Home / Romansa / Hasrat Kakak Tiri / Bab 3. Bencana Kecil

Share

Bab 3. Bencana Kecil

last update Last Updated: 2025-09-30 11:23:36

Bagi Arion, apartemen selalu menjadi ruang steril. Setiap sudut tertata presisi: buku tersusun rapi menurut kategori, baju dilipat dengan garis lipatan sejajar, dan meja belajar kosong dari barang tak berguna. Namun, pagi ketiga bersama Shana membuktikan bahwa benteng itu rapuh. Arion duduk di kursi kerja, menatap layar laptop dengan wajah datar. Jurnal tebal menumpuk di sampingnya, pena siap di tangan. Ia bertekad hari ini harus fokus menyelesaikan satu bab skripsi, tak peduli ada tornado bernama Shana di sekitarnya.

Namun suara keras dari ruang tamu memotong konsentrasinya. "Hah! Ya ampun, plot twist-nya gila banget, anjir!" suara Shana meledak, disusul tawa panjang yang nyaris menggelegar. Arion mengetik beberapa kata, lalu berhenti. Ujung penanya mengetuk meja pelan. Ia mencoba menahan diri. Lima menit kemudian, Shana kembali berteriak. "Eh, jangan-jangan dia tuh kakak kandungnya? Aaaah, nggak bisaaaa!"

Arion menutup laptop dengan bunyi klik keras. Cukup. Ia bangkit, melangkah ke ruang tamu dengan wajah dingin. "Shana."

Gadis itu menoleh dengan senyumnya yang ceria, rambut masih berantakan, dan selimut tipis melilit tubuhnya menjadikannya seperti kepompong. Di depannya, drama Korea berjalan di layar laptop kecil dengan volume hampir maksimal. "Hai, Kak! Mau nonton juga? Ini lagi seru banget tau!"

"Kecilin volumenya." Nada Arion tegas.

Shana manyun, menurunkan sedikit suara laptop. "Padahal belum segede konser juga…" gumamnya.

Arion memijit pelipis. "Aku lagi ngerjain skripsi. Kalau kamu mau ribut-ribut, lakukan di luar sana."

Shana memiringkan kepala, matanya berbinar-binar penuh kepo. "Emangnya skripsi tentang apa sih, Kak?"

"Bukan urusanmu."

"Uh pelit banget. Aku kan juga mahasiswa juga lho, siapa tau bisa bantu Kakak."

Arion mendengus, kembali ke meja kerjanya. Ia yakin Shana tidak akan bisa membantu apa-apa selain menambah keruwetan. Tapi baru lima menit duduk, terdengar bunyi PRAK! di dapur. Bunyi kaca pecah yang nyaring. Jantung Arion langsung melonjak. Ia berlari ke dapur, firasat buruknya terbukti.

Kaca teko kopi kesayangannya, hadiah dari almarhum ibunya, kini pecah berantakan di lantai. Shana berdiri kaku di tengah kekacauan, tangannya memegang pecahan kaca dengan wajah pucat.

"Maaf, Kak! Gak sengaja!" bisiknya, suaranya bergetar.

"Shana, jangan dipegang! Itu bahaya!" Arion langsung merebut pecahan itu, menyentuhnya dengan hati-hati seolah takut melukai Shana. Ia mengambil sapu dan serokan, membersihkan kekacauan dengan cepat.

Shana hanya bisa berdiri mematung di sudut ruangan. "Maaf… aku mau bantu cuci piring, terus kesenggol," gumamnya, bibirnya bergetar.

Arion tidak menjawab. Ia hanya membersihkan semua dengan teliti, memastikan tidak ada pecahan kaca yang tersisa. Saat ia bangkit, matanya bertemu dengan mata Shana. Gadis itu menunduk, bibirnya bergetar, dan ia terlihat sangat putus asa.

"Aku ganti, Kak. Nanti aku ganti," bisiknya.

Arion hanya menggeleng pelan. "Sudah, sana. Lebih baik kamu jangan melakukan apa-apa lagi." Shana mengangguk, lalu berbalik dan pergi ke kamarnya. Arion bisa merasakan keheningan kembali, namun kali ini terasa berbeda. Bukan keheningan yang ia nikmati, melainkan keheningan yang hampa, dipenuhi rasa bersalah. Mungkin aku terlalu kasar.

Malam itu, Shana tidak keluar dari kamarnya. Arion duduk di meja kerjanya, mencoba menyelesaikan skripsi, tapi pikirannya tidak bisa fokus. Ia memikirkan wajah Shana yang pucat. Ia memikirkan tatapan putus asa gadis itu. Tiba-tiba, ia merindukan suara berisik dan tawa renyah itu.

