Share

Bab 2

Aku dan Mas Indra tak langsung ke kamar setelah sarapan selesai. Kami berbincang sambil menonton televisi di ruang keluarga.

Mumpung ibu tirinya sedang tak ada, aku berniat mengeluarkan semua unek-unekku pada lelaki yang baru kemarin sah menjadi suamiku tentang ibu tirinya. Mas Indra harus tahu betapa terganggunya aku dengan sikap wanita itu yang seenaknya.

"Mas, Tante Sarah kok kelihatannya masih enggak suka sama aku. Aku perhatikan dari semalem dia kayaknya selalu berusaha menjauhkan kita."

Mas Indra mengecilkan volume televisi lalu dia melirik sinis kearahku. Dari caranya menatapku, jelas sekali menunjukan sikap marahnya karena aku berbicara hal buruk tentang ibu tirinya. Aku tahu, sejak kami berpacaran dulu dia memang tak suka ketika aku membahas tentang Tante Sarah apalagi membicarakan tentang keburukan wanita itu. Aku pikir karena kami sekarang sudah menikah responnya akan berubah. Tapi kenyataannya aku salah.

"Cuma karena hal sepele seperti tadi kamu punya pikiran seperti itu. Bagaimana pun juga Tante Sarah itu istri Papah. Kalau dia butuh bantuan sudah semestinya dia meminta bantuan sama aku, Put."

"Mas, aku tidak keberatan kalau dia meminta bantuan sama kamu. Tapi dia juga harus tahu waktu, dong! Semalam dia sudah mengacaukan malam pertama kita. Masa hari ini dia juga mau mengulanginya. Masalah belanja kebutuhannya dia bisa kan menyetir sendiri ke mall. Kenapa juga tadi dia malah minta kamu antarkan."

"Tante Sarah kalau belanja lumayan banyak, wajar kalau dia minta bantuanku. Sudahlah, Put. Ini masalah sepele saja. Enggak usah di besar-beasarkan. Lagian aku juga sudah nurutin kemauan kamu yang melarangku pergi dengan Tante Sarah, kan?"

Benar kata Mas Indra. Yang terpenting sekarang dia masih ada bersamaku. Aku tak mau karena kemarahanku yang membabi buta pada Tante Sarah malah membuat kami bertengkar.

"Iya, Mas. Maaf, mungkin aku terlalu berburuk sangka pada ibu tirimu. Jujur, aku merasa dia masih tak mau menerima kehadiranku di rumah ini makanya dia selalu mengganggu kebersamaan kita. Aku sadar diri Mas, aku cuma gadis miskin yang kebetulan beruntung karena di nikahin orang kaya seperti kamu. Tapi, tetap saja aku merasakan sakit hati kalau terus-terusan di perlakukan seperti ini oleh ibu tirimu."

Mas Indra memegang kedua bahuku, amarahnya mereda melihat kesedihan yang ku tunjukan di depannya.

"Aku janji, aku akan berusaha membuat Tante Sarah suka sama kamu, Put. Aku akan meyakinkannya kalau kamu adalah wanita yang paling tepat untuk aku."

"Beneran, Mas? Kamu enggak bohong, kan?"

"Buat apa aku bohong sama istri sendiri, sayang."

Tangan Mas Indra beralih ke wajahku. Dia mendekatkan wajahku ke wajahnya. Mendapat perlakuan manis darinya tiba-tiba jantungku berdetak sangat kencang. Aneh memang, Mas Indra adalah suamiku tapi aku terus merasa berdebar-debar saat di perlakukan semanis ini.

Dengan lembut Mas Indra menciumku, aku memejamkan mata dan mulai pasrah.

Tangan Mas Indra bergerak masuk ke dalam bajuku. Namun tiba-tiba aku menghentikan tangannya saat menyadari keberadaan kami yang ternyata ada di ruang keluarga.

"Mas, ini ruang keluarga. Nanti kalau ada yang lihat gimana?" tanyaku pada Mas Indra.

"Enggak akan ada yang lihat, sayang. Dira ikut Tante Sarah berbelanja. Rumah sedang kosong jadi enggak akan ada yang memergoki permainan kita disini!"

Dira adalah pembantu di rumah ini. Hanya saja wanita itu bekerja pagi sampai sore saja. Atas ide Mas Indra beberapa saat yang lalu, Tante Sarah akhirnya setuju juga membawa Dira bersamanya meski terlihat sekali dengan sangat terpaksa.

Aku sudah pasrah tatkala Mas Indra mulai membuka satu persatu bajuku. Sungguh dari semalam aku tak sabar menantikan Mas Indra melakukan kewajibannya sebagai suamiku.

Dreettt...Dreeeettt...!

