LOGINPagi itu, cahaya matahari merambat masuk lewat celah tirai apartemen, menebarkan warna keemasan ke ruangan yang biasanya terasa dingin. Arion membuka mata dengan kepala berat, seperti baru bangun dari mimpi panjang. Tapi ia tahu itu bukan mimpi. Semalam benar-benar terjadi—pelukan Shana, bisikan lirihnya, bahkan detik-detik saat bibir mereka hanya berjarak sekian senti. Ia menatap langit-langit kamar, berusaha menepis bayangan itu dari pikirannya. Tidak. Aku tidak boleh memikirkan itu. Dia hanya adik… hanya adik tiri.
Dengan gerakan mekanis, ia bangun dari ranjang. Langkahnya pelan menuju dapur kecil yang tertata rapi, seperti kebiasaan rutinnya setiap pagi. Mesin kopi menderu, roti dimasukkan ke toaster, dan dalam waktu singkat aroma pahit kopi hitam memenuhi ruangan. Semua berjalan sesuai ritme yang ia bangun bertahun-tahun. Disiplin. Tanpa gangguan. Hingga sebuah suara ceria merobek ketenangan itu.
“Wah, Kak Arion ternyata jago masak juga ya?”
Arion menoleh cepat. Jantungnya hampir meloncat. Shana berdiri di pintu dapur, mengenakan kaus kebesaran yang jelas-jelas miliknya, rambut berantakan tapi senyumnya segar. Gadis itu terlihat seperti seseorang yang memang sudah lama menghuni apartemen ini, padahal baru semalam.
“Itu bukan masak,” gumam Arion datar. “Hanya roti bakar.”
Shana berjalan mendekat, menepuk kursi lalu duduk santai. Ia meraih roti yang baru saja Arion taruh di piring. Tanpa izin, digigitnya roti itu dengan nikmat. "Hmm, lumayan enak. Tapi serius, Kak, kamu tiap hari sarapan ginian? Kasian banget. Tubuhmu bisa protes, lho.”
Arion mendengus. “Hey, Itu punyaku.”
Shana malah terkekeh, menaruh sisa roti setengah di piring Arion. “Yaudah, bagi dua aja. Kan adil.”
Arion menatapnya, bingung antara kesal atau pasrah. Tak ada seorang pun yang berani seenaknya seperti ini di apartemennya. Tapi anehnya, ia tidak bisa benar-benar marah.
Sepanjang pagi itu, gangguan demi gangguan terus terjadi. Saat Arion duduk dengan laptopnya, membaca jurnal untuk tugas akhir, Shana menyalakan musik pop keras-keras dari ponselnya, bernyanyi sumbang dengan lirik yang ia ciptakan sendiri. Saat Arion sedang mengatur ulang buku di rak, Shana dengan santai menaruh boneka kelinci mungil di antara buku-buku tebalnya. Bahkan kulkas minimalis yang biasanya berisi air mineral dan beberapa telur, kini penuh dengan botol minuman manis dan snack warna-warni.
“Rumah ini kaku banget, Kak,” kata Shana sambil menggantung foto polaroid di papan gabus milik Arion. “Kalau nggak ada aku, rasanya pasti kayak kuburan.”
Arion hanya bisa menghela napas. Ayah… kenapa menitipkannya ke sini sih? Apa aku bisa bertahan meski hanya seminggu saja?
Menjelang siang, Arion mencoba belajar lagi. Tapi setiap kali ia membuka laptop, Shana selalu punya alasan untuk mengganggunya. "Kak, aku boleh pinjem wifi? Password-nya apa?” "Kak, di sini ada N*****x nggak? Aku mau nonton drama nih.” "Kak, kalau aku bikin ramen, boleh nggak aku pakai panci yang itu?” Arion menahan diri, menjawab sependek mungkin. Tapi dalam hatinya, ia merasa apartemen ini bukan lagi miliknya. Segalanya berubah hanya dalam waktu semalam saja.
Malam datang. Arion akhirnya bisa menarik napas lega ketika Shana tampak sudah masuk kamar. Ia menutup laptop, mematikan lampu ruang tamu, lalu kembali ke ranjang. Tubuhnya terasa lelah, pikirannya masih berkecamuk antara rasa terganggu dan rasa bersalah.
Namun tepat ketika ia mulai terlelap, terdengar suara gesekan pelan di luar kamar. Bukan langkah acak seperti orang tidur sambil berjalan, melainkan langkah ragu, seperti seseorang yang sadar. Arion membuka mata, tubuhnya refleks siaga. Ia berjalan ke pintu dan membukanya dengan hati-hati. Lorong apartemen gelap, hanya diterangi cahaya redup dari jendela. Kosong.
