Share

Hasrat Liar Ibu Tiri Suamiku
Hasrat Liar Ibu Tiri Suamiku
Author: Nanaz Bear

Bab 1

Deru nafasku dan suamiku saling memburu, tatkala tangan liarnya menjelajahi setiap lekuk tubuhku.

Bibir kami saling bertautan, keringat bercucuran, aku sangat menikmati ciuman pertama yang Mas Indra berikan untukku.

Sebelumnya perkenalkan dulu. Namaku Putri, umurku 25 tahun. Malam ini adalah malam pertamaku bersama suamiku Mas Indra. Aku tak menyangka hidupku sangat beruntung karena di nikahi oleh anak dari pemilik perusahan tempat dimana aku bekerja. Dua bulan pacaran, Mas Indra membuktikan keseriusannya dengan mengajakku ke pelaminan.

Ayah Mas Indra saat ini masih di luar negeri mengurus bisnisnya, entah kenapa Mas Indra tiba-tiba memutuskan menikah denganku saat Ayahnya masih sibuk dengan pekerjaannya. Semua terasa begitu mendadak, bahkan muncul gosip di kantor bahwa kami cepat-cepat menikah karena aku telah hamil lebih dulu. Padahal saat proses pacaran, jangankan meniduriku, menciumku saja tidak pernah di lakukan oleh Mas Indra.

"Kamu, siap, Put?" tanya Mas Indra. Aku mengangguk malu sambil menyembunyikan wajah tersiksaku karena pemanasan-pemanasan yang Mas Indra lakukan beberapa saat yang lalu.

Aku mengambil nafas dalam-dalam sebelum kami memulai. Tak lupa ku pejamkan mata untuk menyingkirkan rasa gerogiku.

Baru saja kami akan memulai, kami di kejutkan oleh suara dering ponsel suamiku. Dengan wajah frustasi Mas Indra menjauhkan tubuhnya dariku.

"Kenapa enggak di matikan dulu ponselnya sih, Mas?" tanyaku dengan raut wajah kecewa.

"Aku lupa, sayang. Maaf!" jawab Mas Indra sembari berjalan meraih ponsel yang dia letakan di atas meja.

Kulirik jam di dinding kamar, dalam hatiku mengutuk siapa bedebah yang berani menelepon suamiku tengah malam begini. Terlebih malam ini adalah malam pertamaku dengan Mas Indra. Apa orang itu tak punya rasa segan sama sekali pada kami berdua?

"Put, ternyata Papah yang telepon. Boleh aku angkat teleponnya?" tanya Mas Indra. Mendengar ternyata Ayahnya yang menelepon, rasa amarahku sedikit mereda.

"Angkat saja, Mas. Enggak apa-apa!" jawabku sambil menutup tubuh dengan selimut.

Mas Indra pun sedikit menjauh dariku. Entah apa yang akan dia dan Ayahnya bicarakan sampai tak mau ada orang lain yang ikut mendengarnya.

"Sayang, aku enggak bisa lanjutin kegiatan kita dulu. Papah bilang Tante Sarah sakit. Aku mau bawa Tante Sarah ke dokter dulu!"

Tante Sarah adalah Ibu tiri suamiku. Aku sedikit tak percaya mendengar kabar beliau sakit. Tadi siang saat pesta pernikahanku dan Mas Indra di gelar, dia terlihat baik-baik saja.

"Sakit apa, Mas? Tadi siang dia kelihatannya baik-baik saja, kok!"

"Mungkin kecapean karena beberapa hari ini ikut sibuk ngurusin pernikahan kita." jawab Mas Indra sambil memakai kembali bajunya.

"Kalau cuma sakit karena kecapean kan bisa besok saja ke dokternya, Mas. Ini udah tengah malam, loh."

Entah kenapa aku merasa tak ikhlas membiarkan Mas Indra pergi dengan ibu tirinya. Ini malam pertama kami tega-teganya wanita itu mengusik kebahagiaan kami. 

"Kalau sampai Tante Sarah kenapa-kenapa, kamu mau tanggung jawab?" tanya Mas Indra. Tentu saja aku menggelengkan kepala cepat. Ayah Mas Indra sangat sayang pada istrinya, aku tak mau di salahkan jika terjadi apa-apa dengan wanita itu.

"Kalau gitu aku mau bawa Tante Sarah berobat dulu. Kamu enggak usah khawatir, secepatnya aku akan balik kesini kok!"

Mas Indra mengecup pucuk kepalaku, dia bersiap pergi menuju kamar Tante Sarah yang kebetulan letaknya tepat di depan kamar kami

"Tapi Mas, tengah malam begini. Kamu mau bawa Tante Sarah berobat kemana?" tanyaku sebelum lelaki itu melangkah pergi.

"Ke Dokter pribadi keluarga ini. Papah bilang sudah menghubungi Dokter Hasan jadi kamu enggak usah khawatir!"