Ia bangkit, berjalan ke kamar Shana. Ia mengetuk pintu pelan. "Shana… sudah tidur?"

Tidak ada jawaban. Arion menunggu, lalu membuka pintu. Kamar itu gelap, kecuali cahaya redup dari lampu tidur. Shana sudah tertidur, meringkuk di bawah selimut. Arion menutup pintu, berjalan kembali ke kamarnya. Ia merasakan kekosongan yang tidak familiar.

Tepat pukul dua dini hari, Arion terbangun. Ada hawa dingin. Ia menoleh, dan firasat buruknya terbukti. Shana lagi-lagi berada di ranjangnya. Kali ini, posisinya lebih dekat. Tubuh mungilnya meringkuk hanya sejengkal dari Arion. Rambutnya terurai, sebagian menutupi pipi, napasnya tenang.

Arion menatapnya lama. Ada rasa campur aduk di dadanya—antara kesal, bingung, dan sesuatu yang ia takutkan untuk diakui. Ia hendak menarik selimut untuk menutupi Shana, tapi tiba-tiba tangan gadis itu bergerak. Jari-jarinya menyentuh lengan Arion, lembut dan tanpa sadar. Tubuh Arion menegang. Sentuhan sekecil itu seperti percikan listrik.

"Jangan pergi…" gumam Shana lirih.

Arion terpaku. Kata-kata itu kembali. Sama seperti malam sebelumnya. Suara rapuh, seolah berasal dari luka lama. Arion menelan ludah. Ini hanya sleepwalking. Jangan berpikir macam-macam.

Namun matanya tak bisa lepas dari wajah Shana. Ada sesuatu pada ketenangan gadis itu saat tidur—sesuatu yang membuat Arion merasa… dibutuhkan. Ia akhirnya bangkit, berjalan ke sisi ranjang, lalu dengan hati-hati mengangkat Shana. Tubuh itu ringan, namun setiap detik bersentuhan membuat jantungnya berdegup kencang. Shana meringkuk di lengannya, wajahnya nyaris menyentuh leher Arion. Aroma sampo floral itu menusuk indera. Arion berusaha menahan diri, menatap lurus ke depan, melangkah ke kamar Shana.

Sesampainya di ranjang Shana, ia menidurkan gadis itu pelan. Shana bergumam lirih, meraih bantal, lalu diam. Arion berdiri di sisi ranjang, menatapnya sebentar. "Kamu ini… apa sebenarnya?" bisiknya pelan.

Ia berbalik, hendak keluar. Namun sebelum pintu tertutup, suara lirih terdengar lagi. "Jangan… tinggalin aku…"

Arion menutup mata rapat. Kalimat itu seperti belenggu yang menariknya semakin dalam.

Pagi berikutnya, Shana bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. Ia duduk di meja makan dengan kaus kebesaran yang kini menjadi seragamnya, mengunyah roti sambil menonton drama di ponselnya. Suara tawa ringannya terdengar normal, seolah tidak ada bisikan ketakutan yang keluar dari bibirnya semalam. "Kak, aku mimpi aneh deh semalam," katanya ringan, tanpa menoleh.

Arion menegang. "Mimpi apa?"

"Hmm… nggak jelas sih. Tapi kayaknya ada seseorang yang ninggalin aku. Rasanya… nyesek banget." Shana menghela napas, lalu terkekeh. "Untung cuma mimpi, ya?"

Arion menatapnya lama, wajahnya tetap dingin. Tapi dalam hati, ia tahu ini bukan sekadar mimpi. Ada sesuatu di balik kata-kata itu yang terasa begitu nyata, begitu menusuk. Ia kembali ke kamarnya tanpa sepatah kata. Namun langkahnya terasa berat, seolah ada sesuatu yang mulai berubah di dalam dirinya.

Siang itu, Arion mencoba fokus pada skripsinya. Tapi sebuah pemandangan aneh menarik perhatiannya. Shana sedang duduk di ruang tamu, bukan menonton drama, tapi membolak-balik buku-buku tebal Arion. Tepatnya, sebuah buku tentang psikologi klinis yang ia gunakan untuk penelitiannya. Raut wajah Shana serius, jari-jarinya menelusuri setiap halaman seolah mencari sesuatu.

"Ngapain kamu?" tanya Arion, suaranya mengandung nada curiga.

Shana tersentak. Ia buru-buru menutup buku di tangannya, wajahnya sedikit memerah. "Nggak ngapa-ngapain, Kak. Cuma baca-baca aja. Keren juga ya, buku-buku Kakak ini. Berat banget isinya."