Tapi matanya yang tajam menangkap sosok Shana di ujung lorong. Gadis itu menunduk dengan ponsel di tangannya, punggungnya menghadap ke Arion. "Shana?" panggil Arion, suaranya datar tapi tegas. Gadis itu tersentak. Ia cepat-cepat memalingkan ponselnya ke belakang, lalu tersenyum canggung. “Eh… aku cuma… lagi nyari sinyal. Wifi apartemenmu lemot banget, Kak.”
Arion menyipitkan mata. Ia tahu alasan itu tidak masuk akal. Tapi lebih dari itu, ia sempat melihat sekilas: layar ponsel Shana memantulkan cahaya merah, bukan tampilan aplikasi biasa. Seperti alarm, atau notifikasi dari sesuatu yang tidak seharusnya ada. Sebuah tulisan singkat dalam bahasa asing terlihat sekilas, membuat jantung Arion berpacu lebih cepat.
“Shana.” Arion melangkah mendekat, nada suaranya menekan. “Apa yang kamu lakukan?”
Shana mundur selangkah. Wajahnya tetap tersenyum, tapi matanya tampak gelisah. "Beneran cuma cari sinyal, Kak. Nggak ada apa-apa, sumpah.”
Namun sebelum Arion sempat meraih lengannya, Shana berbalik cepat. Ia berlari masuk ke kamarnya, pintu ditutup rapat hingga terdengar bunyi klik. Arion berdiri terpaku di lorong. Ada sesuatu yang Shana sembunyikan, sesuatu yang jelas bukan sekadar sikap manja atau usil. Ia menempelkan punggungnya ke dinding, mencoba berpikir jernih. Apa yang sebenarnya dia bawa ke apartemenku ini?
Cemas dan tak sabar, Naya mondar-mandir di depan Apartemen Arion. Hatinya sudah bertekad untuk menyerah dan pergi, namun tepat saat dia membalikkan badan, sosok Arion sudah terlihat, melangkah mendekat dan memecah kebimbangan hatinya.Arion tidak mengatakan apa-apa. Matanya, gelap dan Nampak begitu lapar, terpaku tajam pada mata Naya. Dalam satu gerakan kuat, dan tanpa jeda, dia menghapus jarak di antara mereka. Tangannya, begitu kokoh dan meyakinkan, melesat di bawah paha Naya dan mengangkatnya seolah Naya hanyalah selembar kapas. Sebuah tarikan napas terkejut meluncur dari bibirnya saat dunia terasa miring, dan sedetik kemudian, dia sudah terdekap erat di dada Arion, lengannya secara naluriah melingkari leher kokoh pria itu."Arion? Apa yang kamu—?"Arion membungkamnya hanya dengan pandangan, tatapannya menyala-nyala dengan intensitas yang Naya selalu rindukan. Dia membawanya lalu menurunkannya ke bantalan empuk sdi sebuah sofa besar. Dia menjulang di atas Naya,"Aku ingin mengulan
Arion terdiam. Keheningan yang tiba-tiba terasa tebal, membekukan jarak di antara mereka. Hanya ada irama lembut sendok Shana yang menyentuh porselen cangkir, seolah gadis itu sedang mengukur waktu. Shana menunduk, matanya terpaku pada kopi yang permukaannya kini mulai mengilap dan mendingin.“Shana…” Suara Arion keluar, sangat perlahan, lebih mirip hela napas yang takut merusak kerapuhan suasana.Shana tidak langsung menoleh. Ia menarik napas, mengatur detaknya yang memburu, mati-matian menahan agar suaranya tidak bergetar. “Tadi aku lihat nama itu muncul di ponsel Kakak.”Arion menelan ludah. Rasa pahit yang tak terhindarkan menjalar di tenggorokannya. Ia tahu, persis ke mana arah percakapan ini akan membawa mereka.“Siapa Naya?” tanyanya akhirnya. Bukan dengan amarah yang meledak, melainkan nada ingin tahu yang mendalam, tapi dengan hati yang sudah siaga menerima luka.“Dia… seseorang dari masa lalu,” jawab Arion, nadanya datar dan penuh kehati-hatian.“Masa lalu yang datang sampai