Aneh, kenapa bukan Dokter Hasan saja yang kesini kalau benar ibu tiri suamiku sakit. Entah kenapa aku merasa ganjal dengan alasan-alasan yang suamiku berikan. Dari awal suamiku mengenalkanku pada ibu tirinya aku melihat tatapan kebencian dari wanita itu kearahku. Jadi kecurigaanku akan niat jahat wanita itu bukan tanpa alasan. Aku berpikir mungkin wanita itu membenciku karena aku orang miskin. Dia mungkin malu mengakuiku sebagai menantu di rumah ini.

"Owh, gitu. Ya sudah, kamu hati-hati saat nyetir nanti, ya."

"Iya. Aku pergi dulu ya, sayang!"

Aku menghembuskan nafas kasar setelah suamiku keluar kamar. Beberapa saat kemudian ku dengar langkah suamiku dan Tante Sarah berjalan menuruni anak tangga. Aku cepat-cepat mengenakan bajuku, demi bisa melihat mereka dari balkon kamarku.

Lihat, firasatku ternyata benar. Tante Sarah sama sekali tak terlihat sakit. Mana ada orang sakit berpenampilan seksi seperti itu, apalagi memakai high heels tinggi seperti yang di kenakannya sekarang. Dia lebih terlihat seperti ingin mengunjungi sebuah klub di banding mengunjungi dokter.

Mas Indra ini gimana, kok percaya begitu saja kalau wanita itu sakit. Jelas-jelas wajahnya sama sekali tak pucat. Sebegitu takutkah dia dengan Ayahnya sampai dia mengorbankan malam pertama kami hanya untuk menolong orang yang hanya pura-pura sakit saja.

Aku kembali menuju ranjangku dengan wajah cemberut. Malam pertama yang harusnya ku lalui penuh kebahagiaan harus berakhir kesepian seperti ini.

Sudah dua jam lebih Mas Indra pergi, karena tak kunjung pulang aku mencoba menghubunginya. Namun betapa kecewanya aku saat tahu nombornya tak aktif.

Karena lelah menunggu, aku tak sadar sampai ketiduran. Hingga sebuah kecupan di keningku tiba-tiba membangunkanku.

"Selamat pagi sayang!" ucap Mas Indra sembari menampikan senyum termanisnya.

"Loh, Mas sudah pulang?" tanyaku sembari berusaha bangkit.

"Udah dari semalam aku balik!"

"Kenapa enggak bangunin aku?" tanyaku menunjukan raut wajah bersalah.

"Aku enggak tega mau bangunin kamu, keliatannya kamu kecapean banget semalem."

"Padahal enggak apa-apa Mas bangunin aku aja. Aku khawatir banget karena kamu enggak pulang-pulang. Ditambah kamu enggak bisa di hubungi karena ponselmu enggak aktif!" 

"Eh, ya. Lupa kasih tahu. Semalam ponsel aku habis baterainya. Maaf ya, sayang buat kamu khawatir!"

"Ya udah, enggak apa-apa. Yang penting sekarang kamu udah pulang. Aku mandi dulu, ya. Baru setelah itu kita sarapan bareng!"

"Ok!" balas suamiku. Akupun bergegas bangun lalu melangkah ke kamar mandi.

Selesai mandi, sudah tak kulihat ada suamiku lagi. Aku kemudian turun untuk menyusulnya ke bawah.

Belum sampai di ruang makan, ku dengar suara tawa Tante Sarah menggelegar sampai ke ruang depan. Aku menggelengkan kepala mendengarnya. Bisa-bisanya semalam dia mengaku sakit padahal suaranya bisa sekeras itu.

"Eh, Putri. Sudah bangun. Maaf ya kalau semalam Tante ganggu malam pertama kamu!" ucap Tante Sarah. Mau tak mau aku menanggapi secara lembut ucapannya. Padahal hati ini sudah sangat dongkol padanya.

"Enggak apa-apa, Tante. Gimana keadaan Tante sudah agak baikan?" tanyaku kepada wanita yang berumur sekitaran tiga puluh lima tahun itu.

"Ya, karena Tante sudah minum obat yang tepat jadi Tante cepat sembuh!" jawabnya sambil mengunyah. Aku hanya mengangguk sebagai respon ucapannya.

Beberapa saat kemudian keadaan menjadi hening. Hanya suara dentingan sendok yang terdengar di ruang makan ini.

"Indra, kamu sibuk enggak kira-kira siang ini?" Tiba-tiba suara Tante Sarah memecah keheningan kami.

"Enggak Tante. Memangnya kenapa?"

"Anterin Tante belanja bulanan, ya. Semua barang pribadi Tante habis. Mau nunggu Papahmu pulang masih minggu depan!" 

Apa? Setelah semalam merusak malam pertamaku sekarang Tante Sarah mau menggangguku lagi.

"Aku izin dulu sama Putri, Tan." ucap suamiku sambil menatap kearahku.

"Putri pasti izinin kok, Ndra. Ya kan, Put?" tanya Tante Sarah. Percaya diri sekali dia bicara seperti itu.

"Maaf Tante bukan saya enggak izinin Mas Indra pergi sama Tante. Tapi saya enggak tega, sejak pesta kemarin Mas Indra belum istirahat sama sekali!"

Wajah ramah Tante Sarah tiba-tiba berubah marah setelah mendengar jawabanku. Aku tak peduli jika gara-gara masalah ini membuat wanita itu makin membenciku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status