Sekali lagi aku di buat kesal karena getaran ponsel milik Mas Indra. Dia berhenti menyentuhku dan ingin meraih ponselnya tapi dengan cepat aku tarik tangannya.

"Mas, enggak usah peduliin ponselmu dulu. Permainan kita belum selesai!" ucapku tegas. Aku tak mau ada yang mengganggu kami lagi. Sudah cukup semalam aku mengalah.

"Ok!"

Mas Indra menurut, namun sialnya si penelpon tak mau berhenti mengganggu kami. Dia terus menghubungi suamiku hingga membuat konsentrasi kami pecah.

"Tunggu sebentar, Mas."

Aku bangkit lalu menyambar ponsel Mas Indra yang terletak di atas meja. Aku tersenyum sinis melihat layar ponselnya, sudah ku duga orang yang menghubunginya adalah Tante Sarah.

"Kenapa ponselku di matiin?" tanya bingung suamiku saat aku tanpa ragu menonaktifkan ponselnya.

"Biar enggak di ganggu ibu tiri kamu terus." jawabku tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Aku kembali meletakan ponsel suamiku diatas meja lalu menarik tangan suamiku untuk melanjutkan kegiatan kami.

"Ah, Mas!"

Aku benar-benar merasa gila saat kedua tangan Mas Indra meremas bagian dadaku. Sepertinya pemanasan ini harus segera ku akhiri agar aku tak merasa tersiksa seperti ini.

"Mas, ayo. Sekarang saja!" ucapku setengah berbisik. Mas Indra mengangguk penuh semangat. Namun baru saja kami hendak melakukan penyatuan, kembali kami di ganggu oleh deringan telepon rumah ini. Aku benar-benar sangat yakin itu dari Tante Sarah. Aku mendorong tubuh Mas Indra yang masih ada diatasku karena saking marahnya.

"Angkat dulu telepon dari ibu tirimu, Mas. Sumpah, nafsuku hilang sudah karena dia terus saja mengganggu kita!"

"Tapi, itu belum tentu dari Tante Sarah, Put. Enggak usah berpikir buruk dulu!"

Suamiku lagi-lagi membela ibu tirinya.

"Aku yakin itu dari Tante Sarah. Kalau enggak percaya cepetan angkat sana!"

Suamiku cepat-cepat mengenakan kembali bajunya lalu berlari ke ruang depan. Aku membanting bantal sofa saking kesalnya.

Beberapa lama kemudian suamiku kembali dengan raut wajah panik. Jujur aku penasaran kenapa dia bersikap seperti itu tapi aku enggan bertanya karena aku yakin ini tentang ibu tirinya.

"Sayang, aku harus pergi sekarang, ya. Mobil Tante Sarah nabrak pembatas jalan. Sekarang aku mau ke rumah sakit buat jenguk dia."

"Apa?"

Mendengar Tante Sarah kecelakaan membuatku merasa bersalah karena sempat melarang suamiku mengangkat telepon dari wanita itu.

"Papah pasti marah besar kalau sampai tahu aku biarin Tante Sarah menyetir sendiri. Mampus!" ucap suamiku membuatku makin merasa bersalah padanya.

"Papah enggak mungkin akan marah. Biar nanti aku yang jelasin ke dia kalau--"

"Kalau apa? Kalau kamu yang melarangku mengantarkan dia ke mall? Kamu pikir Papah akan nerima alasan kamu begitu saja? Yang ada juga kamu malah jadi di benci olehnya!'

Aku terdiam melihat suamiku mulai meninggikan suaranya.

"Mulai sekarang tolong jangan larang-larang aku buat bantuin ibu tiri aku sendiri, Put. Kalau sampai terjadi sesuatu sama dia memangnya kamu mau bertanggungjawab?"

Aku sedikit syok mendengar ucapan suamiku. Bukannya beberapa saat yang lalu dia sama sekali tak mempermasalahkan hal ini. Kenapa sikapnya jadi seperti ini?

"Sekali lagi dengerin aku ngomong, Put. Kalau kamu mau pernikahan kita langgeng cukup jangan pernah kamu larang aku buat bantu Tante Sarah. Aku enggak mau disalahkan Papah jika terjadi sesuatu yang buruk pada dirinya. Mengerti?" tanya suamiku dengan sorot mata mengerikan. Aku hanya mengangguk dengan tangan gemetar. Baru kali ini aku melihat Mas Indra semarah ini. Memang semua berawal dari keegoisanku, tapi tidakkah dia paham bahwa aku melakukannya karena aku kesal terus di ganggu oleh wanita itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
NURUL LAILI MUFIDA
putri kamu nikah sm papanya aja biar kamu jadi nyonya dirumah situ gedek aku lihat kelakuan mereka
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status