Arion tidak segera bergerak. Ponselnya masih bergetar di genggamannya, denting notifikasi yang terasa seperti memaku dirinya pada jok mobil. Layar akhirnya padam, menyisakan kegelapan yang terasa dingin, tapi pesan itu sudah terukir permanen di benaknya.“Kak… kita bisa ketemu sebentar? Aku cuma mau nanya sesuatu. Aku nunggu di kafe dekat apartemen, ya.”Ia mendongak, menatap ke luar jendela mobil. Hujan memang sudah berhenti, namun aroma tanah basah dan sisa air di kaca depan, yang membiaskan lampu jalan menjadi bayangan kabur, seolah adalah gambaran dari jiwanya sendiri: basah, suram, dan tidak jelas.“Kenapa harus sekarang, Shana…” desisnya, suaranya nyaris hilang dalam keheningan mobil.Ia menjambak rambutnya dengan kedua tangan, tekanan itu tidak cukup untuk mengusir rasa sesak yang merayap dari dada. Kata-kata Raka berputar menjadi bisikan menuduh di telinganya: ‘Kamu memanfaatkan kepolosan dia untuk jadi terapi pribadimu.’Sial. Itu benar.Shana adalah sinar yang ia gunakan unt
Hujan baru saja reda ketika Arion menyalakan mesin mobilnya. Sisa air masih menetes dari atap parkiran, menimbulkan suara lembut seperti bisikan. Lampu dashboard menyala redup, menyoroti wajahnya yang tampak tenang dari luar — tapi di baliknya, pikirannya riuh, penuh suara yang saling bertabrakan. Ia menatap layar ponsel.Pesan dari Raka masih terbuka.“Kita harus ketemu. Hari ini. Cukup.”Arion memijat pelipisnya. Kata 'cukup' itu terasa seperti ancaman. Seperti sebuah alarm peringatan yang tak bisa ia matikan. Ia menutup mata sejenak, menghela napas yang panjang dan berat.“Capek…,” gumamnya lirih, nadanya hampir patah. “Capek jadi orang baik cuma di permukaan, seolah-olah sudah sembuh.”Ia membuka mata, menatap pantulan wajahnya di kaca depan, tampak rapi, dingin, teratur. Tapi ia tahu persis, di balik kerapihan itu, tersembunyi seseorang yang dulunya kacau. Seseorang yang sudah terlalu sering menipu, menaklukkan, lalu meninggalkan.Ketukan di jendela memecah lamunannya.Raka berdi
Dengungan mesin mobil seharusnya menenangkan. Setidaknya, seharusnya begitu. Tapi malam itu, suara halus di kabin justru terdengar seperti dengung yang terus-menerus mengingatkan Arion betapa bodohnya ia baru saja bertindak.Ia membiarkan pandangannya menyusuri jalanan kota yang sudah mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantul di windshield mobil, berkelebat seperti kilatan-kilatan ingatan yang harusnya sudah ia kubur. Hawa dingin AC membuat kulitnya mati rasa, tapi batinnya justru terasa terbakar, panas sekali.Kenapa aku harus menuruti perasaan itu lagi? Kenapa aku gak bisa belajar?Tangan kirinya mencengkeram setir, sementara tangan kanan bertumpu di kusen jendela. Masih ada aroma tipis parfum Naya yang menempel di ujung kemejanya, sebuah sisa yang membuat dadanya sesak—mengingatkannya pada sesuatu yang seharusnya sudah ia tinggalkan jauh di belakang.Ia memejamkan mata sebentar. Dalam gelap yang singkat itu, wajah Shana langsung melintas. Wajah yang lembut, tenang, dengan sepasang
Lampu ruang tamu apartemen terasa terlalu terang, memaksakan keberadaannya saat malam sudah mencapai puncaknya. Jam di dinding menunjukkan pukul 00:15.Di meja kaca itu, uap dari cangkir kopi telah lama menghilang, meninggalkan sisa aroma pahit yang kini terasa menusuk hidung Shana, mengingatkannya pada kekosongan.Shana duduk bersandar di sofa, badannya lelah namun pikirannya terlalu bising untuk tidur. Ponsel di tangannya menampilkan layar pesan yang sama, yang telah ia buka dan tutup puluhan kali.“Kakak kapan pulang? Kopi buatan aku udah dingin.”Sudah dua jam sejak pesan itu terkirim, dan hanya ada centang satu, yang berarti pesan itu belum sampai, atau mungkin, ponsel Arion mati. Yang jelas, tidak ada balasan. Tidak ada tanda dibaca.Awalnya, ia bisa merasionalisasi. Arion mungkin lembur. Ia mungkin ketiduran di kantor setelah hari yang panjang. Tapi semakin larut, alasan itu terasa seperti selimut tipis yang gagal menutupi hawa dingin yang mulai menjalar di hatinya.Bukan karen







