"Pertunangan kita batal Amber, aku tidak sudi menikah dengan wanita miskin sepertimu," ucap Jeff dengan menyakitkan.
Pria tampan di depan Amber itu nyaris tanpa beban saat mengatakan hal itu. Wajahnya terlihat datar dan tak peduli pada Amber yang kini mendapat tatapan penuh cemooh dari orang-orang yang ada di pesta ulang tahun Jeff saat itu. "Tapi Jeff..." Amber berusaha menahan jatuhnya air mata yang sudah bergelayut di pelupuk matanya. "Tidak ada kata tapi, Amber. Keputusanku sudah aku pikirkan baik-baik dan keluargaku juga sudah setuju. Memangnya hal baik apa yang bisa kamu banggakan di depanku sekarang? Perusahaan keluargamu bangkrut dan kamu sudah tidak punya apa-apa lagi. Apa berniat memanfaatkanku untuk membayar semua hutang-hutang ayahmu, hah?" Jeff menatap kesal ke arah Amber. Amber menggigit bibirnya. Jeff sudah keterlaluan. Keluarganya memang terlilit hutang tapi ia tidak pernah berpikir untuk memanfaatkan Jeff sama sekali. "Satu juta poundsterling itu jumlah yang sangat banyak Amber. Sepertinya seumur hidup pun kamu tidak akan pernah bisa membayarnya." Jeff menyeringai tipis. Semua orang yang ada di pesta tersebut menganga saat mendengar nominal hutang yang dimiliki oleh keluarga Amber. Padahal dulu Tuan Darke Pierce adalah salah satu konglomerat yang dihormati di kota London. "Kecuali kamu mau menari striptis di depanku, aku bersedia membayar setengah dari utangmu itu." Jeff tersenyum nakal. Amber tertegun. Menari striptis? Bukankah Jeff hanya ingin mempermalukannya? Tapi uang 500 ribu poundsterling tentu sangat banyak. Akan sangat membantu jika benar Jeff akan membayarnya dengan nominal segitu. "Ayo Amber, menarilah untuk kami, buka bajumu sekarang juga!" Teriakan dari banyak tamu pria yang hadir di pesta itu membuat telinga Amber terasa panas. "Ayolah Amber, puaskan dahaga kami." Jeff ikut bicara memprovokasi Amber yang terlihat bimbang. "Buka... buka... buka...!" Teriakan itu makin riuh. Tubuh Amber bergetar mendengarnya. Haruskah ia kehilangan harga diri demi 500 ribu dolar? Jeff mengeluarkan selembar cek dari saku bajunya bertuliskan angka lima ratus ribu dolar. "Cek ini akan jadi milikmu jika kamu mau menari striptis di depan semua orang." Jeff melambai-lambaikan kertas itu di depan wajah Amber seolah ingin menggodanya. Pendirian Amber mulai goyah. Ia sudah terlanjur kehilangan harga dirinya di kota ini. Banyak orang yang kini mencemoohnya gara-gara kehilangan prestise di kalangan yang dulunya sangat memuja-muja dirinya. Ia baru sadar kalau uang adalah tolak ukur segalanya. Tanpa uang ia bukanlah siapa-siapa. Bahkan sekelas office boy saja berani melecehkannya. "Ayo Amber kapan lagi kamu bisa mendapatkan uang sebanyak ini dengan cara mudah?" Jeff terus memanasi Amber dan berharap gadis itu mau melakukan apa yang dia inginkan. Amber goyah. Ia yang sudah mulai putus asa dalam mencari uang agar ayahnya lolos dari jerat penjara. Gadis itu akhirnya nekad melakukan hal yang diinginkan Jeff. Biarlah ia malu seumur hidup yang penting ayahnya yang kini terserang stroke tidak dijebloskan ke dalam penjara. Amber mulai membuka kancing bajunya. Semua orang bersorak girang melihat aksi gadis cantik bermanik coklat terang itu. Mereka sudah membayangkan melihat kemolekan tubuh gadis yang selama ini menjadi idaman kaum adam di kota London itu secara gratis malam ini. Kancing baju Amber sudah terbuka seluruhnya, tinggal melepas bajunya saja. Beberapa pria bahkan menahan napasnya dengan wajah tegang. Beberapa dari mereka juga mencibir Amber yang sudah kehilangan harga dirinya demi uang. Tapi justru mereka sangat menantikan aksi Amber selanjutnya. Amber perlahan menurunkan bajunya, hingga bahu seputih porselennya terekspos dengan begitu indah. Membuat semua orang bersorak kegirangan dengan mata melotot menahan hasrat yang mulai bangkit. Amber memejamkan matanya, masih berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah di hadapan mereka. Amber semakin menurunkan bajunya hingga hampir memperlihatkan sepasang aset berharganya yang selama ini tidak pernah ia umbar di depan siapapun. BRUK. Tiba-tiba saja sebuah jas berwarna hitam menutupi tubuh Amber yang hampir terbuka. Amber sontak terkejut. Ia menoleh ke belakang dimana berdiri seorang lelaki tampan bernama Dave Oliver. Lelaki berparas tampan yang terkenal dingin