"Kamu nggak bisa baca buku orang tanpa izin," kata Arion dingin.

"Ih, pelit banget!" Shana mengembalikan buku itu ke rak, menaruhnya dengan sedikit tergesa-gesa. Arion melihat seulas senyum samar di bibirnya, seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Ia tidak peduli. Ia kembali ke kamarnya dan mencoba kembali ke rutinitasnya. Namun, rasa penasaran itu menggerogoti pikirannya. Kenapa dia membaca buku itu?

Arion membiarkan rasa penasaran itu mengendap. Sepanjang sore, Shana kembali menjadi tornado kecil yang berisik. Ia menyalakan musik pop, memasak ramen, dan berceloteh tanpa henti. Arion mencoba mengabaikannya, namun di luar kesadarannya, ia mulai terbiasa dengan suara itu. Apartemennya tidak lagi sunyi, tapi juga tidak terasa kosong. Ada kehidupan, betapa pun kacau dan mengganggunya.

Malam harinya, apartemen kembali hening. Arion bersyukur Shana akhirnya tidur lebih awal. Ia menutup laptop, merapikan meja, dan bersiap ke kamar. Tapi tepat pukul dua dini hari, Arion terbangun. Ada hawa dingin. Firasat buruknya kembali datang.

Ia langsung tahu apa yang terjadi. Ia menoleh, dan matanya langsung menyipit. Kali ini, Shana tidak ada di ranjangnya. Pintu kamarnya terkunci, sama seperti malam-malam sebelumnya.

Lalu, ke mana dia?

Jantung Arion berdebar kencang. Ia bangkit, keluar dari kamar, dan berjalan pelan ke kamar Shana. Pintu kamar Shana tertutup rapat. Arion menempelkan telinganya ke pintu. Ada suara samar, seperti bisikan, dari dalam. Bukan bisikan tidur, tapi bisikan yang penuh ketakutan.

"Jangan… jangan datang… aku mohon…"

Itu suara Shana. Tapi suaranya terdengar ketakutan yang nyata, bukan bisikan samar yang ia dengar saat Shana sleepwalking. Arion panik. Ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci dari dalam.

"Shana? Kamu baik-baik aja?" panggilnya, suaranya keras, mencoba menembus pintu.

Tidak ada jawaban. Yang terdengar hanya bisikan-bisikan aneh yang tak jelas, diselingi isakan pelan. Arion panik. Ia mundur, memikirkan cara mendobrak pintu. Pikirannya melayang pada malam pertama, saat Shana membisikkan kata-kata yang sama. Bisikan itu terasa bagai belenggu yang mengikatnya, mencegahnya pergi.

Ia mendengar suara langkah kaki yang berat dari dalam. Suara itu bergesek, seolah Shana sedang menyeret sesuatu. Arion tertegun. Ia membiarkan paniknya mengendap, mencoba mendengarkan lebih jelas. Langkah itu bukan langkah normal, melainkan langkah yang terhuyung, seolah Shana sedang berjuang. Lalu, terdengar suara benda jatuh yang lebih berat dari teko yang pecah kemarin.

"Shana!" teriak Arion. Ia mendorong pintu dengan seluruh kekuatannya. Pintu itu bergetar, tapi tidak terbuka. Arion tahu ia harus mendobraknya. Ada sesuatu yang tidak beres di dalam sana.

Tepat saat ia akan melakukannya, suara itu berhenti. Sunyi. Hening. Arion menempelkan telinganya lagi. Tidak ada suara. Ia menunggu. Lima menit. Sepuluh menit. Hening. Apakah Shana tertidur? Apakah ia bermimpi?

Rasa frustrasi merayap di benak Arion. Ia tidak bisa begitu saja mendobrak pintu, bisa-bisa ia membangunkan Shana dan mempermalukannya. Namun, ia tidak bisa mengabaikan bisikan-bisikan ketakutan yang ia dengar.

Ia kembali ke kamarnya. Ia tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi suara bisikan yang ketakutan. Ada apa dengan Shana? Apa yang dia sembunyikan? Ia menatap buku psikologi klinisnya yang ada di meja belajar, lalu matanya beralih ke pintu kamarnya. Pintu yang ia kunci setiap malam, untuk melindungi dirinya dari Shana. Namun kini, ia mulai bertanya-tanya, apakah ia mengunci pintu untuk melindungi dirinya, atau Shana?

