknya yang menegang. Ototnya terasa kaku. “Sampai kapan pun dia mau. Sampai aku luluh, atau dia pergi.”Mendengar suara dari balik pintu? Mustahil.Diam.Bukan diam karena ketiadaan. Ini adalah keheningan yang penuh, diisi oleh amar

  • Hasrat Kakak Tiri   38. Introgasi Ayah Arion

    Ada momen-momen tertentu di hidup seseorang ketika suara ketukan pintu terdengar lebih keras daripada teriakan. Bukan karena volumenya, tapi karena apa yang mungkin menunggu di baliknya. Dan kali ini, bukan hanya Arion yang takut membukanya. Shana ikut menahan napas, seolah paru-parunya berbagi udara dengan Arion.Mereka bertukar pandang. Di mata Arion, ada peringatan dan permohonan. Di mata Shana, ada ketakutan yang dihiasi lapisan baja ketenangan.“Stay di sini,” bisik Arion, suaranya serak.Shana mengangguk. Kepala ikut, tapi hati menolak. Ia tahu, apa pun yang terjadi setelah ini akan mengusik sesuatu yang baru saja ia tata dalam hidupnya.Arion berjalan. Setiap langkahnya berat, seakan ia sedang menuju meja operasi—meja vonis.Ia membuka pintu, perlahan.Ayah Arion berdiri di sana. Wajahnya tegas, rahangnya terkunci, tapi matanya memancarkan keteduhan khas seorang ayah yang sedang marah—bukan karena benci, tapi karena kekhawatiran yang gagal ia kendalikan.“Masuk, Yah,” kata Ario

  • Hasrat Kakak Tiri   37. "Apakah Kamu Sayang Aku"

    Kadang yang paling sunyi bukanlah malam, bukan pula kesepian—melainkan ketika dua orang berada dalam ruangan yang sama… tapi berpikir untuk berlari ke arah yang berlawanan.Dan pagi itu, Arion merasakannya untuk pertama kalinya.Shana keluar dari kamar mandi pelan-pelan. Rambutnya masih menetes, wajahnya tampak segar… atau setidaknya ia berusaha terlihat begitu. Kaos putih tipis yang ia kenakan menempel sedikit di bahu basahnya.Arion yang duduk di sofa langsung berdiri begitu melihatnya.“Sha… kita bisa ngomong sebentar?”Shana berhenti.Tersenyum kecil. Senyum sopan—senyum yang biasanya ia pakai untuk orang asing yang menawarkan brosur.“Tentu, Kak. Mau ngomong apa?”Arion menelan ludah. “Tentang tadi.”Shana mengangkat alis. “Tadi yang mana?”Arion langsung gugup. “Yang… ya… kamu datang, terus aku… aku lagi—”“Olahraga?” potong Shana cepat, namun dengan raut polos.Arion terdiam.Shana tersenyum lagi. “Iya, aku lihat. Kamu pegang barbel, kan?”Arion ingin menjelaskan, tetapi kalima

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status