dan anti perempuan. "Jangan melakukan hal bodoh yang akan membuatmu malu seumur hidup," bisik Dave dengan suara baritonnya. Tatapannya begitu teduh namun mematikan. "Paman Dave apa-apaan ini?" tanya Jeff yang kecewa karena Dave telah menganggu kesenangannya malam ini. "Kau pria bodoh Jeff, bisa-bisanya kau mempermalukan wanita seperti ini." Dave memandang kesal pada keponakannya itu. "Oh ayolah Paman, aku hanya sedikit bersenang-senang dengannya." Jeff memutar bola matanya, tapi Dave tidak menggubrisnya. Amber membisu dengan wajah tegang. Semua orang menyorakinya dan berteriak menyampaikan rasa kecewanya. Namun Dave Oliver membuat semuanya terdiam seketika saat lelaki itu menebar tatapan mautnya pada semua orang yang ada di sana. "Ikut aku!" Dave menarik tangan Amber untuk keluar dari area pesta. "Amber mau kemana kamu?" Jeff berteriak dengan wajah penuh kekecewaan. Sebagai mantan tunangan Amber ia juga sangat penasaran dan ingin melihat lekuk tubuh Amber yang sama sekali belum pernah ia lihat sebelumnya. Tapi Amber tidak menggubrisnya, ia terus berjalan mengikuti langkah Dave meski ia tidak tahu kemana pria itu akan mengajaknya. Dave membawa Amber dengan mobil mewahnya menuju rumahnya. "Masuklah!" Dave menyuruh Amber masuk ke dalam rumahnya. Rumah besar dan megah yang baru pertama Amber masuki. Rumah pengusaha Dave Oliver pemilik perusahaan Alves Tech yang sangat terkenal itu. Dave menyuruh Amber duduk di ruang tamu. Pria itu mengambil sebotol wine dengan dua gelas khusus untuk dirinya dan Amber, lalu menuangkan wine ke dalam gelas tersebut dan memberikan salah satunya pada Amber. "Silakan diminum Nona Amber." Dave terlihat sopan namun tetap saja membuat Amber ketakutan. Rumor yang beredar mengatakan kalau Dave Oliver adalah pria kasar yang tidak pernah suka dirinya disentuh oleh wanita manapun. Membuat semua orang berpikir Dave berubah haluan menjadi penyuka sesama jenis. Mungkin trauma pernikahan pertamanya yang gagal telah meninggalkan luka yang dalam di hatinya. "Kenapa kau menolongku?" tanya Amber yang masih penasaran mengenai motif Dave mencegahnya melakukan tarian striptis di depan Jeff dan kawan-kawannya. Dave tidak serta merta menjawab. Dia hanya menggoyang-goyangkan wine dalam gelas di tangannya. Lelaki itu duduk dengan santai dengan menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa yang ia duduki. Amber semakin penasaran. Ia menatap lekat wajah tampan Dave yang penuh misteri. "Alih-alih memperlihatkan tubuhmu pada semua lelaki itu, lebih baik kamu memperlihatkannya di depanku. Hanya di depanku." Dave menjawab tanpa melihat wajah Amber yang memerah.Setelah beberapa hari menghabiskan waktu di pantai, Dave dan Amber memutuskan untuk kembali. Perjalanan pulang terasa sunyi, namun hangat. Ethan tertidur di jok belakang, sementara Amber duduk di depan di samping Dave yang menyetir.Sesekali mencuri pandang ke arah istrinya itu. Amber menangkap pandangan itu dan tersenyum tipis, lalu kembali menatap keluar jendela, membiarkan angin sore mengayun rambutnya yang tergerai."Aku senang sekali Sayang. Akhirnya kita bisa bersama lagi setelah bertahun-tahun berpisah. Kita bahkan seperti sepasang pengantin baru lagi. Apa kamu juga senang, Sayang?" tanya Dave sambil melirik ke arah Amber yang tersipu. "Apa masih perlu aku jawab? Kau tidak melihat ekspresiku? Kau juga tidak menyadari kalau selama liburan ini aku selalu patuh padamu dan melakukan apapun maumu termasuk menyerahkan diriku sepenuhnya padamu Dave?" Amber balik bertanya. "Hei, jangan terlalu banyak pertanyaannya. Aku jadi pusing, Sayang." Dave terkekeh pelan. Ia menatap gemas lalu
Malam perlahan turun. Lampu-lampu di resort menyala temaram, memantulkan cahaya hangat di antara rindangnya pepohonan dan semilir angin laut. Ethan sudah tertidur pulas setelah puas bermain seharian, sementara Amber duduk di sofa balkon dengan selimut tipis menyelimuti tubuhnya. Dave datang membawa dua cangkir teh hangat dan duduk di sebelahnya. Dia tidak langsung bicara, hanya memandangi wajah Amber yang tampak lelah, namun jauh lebih tenang dibanding beberapa hari terakhir. “Terima kasih,” ucap Amber lirih, menerima cangkir dari tangan Dave. Dave mengangguk, “Terima kasih karena sudah mau ikut ke sini.” Amber menatap lautan di depan mereka. “Kau tahu, aku takut. Takut kalau semua ini hanya akan mengulang luka yang sama.” Dave memutar tubuhnya sedikit agar bisa memandangi Amber lebih jelas. “Aku paham, Amber. Dan aku tak menuntut jawaban sekarang. Aku hanya ingin kau tahu… aku serius. Aku ingin memperbaiki semuanya. Demi kau dan Ethan.” Amber menggigit bibirnya, menahan gempu