Tepat sebelum ia memejamkan mata, ia mendengar bunyi gesekan pelan dari luar. Arion membuka mata. Suara itu bukan dari pintu kamar Shana, melainkan dari pintu utama apartemen. Pintu terkunci, kan? Arion bergegas ke ruang tamu. Ia melihat Shana, dalam balutan jaket tebal, berdiri di dekat pintu utama. Tangannya memegang kunci apartemen.

"Shana?" panggil Arion, suaranya rendah dan penuh ketegangan.

Shana terlonjak. Ia membalikkan badan, senyum kecilnya terlihat canggung. "Kak Arion? Kok belum tidur?"

Arion tidak menjawab. Ia menatap kunci di tangan Shana. "Mau ke mana kamu selarut ini?"

Shana menunduk, menggenggam erat kunci itu. "Aku... aku cuma mau ke luar sebentar, Kak. Cari angin."

Alasan itu terdengar konyol. Angin? Di tengah malam buta? Arion tidak percaya. "Apa yang terjadi di kamarmu?"

Shana mengangkat bahu. "Nggak ada apa-apa kok. Kakak salah dengar mungkin."

Arion melangkah mendekat. "Kamu bohong."

Shana menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Aku nggak bohong, Kak."

Namun, ia tahu Shana berbohong. Ia bisa melihat rasa takut di mata Shana. Ada sesuatu yang sangat serius sedang terjadi. Dan kini, ia tahu Shana tidak hanya mengganggu rutinitasnya. Gadis itu membawa rahasia gelap ke dalam hidupnya. Dan entah kenapa, Arion merasa ia harus mencari tahu, tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk Shana.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 31. Kembali

    Cemas dan tak sabar, Naya mondar-mandir di depan Apartemen Arion. Hatinya sudah bertekad untuk menyerah dan pergi, namun tepat saat dia membalikkan badan, sosok Arion sudah terlihat, melangkah mendekat dan memecah kebimbangan hatinya.Arion tidak mengatakan apa-apa. Matanya, gelap dan Nampak begitu lapar, terpaku tajam pada mata Naya. Dalam satu gerakan kuat, dan tanpa jeda, dia menghapus jarak di antara mereka. Tangannya, begitu kokoh dan meyakinkan, melesat di bawah paha Naya dan mengangkatnya seolah Naya hanyalah selembar kapas. Sebuah tarikan napas terkejut meluncur dari bibirnya saat dunia terasa miring, dan sedetik kemudian, dia sudah terdekap erat di dada Arion, lengannya secara naluriah melingkari leher kokoh pria itu."Arion? Apa yang kamu—?"Arion membungkamnya hanya dengan pandangan, tatapannya menyala-nyala dengan intensitas yang Naya selalu rindukan. Dia membawanya lalu menurunkannya ke bantalan empuk sdi sebuah sofa besar. Dia menjulang di atas Naya,"Aku ingin mengulan

  • Hasrat Kakak Tiri    Bab 30. Berpetualang Kembali

    Arion terdiam. Keheningan yang tiba-tiba terasa tebal, membekukan jarak di antara mereka. Hanya ada irama lembut sendok Shana yang menyentuh porselen cangkir, seolah gadis itu sedang mengukur waktu. Shana menunduk, matanya terpaku pada kopi yang permukaannya kini mulai mengilap dan mendingin.“Shana…” Suara Arion keluar, sangat perlahan, lebih mirip hela napas yang takut merusak kerapuhan suasana.Shana tidak langsung menoleh. Ia menarik napas, mengatur detaknya yang memburu, mati-matian menahan agar suaranya tidak bergetar. “Tadi aku lihat nama itu muncul di ponsel Kakak.”Arion menelan ludah. Rasa pahit yang tak terhindarkan menjalar di tenggorokannya. Ia tahu, persis ke mana arah percakapan ini akan membawa mereka.“Siapa Naya?” tanyanya akhirnya. Bukan dengan amarah yang meledak, melainkan nada ingin tahu yang mendalam, tapi dengan hati yang sudah siaga menerima luka.“Dia… seseorang dari masa lalu,” jawab Arion, nadanya datar dan penuh kehati-hatian.“Masa lalu yang datang sampai

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 29. Pertemuan yang Tidak Siap