Mobil berhenti di depan sebuah resort mewah di pinggir pantai. Angin laut membawa aroma asin yang menenangkan. Amber turun dari mobil dengan Ethan yang tertidur di gendongannya, sementara Dave membantu membawakan barang-barang kecil mereka."Tempat ini..." Amber bergumam begitu matanya menangkap pemandangan yang akrab.Dave tersenyum hangat, memperhatikan ekspresi wanita yang begitu dicintainya. "Masih ingat? Ini tempat kita bulan madu kita dulu."Amber menoleh padanya, matanya membulat sedikit. Tentu saja ia masih ingat. Ini adalah tempat di mana mereka berdua dulu tertawa, bercanda, dan bermimpi akan membangun keluarga kecil yang bahagia. Amber sempat berpikir tempat ini sudah terkubur bersama semua kenangan pahit mereka. Tapi kini, Dave membawanya kembali ke sini, seolah menghidupkan kembali semua kenangan itu."Aku sudah lama ingin membawamu ke sini," kata Dave pelan, mengambil tas dari tangan Amber. "Aku ingin kau ingat, betapa dulu kita pernah berjanji menjadikan tempat ini seb
Amber baru saja selesai mengantarkan pesanan ke meja pelanggan saat pintu restoran berdenting. Ia menoleh tanpa banyak pikir, dan jantungnya sontak berdegup kencang saat melihat siapa yang baru saja masuk.Dave.Dengan setelan santai namun tetap memancarkan kharisma, pria itu melangkah masuk, matanya langsung mencari keberadaan Amber. Ketika pandangan mereka bertemu, Amber seketika merasa seluruh dunia mengecil, hanya menyisakan dia dan Dave.Amber buru-buru memalingkan wajah dan pura-pura sibuk membereskan meja. Ia berharap Dave akan pergi. Tapi langkah berat Dave justru mendekat, dan sebelum Amber sempat menghindar, Dave sudah berdiri tepat di depannya."Amber," suara itu terdengar penuh emosi. "Kita perlu bicara."Beberapa karyawan dan pelanggan mulai memperhatikan mereka, bisik-bisik kecil terdengar di sekeliling. Amber merasa wajahnya mulai memanas. Ia menggeleng dengan cepat."Aku sedang bekerja, Dave. Pergilah," bisiknya ketus.Namun Dave tidak bergeming. Ia justru melakukan se
Dave menghela napas panjang di dalam mobilnya, tangannya mengepal erat di atas setir. Suasana di dalam kendaraan itu terasa sesak, seolah-olah udara tidak cukup untuk menahan beban di dadanya. Kilasan wajah Amber yang marah dan penuh luka terbayang terus di benaknya. Dave memejamkan mata, mencoba mengendalikan rasa frustrasinya.Ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa membiarkan Amber berjuang sendirian menghadapi tuntutan konyol dari ayahnya. Ia tidak akan membiarkan siapa pun mengambil Ethan dari Amber, anak yang bahkan baru saja diakuinya sebagai darah dagingnya.Telepon genggamnya bergetar di saku jaket. Dengan cepat, Dave mengangkatnya. Di layar tertera nama Julian."Dave, aku sudah mencari tahu," suara Julian terdengar tergesa. "Ayahmu sudah menyiapkan pengacara terbaik di kota ini untuk memenangkan kasus hak asuh Ethan."Dave mengumpat pelan. "Aku harus bertemu denganmu sekarang."Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang cukup sepi. Begitu Julian duduk, Dave langsung mengutar
Julian membuka pintu ruang kerja Dave dengan tergesa, napasnya sedikit memburu. Dave yang tengah menatap layar laptop langsung mengangkat kepala, alisnya bertaut ketika melihat ekspresi serius di wajah tangan kanannya itu. "Ada apa, Julian?" tanya Dave, nada suaranya tenang tapi tajam. Julian menelan ludah. "Dave, ini bahaya.""Ada apa?" tanya Dave dengan alis berkerut. "Tuan Martin baru saja melayangkan gugatan hak asuh anak terhadap Amber," jawab Julian dengan wajah tegang. "Apa?" Dave langsung berdiri, kursi kerjanya bergeser dengan kasar. “Aku baru saja mendapat informasi dari kenalanku di pengadilan. Gugatan itu resmi. Suratnya sudah dikirim ke rumah Nenek Rose.” Wajah Dave langsung mengeras. Matanya dipenuhi amarah yang tak terbendung. "Shit! Kenapa Papa berani-beraninya mencampuri urusanku dengan Amber dan Ethan?!” gumamnya geram."Tenang dulu Dave, kau bisa membicarakan hal ini baik-baik dengan Tuan Martin siapa tahu dia bisa menarik gugatannya kembali. Kau juga h