    Arion tidak segera bergerak. Ponselnya masih bergetar di genggamannya, denting notifikasi yang terasa seperti memaku dirinya pada jok mobil. Layar akhirnya padam, menyisakan kegelapan yang terasa dingin, tapi pesan itu sudah terukir permanen di benaknya.“Kak… kita bisa ketemu sebentar? Aku cuma mau nanya sesuatu. Aku nunggu di kafe dekat apartemen, ya.”Ia mendongak, menatap ke luar jendela mobil. Hujan memang sudah berhenti, namun aroma tanah basah dan sisa air di kaca depan, yang membiaskan lampu jalan menjadi bayangan kabur, seolah adalah gambaran dari jiwanya sendiri: basah, suram, dan tidak jelas.“Kenapa harus sekarang, Shana…” desisnya, suaranya nyaris hilang dalam keheningan mobil.Ia menjambak rambutnya dengan kedua tangan, tekanan itu tidak cukup untuk mengusir rasa sesak yang merayap dari dada. Kata-kata Raka berputar menjadi bisikan menuduh di telinganya: ‘Kamu memanfaatkan kepolosan dia untuk jadi terapi pribadimu.’Sial. Itu benar.Shana adalah sinar yang ia gunakan unt

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 28. Pengakuan Dosa (Seperti)

    Hujan baru saja reda ketika Arion menyalakan mesin mobilnya. Sisa air masih menetes dari atap parkiran, menimbulkan suara lembut seperti bisikan. Lampu dashboard menyala redup, menyoroti wajahnya yang tampak tenang dari luar — tapi di baliknya, pikirannya riuh, penuh suara yang saling bertabrakan. Ia menatap layar ponsel.Pesan dari Raka masih terbuka.“Kita harus ketemu. Hari ini. Cukup.”Arion memijat pelipisnya. Kata 'cukup' itu terasa seperti ancaman. Seperti sebuah alarm peringatan yang tak bisa ia matikan. Ia menutup mata sejenak, menghela napas yang panjang dan berat.“Capek…,” gumamnya lirih, nadanya hampir patah. “Capek jadi orang baik cuma di permukaan, seolah-olah sudah sembuh.”Ia membuka mata, menatap pantulan wajahnya di kaca depan, tampak rapi, dingin, teratur. Tapi ia tahu persis, di balik kerapihan itu, tersembunyi seseorang yang dulunya kacau. Seseorang yang sudah terlalu sering menipu, menaklukkan, lalu meninggalkan.Ketukan di jendela memecah lamunannya.Raka berdi

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 27. Ternyata Arion Itu...

    Dengungan mesin mobil seharusnya menenangkan. Setidaknya, seharusnya begitu. Tapi malam itu, suara halus di kabin justru terdengar seperti dengung yang terus-menerus mengingatkan Arion betapa bodohnya ia baru saja bertindak.Ia membiarkan pandangannya menyusuri jalanan kota yang sudah mulai lengang. Lampu-lampu jalan memantul di windshield mobil, berkelebat seperti kilatan-kilatan ingatan yang harusnya sudah ia kubur. Hawa dingin AC membuat kulitnya mati rasa, tapi batinnya justru terasa terbakar, panas sekali.Kenapa aku harus menuruti perasaan itu lagi? Kenapa aku gak bisa belajar?Tangan kirinya mencengkeram setir, sementara tangan kanan bertumpu di kusen jendela. Masih ada aroma tipis parfum Naya yang menempel di ujung kemejanya, sebuah sisa yang membuat dadanya sesak—mengingatkannya pada sesuatu yang seharusnya sudah ia tinggalkan jauh di belakang.Ia memejamkan mata sebentar. Dalam gelap yang singkat itu, wajah Shana langsung melintas. Wajah yang lembut, tenang, dengan sepasang

  • Hasrat Kakak Tiri   Bab 26. Kopi Yang Tak Pernah Diminum

    Lampu ruang tamu apartemen terasa terlalu terang, memaksakan keberadaannya saat malam sudah mencapai puncaknya. Jam di dinding menunjukkan pukul 00:15.Di meja kaca itu, uap dari cangkir kopi telah lama menghilang, meninggalkan sisa aroma pahit yang kini terasa menusuk hidung Shana, mengingatkannya pada kekosongan.Shana duduk bersandar di sofa, badannya lelah namun pikirannya terlalu bising untuk tidur. Ponsel di tangannya menampilkan layar pesan yang sama, yang telah ia buka dan tutup puluhan kali.“Kakak kapan pulang? Kopi buatan aku udah dingin.”Sudah dua jam sejak pesan itu terkirim, dan hanya ada centang satu, yang berarti pesan itu belum sampai, atau mungkin, ponsel Arion mati. Yang jelas, tidak ada balasan. Tidak ada tanda dibaca.Awalnya, ia bisa merasionalisasi. Arion mungkin lembur. Ia mungkin ketiduran di kantor setelah hari yang panjang. Tapi semakin larut, alasan itu terasa seperti selimut tipis yang gagal menutupi hawa dingin yang mulai menjalar di hatinya.Bukan karen

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status